Monday, June 24, 2013

Pasta Gigi dan Pengunjuk Rasa (Catatan satu hari bersama mereka)



Ide itu muncul tiba-tiba, ketika gulita malam mengantar pergantian hari, malam Senin lalu. Besok Jakarta akan dikepung unjuk rasa besar-besaran, menolak kenaikan harga BBM. Besok DPR akan bersidang paripurna, salah satu topiknya adalah membahas usulan pemerintah tentang kenaikan harga BBM. Pikiran saya cuma satu, pasti pengamanan di gedung itu akan super ketat. Polisi pasti akan siaga I. Cocok, pikirku. Perintah atasan beberapa hari lalu untuk mencari bahan iklan DJP di media cetak dengan tema hari Bhayangkara-lah yang merangsang ide saya tadi. Besok saya harus ke sana.
Malam itu saya langsung kirim BBM atasan saya. Saya tak peduli jam berapa, karena saya tahu dia tak masalah dengan hal itu. Sayang, chat saya bertanda silang merah, langganan BIS dia sedang purna. Ya sudahlah, besok pagi saja saya minta arahan.
Senin pagi, seperti biasa, koran pagi yang harus kami baca bak uang rapelan. Wajar, koran hari Sabtu, Minggu dan Senin datang berbarengan, termasuk beberapa majalah mingguan. Sembari mencari berita untuk bahan kliping Pamorku, saya minta arahan atasan. Jawabnya sederhana, laksanakan.
Saya bergegas mengemasi peralatan. Kamera EOS 5 D Mark II, flash, dan 3 lensa saya masukkan dalam tas ransel. Saya pernah menimbang tas dengan komposisi seperti itu, beratnya 6,9 kilogram. Saya juga berganti busana, baju biru saya tanggalkan, juga sepatu pantofel. Saya sudah membawa kaos oblong biru, rompi Nikon dan sepatu kets; itulah yang kemudian saya kenakan.
Pukul 09.00 WIB.
Saya pun berangkat ke Senayan. Tadinya saya berencana naik bus saja. Agak lama saya menunggu, bus tak lewat juga. Jalan Gatot Subroto depan kantor mulai dipenuhi kendaraan, tersendat di simpang Semanggi sana. Saya lantas mencari ojek di samping Plasa Mandiri. Dua puluh ribu rupiah, tak bisa ditawar lagi. Terlalu mahal untuk mengantar sejauh 3 kilometer. Apa daya, saya tak punya pilihan lain.
Sepanjang jalan saya menjumpai ratusan orang berjalan kaki menuju arah yang sama dengan saya, gedung DPR/MPR. Mereka membawa bendera atribut serikat pekerja. Wajah mereka diolesi entah zat apa, berwarna putih. Saya berpikir, masak iya sih pengunjuk rasa itu memakai sun block? Ganjen amat...
Hanya perlu waktu lima menit untuk tiba di sana. Tukang ojek kaget ketika saya bilang bahwa saya mau meliput unjuk rasa. Dia sempat berpesan agar saya hati-hati, wartawan sering jadi sasaran massa, katanya. Saya abaikan saja, toh saya bukan wartawan.

