Tuesday, June 25, 2013
Monday, June 24, 2013
Pasta Gigi dan Pengunjuk Rasa (Catatan satu hari bersama mereka)
Ide
itu muncul tiba-tiba, ketika gulita malam mengantar pergantian hari, malam
Senin lalu. Besok Jakarta akan dikepung unjuk rasa besar-besaran, menolak
kenaikan harga BBM. Besok DPR akan bersidang paripurna, salah satu topiknya
adalah membahas usulan pemerintah tentang kenaikan harga BBM. Pikiran saya cuma
satu, pasti pengamanan di gedung itu akan super ketat. Polisi pasti akan siaga
I. Cocok, pikirku. Perintah atasan beberapa hari lalu untuk mencari bahan iklan
DJP di media cetak dengan tema hari Bhayangkara-lah yang merangsang ide saya
tadi. Besok saya harus ke sana.
Malam
itu saya langsung kirim BBM atasan
saya. Saya tak peduli jam berapa, karena saya tahu dia tak masalah dengan hal
itu. Sayang, chat saya bertanda
silang merah, langganan BIS dia
sedang purna. Ya sudahlah, besok pagi saja saya minta arahan.
Senin
pagi, seperti biasa, koran pagi yang harus kami baca bak uang rapelan. Wajar,
koran hari Sabtu, Minggu dan Senin datang berbarengan, termasuk beberapa
majalah mingguan. Sembari mencari berita untuk bahan kliping Pamorku, saya
minta arahan atasan. Jawabnya sederhana, laksanakan.
Saya
bergegas mengemasi peralatan. Kamera EOS 5 D Mark II, flash, dan 3 lensa saya masukkan dalam tas ransel. Saya pernah
menimbang tas dengan komposisi seperti itu, beratnya 6,9 kilogram. Saya juga
berganti busana, baju biru saya tanggalkan, juga sepatu pantofel. Saya sudah
membawa kaos oblong biru, rompi Nikon dan sepatu kets; itulah yang kemudian
saya kenakan.
Pukul
09.00 WIB.
Saya
pun berangkat ke Senayan. Tadinya saya berencana naik bus saja. Agak lama saya
menunggu, bus tak lewat juga. Jalan Gatot Subroto depan kantor mulai dipenuhi kendaraan,
tersendat di simpang Semanggi sana. Saya lantas mencari ojek di samping Plasa
Mandiri. Dua puluh ribu rupiah, tak bisa ditawar lagi. Terlalu mahal untuk
mengantar sejauh 3 kilometer. Apa daya, saya tak punya pilihan lain.
Sepanjang
jalan saya menjumpai ratusan orang berjalan kaki menuju arah yang sama dengan
saya, gedung DPR/MPR. Mereka membawa bendera atribut serikat pekerja. Wajah
mereka diolesi entah zat apa, berwarna putih. Saya berpikir, masak iya sih
pengunjuk rasa itu memakai sun block?
Ganjen amat...
Hanya
perlu waktu lima menit untuk tiba di sana. Tukang ojek kaget ketika saya bilang
bahwa saya mau meliput unjuk rasa. Dia sempat berpesan agar saya hati-hati,
wartawan sering jadi sasaran massa, katanya. Saya abaikan saja, toh saya bukan
wartawan.
Saya
langsung menuju kerumunan ribuan orang di depan gedung itu. Gedung itu mempunyai
dua gerbang besar berdampingan dan satu pintu kecil khusus pejalan kaki di
sebelah timurnya. Dua gerbang besar tertutup rapat, sedangkan pintu pejalan
kaki dibuka, tetapi setiap orang yang masuk harus menunjukkan kartu identitas.
Di depan gerbang sebelah timur berjajar tiga mobil lengkap dengan sound system. Beberapa orang berdiri di
atas mobil tersebut, berorasi.
Mereka adalah kelompok buruh. Di gerbang sebelah
barat ratusan mahasiswa juga berorasi tak kalah serunya. Jumlah mereka hanya
ratusan, sementara jumlah buruh ribuan. Kelar mengambil beberapa jepret foto
dari luar pagar, saya masuk lewat khusus pejalan kaki tersebut. Obyek foto
buruan saya ada di dalam sana.
Di
dalam pagar suasana tenang. Ratusan polisi duduk santai. Puluhan kendaraan
taktis mereka terparkir rapi di halaman gedung, menghadap ke arah masa. Jarak
dengan pagar sekitar 150 meter. Di sisi dalam pagar tak ada satu polisipun
siaga. Massa dibiarkan berorasi sebebasnya. Mereka hanya menggelar tameng fiber
glass berwarna bening di depan pagar. Tergeletak begitu saja, rapi, simetris,
tak ditunggui.
Saya lantas keliling dari satu sudut ke sudut lain, memotret
kendaraan taktis mereka. Saya juga ngobrol dengan polisi berbaret biru tua.
Rupanya mereka dari kesatuan Brimob yang bermarkas di Kedung Halang, Bogor.
Mereka bercerita bahwa pukul 04.50 WIB tadi pagi mereka sudah berangkat dari
markas menuju sini.
