Sunday, December 12, 2010

Kita Cuma Butuh 3 Menteri

Bangunan itu lebih menyerupai tempat tinggal dibandingkan kantor.. Terletak di dekat sebuah perempatan besar di Bandung, berhalaman luas nan asri, berjejer tunggangan kelas atas..
Pria itu sudah demikian berumur, di atas 70 tahun, dengan bersahaja menyambut kami. Raut mukanya, sapa pertamanya terdengar datar, bahkan tidak ramah. Satu persatu nama kami ditanya. Lalu obrolan cepat sekali mengalir, bahkan terasa terlalu cepat. Sambil tak hentinya isapan rokok kretek dia lakukan.
Topiknya seputar permasalahan besar bangsa ini, yang entah kenapa pagi tadi terdengar ringan beliau sampaikan. Bahwa negara ini cuma butuh tiga menteri, Perdagangan, Pertanian dan Keuangan.
* Perdagangan untuk mengatur tata niaga kebutuhan pokok yang belakangan semakin dikuasai oleh ritel asing dan pengusaha berkapital besar, hingga semakin tersudutlah para pedagang tradisional.
* Pertanian untuk menyadarkan kita bahwa negeri ini adalah negeri paling subur di dunia, tapi mengapa kini harus mengimpor kedelai dan sejenisnya. Hal yang tidak terjadi, bahkan ketika kita belum merdeka dulu..
* Keuangan untuk mengatur suku bunga kredit, agar para usahawan menengah dan mikro yang nota bene tahan terhadap bada resesi ekonomi dapat leluasa mengembangkan usahanya...
Tanpa terasa obrolan sudah berlangsung satu jam lebih. Ku lihat itu adalah batang ke tiga rokok kretek yang dia habiskan sepanjang obrolan kami. Di umurnya yang 74 tahun dia juga berkata masih pede makan gulai kambing tanpa takut efeknya. Demikian juga dengan hobi nyetir kendaraannya sendiri, nyaris tanpa sopir.
Deretan foto di dinding menunjukkan jejak tamu yang pernah dia temui dan berkunjung ke sini. Mulai dari petinggi republik ini sampai presiden World Bank, ya.... presiden Bank Dunia... Beberapa penggal cerita tentang intrik politikpun dia singgung, lugas dan terdengar ringan, tanpa meninggalkan prasangka.
Satu hal yang tidak ku temui dari ruangan kerjanya adalah atribut partai....!
Obrolan kami sudahi karena perjalanan kami harus berlanjut ke kebun dia. Tiga pegawai negeri "rendahan" ini dia antarkan sampai depan mobil dinas kami. Sungguh pria yang hangat...
Butuh waktu hampir satu jam untuk mencapai kawasan perbukitan Cicalengka, sampai akhrinya sebuah gerbang dibukakan untuk kami. Sebuah "dunia lain" terpampang di depan kami. Bentangan tanah puluhan hektar yang ditanami cengkeh dan durian menaungi perjalanan kami ke sebuah rumah peristirahatan yang tertata apik. Air sedemikian deras mengalir tanpa putus. Di kolam ratusan ikan bawal menyambut pelet yang ditebarkan penjaga rumah. Hawa kesejukan langsung merasuki dada kami.
Sang penjaga berujar bahwa ini adalah milik pribadi yang tidak pernah dikomersialkan. Terihat puluhan ekor kijang sengaja diternakkan. Di setiap sudut lahan terlihat kolam ikan yang melimpah penghuni...
Aku jadi bertanya dalam hati, apa masalah terberat Bapak tadi hari ini.....

06A

Malam telah beranjak larut ketika kawasan UKI Jaktim ku tapak. Mikrolet 06A jadi pilihan terbaikku untuk melanjutkan perjalanan pulang dari kantor. Gerimis tipis mungkin yang membuat angkot kami malam itu hanya kami tumpangi berdua dengan seorang Ibu separuh baya. Sopirnya masih muda, menyetir dengan gaya balap liar, belok kiri kanan, menyiasati jubelan angkot yang saling berebut penumpang. Seolah tiada begitu peduli dengan keselamatan penumpangnya, Sang Sopir memacu kencang kendaraan uzur menembus rute UKI - Cililitan yang hanya berjarak 2 km an.
Gaya menyetirnya pun tidak berubah ketika tiba-tiba dia menghentikan kendaraannya di depan tukang duku Palembang. Setengah kilo duku dia beli malam itu. Dengan intonasi yang tulus dan sopan, kami berdua ditawarinya. Tentu dengan halus pula kami menolaknya.. Qlihat dia melahap duku itu dengan semangat.. Ah... jangan-jangan itulah makan malamnya..
Sejurus kemudian perempatan Cililitan sudah tampak di depan mata. Antrian panjang kendaraan di lampu merah yang disebabkan oleh badan jalan yang dipakai berjualan makanan membuat kami harus rela menempuh jarak yang tinggal sedepa menjadi lama. Sebelah kanan kami jalur Trans Jakarta tampak lengang, dan itulah yang menggoda Sang Sopir untuk melaluinya. Hanya perlu waktu sekian detik untuk mencapai perempatan tersebut. Lampu merah sedang berwarna merah pula.... dan hanya perlu waktu sekian detik pula bagi Polisi di balik pos jaganya untuk menilang angkot kami. Sang Sopir hanya sempat menggerutu, "Ah Bapak... kan sudah malam, masak ditilang juga...?"
Sembari turun mengakhiri perjalananku tak bisa qtahan senyum getir ini...