Saya langsung menuju kerumunan ribuan orang di depan gedung itu. Gedung itu mempunyai dua gerbang besar berdampingan dan satu pintu kecil khusus pejalan kaki di sebelah timurnya. Dua gerbang besar tertutup rapat, sedangkan pintu pejalan kaki dibuka, tetapi setiap orang yang masuk harus menunjukkan kartu identitas. Di depan gerbang sebelah timur berjajar tiga mobil lengkap dengan sound system. Beberapa orang berdiri di atas mobil tersebut, berorasi.
Mereka adalah kelompok buruh. Di gerbang sebelah barat ratusan mahasiswa juga berorasi tak kalah serunya. Jumlah mereka hanya ratusan, sementara jumlah buruh ribuan. Kelar mengambil beberapa jepret foto dari luar pagar, saya masuk lewat khusus pejalan kaki tersebut. Obyek foto buruan saya ada di dalam sana.
Di dalam pagar suasana tenang. Ratusan polisi duduk santai. Puluhan kendaraan taktis mereka terparkir rapi di halaman gedung, menghadap ke arah masa. Jarak dengan pagar sekitar 150 meter. Di sisi dalam pagar tak ada satu polisipun siaga. Massa dibiarkan berorasi sebebasnya. Mereka hanya menggelar tameng fiber glass berwarna bening di depan pagar. Tergeletak begitu saja, rapi, simetris, tak ditunggui.
Saya lantas keliling dari satu sudut ke sudut lain, memotret kendaraan taktis mereka. Saya juga ngobrol dengan polisi berbaret biru tua. Rupanya mereka dari kesatuan Brimob yang bermarkas di Kedung Halang, Bogor. Mereka bercerita bahwa pukul 04.50 WIB tadi pagi mereka sudah berangkat dari markas menuju sini.
Pukul 12.00 WIB
Tak terasa, waktu sholat Dhuzur telah tiba. Polisi itu pamit pada saya. Rupanya nasi kotak sudah menunggu mereka. Pemimpin buruh mengumumkan bahwa mereka akan jeda orasi.
"Rekan-rekan sekalian, kita akan rehat untuk sholat dan makan siang. Kita sholat di sini, makan di sini. Tukang teh botol tolong jangan naikin harga, kalau perlu kami di kasih diskon.
Adzanpun dikumandangkan dari atas mobil. Senyap setelahnya. Saya terharu dengan suasana itu.
Saya lantas beranjak ke kantin DPR/MPR di samping masjid. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 500 meter dari halaman depan. Gerimis tipis mulai turun. Yap, cuaca Jakarta sedari pagi memang berawan tebal. Saya bahkan kehujanan di Pancoran ketika berangkat ke kantor tadi.
Pukul 13.30 WIB.
Saya kembali ke halaman gedung. Orasi rupanya sudah dimulai lagi. Mahasiswa juga mulai membakar ban. Dua kubu itu bak berlomba-lomba berteriak, mengklaim mewakili pihak yang sama, rakyat. Entah rakyat yang mana.. Tak banyak perubahan di dalam halaman. Polisi masih santai berjaga. Kondisi berbeda terjadi di luar halaman. Kerumunan massa kian membludak. Beberapa orang memanjat pagar setinggi 8 meter itu. Mereka memasang bendera atribut serikat mereka. Juga spanduk-spanduk bernada protes keras.
Saya perhatikan kubu buruh lebih kreatif dalam berunjuk rasa. Di sela pergantian orator, mereka menyetel lagu-lagu Iwan Fals yang berjudul Wakil Rakyat dan Merah Putih-nya Coklat. Mereka juga menari-nari dengan gerakan yang seragam. Sementara kubu mahasiswa lebih provokatif. Selain membakar ban, teriakan-teriakan mereka juga amat kasar. Anjing, bangsat, dan sejenisnya jadi diksi untuk mengumpat penguasa.

Pukul 15.00 WIB.
Orator buruh kembali mengumumkan waktu sholat Ashar telah tiba. Saya beranjak keluar pagar. Saya bosan dengan suasana di dalam halaman, itu-itu saja. Polisi tak menampakkan tanda-tanda peningkatan gerakan.

Di luar pagar suasana kian sesak. Saya sampai susah bergerak. Di sebelah timur mobil orator sekelompok kecil massa sedang mengadakan aksi teatrikal. Puluhan orang dengan santai duduk di atas pagar pembatas tol setinggi 3 meter itu. Saya sebetulnya ingin memanjat juga, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya saya masuk ke lingkaran inti pengunjuk rasa kubu buruh. Mereka sedang meneriakkan yel-yel dengan penuh semangat. Puluhan orang menari sembari berputar mengelilingi mobil itu. Jalanan dan trotoar becek bekas gerimis tadi.
Stigma unjuk rasa yang selama ini adalah anarkis tak saya temui di sini. Saya merasa aman-aman saja berada di tengah-tengah mereka. Name tag Ditjen Pajak tetap saya kalungkan di leher meskipun memang agak saya samarkan. Saya bebas bergerak ke sisi manapun. Mereka juga tidak merasa terganggu dengan aktifitas para pewarta foto.

Kembali perut saya didera rasa lapar. Saya lantas menyambangi tukang buah yang berjualan di tengah jalan. Puluhan pedagang makanan dan minuman berada di sini. Tak hanya itu, penjual gadget pun ada, bahkan penjual raket bulu tangkis. Hebatnya lagi ada pembelinya.
Ajang ini sudah bukan murni ajang unjuk rasa lagi, telah berubah menjadi ajang transaksi jual beli. Ah, semoga di ruang Nusantara 2 tempat rapat paripurna digelar tidak ikut-ikutan menjadi ajang transaksi politik.

