Thursday, June 8, 2023

Bromokom Challenge 2023: Mimpi, Obsesi, dan Harga Diri

Saya pertama kali mendengar istilah Bromokom pada awal tahun 2019. Adalah seorang teman yang menantang saya untuk ikut event nanjak perih tersebut tahun depan (2020). Tentu saja tantangannya saya abaikan. Saya punya sejumlah alasan: mahal, jauh, tidak punya sepeda yang pas, dan tak yakin mampu finish sebelum COT.

Tahun berganti. Indonesia dikepung pandemi dan sepeda mendadak menjadi idola hampir setiap manusia. Bromokom tetap digelar meski dengan berbagai pembatasan terkait protokol kesehatan. Alih-alih menyusut, pesertanya makin membludak, padahal tiketnya tetap mahal. Sebagai gambaran, tiket event Audax dibandrol dalam bilangan ratusan ribu. Bromokom? Hampir dua juta. Dan laris manis. Dalam hitungan kurang dari sepuluh jam, slot peserta sebanyak 1.500 ludes diserbu peminat.

Bromokom Challenge memang istimewa. Daya tariknya tinggi. Saya mencatat beberapa hal yang menjadi magnet bagi para pesepeda untuk ikut event ini. Pertama rute. Rute Bromokom Challange amat klasik, hampir tak berubah. Start dari kota Surabaya, mampir Pasuruan, dan finish di Pendopo Desa Wonokitri. Jaraknya pun relatif sama, 102 kilometer dengan jumlah elevasi 1.800 meter. Dengan begitu, peserta bisa memperkirakan gambaran rute, baik jarak maupun tanjakan yang harus mereka lalui. Hal ini bisa jadi bekal untuk melakukan simulasi di daerah masing-masing sebelum ikut lomba.

Daya tarik kedua adalah kemudahan akses. Ya, Surabaya mudah dijangkau dari seluruh Tanah Air. Apalagi bagi peserta dari pulau Jawa, mau naik apapun bisa. Yang dari luar Jawa pun dengan mudah bisa naik pesawat. Tercatat ada peserta dari Papua, lho. Ada pula peserta dari luar negeri. Titik start yang berada di tengah kota amat memudahkan peserta untuk mencari akomodasi.

Daya tarik selanjutnya adalah ketenaran Bromo itu sendiri. Bisa dibilang nama Bromo sudah mendunia. Taman nasional yang ciri khasnya kaldera dan lautan pasir ini jadi destinasi wisata primadona Jawa Timur. Berkunjung ke Bromo memang tak cukup sekali, karena area ini amat luas.

Maka tak heran jika tiket Bromokom selalu ludes dalam hitungan jam. Ikut Bromokom adalah sebuah gengsi tersendiri.

Dan tahun ini, 2023, saya tak bisa menghindar dari magnet event ini. Demi mengamankan slot, saya pasang mata begitu loket dibuka. Sebagai catatan, loket dibuka tepat pergantian hari, artinya tepat pukul 00.00 WIB. Seumur-umur baru kali ini saya meluangkan waktu sedemikian kuat untuk membeli sebuah tiket kepesertaan lomba yang tidak ada pialanya, haha. Dan loket itu dibuka tanggal 8 Februari 2023, artinya masih berjarak empat bulan dari hari H.

Begitu tiket berada di tangan, saya mulai memikirkan beberapa hal, mulai dari pilihan tranportasi, lokasi menginap, hingga mengukur kekuatan diri. Saya membaginya dalam beberapa segmen tulisan.

I. Persiapan.

Dari sisi fisik, saya tak menyiapkan diri secara khusus. Modal saya hanya bike to work secara rutin ke kantor sejak tahun 2019. Rata-rata jarak tempuh per hari mencapai 50 kilometer. Saya sendiri juga jarang melatih diri menggunakan roadbike.

Sehabis Lebaran, saya memang mencari tanjakan untuk menyiapkan otot. Saya bersepeda ke Kawah Domas, Tangkuban Perahu dengan roadbike, ke Kawasan Pengalengan dengan sepeda besi, dan keliling Kawasan Kota Baru Parahiyangan dengan roadbike. Itulah menu latihan saya di luar bike to work tadi.

Sejujurnya saya lebih memikirkan pilihan transportasi yang akan saya gunakan ke Surabaya. Saya menyingkirkan pilihan kereta api, karena tidak bisa bawa sepeda besar. Demikian juga dengan pesawat, terlalu mahal buat saya. Pilihannya tinggal naik bus regular atau gabung ke rombongan peserta. Alhamdulillah, di saat-saat akhir, saya mendapat tawaran untuk bergabung dengan teman-teman dari Cilegon yang tergabung dalam klub Skuba. Yang lebih menyenangkan lagi, ongkosnya sangat manusiawi. Tiket pulang-pergi dengan bus khusus sepeda hanya seharga 1,3 juta rupiah.

Langkah selanjutnya adalah mencari tempat penginapan. Patokan saya hanya satu, dekat dengan titik start dan harganya ekonomis. Dapatlah sebuah hotel seharga 380.000 rupiah untuk dua malam tanpa sarapan. Pokoke bisa untuk nglurusin pinggang, pikir saya.

Rombongan bus itu berangkat dari Cilegon dan saya menunggunya di Jakarta. Tepat pukul 23.00 WIB, Kamis, 25 Mei 2023 bus nyamperi saya di bilangan Cawang. Busnya berukuran sedang tapi berbodi panjang. Sepeda dapat dimuat dengan aman, tak khawatir bakal lecet. Yang jadi masalah adalah jarak antartempat duduk yang amat sempit untuk inseam saya yang sepanjang 84 cm. Tak apalah, demi berburu hemat, haha.