Pukul
12.00 WIB
Tak
terasa, waktu sholat Dhuzur telah tiba. Polisi itu pamit pada saya. Rupanya
nasi kotak sudah menunggu mereka. Pemimpin buruh mengumumkan bahwa mereka akan
jeda orasi.
"Rekan-rekan
sekalian, kita akan rehat untuk sholat dan makan siang. Kita sholat di sini,
makan di sini. Tukang teh botol tolong jangan naikin harga, kalau perlu kami di
kasih diskon.
Adzanpun
dikumandangkan dari atas mobil. Senyap setelahnya. Saya terharu dengan suasana
itu.
Saya
lantas beranjak ke kantin DPR/MPR di samping masjid. Jaraknya lumayan jauh,
sekitar 500 meter dari halaman depan. Gerimis tipis mulai turun. Yap, cuaca
Jakarta sedari pagi memang berawan tebal. Saya bahkan kehujanan di Pancoran
ketika berangkat ke kantor tadi.
Pukul
13.30 WIB.
Saya
kembali ke halaman gedung. Orasi rupanya sudah dimulai lagi. Mahasiswa juga
mulai membakar ban. Dua kubu itu bak berlomba-lomba berteriak, mengklaim
mewakili pihak yang sama, rakyat. Entah rakyat yang mana.. Tak banyak perubahan
di dalam halaman. Polisi masih santai berjaga. Kondisi berbeda terjadi di luar
halaman. Kerumunan massa kian membludak. Beberapa orang memanjat pagar setinggi
8 meter itu. Mereka memasang bendera atribut serikat mereka. Juga
spanduk-spanduk bernada protes keras.
Saya perhatikan kubu buruh lebih kreatif
dalam berunjuk rasa. Di sela pergantian orator, mereka menyetel lagu-lagu Iwan
Fals yang berjudul Wakil Rakyat dan Merah Putih-nya Coklat. Mereka juga
menari-nari dengan gerakan yang seragam. Sementara kubu mahasiswa lebih
provokatif. Selain membakar ban, teriakan-teriakan mereka juga amat kasar. Anjing,
bangsat, dan sejenisnya jadi diksi untuk mengumpat penguasa.
Pukul
15.00 WIB.
Orator
buruh kembali mengumumkan waktu sholat Ashar telah tiba. Saya beranjak keluar
pagar. Saya bosan dengan suasana di dalam halaman, itu-itu saja. Polisi tak
menampakkan tanda-tanda peningkatan gerakan.
Di
luar pagar suasana kian sesak. Saya sampai susah bergerak. Di sebelah timur
mobil orator sekelompok kecil massa sedang mengadakan aksi teatrikal. Puluhan
orang dengan santai duduk di atas pagar pembatas tol setinggi 3 meter itu. Saya
sebetulnya ingin memanjat juga, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya saya
masuk ke lingkaran inti pengunjuk rasa kubu buruh. Mereka sedang meneriakkan
yel-yel dengan penuh semangat. Puluhan orang menari sembari berputar
mengelilingi mobil itu. Jalanan dan trotoar becek bekas gerimis tadi.
Stigma
unjuk rasa yang selama ini adalah anarkis tak saya temui di sini. Saya merasa
aman-aman saja berada di tengah-tengah mereka. Name tag Ditjen Pajak tetap saya kalungkan di leher meskipun memang
agak saya samarkan. Saya bebas bergerak ke sisi manapun. Mereka juga tidak
merasa terganggu dengan aktifitas para pewarta foto.
Kembali
perut saya didera rasa lapar. Saya lantas menyambangi tukang buah yang
berjualan di tengah jalan. Puluhan pedagang makanan dan minuman berada di sini.
Tak hanya itu, penjual gadget pun
ada, bahkan penjual raket bulu tangkis. Hebatnya lagi ada pembelinya.
Ajang ini
sudah bukan murni ajang unjuk rasa lagi, telah berubah menjadi ajang transaksi
jual beli. Ah, semoga di ruang Nusantara 2 tempat rapat paripurna digelar tidak
ikut-ikutan menjadi ajang transaksi politik.
Sembari
mengunyah sepotong buah pepaya saya mengamati kubu mahasiswa. Beberapa orang
mahasiswa sedang memanjat gerbang halaman. Mereka mencopoti bendera
perkumpulannya. Lalu mereka mengemasnya dalam mobil dan beranjak. Sesaat
berikutnya rombongan mahasiswa lain datang, dari kelompok yang berbeda. Mereka
lantas menggelar orasi. Saya baru menyadari, rupanya unjuk rasa ini juga
mengenal sistem shift. Mereka rupanya
tidak datang sekaligus pada saat yang sama, tetapi ada yang datang belakangan.
Pantaslah energi mereka tak habis-habis.
Kali
ini oratornya adalah seorang mahasiswi berkerudung. Suaranya lantang.
Kalimatnya lebih provokatif bahkan penuh hujatan dan makian. Beberapa jenis
binatang yang diharamkan umat Islam dengan lugas dia pakai untuk menganalogikan
kebejatan penguasa. Saya bergidik mendengarnya.