Sembari mengunyah sepotong buah pepaya saya mengamati kubu mahasiswa. Beberapa orang mahasiswa sedang memanjat gerbang halaman. Mereka mencopoti bendera perkumpulannya. Lalu mereka mengemasnya dalam mobil dan beranjak. Sesaat berikutnya rombongan mahasiswa lain datang, dari kelompok yang berbeda. Mereka lantas menggelar orasi. Saya baru menyadari, rupanya unjuk rasa ini juga mengenal sistem shift. Mereka rupanya tidak datang sekaligus pada saat yang sama, tetapi ada yang datang belakangan. Pantaslah energi mereka tak habis-habis.
Kali ini oratornya adalah seorang mahasiswi berkerudung. Suaranya lantang. Kalimatnya lebih provokatif bahkan penuh hujatan dan makian. Beberapa jenis binatang yang diharamkan umat Islam dengan lugas dia pakai untuk menganalogikan kebejatan penguasa. Saya bergidik mendengarnya.

Pukul 17.00 WIB.
Saya sambangi lagi masjid DPR/MPR di samping gedung komisi. Seperti biasa, setiap saya sholat di sini, masjid ini selalu sepi. Jamaahnya para sopir, polisi, satpam dan para staf DPR/MPR. Saya belum pernah menjumpai anggota DPR/MPR sholat berjamaah di sini. Ah, mungkin mereka lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi mereka, sholat berjamaah. Penat melanda. Gerimis tipis kembali mendera. Saya sempat berbaring sejenak di serambi masjid sebelum akhirnya kembali ke arena.
Pukul 18.00 WIB
Senja telah menjelang. Orator seperti tak kehabisan bahan. Massa masih tetap bertahan. Di ruang sidang wakil rakyat masih kukuh berdebat. Adzan magrib lagi-lagi berkumandang dari kubu buruh, bukan dari kubu mahasiswa. Saya lantas mencari mushola yang dekat dengan pintu gerbang, bukan ke masjid samping gedung DPR. Beberapa anggota kepolisian bergantian sholat di mushola yang sejatinya adalah pos mereka.
Kelar sholat magrib saya kembali ke dekat pintu gerbang.
18.30 WIB
Sebuah mobil bak terbuka milik kepolisian mendekat ke pintu gerbang kubu buruh. Di atas kapnya terpasang dua pengeras suara. Di bak belakangnya berdiri seorang polisi berpangkat perwira menengah memegang gagang mic.
"Saudara-Saudara sekalian, atas nama undang-undang kami minta Saudara membubarkan diri karena sudah melampaui batas waktu unjuk rasa."
"Pak polisiiiiiii....jangan berisik. Beberapa dari kami sedang sholat!!!!"
"Baik, kami menahan diri."
Mobil itu lantas undur diri. Anehnya orator itu kembali berteriak-teriak, tak peduli beberapa temannya sedang sholat.

Perut saya kembali disapa rasa lapar. Saya lantas berniat keluar gerbang. Satpam menahan saya.
"Mau kemana, Pak?"
"Cari makan, Mas."
"Sebentar lagi pintunya mau dikunci lho, Pak. Nanti Bapak nggak bisa masuk lagi."
Saya mengurungkan niat. Pencarian makan saya berlabuh ke kantin dekat mushola. Nasib sial, nasi dan lauknya habis. Saya lantas mendekati pagar sebelah timur pintu pejalan kaki. Saya ingat tadi sore banyak pedagang makanan dan minuman berjualan dekat pagar itu. Benar saja, di dekat trotoar ada penjual minuman, bakso dan mie ayam. Saya lantas memesan bakso dari balik pagar. Di sekitar sini ribuan massa masih bertahan. Mereka duduk-duduk di trotoar hingga tengah jalan. Pesanan saya datang tak lama kemudian. Saya geli sendiri, mangkok bakso ini ternyata tak bisa menerobos sela-sela pagar besi. Jadilah saya makan dari balik pagar dengan mangkok bakso berada di luar pagar. Belum selesai saya makan bakso tiba-tiba massa bergolak. Mereka berlarian menjauhi pintu gerbang. Puluhan pedagang juga bergegas mendorong berobaknya ke arah Semanggi. Saya gugup, penjual bakso itu mendatangi saya.
"Makannya belum selesai, Mas?"
"Iya, Pak. Sebentar ya."
Saya segera menyendok bakso itu dengan susah payah. Pagar besi ini menghalangi keleluasaan gerak tangan saya.