Pukul 11.00 WIB keesokan harinya, kami tiba di Surabaya. Bus tidak langsung menuju tempat pengambilan racepack di Surabaya Town Square, tapi mampir ke masjid Al Akbar Surabaya. Kami salat Jumat dan makan siang di kawasan ini. Usai menuntaskan urusan, bus menuju Sutos.

Sebagai event yang sudah sembilan kali digelar sejak 2014, Bromokom dikelola dengan apik. Kerja panitia amat rapi. Ini terlihat dari proses pengambilan racepack. Melalui surat elektronik, tiap peserta diwajibkan mencetak tanda terima racepack masing-masing dan dibawa saat pengambilan racepack. Kewajban ini terbukti memudahkan proses tersebut. Waktu yang saya habiskan untuk mengambil nomor antrean hingga menyelesaiakan proses pengambilan racepack tidak lebih dari 15 menit. Keren.

Usai ambil racepack, saya sempat ketemu dengan teman-teman sesama peserta di sebuah kedai kopi. Kami tak lama di sini, karena badan saya masih capek sekali. Pun mata terasa berat, karena kurang tidur selama perjalanan. Menjelang Magrib saya tiba di hotel. Dan saya agak terperangah dengan kondisi hotel pesanan saya. Agak-agak gimana gitu, haha….. tapi ya sudahlah, sepadan pula dengan harga yang saya bayar.

Beres mandi dan makan malam, saya segera membereskan sepeda. Logistik yang mau saya bawa selama perjalanan saya pasang di sepeda, termasuk mengisi bidon. Saya memasang dua tas di sepeda, satu di top tube dan satu di sadel. Tas sadel saya isi dengan ban dalam cadangan, toolkit, kartu ATM, KTP, alat tambal ban, dan permen garam. Tas toptube saya isi dengan empat buah Fitbar, ponsel, dan permen garam. Saya menyiapkan satu bidon air mineral dan satu botol  Pocari Sweat. Selain itu, saya juga membawa pompa tangan yang saya gantungkan di toptube.

II. Hari H

Saya bangun pukul 04.00 WIB oleh alarm ponsel. Sembari menunggu waktu Subuh, saya mengecek sepeda lagi, memakai bib dan jersey, serta minum beberapa teguk air putih. Bendera start akan dikibaskan pukul 05.45 WIB dan jarak dari hotel ke kantor Walikota Surabaya hanya 150 meter. Saya masih punya banyak waktu.

Tepat pukul  05.00 WIB saya beranjak dari hotel ke halaman kantor Walikota Surabaya. Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di tempat itu. Sebelum masuk ke halaman kantor, seluruh peserta diharuskan melakukan presensi digital. Presensi disediakan diberbagai tempat sehingga tidak menimbulkan tumpukan antrean. Begitu masuk ke area start, saya disambut oleh booth makanan untuk sarapan, photobooth, dan panggung hiburan. Selain itu, yang mengejutkan saya adalah keberadaan mekanik resmi yang menawarkan bantuan apabila ada bagian sepeda yang memerlukan setelan. Wah, saya pikir Bromokom ini bersepeda mandiri ala Audax. Ternyata ada yang salah dari anggapan saya.

Suasana menjelang start di kantor Walikota Surabaya
Tak berapa lama saya bertemu dengan teman sejawat yang sudah dua kali jadi peserta event ini, om Bambang Sugeng. Mendapati setup sepeda saya, pria asal Sragen ini berkomentar, “Ngapain bawa pompa? Mberat-mberatin sepeda aja.”

“Lha kalo nanti bocor di jalan gimana, Mas?”

“Kan ada mekanik yang ikut kita sampai finish..”

“Beneran?”

“Lha iya, wong mereka juga bawa wheelset segala. Jadi kalau ada masalah tinggal pinjem..”

Lag-lagi saya kaget. Event ini ternyata menyimpan fasilitas yang memanjakan peserta, mulai dari logistik makanann dan minuman, mekanik, medis, hingga penutupan rute selama aktivitas berlangsung. Dengan begitu peserta tinggal konsentrasi mengelola tenaga dan mentalnya saja.

Tepat pukul 05.45 WIB rombongan peserta diberangkatkan. Etape ini akan menempuh jarak sejauh 64 kilometer, yaitu dari kantor Walikota Surabaya menuju pitstop GOR Untung Suropati Pasuruan. Dari informasi yang saya peroleh, rute ini benar-benar rata. Hanya akan ada tiga tanjakan ringan saat melintasi flyover. Target waktu tempuhnya sekitar dua setengah jam. Artinya kecepatan rata-ratanya akan berkisar 25 kilometer per jam. Selama menjalani etape ini, peserta tidak dikelompokkan sesuai kategori yang ia ikuti. Bebas, yang penting tidak menyalip Road Captain.

Perjalanan sudah mencapai kawasan lumpur Lapindo saat saya mendapati pemandangan unik. Puluhan peserta mulai “rontok” dan menepi. Mereka menepi untuk buang air kecil di pinggir jalan. Saya menengarai faktor psikologislah yang membuat mereka kebelet pipis. Karena minim sandaran, saya melihat peserta yang pipis secara bergantian dengan temannya. Saat yang satu sedang pipis, teman satunya memegangi sepeda temannya. Sungguh sebuah kesetiakawanan yang hakiki.

Perjalanan Surabaya - Pasuruan

Pukul  08.15 WIB kami sampai di GOR Untung Suropati. Lagi-lagi tersedia makanan dan minuman yang beragam dengan jumlah yang melimpah. Panitia juga menyediakan toilet dalam jumlah yang memadai. Pelantang suara mengumumkan bahwa peserta akan diberangkatkan dari tempat ini pukul 08.50 WIB, artinya ada waktu 40 menit untuk istirahat, mengecek sepeda, ke toilet, dan menyiapkan tenaga untuk menghadapi tantangan yang sesungguhnya. Saya comot dua buah kue dan makan pisang. Kesempatan ini juga saya pakai untuk pergi ke toilet agar nanti tak perlu pipis di tengah perjalanan.