Pukul
17.00 WIB.
Saya
sambangi lagi masjid DPR/MPR di samping gedung komisi. Seperti biasa, setiap
saya sholat di sini, masjid ini selalu sepi. Jamaahnya para sopir, polisi,
satpam dan para staf DPR/MPR. Saya belum pernah menjumpai anggota DPR/MPR
sholat berjamaah di sini. Ah, mungkin mereka lebih mengutamakan kepentingan
rakyat daripada kepentingan pribadi mereka, sholat berjamaah. Penat melanda.
Gerimis tipis kembali mendera. Saya sempat berbaring sejenak di serambi masjid
sebelum akhirnya kembali ke arena.
Pukul
18.00 WIB
Senja
telah menjelang. Orator seperti tak kehabisan bahan. Massa masih tetap
bertahan. Di ruang sidang wakil rakyat masih kukuh berdebat. Adzan magrib
lagi-lagi berkumandang dari kubu buruh, bukan dari kubu mahasiswa. Saya lantas
mencari mushola yang dekat dengan pintu gerbang, bukan ke masjid samping gedung
DPR. Beberapa anggota kepolisian bergantian sholat di mushola yang sejatinya
adalah pos mereka.
Kelar
sholat magrib saya kembali ke dekat pintu gerbang.
18.30
WIB
Sebuah
mobil bak terbuka milik kepolisian mendekat ke pintu gerbang kubu buruh. Di
atas kapnya terpasang dua pengeras suara. Di bak belakangnya berdiri seorang
polisi berpangkat perwira menengah memegang gagang mic.
"Saudara-Saudara
sekalian, atas nama undang-undang kami minta Saudara membubarkan diri karena
sudah melampaui batas waktu unjuk rasa."
"Pak
polisiiiiiii....jangan berisik. Beberapa dari kami sedang sholat!!!!"
"Baik,
kami menahan diri."
Mobil
itu lantas undur diri. Anehnya orator itu kembali berteriak-teriak, tak peduli
beberapa temannya sedang sholat.
Perut
saya kembali disapa rasa lapar. Saya lantas berniat keluar gerbang. Satpam menahan
saya.
"Mau
kemana, Pak?"
"Cari
makan, Mas."
"Sebentar
lagi pintunya mau dikunci lho, Pak. Nanti Bapak nggak bisa masuk lagi."
Saya
mengurungkan niat. Pencarian makan saya berlabuh ke kantin dekat mushola. Nasib
sial, nasi dan lauknya habis. Saya lantas mendekati pagar sebelah timur pintu
pejalan kaki. Saya ingat tadi sore banyak pedagang makanan dan minuman
berjualan dekat pagar itu. Benar saja, di dekat trotoar ada penjual minuman,
bakso dan mie ayam. Saya lantas memesan bakso dari balik pagar. Di sekitar sini
ribuan massa masih bertahan. Mereka duduk-duduk di trotoar hingga tengah jalan.
Pesanan saya datang tak lama kemudian. Saya geli sendiri, mangkok bakso ini
ternyata tak bisa menerobos sela-sela pagar besi. Jadilah saya makan dari balik
pagar dengan mangkok bakso berada di luar pagar. Belum selesai saya makan bakso
tiba-tiba massa bergolak. Mereka berlarian menjauhi pintu gerbang. Puluhan
pedagang juga bergegas mendorong berobaknya ke arah Semanggi. Saya gugup,
penjual bakso itu mendatangi saya.
"Makannya
belum selesai, Mas?"
"Iya,
Pak. Sebentar ya."
Saya
segera menyendok bakso itu dengan susah payah. Pagar besi ini menghalangi
keleluasaan gerak tangan saya.
Pukul
19.00 WIB.
Sekembali
dari makan bakso, suasana halaman gedung DPR/MPR berubah. Pasukan Brimob yang
sedari tadi duduk santai, kini telah membentuk formasi siaga. Mereka merapatkan
barisan, perisai fiber glass bercat
hitam telah tersandang. Mereka membentuk barisan rapat. Di belakangnya pasukan
pemegang senapan gas air mata siap sedia. Peluru telah terisi, siap
ditembakkan. Water canon kukuh
berdiri di barisan paling depan. Suasana mencekam.
Tiba-tiba
suasana yang tadinya diam mencekam berubah menjadi gaduh. Lemparan batu sebesar
kepalan tangan saya, datang dari arah kubu mahasiswa. Mereka juga
menendang-nendang pagar dan melemparinya dengan batu. Polisi tidak bereaksi
apa-apa. Diam dan siaga. Jarak polisi ke pagar sekitar 50 meter saja.