Nyawa Kita Cuma Satu

Teman, tulisan ini aku buat kurang 20 jam setelah kejdian tragis yg terjadi di depan mataku...
Sore kemarin, Selasa 31 Agustus 2010, aku pulang "tepat waktu". Istilah yang terpaksa ku kasih tanda petik, mengingat aku jarang pulang tepat waktu ketika jam kantor berakhir. Ku seberangi jalan Gatot Subroto, sekaligus ku tau arah dari Semanggi ke Cawang padat merayap, baik di jalan tol dalam kota maupun di jalan arteri. Syukurlah, tidak sampai 10 menit menunggu, bus trayek Grogol Kampung Rambutan itu datang. Dengan langkah gempita ku sambut kedatangannya. Bayangan bisa tiba di rumah sebelum waktu buka menyingkirkan ketidaknyamanan berdiri berdesakan dan pengapnya angkutan umum ini. Untunglah ada kesempatan masuk tol di gerbang Semanggi II, karena kulihat jalan arteri nyaris tak bergerak.
Tidak sampai 20 menit perjalanan kami di tol dalam kota berakhir. Sempat kami temui insiden kecil, bus antar kota antar propinsi tampak berhenti di jalur tengah tol karena kaca spion kirinya pecah tersenggol truk yang menyalip dari sisi kiri. Bus kami menurunkan penumpang yang mau melanjutkan perjalanan dengan kereta api dari Stasiun Cawang. Herannya bus menurunkan penumpang di jalur kanan jalan arteri, bukan di Halte Indomobil. Terpaksalah para penumpang menyeberang jalan di tengah arus lalu lintas yang ramai lancar. Di antara penumpang yang turun kulihat seorang ibu muda yg tampak lelah menggendong anaknya. Rada miris aku melihat pemandangan itu. Ah, semoga rombongan kecil itu bisa nerusin perjalanannya dengan aman.
Persimpangan Otista Raya baru terlewati setelah menurunkan beberapa penumpang. Laju bus agak tersendat memasuki mulut terowongan Cawang atas. Kepadatan lalu lintas dan simpang susun Cawang menjadikan sore ini, seperti sore yang lalu, senantiasa padat merayap. Sudah tidak jelas lagi mana kendaraan yang mau ke arah Bandara Halim/Cikampek, mana kendaraan yang mau ke arah Tj. Priok. Pun demikian dengan bus kami yang akan menuju ke arah Kp. Rambutan dengan enteng masih melaju di lajur tengah yg memang rada longgar.
Terowongan Cawang atas baru saja kami lewati. Sopir bus bersiap pindah ke lajur kiri. Di depan kami didominasi oleh sepeda motor. Tampak seorang ibu2 separuh baya mengendarai Honda Vario warna hitam, tepat didepan bus kami. Laju bus kami terpaksa melambat, lurus, tak berbelok. Sepeda motor itu bergeser ke kiri, ups....nyaris tertabrak bus kami. Kami terkesiap, beberapa penumpang mengaduh, mengingatkan sopir. Anehnya sopir sama sekali tidak mengurangi laju bus, tidak bergeser lajur. Sama sekali tidak, lurus pada lajur semula...... Sampai beberapa detik berselang, brak!!!! Suara motor terjatuh keras terdengar. Kami semua menjerit, keras, geram, pasrah. Bayanganku ttg korban jiwa langsung memenuhi pikiranku.
Seperti ada yg mengkomando, puluhan pengendara sepeda motor menghadang bus kami. Beratus sumpah serapah, ancaman, hujatan, memaksa sopir segera meminggirkan busnya. Reflek aku ikut turun, bergegas berjalan ke arah kejadian. Sayup2 kudengar rintihan ibu itu. "Sakiiiit....kaki saya sakitttttt....tolong.....!" Tanpa dikomando kami segera membentuk formasi menolong. Waktu sdh menunjukkan pukul 17.50 WIB ketika aku beralih ke ojek langgananku menuju rumah....

Rabu, 1 September 2010
7:15 WIB, itulah waktu absenku hari ini. Ajudan Dirjen sdh mengirim jadwal liputan Dirjen hari ini. Dimulai dari pasar murah pukul 08:00 WIB di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, dilanjutkan dengan rangkaian rapat di Komisi XI dan buka puasa bersama.
Agak terburu-buru aku mengemudikan mobil dinas ke jalan Otista Raya, tempat acara pasar murah berlangsung. Untunglah rute ke arah Cawang relatif lengang karena bukan jam pulang kantor. Suara tabrakan kemarin sore masih menghantui pikiranku. Tinggal seperminuman teh waktu perjalananku, sekonyong-konyong ajudan ngasih kabar kalau acara batal. Dirjen juga sudah kembali ke kantor lagi. Segera ku putar balik kendaraanku yg sudah terlanjur masuk ke jalan Otista Raya. Persimpangan Cawang atas lancar kulewati. Menara Saidah, gedung megah yang kosong melompong tanpa penghuni baru saja ku lewati. Waktu baru menunjukkan pukul 08.00. Sepanjang jalan MT. Haryono, dari Menara Saidah sampai menjelang perempatan Pancoran sepeda motor dibuatkan lajur khusus dengan pembatas berupa deretan kun yang disambung dengan tali rafia. Nyaman, pikirku...karena aku hanya perlu konsentrasi dengan mobil lain, tidak dengan motor, karena mereka sdh dibuatkan lajur tersendiri. Tapi apa mau dikata, harapan tinggal harapan... Kenyaman yang sempat terbayang sirna sudah. Beberapa pengendara sepeda motor rupanya sangat diuntungkan dengan longgarnya lajur mobil, karena sebagian besar motor beralih ke lajur khusus.
Hmmmm, tidakkah kita sadari bahwa nyawa pemberian Tuhan itu cuma satu? Dan aku yakin, nyawa itu tidak boleh disia2kan, hanya karena mengejar kecepatan. Apalagi sambil merampas hak orang lain....
Sekian.