Tiba waktu yang ditentukan, panitia segera mengelompokkan peserta sesuai kategori masing-masing. Kategori pertama yang diberangkatkan adalah men elite, women elite, dan women kelompok umur. Selang beberapa menit kemudian giliran kategori kelompok umur pria yang disilakan untuk menata barisan. Dimulai dari kelompok umur termuda 25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun, 35 – 39 tahun, 40 – 44 tahun, 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, 55 – 59 tahun, hingga kelompok umur tertua, 60 tahun ke  atas.

Sembari menunggu diberangkatkan, saya mengamati ribuan peserta ini. Dari warna kausnya saya simpulkan bahwa peserta kelompok umur 40-44 tahun mendominasi sekali. Hal ini merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan siapa penghobi sepeda dewasa ini, yaitu kelompok masyarakat yang mapan perekonomiannya dan berusia relatif muda.

Akhirnya kelompok umur kami diberangkatkan. Ingat, pemberangkatan ini bukan merupakan titik start KOM. Titik start dimaksud masih berjarak 14 kilometer dari GOR Untung Suropati, tepatnya di KM 78 dari kantor Walikota Surabaya. Maka manajemen tenaga tetap saya lakukan. Saya tak menggeber kayuhan dan di barisan depan, RC-pun masih membatasi kecepatan kami.

Tepat pukul 09.33 WIB, saya melintasi titik start KOM. Titik itu ditandai dengan gerbang khusus dan tulisan start di aspalnya. Letaknya berapa di sebuah tanjakan. Perasaan saya malah mulai tenang. Saya membatin gini, “Saya punya waktu 4 jam untuk menempuh jarak sejauh 25 kilometer. Harusnya aman.”

Setelah melewati gerbang start, jangan berharap ada lagi segmen datar. Pokoknya nanjak dan nanjak. Cuaca juga mulai memanas. Sinar matahari menerpa tubuh saya tanpa penghalang awan sedikitpun. Oya, chainring sejak start saya pasang di gigi rendah, 34T. Irama kayuhan amat santai. Meski begitu saya memasang target bahwa selain finish sebelum COT, saya harus bisa menyalip peserta berkaus merah (kelompok umur 40-44 tahun) , syukur-syukur bisa nyalip kaus pink (kelompok umur 30-34 tahun). Alhamdulillah, tak butuh waktu lama untuk menyalip beberapa di antara mereka. Meski begitu, saya juga disalip peserta kelompok umur 50-54 tahun. Tak apa-apa. Pokoke santai, jangan terpancing.

Layar cyclocomp menunjukkan sisa jarak dan elevasi yang terus berkurang secara terus menerus. Saya memilih fokus pada poin ini daripada fokus pada kecepatan. Setiap pengurangan jarak dan elevasi adalah pertanda titik finish makin dekat. Meski begitu, tak bisa dipungkiri tubuh mulai menagih haknya. Tenggorokan mulai kering, paha mulai mengeras, dan punggung bawah mulai pegel.

Saya hampir memutuskan untuk berhenti ketika terlihat penanda bahwa water station tinggal satu kilometer lagi. Semangat saya naik lagi. Dan alhamdulillah, pukul 10.25 WIB saya tiba di water station I. Jarak ke titik finish sudah berkurang sejauh delapan kilometer. Lumayan, rata-rata kecepatan saya adalah 8 km/jam. Jika saya bisa mempertahankan kecepatan ini, maka saya bisa finish sebelum COT.

Di tempat ini saya menambah stok air minum dan melemaskan otot. Saya juga mengguyur punggung dengan air mineral. Panas kian membara. Tak berlama-lama, saya segera mengayuh kembali.

Ajaib, tenaga saya seolah kembali 100%. Saya bahkan mulai berani meningkatkan kecepatan. Selain itu, saya kian percaya diri untuk nyalip peserta di depan. Saya memanfaatkan sisi dalam tikungan untuk mendahului mereka. Sayangnya tidak setiap tikungan bisa saya gunakan untuk menyalip karena dari arah atas masih ada satu-dua kendaraan yang berjalan ke arah yang berlawanan.

Delapan kilometer dari water station pertama, panitia menyediakan water station kedua. Berbeda dengan yang pertama, tempat ini hanya menyediakan minuman saja. Saya memutuskan untuk berhenti. Isi ulang bidon, mengguyur tubuh, dan mengunyah pisang yang saya bawa dari GOR Untung Suropati. Di tas masih ada stok Fitbar. Setelah merasa cukup, saya kembali meneruskan perjalanan. Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB dan jarak ke titik finish masih 11 kilometer lagi.

Oya, selepas water station pertama tadi, saat tenaga kembali pulih, saya sempat yakin bisa finish pukul  12-an. Apa daya, ternyata keyakinan itu harus saya pupus begitu sampai di water station kedua. Pace saya makin lambat, sementara medan dan cuaca makin tak bersahabat. Lagi-lagi saya hampir istirahat sebelum water station terakhir saking lelahnya. Tapi saya bertekad hanya akan berhenti di water station saja.

Water station terakhir berada di bawah naungan pepohonan. Kondisi ini membuat peserta bisa istirahat dengan tenang tanpa perlu kepanasan. Seperti di dua water station sebelumnya, saya mengisi ulang bidon, mengguyur air ke tubuh, dan membekali diri dengan sebotol teh Pucuk dingin. Fitbar terakhir saya lahap di tempat ini. Perut masih aman. Jarak ke titik finish masih tujuh kilometer lagi dan tanjakan makin menggila.

Baru sekitar 3 kilometer mengayuh, paha saya tak mau diajak kompromi. Saya berhenti untuk melemaskan otot dan menurunkan heart rate. Sepanjang jalan, banyak sekali peserta berguguran. Ada yang sampai tidur telungkup di pinggir jalan, dibonceng ojek, hingga diloading menggunakan mobil. Panitia menerapkan aturan ketat dan bagi pelanggarnya akan digunting tanda kepesertaannya sehingga tidak berhak menerima medali.