Di
kubu buruh suasana amat berbeda. Gerbang itu malah dibuka. Buruh duduk
menghadap gedung DPR/MPR. Di seberangnya, dalam jarak hanya 4 meter, satu kompi
pasukan Sabhara Polda Metro Jaya juga duduk bersila. Di belakang mereka mobil water canon juga siap sedia. Saya lantas
keluar halaman melewati gerbang yang terbuka itu. Di luar halaman, di kubu
buruh, suasana tenang-tenang saja. Beberapa polisi berseragam bahkan tampak
asyik mengobrol dengan para pengunjuk rasa. Kedewasaan memang bukan faktor usia
semata, tapi malam ini para buruh yang memang sudah relatif lebih berumur
dibandingkan mahasiswa, bersikap lebih dewasa.
Pukul
19.45 WIB.
Saya
kembali ke dalam halaman. Pasukan Brimob yang tadi mengambil posisi siaga
ditarik mundur. Mereka kembali menjauh dari gerbang. Sebagai gantinya seorang
perwira polisi mendekat ke arah gerbang kubu mahasiswa. Dia membawa portabel speaker, mengajak mahasiswa
berdialog.
"Hadirkan
presiden ke sini!!!"
"Saudara-saudara,
jelas itu tak mungkin."
"Ah....dasar
polisi antek penguasa."
Dialog
itu kembali buntu. Perwira itu kembali mundur. Ketika dia berjalan menjauh
tiba-tiba lemparan batu menyerangnya. Ah, untunglah tak ada yang mengenainya. Perwira
itu hanya berkata,
"Rekan-rekan
mahasiswa, mari kita jaga etika. Kepala saya sudah biasa kena batu, sudah biasa
bocor."
Hujan
batu itu mereda. Saya lantas duduk di belakang barisan Sabhara Polda Metro Jaya
yang masih duduk bersila. Saya amati pasukan ini rata-rata berusia jauh di
bawah saya. Di sebelah saya sekelompok polisi berpakaian preman tampak
kasak-kusuk. Mereka juga sibuk berkomunikasi menggunakan radio panggil. Saya
duduk membelakangi kubu mahasiswa. Tas punggung kamera tetap saya sandang, bodi
kamera saya pegang dengan kukuh. Firasat saya mengatakan sesuatu sedang
terjadi.
Pukul
20.05 WIB.
Duar!!!
Duar....!! Duar...!!!! Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan persis di papan nama
gedung ini. Serentetan petasan roket menyerang barisan Brimob dari arah kubu
mahasiswa. Saya pontang-panting menyelamatkan diri. Berbarengan dengan itu mereka
juga melemparkan batu ke arah kami. Suasana berubah dalam sekejap, kacau balau.
Lantas terjadilah perang petasan roket. Polisi rupanya membalas mahasiswa
dengan petasan roket juga.
Pasukan
Sahbara yang tadi duduk bersila tiba-tiba berdiri, balik kanan, mundur ke
belakang. Pasukan Brimob yang tadi duduk santai tiba-tiba sudah berdiri di
depan tempat saya duduk. Mereka membentuk formasi menyerang. Mobil water canon di kubu mahasiswa
menyemprotkan air bertekanan tinggi. Massa mahasiswa kocar kacir. Mereka lari
lintang pukang ke arah Slipi.
"Resimen,
maju!!!!" teriak komandan lapangan.
"Resimen!!!"
sahut pasukan Brimob serentak dan membahana.
Saya
bergidik.
Maka
pergolakan pecah dengan segera. Pintu gerbang kubu buruh diterjang Brimob.
Buruh dihalau dengan pengeras suara agar mundur ke arah Semanggi. Buruh tak
melawan. Mereka segera mundur.
Mobil
water canon memburu mahasiswa. Gas
air mata lantas ditembakkan. Suara senapan itu menyalak, suaranya mengerikan.
Saya ragu untuk melangkah. Kepala saya tak terlindung apa-apa. Lain dengan para
pewarta foto. Mereka memakai helm. Keraguan itu segera saya tepis. Saya berlari
di belakang pasukan Brimob. Mobil taktis baracuda
tepat di samping saya. Di atas bertengger seorang penembak gas air mata.
Tak
sadar posisi saya sudah di samping gedung Manggala Wana Bhakti. Pasukan
diperintah berhenti. Saya menepi. Mata saya pedas, tenggorokan saya kering.
Saya bersin-bersin.
Di
kegelapan, beberapa pewarta foto tengah sibuk memencet-mencet sesuatu. Lantas
mereka mengoleskan pasta itu ke daerah sekitar mata. Saya penasaran dan
mendekat.
"Buat
apa itu, Mas?"
"Biar
nggak pedes matanya, Mas. Nih, mau?"
Saya
lantas menerima kemasan lunak itu. Saya pencet-pencet tak keluar isinya, sudah
hampir habis.
"Robek
aja pake gigi, Mas."
"Pahit,
nggak?"
"Nggak
kok, wong itu odol."
Saya
tersenyum geli. Rupanya pasta gigi inilah yang tadi siang saya kira sun block. Pengunjuk rasa dan pewarta
foto rupanya sudah mengantisipasi efek gas air mata dengan mengoleskan pasta
gigi di sekitar kelopak mata.