Pukul 19.00 WIB.
Sekembali dari makan bakso, suasana halaman gedung DPR/MPR berubah. Pasukan Brimob yang sedari tadi duduk santai, kini telah membentuk formasi siaga. Mereka merapatkan barisan, perisai fiber glass bercat hitam telah tersandang. Mereka membentuk barisan rapat. Di belakangnya pasukan pemegang senapan gas air mata siap sedia. Peluru telah terisi, siap ditembakkan. Water canon kukuh berdiri di barisan paling depan. Suasana mencekam.

Tiba-tiba suasana yang tadinya diam mencekam berubah menjadi gaduh. Lemparan batu sebesar kepalan tangan saya, datang dari arah kubu mahasiswa. Mereka juga menendang-nendang pagar dan melemparinya dengan batu. Polisi tidak bereaksi apa-apa. Diam dan siaga. Jarak polisi ke pagar sekitar 50 meter saja.
Di kubu buruh suasana amat berbeda. Gerbang itu malah dibuka. Buruh duduk menghadap gedung DPR/MPR. Di seberangnya, dalam jarak hanya 4 meter, satu kompi pasukan Sabhara Polda Metro Jaya juga duduk bersila. Di belakang mereka mobil water canon juga siap sedia. Saya lantas keluar halaman melewati gerbang yang terbuka itu. Di luar halaman, di kubu buruh, suasana tenang-tenang saja. Beberapa polisi berseragam bahkan tampak asyik mengobrol dengan para pengunjuk rasa. Kedewasaan memang bukan faktor usia semata, tapi malam ini para buruh yang memang sudah relatif lebih berumur dibandingkan mahasiswa, bersikap lebih dewasa.
Pukul 19.45 WIB.
Saya kembali ke dalam halaman. Pasukan Brimob yang tadi mengambil posisi siaga ditarik mundur. Mereka kembali menjauh dari gerbang. Sebagai gantinya seorang perwira polisi mendekat ke arah gerbang kubu mahasiswa. Dia membawa portabel speaker, mengajak mahasiswa berdialog.
"Hadirkan presiden ke sini!!!"
"Saudara-saudara, jelas itu tak mungkin."
"Ah....dasar polisi antek penguasa."
Dialog itu kembali buntu. Perwira itu kembali mundur. Ketika dia berjalan menjauh tiba-tiba lemparan batu menyerangnya. Ah, untunglah tak ada yang mengenainya. Perwira itu hanya berkata,
"Rekan-rekan mahasiswa, mari kita jaga etika. Kepala saya sudah biasa kena batu, sudah biasa bocor."
Hujan batu itu mereda. Saya lantas duduk di belakang barisan Sabhara Polda Metro Jaya yang masih duduk bersila. Saya amati pasukan ini rata-rata berusia jauh di bawah saya. Di sebelah saya sekelompok polisi berpakaian preman tampak kasak-kusuk. Mereka juga sibuk berkomunikasi menggunakan radio panggil. Saya duduk membelakangi kubu mahasiswa. Tas punggung kamera tetap saya sandang, bodi kamera saya pegang dengan kukuh. Firasat saya mengatakan sesuatu sedang terjadi.
Pukul 20.05 WIB.
Duar!!! Duar....!! Duar...!!!! Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan persis di papan nama gedung ini. Serentetan petasan roket menyerang barisan Brimob dari arah kubu mahasiswa. Saya pontang-panting menyelamatkan diri. Berbarengan dengan itu mereka juga melemparkan batu ke arah kami. Suasana berubah dalam sekejap, kacau balau. Lantas terjadilah perang petasan roket. Polisi rupanya membalas mahasiswa dengan petasan roket juga.