Belakangan saya baru tahu bahwa jumlah pelanggar peraturan event ini banyak sekali. Yang tertangkap tangan saya mencapai ratusan. Belum lagi yang tidak ketahuan. Mengikuti event bergengsi seperti Bromokom Challenge memang tak hanya butuh kekuatan fisik, tapi juga mental dan sikap yang baik. Saat fisik tak lagi bisa diajak kompromi, ada yang rela menjual harga dirinya pada tawaran ojek atau jasa dorong di kilometer akhir sebelum akhirnya mengayuh lagi ke titik finish dan berharap tidak ketahuan. Bromokom Challenge memang tak sekedar ajang adu fisik tapi juga adu harga diri.

Begitupun dengan fisik saya. Di 5 kilometer terakhir, setiap kilometernya saya berhenti untuk mengatur tenaga. Hal ini saya lakukan untuk menghindari kram. Saya tahu bahwa kram adalah musuh terbesar atlet. Saya merelakan molornya waktu finish demi menjaga otot. Toh batas waktu ke 13.30 WIB masih 1 jam lagi.

Beberapa kilometer  menjelang finish, peserta dimanjakan dengan trek yang datar lalu menurun lumayan panjang. Kesempatan ini saya pakai untuk meluruskan sendi lutut, melemaskan otot-otot utama, dan mengatur nafas. Saya tahu, bonus ini ujungnya tidak mengenakkan, yaitu tikungan tajam ke kiri disusul dengan tanjakan njengat dan panjang. Konon banyak peserta yang terjebak di sini.

Benar saja. Usai dimanjakan turunan, sebuah tanjakan telah menanti. Saya bahkan sudah mengoper gigi ke tingkat terendah ketika jalan masih menurun. Mengoper gigi saat sedang nanjak berisiko memutuskan rantai. Kalau hal  ini sampai terjadi, meski panitia menyediakan mekanik, bakal bikin waktu finish makin molor. Saya tak mau berhitung dengan risiko itu.

Tanjakan baru setengah jalan ketika saya menyalip beberapa peserta. Ada yang menuntun sepeda, ada pula yang berhenti karena kehabisan tenaga. Sebuah kelokan ke kanan menjadi akhir dari jebakan tanjakan ini.

Cyclocomp menunjukkan sisa jarak tinggal 400 meter lagi. Bukannya makin ringan, tanjakan di depan makin berat. Berbekal sisa-sisa tenaga, saya menggeber kayuhan. Apa daya, saya salah tafsir. Kelokan ke kiri yang saya kira bakal disusul oleh gerbang finish ternyata zonk. Masih ada 150 meter lagi yang harus saya tempuh untuk mencapai gerbang itu. Parahnya lagi adalah 150 terakhir ini masih berupa tanjakan dengan gradien perih.

Meniti tanjakan terakhir menjelang finish
Akhirnya, tak ada perjalanan yang tak usai. Berbekal keyakinan, manajemen tenaga ala pesepeda kantoran, dan tentu saja ijin Allah swt, saya finish di Pendopo Agung Wonokitri. Panitia mengalungi saya dengan medali keren itu. Berdasarkan catatan resmi dari situs mainsepeda.com. saya start pukul 09.33 WIB dan finish pukul 12.51 WIB, 39 menit sebelum COT. Artinya, rute KOM sejauh 25 kilometer saya tempuh dalam waktu 3 jam 18 menit. Dengan begitu kecepatan rata-rata saya adalah 7,6 km/jam. Alhamduillah.

Saya segera memarkirkan sepeda dan mencari makan di dalam pendopo. Panitia menyediakan sate, soto, dan rawon. Saya memilih soto. Teman seperjuangan, om Bambang Sugeng finish di depan saya, pun om Tedy Supriyadi. Tak berapa lama pak Azis mengabari bahwa sudah finish juga. Pria berusia  tahun ini memang layak diacungi jempol. Tenaganya luar biasa berkat aktivitas bersepedanya yang amat rutin dan terjaga.

Usai mengisi perut, saya dan om Bambang Sugeng meneguhkan tekad. Kembali ke Surabaya dengan naik sepeda. Pukul 14.30 WIB kami mulai mengayuh beriringan, menuruni tanjakan yang baru saja menyiksa kami. Cuaca masih terasa panas. Hingga pukul 15.00 WIB saya masih menemui beberapa peserta yang masih berjuang ke titik finish dengan caranya masing-masing. Ada yang naik ojek, naik mobil, mengayuh tertatih-tatih, hingga menuntun sepedanya. Kepada peserta yang masih tangguh menuju titik finish tanpa loading, saya menyemangatinya dengan seruan, “Semangat, Om. Dikit lagi. Masih ditunggu…!!!”

Pukul 16.00 WIB kami tiba kembali di Pasuruan. Sebuah kedai makan menjadi tempat persinggahan. Selain makan dan salat, kesempatan ini kami gunakan untuk mengistirahatkan otot. Meski tak lagi dihadang tanjakan, menempuh perjalanan pulang sejauh 103 kilometer tentu bukan perkara ringan. Selain tenaga sudah terkuras, kami harus berbagi jalan dengan kendaraan besar di sepanjang perjalanan. Hari juga mulai beranjak petang, artinya konsentrasi kami lebih besar lagi tuntutannya agar tetap focus. Karena sudah merencanakan untuk p/p dengan sepeda, saya membekali diri dengan lampu depan. Persiapan ini terbukti berguna sekali. Selepas Bangil saya mulai menyalakan lampu dan mengambil posisi di depan. Om Bambang mengekor di belakang.