Dengan
susah payah saya berhasil merobek kemasan pasta gigi itu. Begitu berhasil,
segera saya pencet untuk mengeluarkan isinya. Wajah saya lantas saya olesi
pasta gigi yang tinggal secuil itu. Sensasinya luar biasa. Sekejap kemudian
hawa sejuk menyergap muka saya. Pedih di mata juga sirna dengan segera.
Tenggorokan yang tadinya terasa kering juga kembali segar. Luar biasa. Senjata
ampuh itu penangkalnya amat sederhana, pasta gigi.
Gerakan
pasukan terhenti di sini. Samar-samar saya lihat mahasiswa masih bertahan di
samping fly over Palmerah. Mereka
masih melemparkan batu ke arah polisi. Tapi batu itu tak mampu menjangkau kami,
jarak kami dengan mereka lebih dari 100 meter.
"Kenapa
nggak diburu sampai lampu merah, mas?" tanyaku pada seorang anggota Brimob.
"Kami
kehabisan peluru mas. Lagi dikirim. Tu water
canon juga kehabisan air."
Ah,
ada-ada saja....
Mobil
Suzuki Jimny itu mendekati kami.
"Peluru!!!"
Sontak
beberapa orang membuka pintu belakangnya. Dikeluarkannya peti kecil terbuat
dari kayu. Rupanya itu peti peluru gas air mata. Mereka lantas sibuk
mengutak-utik peti itu, berusaha membukanya. Lama peti itu tak terbuka. Rupanya
alat pembukanya tak terbawa. Saya sempat merogoh kantong celana saya,
menawarkan kunci motor saya untuk membuka peti tersebut. Rupanya peti itu
diklem dengan seng. Mereka lantas memukul-mukul peti itu dengan batu yang
dipungut dari jalan. Batu tersebutlah yang tadi dilemparkan para mahasiswa.
Berhasil, peti itu akhirnya terbuka. Lagi-lagi saya tertawa geli melihat
situasi ini. Inilah Indonesia...
Lama
saya bertahan di sini. Tak ada gerakan apa-apa. Di seberang saya, TV LED besar
menayangkan iklan kopi Top yang dibintangi Iwan Fals. Ah, kawan ini sekarang
sudah jadi bintang iklan. Bukan seorang penyanyi country yang dahulu keras meneriakkan Bongkar lewat lagu pedasnya.
Uang memang mudah mengubah seseorang.
Pukul
21.30 WIB.
"Resimen,
mundur!!!"
"Resimen!!!"
Pasukan
itu dibubarkan. Massa rupanya telah membubarkan diri di perempatan Palmerah.
Saya berjalan beriringan dengan anggota Brimob kembali ke arah gedung DPR/MPR.
"Kalo
akhirnya mau begini, kenapa juga nggak dari jam lima tadi," gerutunya.
"Kembali
ke markas, mas?" tanyaku
"Wah,
tergantung perintah, Pak. Tak masalah kembali jam berapa, yang penting perut
aman."
Kali
ini senyum saya tidak disertai perasaan geli. Demikianlah, apapun urusannya,
sering ujungnya memang perut semata. Seperti malam itu, ketika pukul 23.00 WIB
saya tiba di rumah, maka perut sayalah yang pertama kali saya layani.
Nasi
putih hangat, tahu goreng dingin, orek tempe, petai dan sambal bawang segera
terhidang. Perut saya menggelinjang.
Lapangan
sepak bola Zeni Konstruksi, Srengseng Sawah, 23 Juni 2013, 16:27:56 WIB.
Tuesday, June 11, 2013
Warung Biru
Warung Biru, demikian kami menyebutnya. Belakangan kami menyingkatnya menjadi Waru. Julukan itu kami berikan selain karena dindingnya berwarna biru, juga untuk membedakan dengan Warung Ijo yang letaknya berdekatan. Sosok bangunan berdinding seng itu terletak di mulut gang. Kami menemukannya secara tidak sengaja.
Sekolah di SMA 3 Solo, jauh dari orang tua, memaksa kami bertiga, aku, Kandar, Ibnu untuk mandiri. Sebetulnya bu Broto, induk semang kami menyediakan paket kost termasuk makan 3 kali sehari. Memasuki tahun ke dua, kebosanan melanda kami. Kami memilih makan di luar alias jajan. Konsekuensinya setiap waktu makan kami harus ke warung untuk nyari makan. Untunglah kami sekolah di Solo, kota yang ramah buat kami, anak rantau yang berkantong cekak. Meski begitu, kantong kami sering teramat cekak sehingga warung favorit kami adalah bukan warung yang makanannya enak tapi warung yang harganya murah dan nasinya banyak.
Yang rada merepotkan adalah ketika bulan puasa tiba. Saat sahur kami harus berpacu dengan datangnya waktu subuh. Sebenernya nggak terlalu jadi masalah kalau kami mau bangun lebih awal. Yang sering terjadi adalah kami bangun mepet waktu subuh, sehingga kami senantiasa diburu waktu.