Pasukan Sahbara yang tadi duduk bersila tiba-tiba berdiri, balik kanan, mundur ke belakang. Pasukan Brimob yang tadi duduk santai tiba-tiba sudah berdiri di depan tempat saya duduk. Mereka membentuk formasi menyerang. Mobil water canon di kubu mahasiswa menyemprotkan air bertekanan tinggi. Massa mahasiswa kocar kacir. Mereka lari lintang pukang ke arah Slipi.
"Resimen, maju!!!!" teriak komandan lapangan.
"Resimen!!!" sahut pasukan Brimob serentak dan membahana.
Saya bergidik.

Maka pergolakan pecah dengan segera. Pintu gerbang kubu buruh diterjang Brimob. Buruh dihalau dengan pengeras suara agar mundur ke arah Semanggi. Buruh tak melawan. Mereka segera mundur.
Mobil water canon memburu mahasiswa. Gas air mata lantas ditembakkan. Suara senapan itu menyalak, suaranya mengerikan. Saya ragu untuk melangkah. Kepala saya tak terlindung apa-apa. Lain dengan para pewarta foto. Mereka memakai helm. Keraguan itu segera saya tepis. Saya berlari di belakang pasukan Brimob. Mobil taktis baracuda tepat di samping saya. Di atas bertengger seorang penembak gas air mata.
Tak sadar posisi saya sudah di samping gedung Manggala Wana Bhakti. Pasukan diperintah berhenti. Saya menepi. Mata saya pedas, tenggorokan saya kering. Saya bersin-bersin.
Di kegelapan, beberapa pewarta foto tengah sibuk memencet-mencet sesuatu. Lantas mereka mengoleskan pasta itu ke daerah sekitar mata. Saya penasaran dan mendekat.
"Buat apa itu, Mas?"
"Biar nggak pedes matanya, Mas. Nih, mau?"
Saya lantas menerima kemasan lunak itu. Saya pencet-pencet tak keluar isinya, sudah hampir habis.
"Robek aja pake gigi, Mas."
"Pahit, nggak?"
"Nggak kok, wong itu odol."
Saya tersenyum geli. Rupanya pasta gigi inilah yang tadi siang saya kira sun block. Pengunjuk rasa dan pewarta foto rupanya sudah mengantisipasi efek gas air mata dengan mengoleskan pasta gigi di sekitar kelopak mata.
Dengan susah payah saya berhasil merobek kemasan pasta gigi itu. Begitu berhasil, segera saya pencet untuk mengeluarkan isinya. Wajah saya lantas saya olesi pasta gigi yang tinggal secuil itu. Sensasinya luar biasa. Sekejap kemudian hawa sejuk menyergap muka saya. Pedih di mata juga sirna dengan segera. Tenggorokan yang tadinya terasa kering juga kembali segar. Luar biasa. Senjata ampuh itu penangkalnya amat sederhana, pasta gigi.
Gerakan pasukan terhenti di sini. Samar-samar saya lihat mahasiswa masih bertahan di samping fly over Palmerah. Mereka masih melemparkan batu ke arah polisi. Tapi batu itu tak mampu menjangkau kami, jarak kami dengan mereka lebih dari 100 meter.
"Kenapa nggak diburu sampai lampu merah, mas?" tanyaku pada seorang anggota Brimob.
"Kami kehabisan peluru mas. Lagi dikirim. Tu water canon juga kehabisan air."
Ah, ada-ada saja....
Mobil Suzuki Jimny itu mendekati kami.
"Peluru!!!"
Sontak beberapa orang membuka pintu belakangnya. Dikeluarkannya peti kecil terbuat dari kayu. Rupanya itu peti peluru gas air mata. Mereka lantas sibuk mengutak-utik peti itu, berusaha membukanya. Lama peti itu tak terbuka. Rupanya alat pembukanya tak terbawa. Saya sempat merogoh kantong celana saya, menawarkan kunci motor saya untuk membuka peti tersebut. Rupanya peti itu diklem dengan seng. Mereka lantas memukul-mukul peti itu dengan batu yang dipungut dari jalan. Batu tersebutlah yang tadi dilemparkan para mahasiswa. Berhasil, peti itu akhirnya terbuka. Lagi-lagi saya tertawa geli melihat situasi ini. Inilah Indonesia...
Lama saya bertahan di sini. Tak ada gerakan apa-apa. Di seberang saya, TV LED besar menayangkan iklan kopi Top yang dibintangi Iwan Fals. Ah, kawan ini sekarang sudah jadi bintang iklan. Bukan seorang penyanyi country yang dahulu keras meneriakkan Bongkar lewat lagu pedasnya. Uang memang mudah mengubah seseorang.