Lalu-lintas kian ramai. Kami harus tetap waspada. Karena menguber waktu, kami tak berhenti sepanjang 40-an kilometer hingga kota Sidoarjo. Saya mengabaikan habisnya stok air minum di bidon. Ajaib, di kota Sidoarjo, seorang pengendara motor menawarkan sebotol air mineral ke saya. Saya menduga orang baik tersebut adalah panitia Bromokom Challenge 2023. Alhamdulillah.

Di pinggiran kota Sidoarjo, 14 kilometer sebelum finish di penginapan, saya berpisah dengan om Bambang Sugeng. Beliau mengakhiri perjalanan di sini. Saya meneruskan perjalanan seorang diri. Beberapa kali saya bertemu dengan peserta yang juga bersepeda ke Surabaya. Jumlahnya mungkin banyak, tapi terpencar-pencar.

Empat kilometer menjelang penginapan, saya merasakan ban belakang kehilangan tekanan. Benar saja, kempes. Saya segera minggir ke trotoar dan berpikir cepat. Kalau dituntun kok masih jauh, kalau naik taksi kok ya tanggung banget. Akhirnya tas sadel saya bongkar. Ban dalam cadangan dan alat congkel ban saya keluarkan. Saya memutuskan untuk mengganti ban dalam di tempat itu. Lagi-lagi peralatan yang saya bawa ternyata menyelamatkan perjalanan ini.

Pukul 19.00 WIB saya tiba kembali di penginapan. Penanda jarak menunjukkan bahwa saya baru saja menempuh 205,74 kilometer, dengan jumlah elevasi setinggi 2.042 meter, selama 13 jam 28 menit, dengan kecepatan rata-rata 20,7 km/j, kecepatan tertinggi 54,5 km/j, dan memakan tenaga sebesar 3.530 kalori. Usai mandi, laporan pada istri, dan mengisi perut di warung sebelah, saya kembali ke kamar. Dari kamar ini, lama-lamat kembali terdengar alunan music khas club house. Aseeeek….

Saturday, July 2, 2022

Pemasar Amnesti

Data statistik PPS


Bagi saya, Undang-Undang Harmonisasi Pajak adalah produk hukum yang punya nilai paling berkesan. Apa sebab? Karena saya ditakdirkan menjadi bagian dari tim besar pemasarnya. Kesan mendalam mungkin tidak akan saya peroleh jika peran saya hanya berada di ujung “proses produksi” beleid tersebut. Nyatanya sejak undang-undang ini digodok di rapat-rapat panja DPR, saya sudah dicemplungin di dalam tim tersebut. Sekali lagi, peran saya tentu berada pada ranah publikasi.

Berada di dekat tim pembahas membuat saya tahu banyak bagaimana mesin perundang-undangan negeri ini bekerja. Bahasan di rapat-rapat tersebut amat detil dan terstruktur, terbagi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam konteks UU HPP, berapa DIM-nya? Lebih dari lima ratus buah. Dalam satu sesi rapat panja terkadang bisa menyepakati banyak DIM, namun di lain waktu bisa juga hanya berhasil meng-gol-kan satu-dua DIM. Diskusi bisa berjalan alot, bahkan berujung kebuntuan. Kalau sudah begini, biasanya kedua belah pihak, pemerintah dan DPR, mendinginkan diri dalam bentuk skors. Artinya durasi rapat bertambah panjang.

Lain durasi rapat, lain pula animo pers. Sebagai sebuah “janin” yang akan berdampak luas, RUU HPP adalah objek buruan media massa. Dengan berbagai cara mereka memburu berita, mulai dari cara konvensional (wawancara) hingga melalui jalur investigasi. Dari sisi pembahas, terkadang ada oknum yang bermain dua kaki sehingga materi rapat yang harusnya rahasia tahu-tahu sudah muncul di media massa. Saat hal ini terjadi, kami di humaslah yang harus memainkan peran. Bagaimana caranya? Beragam, mulai dari pendekatan informal, membuat tandingan berita melalui key opinion leader, hingga penyampaian hak jawab.

Selain pembahasan bersama DPR, pemerintah juga melakukan forum diskusi terpumpun dengan berbagai kalangan. Terhitung lebih dari lima pihak yang digandeng pemerintah dalam ajang tersebut. Akademisi, kelompok pengusaha, perkumpulan konsultan pajak, hingga mantan dirjen pajak diundang dalam sesi diskusi yang berbeda. Tujuannya tentu saja mendapatkan masukan dan mencari dukungan agar produk perundang-undangan ini kelak jadi sesuatu yang tinggi nilai jualnya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus memitigasi risiko berupa reaksi publik, mengingat dalam rancangan UU tersebut ada beberapa ketentuan yang berimbas langsung pada masyarakat luas, seperti kenaikan tarif PPN.

Saat hal ini dilakukan, varian Delta tengah merajalela. Kondisi itu memaksa forum dilakukan secara daring. Saya pernah menjadi asisten sorot dari Bandung, di mana dirjen berada di kantornya, dan para peserta rapat berada di puluhan tempat yang berbeda. Ada sensasi tersendiri saat berada di sebuah pertemuan yang amat tergantung pada kuota internet kita.

Tahun 2021 telah mencapai sepertiga perjalanannya saat pembahasan rancangan undang-undang dimaksud masih amat jauh dari selesai. Dalam sebuah kesempatan saya bertanya pada orang yang terlibat langsung dalam rapat-rapat panja.

“Pak, kira-kira selesai tahun ini nggak, ya?”

“Belum tahu juga nih, om Sla,” jawabnya.

“Terus terang saya berharap disahkannya tahun depan saja, Pak.”

“Kenapa, Om?”

“Ini sudah bulan September, anggaran kami makin menipis dan sebagian besar sudah di-refocus ke dana penanganan covid.”