Seperti yang terjadi saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 04.15 WIB. Artinya waktu sahur kami tinggal sekitar 20 menit lagi. Warung Ijo yang selama ini jadi tumpuan kami pasti sudah ludes diserbu pembeli. Kami tetap mengambil rute ke arah Warung Ijo, karena arah itulah satu-satunya kemungkinan kami menemukan warung yang buka saat sahur. Dengan bergegas kami bertiga jalan kaki menyusuri jalan RE. Martadinata, Solo ke arah Kampung Sewu.
Warung Ijo yang menjadi tujuan kami masih 300-an meter lagi ketika sekonyong-konyong pandangan kami bertiga bersirobok dengan sosok bangunan berwarna biru itu. Penerangannya amat minim, hanya neon 15 watt semata wayang. Keberadaannya seolah tenggelam di antara bangunan di kiri kanannya. Di luar warung ada bangku panjang yang sedang diduduki 3 orang sambil merokok. Sepertinya mereka para tukang becak yang habis sahur juga.
Tanpa pikir panjang kami membelokkan langkah ke warung itu. Tata ruangnya amat seadanya, dua bangku panjang tanpa sandaran mepet ke dinding seng. Di depannya terhampar beberapa baskom berisi pilihan sayur, oseng, dan lauk pauk. Terasa sesak mengingat ukurannya hanya sekitar 9 meter persegi. Pelayannya seorang perempuan paruh baya. Ia mengenakan pakaian seadanya, untuk tidak menyebut amat bersahaja. Di belakangnya seorang pria tengah mengelap piring yang habis dicucinya di ember di ruangan ini juga. Saya menaksir mereka adalah pasangan suami istri.
Kami bertiga segera mengambil posisi duduk berjajar. "Dhahar napa, mas? (Makannya sama apa, Mas?)" sapanya kepada kami. Aku yang pertama kali angkat bicara, "Trancam mawon, Bu. (Trancam aja, Bu). Minumnya susu segar, kasih kopi dikit." Menyusul Ibnu dan Kandar pesan menunya masing-masing. Kami segera menyantap makanan cepat saji tersebut mengingat waktu subuh akan segera tiba. Saatnya berhitung dan membayar.
"Berapa, Bu?" tanyaku.
"Lima ratus rupiah, Mas," jawabnya sambil senyum.
Aku sempat tidak yakin dengan angka yang dia sebutkan. Untuk bertanya aku gengsi. Makanya aku sodorkan pecahan lima ribuan kepadanya. Dia sibuk mencari kembalian di antara uang recehan yang dia taruh di kaleng biskuit.
"Monggo mas kembaliannya," katanya sambil menyerahkan empat lembar uang ribuan dan lima buah uang ratusan.
Artinya benar, menu nasi trancam dan susu segar itu hanya seharga lima ratus rupiah. Kandar dan Ibnu juga bengong mengetahui harga makanan mereka sama denganku. Sebagai perbandingan, di Warung Ijo menu serupa harganya seribu rupiah. Tentu saja ada harga yang harus kami bayar. Kami makan berbaur dengan tukang becak dan kejorokan warung seluas 9 meter persegi yang bercampur jadi dapur dan tempat cuci piring.
Tak apalah. Saat itu rasa kenyang adalah segalanya. Pelajaran tentang makanan sehat tak bisa kami terapkan karena sehat itu butuh biaya.
Tak apalah. Saat itu rasa kenyang adalah segalanya. Pelajaran tentang makanan sehat tak bisa kami terapkan karena sehat itu butuh biaya.
Culik
Sore
itu tadinya amat menyenangkan. Saya, kang Saidi, Mukalim, Yoto dan beberapa
teman lain sedang berkumpul di rumah Yoto. Kami sedang berbincang ringan
sepulang mencari rumput untuk pakan sapi dan kambing. Di tangan kami
masing-masing tergenggam sebilah sabit yang biasa kami pakai untuk membabat
rumput liar. Juga sebatang potongan pohon bambu. Di depan kami berderet lem
kertas, kertas sampul, benang jahit dan tambang plastik. Kami sedang membuat
layang-layang.
Sekarang
memang sedang musim angin. Permainan kami bergeser dari mancing ke
layang-layang. Saya perhatikan dalam satu tahun kami bisa memainkan
bermacam-macam jenis permainan, tergantung musim. Jika sedang musim hujan, kami
memilih main air, berenang di cerukan sungai yang kedalamannya sekitar 1,5
meter. Cukup untuk menenggelamkan saya. Kami memakai gedebog pisang sebagai
pelampung. Ketika habis lebaran kami biasanya main wayang kulit dan petasan.
Wayang kulit dari kertas kardus itu kami beli di pasar desa kami. Masing-masing
anak membeli satu tokoh wayang sehingga terkumpullah beberapa tokoh wayang.
Maka tak lama kemudian kami bergiliran menjadi dalang. Di lain waktu kami main
gobak sodor. Permaianan ini konon warisan kompeni. Kami suka bermain gobak sodor
di lapangan bulu tangkis depan rumah saya. Permainan yang tak kalah serunya
tentu saja umbul. Permainan ini mengadu keberuntungan dengan melempar kartu
bergambar tokoh wayang. Tak ketinggalan petak umpet adalah permainan wajib di
waktu yang lain. Saya pernah hampir menangis ketika saya dapet tugas jaga
"ce" (tempat berkumpul). Sampai menjelang magrib tak satupun lawan
saya temukan. Rupanya mereka ngerjain saya. Mereka sembunyi dengan pulang ke
rumah masing-masing dan tak kembali ke "ce'.