Pukul 21.30 WIB.
"Resimen, mundur!!!"
"Resimen!!!"
Pasukan itu dibubarkan. Massa rupanya telah membubarkan diri di perempatan Palmerah. Saya berjalan beriringan dengan anggota Brimob kembali ke arah gedung DPR/MPR.
"Kalo akhirnya mau begini, kenapa juga nggak dari jam lima tadi," gerutunya.
"Kembali ke markas, mas?" tanyaku
"Wah, tergantung perintah, Pak. Tak masalah kembali jam berapa, yang penting perut aman."
Kali ini senyum saya tidak disertai perasaan geli. Demikianlah, apapun urusannya, sering ujungnya memang perut semata. Seperti malam itu, ketika pukul 23.00 WIB saya tiba di rumah, maka perut sayalah yang pertama kali saya layani.
Nasi putih hangat, tahu goreng dingin, orek tempe, petai dan sambal bawang segera terhidang. Perut saya menggelinjang.

Lapangan sepak bola Zeni Konstruksi, Srengseng Sawah, 23 Juni 2013, 16:27:56 WIB.

Tuesday, June 11, 2013

Warung Biru

Warung Biru, demikian kami menyebutnya. Belakangan kami menyingkatnya menjadi Waru. Julukan itu kami berikan selain karena dindingnya berwarna biru, juga untuk membedakan dengan Warung Ijo yang letaknya berdekatan. Sosok bangunan berdinding seng itu terletak di mulut gang. Kami menemukannya secara tidak sengaja. 

Sekolah di SMA 3 Solo, jauh dari orang tua, memaksa kami bertiga, aku, Kandar, Ibnu untuk mandiri. Sebetulnya bu Broto, induk semang kami menyediakan paket kost termasuk makan 3 kali sehari. Memasuki tahun ke dua, kebosanan melanda kami. Kami memilih makan di luar alias jajan. Konsekuensinya setiap waktu makan kami harus ke warung untuk nyari makan. Untunglah kami sekolah di Solo, kota yang ramah buat kami, anak rantau yang berkantong cekak. Meski begitu, kantong kami sering teramat cekak sehingga warung favorit kami adalah bukan warung yang makanannya enak tapi warung yang harganya murah dan nasinya banyak.

Yang rada merepotkan adalah ketika bulan puasa tiba. Saat sahur kami harus berpacu dengan datangnya waktu subuh. Sebenernya nggak terlalu jadi masalah kalau kami mau bangun lebih awal. Yang sering terjadi adalah kami bangun mepet waktu subuh, sehingga kami senantiasa diburu waktu.

Seperti yang terjadi saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 04.15 WIB. Artinya waktu sahur kami tinggal sekitar 20 menit lagi. Warung Ijo yang selama ini jadi tumpuan kami pasti sudah ludes diserbu pembeli. Kami tetap mengambil rute ke arah Warung Ijo, karena arah itulah satu-satunya kemungkinan kami menemukan warung yang buka saat sahur. Dengan bergegas kami bertiga jalan kaki menyusuri jalan RE. Martadinata, Solo ke arah Kampung Sewu. 

Warung Ijo yang menjadi tujuan kami masih 300-an meter lagi ketika sekonyong-konyong pandangan kami bertiga bersirobok dengan sosok bangunan berwarna biru itu. Penerangannya amat minim, hanya neon 15 watt semata wayang. Keberadaannya seolah tenggelam di antara bangunan di kiri kanannya. Di luar warung ada bangku panjang yang sedang diduduki 3 orang sambil merokok. Sepertinya mereka para tukang becak yang habis sahur juga. 

Tanpa pikir panjang kami membelokkan langkah ke warung itu. Tata ruangnya amat seadanya, dua bangku panjang tanpa sandaran mepet ke dinding seng. Di depannya terhampar beberapa baskom berisi pilihan sayur, oseng, dan lauk pauk. Terasa sesak mengingat ukurannya hanya sekitar 9 meter persegi. Pelayannya seorang perempuan paruh baya. Ia mengenakan pakaian seadanya, untuk tidak menyebut amat bersahaja. Di belakangnya seorang pria tengah mengelap piring yang habis dicucinya di ember di ruangan ini juga. Saya menaksir mereka adalah pasangan suami istri. 