Kerisauan saya tentu tak muncul begitu saja. Sebagai unit pengelola kegiatan kehumasan eksternal saya punya tugas yang sebagian besar berbasis anggaran. Sebut saja produksi iklan layanan masyarakat, penayangan iklan di berbagai media, hingga edukasi secara langsung kepada masyarakat. Perihal ini akan saya bahas tersendiri di tulisan berikutnya.

Bulan Oktober baru memasuki pekan pertama saat rapat marathon mulai memasuki muara kesepakatan. Prosesnya memang amat progresif, nyaris eksponensial. Sisa DIM disepakati dengan cepat. Dan di ujung pekan kedua, tepatnya hari Kamis, 7 Oktober 2021, pemerintah dan DPR sepakat menaikkan status RUU HPP menjadi UU HPP. Ada sejumput perasaan lega, namun itu tak berlangsung lama. Benak saya langsung dipenuhi beragam skenario publikasi. Belum genap semua itu, perintah sudah turun. Hari itu juga, kami harus mengadakan konferensi pers. Saat yang sama, Menteri Keuangan sedang berada di belahan dunia lain. Artinya harus ada kompromi waktu. Akhirnya diputuskan bahwa konferensi pers akan diadakan pukul 19.00 WIB. Kami akan menangangi pejabat utama DPR di sebuah tempat di Kebayoran Baru, sementara dua narasumber lainnya berada di tempat yang berbeda. Tujuh jam sejak disepakati, UU HPP langsung didengungkan ke publik melalui kanal Youtube Ditjen Pajak RI dan ditonton ribuan orang.

Hari-hari berikutnya adalah sebuah pergulatan di medan komunikasi. Seperti saya kemukakan di atas, anggaran kami sudah terkikis oleh kebutuan darurat penanganan covid-19. Di lain pihak, UU ini harus segera disosialisasikan segera. Strategi komunikasi segera kami susun. Pesan kunci dikemas sekuat dan setepat mungkin. Meski sudah disepakati dengan wakil rakyat, bukan berarti produk hukum ini tak punya risiko kontroversi.

Di lain pihak, teman-teman di bagian pengadaan mulai berjibaku dengan sisa duit yang ada dan terserak di berbagai pos. Menatanya butuh waktu dan proses tidak pendek karena melibatkan peran unit eselon satu lain. Dan waktu tak pernah mau menunggu. Tanggal 19 November 2021 DJP menabuh gong dimulainya sosialisasi UU HPP di Bali. Saya kebagian peran apa? Gado-gado, mulai dari urusan materi sosialisasi, mengelola hubungan media, hingga mengecek kondisi kamar hotel yang akan ditempati orang penting di negeri ini.

Tak hanya melalui kanal tatap muka, kami juga merambah jalur lain. Seluruh platform media sosial kantor dipenuhi dengan konten UU HPP. ILM diproduksi dengan sisa nafas DIPA. Penyuluhan kepada masyarakat luas dan kepada agen-agen perubahan digalakkan hampir setiap waktu. Semangat itu seakan menemukan dorongannya saat penerimaan pajak juga tumbuh pesat. Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, setelah puasa belasan tahun, DJP pecah telor target penerimaan pada tahun 2021 kemarin.

Tahun 2022 datang tak terbendung. Yang unik dari UU HPP adalah bahwa ada pasal-pasal tertentu yang berlaku tidak per 1 Januari 2022. Ambil contoh kenaikan tarif PPN per 1 April 2022 dan pajak karbon per 1 Juli 2022. Artinya, strategi komunikasi atas dua hal tersebut harus dipisah. Saat yang sama, per 1 Januari 2022, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dimulai. Program ini digadang-gadang bakal jadi pengerek penerimaan pajak tahun ini. Sasarannya adalah eks peserta Tax Amnesty dan Wajib Pajak OP yang belum klir SPT-nya. Artinya, jualan program ini harus masif. Meski tidak ada target perolehan uang setoran pajak, tetap saja ada beban moral kesuksesan TA yang meraup 114 triliun rupiah itu.

Maka DJP seperti pemain silat yang mengeluarkan segala jurus menyerang musuhnya. Publikasi, sosialisasi, pelayanan, dan kerja sama – kemitraan digalakkan melalui berbagai jalur. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, selama kurun waktu setengah tahun ini DJP telah mengadakan beragam komunikasi publik dengan jumlah kegiatan mencapai ribuan kali, menjangkau jutaan orang, dan dilakukan di seantero negeri.

Ada peristiwa unik yang saya alami dua hari lalu. Saat mendampingi pimpinan yang sedang talkshow di sebuah stasiun televisi, istri saya mengirim pesan.

“Pak, ada pak Neil di Metro TV.”

“Tahu laaah, wong aku di samping beliau,” jawab saya sembari mengirim foto selfie.

“Mbahas apa sih, Pak?”

“PPS, Ma.”

“Kayak Tax Amnesty dulu?”

“Iya, tapi beda tarif.” Saya mulai kewalahan.

“Emang tarifnya berapa?”

Pertanyaan itu tak saya jawab. Saya mendadak merasa gagal menjadi kasi hubungan eksternal terbaik se-Indonesia. (Tenang, bisa juga kasi hubungan eksternal terburuk, wong jabatan itu cuma ada satu di semesta ini).

Langit Jakarta tampak cerah malam kemarin. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saat sebagian besar orang Indonesia telah terlelap tidur, ratusan pegawai DJP di berbagai tempat masih melek. Mereka tengah menunggu detik-detik terakhir masa berlaku PPS. Yaps, tanggal 30 Juni 2022 adalah batas akhir kesempatan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT. Tak ingin melewatkan momen bersejarah ini, saya ikut begadang di kantor.