Demikianlah
sore itu. Kang Saidi sudah berhasil menyelesaikan layang-layangnya. Demikian
juga dengan yang lain. Tinggallah saya seorang yang ketinggalan. Saya masih
asyik mengikat rangka layang-layang. Saya memang paling tidak pandai
mengerjakan hal-hal yang berbau kerajinan tangan. Bagi saya ini adalah sebuah
pekerjaan sulit.
Sedang
asyik-asyiknya kami menyelesaikan layang-layang kami, mendadak terdengar suara
nenekku.
"Anto,
pulang!"
"Yah,
Mbah.... Kan belum surup (senja)."
"Wis
pokoke pulang. Saidi juga pulang."
"Nanti
ah, Mbah!"
"Weeee....
Kok ngeyel to. Ada culik!!!."
Kami
tertegun. Culik adalah kata yang amat menyeramkan bagi kami. Culik adalah
sebutan bagi orang jahat yang suka menculik anak kecil. Konon katanya setelah
diculik, mata kita akan dicongkelnya. Culik suka berkeliaran di tempat-tempat
sepi. Gerakannya amat cepat sehingga sampai sekarang para tetua kami tak
berhasil menangkapnya. Kami serentak bubar. Saya minta tolong kang Saidi untuk
menyelesaikan rangka layang-layang saya. Kakak sepupu saya ini memang amat baik
hati. Meski umurnya lebih muda daripada saya, saya memanggilnya dengan sebutan
kang. Dia anak pakde saya, kakak ibu saya.
"Besok
sore kita terusin lagi ya," ujarku ke teman-teman sembari kami bubar.
Di
rumah ibu sudah menunggu dengan cemas. Ibu sedang menggendong adik saya yang
paling kecil, Indarto. Dia baru berumur setahun. Adik saya yang lain, Bowo dan
Titik sedang menyantap makan sore mereka, nasi thiwul lauk tempe mentah dan
sambel bawang.
"Laper
nggak, le? Itu makan sama adikmu."
"Iya,
bu..."
"Mau
digorengin telur, To?"
"Nggak
usah, Mbah. Pake tempe sama sambel wae."
Begitulah
nenek dari ibuku ini memperlakukanku. Di saat cucu yang lain cuma makan sama
tempe mentah dan sambel bawang, saya selalu ditawarin lauk yang lebih enak.
Kesendirian saya sebagai anak sulung selama empat tahun telah membuat saya jadi
cucu kesayangannya.
Saya
lantas bergabung dengan dua adik saya. Makan nasi thiwul lauk tempe mentah dan
sambal bawang di sore hari memang amat nikmat. Kadang-kadang sambalnya kami
kasih walang sangit. Walang sangit adalah salah satu jenis belalang yang
habitatnya adalah padi yang mulai berbiji. Ukuran tubuhnya 5 kali ukuran tubuh
nyamuk, tak begitu besar. Aromanya amat tajam dan khas. Ketika disambal,
serangga ini menjelma menjadi perangsang nafsu makan yang luar biasa.
"Habis
makan jangan main keluar lagi yo, le."
"Iya
bu."
"Culik
lagi gentayangan."
Pagi
itu saya berangkat sekolah dengan perasaan yang amat takut. Sekolah saya memang
rada jauh, 4 kilometer dari rumah. Baru 4 bulan saya pindah ke sekolah ini.
Kata bapak, sekolah peninggalan Belanda ini mutunya lebih bagus daripada
sekolah lama saya yang jaraknya hanya 300 meter dari rumah. Lokasinya pun sudah
berada di desa tetangga. Saya harus menyeberangi sungai, melewati bulak
(kawasan yang tak ada rumahnya), bahkan melewati batu besar yang konon kalau
malam banyak hantunya. Sejujurnya saya tidak terlalu suka menjalani ini. Saya
satu-satunya anak dari desa ini yang bersekolah di sana.
Sungai
itu sudah di depan mata. Airnya dangkal saja, karena sedang musim kemarau. Saya
surut langkah. Di seberang sungai jalannya menanjak dan berupa bulak. Di
sebelah kiri adalah sawah luas, sementara sebelah kanannya berupa tebing yang
berbatasan langsung dengan bukit Tenggar. Orang-orang bilang di situlah culik
itu bersembunyi.
"Le....
Anto.....!!!"
Sebuah
suara memanggilku dari seberang sungai. Saya amat kenal dengan pemilik suara
itu, wo Kami. Anaknya sekelas dengan saya, namanya kang Wiyadi.
"Inggih,
Wo..."
"Cepet
nyebrangnya, wo Kami tunggu di sini."
Rupanya
dia paham dengan ketakutan saya. Saya pun segera menyeberangi sungai itu.