Kami bertiga segera mengambil posisi duduk berjajar.  "Dhahar napa, mas? (Makannya sama apa, Mas?)" sapanya kepada kami.  Aku yang pertama kali angkat bicara, "Trancam mawon, Bu. (Trancam aja, Bu). Minumnya susu segar, kasih kopi dikit." Menyusul Ibnu dan Kandar pesan menunya masing-masing. Kami segera menyantap makanan cepat saji tersebut mengingat waktu subuh akan segera tiba. Saatnya berhitung dan membayar. 
"Berapa, Bu?" tanyaku.
"Lima ratus rupiah, Mas," jawabnya sambil senyum. 

Aku sempat tidak yakin dengan angka yang dia sebutkan. Untuk bertanya aku gengsi. Makanya aku sodorkan pecahan lima ribuan kepadanya. Dia sibuk mencari kembalian di antara uang recehan yang dia taruh di kaleng biskuit.
"Monggo mas kembaliannya," katanya sambil menyerahkan empat lembar uang ribuan dan lima buah uang ratusan.

Artinya benar, menu nasi trancam dan susu segar itu hanya seharga lima ratus rupiah. Kandar dan Ibnu juga bengong mengetahui harga makanan mereka sama denganku. Sebagai perbandingan, di Warung Ijo menu serupa harganya seribu rupiah. Tentu saja ada harga yang harus kami bayar. Kami makan berbaur dengan tukang becak dan kejorokan warung seluas 9 meter persegi yang bercampur jadi dapur dan tempat cuci piring.

Tak apalah. Saat itu rasa kenyang adalah segalanya. Pelajaran tentang makanan sehat tak bisa kami terapkan karena sehat itu butuh biaya.