Pimpinan tertinggi kami hadir di sana. Beliau menyapa seluruh kepala kanwilnya satu persatu, menanyakan kabar, menyemangati, dan berucap terima kasih atas kerja keras selama ini. Wajah-wajah riang menghiasi layar sorot. Mereka memang berhak atas kebahagiaan ini. PPS bisa dibilang sukses besar. Tolok ukurnya tak hanya jumlah setoran pajak yang berhasil dihimpun, tapi juga animo masyarakat. Hingga jam-jam terakhir, masih ada saja orang yang bawa uang tunai ke bank untuk ikut PPS. Dan hingga pukul 24.00 WIB, tombol kahar yang menandakan gangguan sistem dan jaringan tidak pernah ditekan oleh operatornya. DJP membuktikan diri bahwa layanan daring adalah kekuatan utama institusi pengusung ide reformasi birokrasi ini.

Lalu sore tadi bu Sri Mulyani Indrawati mengumumkan angka PPS. 61 (enam puluh satu) triliun rupiah setoran pajak berasal dari PPS masuk ke pundi-pundi APBN. Hampir 248 ribu Wajib Pajak menjadi pesertanya. Saya tak bisa mengkalkulasi berapa banyak data yang berhasil dikumpulkan dari program ini. Tapi saya percaya, ada bangunan kuat yang telah berdiri berkat PPS. Dan itu akan jadi modal besar bagi DJP di masa depan.

Perolehan dan peserta PPS memang di bawah TA. Tapi keduanya memang bukan apel yang bisa dibanding-bandingkan.

Wassalam.

Saturday, March 26, 2022

Belajar Jadi Manusia dari Hamka

Sejujurnya saya baru beberapa pekan mencermati nama ini. Sebelumnya saya nyaris tak mengenalnya. Hal yang menuntun saya pun bukan kiprah kemanusiaannya, tapi sosoknya yang dijuluki the real crazy rich. Bermula dari situ, saya menyusuri internet. Perjalanan itulah yang akhirnya membuat saya tahu sosok utuh (versi internet) seorang pria bernama Jusuf Hamka.

Lalu Gusti Allah bermurah hati pada saya. Spectaxcular 2022 menjadi pelantar pertemuan saya dengan beliau. Ditugasi menjadi juru komunikasi dengan para narasumber membuat saya punya waktu lumayan lama berbincang dengan pria yang akrab disapa Babah Alun ini. Terlahir dari multietnis membuat pria kelahiran Samarinda tidak bisa bilang secara spesifik saat saya tanya asal keberadaannya.

“Saya orang Indonesia, pak Slamet. Lha gimana, bapak saya asli etnis Tionghoa, sementara ibu saya sudah campuran Tionghoa-Dayak.”

Saya tak menyangka beliau seterbuka ini dengan saya.

“Hal inilah yang membuat saya selalu mengedepankan toleransi dalam beragama,” tambahnya.

Rupanya nama Jusuf Hamka punya sejarah sendiri. Alkisah pada tahun 1981, Alun Joseph (nama sebelum masuk Islam) memeluk Islam. Proses pengislamannya sendiri berjalan unik. Kala itu Alun mendatangi masjid Al Azhar untuk mengucapkan kalimat syahadat. Oleh pengurus masjid, pemuda berusia 23 tahun tersebut diajak ke rumah Buya Hamka. Di tempat itulah kalimat syahadat diucapkan oleh Alun Joseph. Tak hanya membimbing pembacaan kesaksian Alun terhadap Allah dan nabi Muhammad, ulama besar itu juga menghadiahkan nama kepada mualaf tersebut. Lahirlah nama baru Jusuf Hamka.

“Saya tidak anti toa (pelantang suara), Pak Slamet. Tapi kita juga harus sadar bahwa kita hidup di lingkungan yang beragam. Ada orang yang punya keyakinan berbeda dengan kita. Ada anak kecil dan orang tua yang mungkin sedang sakit dan butuh istirahat. Kalau mbangunin sahur jam 1 malam menurut saya sudah tidak pada tempatnya.”

Ketika berbicara soal ini, pria berpembawaan santun ini sedikit berubah. Nada suaranya agak ketus dan sesekali meninggi, nyaris berapi-api.

“Kadang sikap kita cenderung egois saat jadi mayoritas. Mereka belum pernah merasakan menjadi minoritas seperti saya.” 

Kalimat ini membuat saya terdiam. Isi kalimatnya mengoyak perasaan saya. Selama ini saya jarang menyimulasikan diri dalam kondisi seperti yang beliau sampaikan. Saya memang beberapa kali menjalani hari sebagai minoritas. Di antaranya saat berkunjung ke Nepal beberapa tahun silam. Saat itu, tahun 2015, saya berburu foto ke sana selama sepekan. Tantangannya hanya soal makanan. Namun ini relatif mudah diatasi. Makan saya telur dan ikan, beres. Tentu kadar keimanan saya masih menoleransi atau mengabaikan proses memasaknya.

Ada cerita menarik saat saya tiba di kota Bandipur. Dasarnya memang senang ngobrol, saya nyanthol di sebuah toko makanan. Pemilik tokonya warga keturunan Arab. Kepadanya saya bertanya tentang lokasi masjid terdekat.

“Di desa sebelah, limabelas kilometer dari sini. Di balik bukit itu,” jawabnya.

“Anda salat Jumat di mana?”

“Di sana,” jawabnya singkat.

Jawaban yang menampar batin saya saat itu. Betapa tidak. Selama ini bisa dibilang saya tidak perlu menempuh jarak ratusan meter untuk salat Jumat. Saking berdekatannya, terkadang kita bisa mendengar khutbah masjid lain dari masjid kita. Di kampung belakang tempat tinggal saya, tiap pagi, seusai waktu Subuh sampai jam 5.30-an, saya bisa mendengar tiga pelantang suara dari tiga masjid yang berbeda.

“Soal mbangun masjid, Pak. Saya juga belajar dari Bapak yang punya keinginan membangun seribu masjid. Bagaimana ceritanya, Pak?”