"Sana,
samperin kakangmu Wiyadi. Dia masih di rumah. Berangkat ke sekolah bareng wae
yooo... Nanti ada culik."
"Inggih,
Wo."
Saya
bergegas melangkah meninggalkan wo Kami yang sedang menuju sungai untuk
mengambil air. Keluarga ini memang sudah seperti keluarag saya sendiri. Bapak
dan ibu wanti-wanti, kalau pulang kehujanan dan saya tidak bisa menyeberang
sungai karena banjir, saya disuruh mampir ke rumah wo Kami. Benar saja, suatu
hari sepulang sekolah hujan turun dengan lebat. Sungai kecil itu berubah
menjadi lautan air yang tidak mungkin saya seberangi. Saya akhirnya mampir ke
rumah wo Kami. Dengan penuh perhatian dia menyiapkan makan siang buat saya dan
kang Wiyadi.
Pulang
sekolah siang itu saya minta diantar kang Wiyadi sampai pinggir sungai. Kang
Wiyadi memang orangnya pemberani. Badannya juga lebih besar dibanding saya.
Tulangnya keras banget. Kalau sedang main bola dia amat berani beradu tulang
kering dengan lawannya.
Sesampai
di rumah nenek sudah menunggui saya di teras. Wajahnya amat lega melihat
kedatangan saya.
"Bapakmu
itu memang tega, le. Mosok anak sekecil ini disuruh sekolah jauh-jauh. Kalo ada
apa-apa gimana, coba," nenek menggerutu sembari menuntun saya ke dalam
rumah.
"To,
sana ganti baju, makan terus tidur. Nggak usah nyari rumput. Nggak usah main
keluar. Nanti ada culik."
"Iyaaaa,
buuu..."
Perintah
itu tak mungkin saya lawan. Meski ibu dan nenek bukan orang yang galak, saya
malas melawan mereka. Ujung-ujungnya perlawanan saya pasti akan terdengar oleh
bapak. Dan itu amat berbahaya. Saya memilih tak mengambil posisi berhadapan
dengan bapak saya. Berat resikonya.
"Le..le..
Bangun. Sudah sore," nenek membangunkan saya dengan lembut.
"Sana
mandi. Tu kakangmu Dardi sudah nunggu di depan, mau nyuapin kamu."
Saya
sontak bangun. Segera mandi dan berganti pakaian. Rupanya kang Dardi habis
disuruh bapak membantu mencari rumput untuk pakan.
"Sini
To, makan."
"Iyo,
Kang. Tadi waktu nyari rumput ketemu culik nggak, Kang?"
"Enggak,
kalo ketemu mau tak sembelih."
Kakak
sepupu saya ini memang perangainya agak kasar. Tapi dia berubah menjadi pria
lembut ketika menyuapiku, seperti sore ini.
"Culiiiiiik....
Culiiiiiik... Culiiiiiiiik!!!!!!"
Suara
teriakan Yoto mengagetkan kami.
"Ada
apa, To?"
"Iku
Ri, culiknya ketangkep. Lagi diarak di nJarum."
"Serius?!!"
"Iyoooo...
Ayuk nonton."
"Kang
Dardi, makannya udahan dulu yo, nonton culik dulu."
Tanpa
menunggu jawaban kang Dardi saya segera menyusul Yoto yang sudah berlari ke
arah nJarum.
Pos
ronda itu letaknya persis di tusuk sate pertigaan nJarum. Bangunannya sudah
tua, bertembok semen dan beratap genteng, mirip bangunan rumah. Di depan pos
itu sudah berkerumun puluhan manusia, tua dan muda serta anak-anak. Mereka
tengah mengerubungi orang yang diduga culik itu. Rupanya culik itu ditangkap
lantas digelandang beramai-ramai ke pos ini. Tubuhnya diseret dengan paksa,
dimasukkan ke dalanm pos ronda. Pintu keluar pos ronda dipagari manusia,
sehingga dia tak berkutik.
"Mana
culiknya...mana culiknya!!!" teriak kang Dardi yang tiba-tiba sudah muncul
di belakang saya.
Rupanya
kang Dardi ikut menyusul saya. Di tangannya tergenggam sebilah parang milik
bapak yang biasa dipakai bapak untuk mengupas kelapa. Dia menerobos masuk ke
pos ronda itu. Orang-orang memberi jalan kepadanya. Tak ada sepatah kata pun
terucap dari mereka.
Tak
lama dia keluar menyeret sesosok pria tinggi kurus. Tubuhnya amat dekil.
Wajahnya dipenuhi cambang dan jenggot mirip Fidel Castro. Pakaiannya kumal dan
compang-camping. Tangannya memegang bambu untuk memikul dua benda, buntalan kain
dan kaleng bekas terikat di kedua ujung bambu itu. Di kaleng bekas itu terikat
satu benda yang membuat saya terkesiap, layang-layang yang baru selesai
rangkanya.
Warung
soto ceker samping kantor, 11 Juni 2013, 15.00 WIB
Subscribe to:
Posts (Atom)