“Jadi gini, pak Slamet. Tadinya cita-cita saya cuma lima masjid. Suatu hari saya seperti mendapat tantangan dari Allah. Jangan cuma lima, seribu. Gitulah kira-kira bisikan batin saat itu. Maka saya jadikan program pembangunan seribu masjid sebagai kewajiban saya.”

“Kriteria pemilihan lokasinya gimana, Pak?”

“Macem-macem. Ada yang di kolong tol, ada pula yang di tempat tak terduga. Itu pak Slamet tahu Taman Suropati Menteng, kan? Bertahun-tahun tidak ada masjid di sekitar situ. Para pekerja pada bingung kalau mau salat berjamaah, sementara mereka tidak bisa terlalu lama ninggalin pekerjaannya. Saya sudah berusaha ngurus perijinan tapi nggak beres-beres. Eh, lha kok pos polisi di situ roboh. Lama terlantar, sekitar delapan bulan, bangunan itu tidak terurus. Lalu saya didatangi aparat pemerintah setempat. Mereka bertanya, apa saya mau memperbaiki pos polisi itu? Saya jawab dengan pertanyaan, boleh nggak sekalian saya bangunkan masjidnya juga? Barulah masjid di sana terbangun.”

“Ijin berbagi pengalaman juga, Pak. Seperti kita tahu, Islam di Jawa ini kan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Maka bisa dimaklumi kalau usia masjidnya juga sudah tua. Nah, selama ini saya suka ketitipan proposal rehab masjid dari tetangga di Wonogiri sana. Salah satunya yang sedang berlangsung adalah Rehab Masjid Tua Dari situ biasanya saya buatkan penggalangan dana di kitabisa.com serta saya sebarkan ke teman-teman melalui medsos. Saya jadi punya kesimpulan bahwa seseorang yang sudah punya niat bersedekah kadang masih perlu diketuk pintu rumahnya agar niat tersebut terealisasi. Nah, alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi pengetuk pintu itu, Pak.”

“Betul, pak Slamet. Itu bagus sekali. Banyak orang yang menjadikan harta sebagai tujuan akhir. Padahal harusnya harta itu hanya sebagai sarana. Untuk mendapat kemuliaan di mata Allah.”

Obrolan kami masih berjalan seru saat saya mendapat kode untuk segera beranjak. Menteri Keuangan akan masuk ke ruangan ini. Ada perasaan yang masih menggantung karena saya harus berpisah dengan sosok yang baru saya kenal tersebut. Beliau akan menjadi narasumber kami dan saya tak bisa lagi ngobrol dengannya.

Usai acara, pak Jusuf Hamka tak langsung beranjak. Beliau mampir ke warung dadakan yang kami gelar di selasar aula. Saya mengamatinya dari kejauhan. Pengusaha jalan tol itu tampak membeli beberapa barang tanpa banyak cakap. Dua asisten mendampinginya. Usai bertransaksi, mereka bertiga berjalan menuju arah luar. Saya mencegatnya.

“Pak Jusuf, mohon berkenan makan siang dulu.”

“Wah, nggak usah pak Slamet, ngeprotin.”

“Lho tidak, Pak. Bapak kan tamu kami, jangan sampai kami jadi tuan rumah yang dzalim karena tidak menjamu tamu. Tapi mohon maklum nggih, Pak. Menunya ala pemerintah.”

“Ya sudah kalo gitu, saya makan.”

Saya mengiringinya sampai pintu ruang makan VIP. Demi melihat sajian nasi liwet, wajah pria berusai 65 tahun itu tampak ceria.

“Waaah, nasi liweeeet. Kesukaan saya ini.”

“Siaap, monggo, Pak. Saya tinggal ya, Pak. Selamat makan, saya ijin hande pak Tung Desem dulu.”

Kepada seorang pejabat pimpinan tinggi madya yang saya kenal baik, pak Jusuf saya arahkan. Mereka lekas berbincang akrab. 

Selain pak Jusuf Hamka, pak Tung Desem Waringin jadi salah satu narasumber acara kami tadi. Sebelum acara dimulai, saya juga yang menemaninya di ruang tunggu utama. Motivator handal itu banyak memberikan masukan soal cara memasarkan pajak. Saya mencari GM-nya pak Tung Desem Waringin. Sosok yang saya cari berada di sisi selatan aula

“Mas, pak Tung mana? Ayuk diajak makan.”

“Wah, beliau langsung ke bandara, Pak. Mau nyekar ibunya di Solo.”

 “Lho, pak Tung itu priyayi Solo?”

“Iya, Pak. Asli Solo.”

“Walah, tau gitu saya tadi ngobro sambil bawa-bawa nama Solo. Siapa tahu nyambung… haha. Ya sudah, Njenengan silakan makan, ya. Saya tak balik ke ruangan VIP.”

Saya tak benar-benar kembali ke ruangan itu, tapi hanya duduk di ruang tunggunya. Kepada salah satu staf, saya bilang, “Rin, nanti tolong fotoin aku sama pak Jusuf, ya. Pakai hape kamu aja.”

Tak berapa lama pak Jusuf beranjak keluar. Atasan saya mendampinginya. Saya menyongsong mereka. Memanfaatkan jeda waktu, saya minta ijin untuk berfoto bersamanya.

“Saya pamit, Bapak dan Ibu. Tidak usah diantar ke bawah,” pintanya.

Bukan tuan rumah yang baik pula jika kami tak mengantarnya ke pintu. Dan lagi-lagi saya yang mendapat kesempatan baik itu.

Sejam berbincang dengan pak Jusuf Hamka bak mengarungi telaga ilmu. Beberapa bagian tidak saya tulis karena alasan tertentu. Selebihnya saya belajar menjadi manusia darinya.

Saya dan Jusuf Hamka. Ternyata beliau lebih tinggi daripada saya


Jakarta, 25 Maret 2022