Culik



Sore itu tadinya amat menyenangkan. Saya, kang Saidi, Mukalim, Yoto dan beberapa teman lain sedang berkumpul di rumah Yoto. Kami sedang berbincang ringan sepulang mencari rumput untuk pakan sapi dan kambing. Di tangan kami masing-masing tergenggam sebilah sabit yang biasa kami pakai untuk membabat rumput liar. Juga sebatang potongan pohon bambu. Di depan kami berderet lem kertas, kertas sampul, benang jahit dan tambang plastik. Kami sedang membuat layang-layang.
Sekarang memang sedang musim angin. Permainan kami bergeser dari mancing ke layang-layang. Saya perhatikan dalam satu tahun kami bisa memainkan bermacam-macam jenis permainan, tergantung musim. Jika sedang musim hujan, kami memilih main air, berenang di cerukan sungai yang kedalamannya sekitar 1,5 meter. Cukup untuk menenggelamkan saya. Kami memakai gedebog pisang sebagai pelampung. Ketika habis lebaran kami biasanya main wayang kulit dan petasan. Wayang kulit dari kertas kardus itu kami beli di pasar desa kami. Masing-masing anak membeli satu tokoh wayang sehingga terkumpullah beberapa tokoh wayang. Maka tak lama kemudian kami bergiliran menjadi dalang. Di lain waktu kami main gobak sodor. Permaianan ini konon warisan kompeni. Kami suka bermain gobak sodor di lapangan bulu tangkis depan rumah saya. Permainan yang tak kalah serunya tentu saja umbul. Permainan ini mengadu keberuntungan dengan melempar kartu bergambar tokoh wayang. Tak ketinggalan petak umpet adalah permainan wajib di waktu yang lain. Saya pernah hampir menangis ketika saya dapet tugas jaga "ce" (tempat berkumpul). Sampai menjelang magrib tak satupun lawan saya temukan. Rupanya mereka ngerjain saya. Mereka sembunyi dengan pulang ke rumah masing-masing dan tak kembali ke "ce'.
Demikianlah sore itu. Kang Saidi sudah berhasil menyelesaikan layang-layangnya. Demikian juga dengan yang lain. Tinggallah saya seorang yang ketinggalan. Saya masih asyik mengikat rangka layang-layang. Saya memang paling tidak pandai mengerjakan hal-hal yang berbau kerajinan tangan. Bagi saya ini adalah sebuah pekerjaan sulit.
Sedang asyik-asyiknya kami menyelesaikan layang-layang kami, mendadak terdengar suara nenekku.
"Anto, pulang!"
"Yah, Mbah.... Kan belum surup (senja)."
"Wis pokoke pulang. Saidi juga pulang."
"Nanti ah, Mbah!"
"Weeee.... Kok ngeyel to. Ada culik!!!."
Kami tertegun. Culik adalah kata yang amat menyeramkan bagi kami. Culik adalah sebutan bagi orang jahat yang suka menculik anak kecil. Konon katanya setelah diculik, mata kita akan dicongkelnya. Culik suka berkeliaran di tempat-tempat sepi. Gerakannya amat cepat sehingga sampai sekarang para tetua kami tak berhasil menangkapnya. Kami serentak bubar. Saya minta tolong kang Saidi untuk menyelesaikan rangka layang-layang saya. Kakak sepupu saya ini memang amat baik hati. Meski umurnya lebih muda daripada saya, saya memanggilnya dengan sebutan kang. Dia anak pakde saya, kakak ibu saya.
"Besok sore kita terusin lagi ya," ujarku ke teman-teman sembari kami bubar.
Di rumah ibu sudah menunggu dengan cemas. Ibu sedang menggendong adik saya yang paling kecil, Indarto. Dia baru berumur setahun. Adik saya yang lain, Bowo dan Titik sedang menyantap makan sore mereka, nasi thiwul lauk tempe mentah dan sambel bawang.
"Laper nggak, le? Itu makan sama adikmu."
"Iya, bu..."
"Mau digorengin telur, To?"
"Nggak usah, Mbah. Pake tempe sama sambel wae."
Begitulah nenek dari ibuku ini memperlakukanku. Di saat cucu yang lain cuma makan sama tempe mentah dan sambel bawang, saya selalu ditawarin lauk yang lebih enak. Kesendirian saya sebagai anak sulung selama empat tahun telah membuat saya jadi cucu kesayangannya.
Saya lantas bergabung dengan dua adik saya. Makan nasi thiwul lauk tempe mentah dan sambal bawang di sore hari memang amat nikmat. Kadang-kadang sambalnya kami kasih walang sangit. Walang sangit adalah salah satu jenis belalang yang habitatnya adalah padi yang mulai berbiji. Ukuran tubuhnya 5 kali ukuran tubuh nyamuk, tak begitu besar. Aromanya amat tajam dan khas. Ketika disambal, serangga ini menjelma menjadi perangsang nafsu makan yang luar biasa.
"Habis makan jangan main keluar lagi yo, le."
"Iya bu."
"Culik lagi gentayangan."
Pagi itu saya berangkat sekolah dengan perasaan yang amat takut. Sekolah saya memang rada jauh, 4 kilometer dari rumah. Baru 4 bulan saya pindah ke sekolah ini. Kata bapak, sekolah peninggalan Belanda ini mutunya lebih bagus daripada sekolah lama saya yang jaraknya hanya 300 meter dari rumah. Lokasinya pun sudah berada di desa tetangga. Saya harus menyeberangi sungai, melewati bulak (kawasan yang tak ada rumahnya), bahkan melewati batu besar yang konon kalau malam banyak hantunya. Sejujurnya saya tidak terlalu suka menjalani ini. Saya satu-satunya anak dari desa ini yang bersekolah di sana.
Sungai itu sudah di depan mata. Airnya dangkal saja, karena sedang musim kemarau. Saya surut langkah. Di seberang sungai jalannya menanjak dan berupa bulak. Di sebelah kiri adalah sawah luas, sementara sebelah kanannya berupa tebing yang berbatasan langsung dengan bukit Tenggar. Orang-orang bilang di situlah culik itu bersembunyi.
"Le.... Anto.....!!!"
Sebuah suara memanggilku dari seberang sungai. Saya amat kenal dengan pemilik suara itu, wo Kami. Anaknya sekelas dengan saya, namanya kang Wiyadi.
"Inggih, Wo..."
"Cepet nyebrangnya, wo Kami tunggu di sini."
Rupanya dia paham dengan ketakutan saya. Saya pun segera menyeberangi sungai itu.
"Sana, samperin kakangmu Wiyadi. Dia masih di rumah. Berangkat ke sekolah bareng wae yooo... Nanti ada culik."
"Inggih, Wo."
Saya bergegas melangkah meninggalkan wo Kami yang sedang menuju sungai untuk mengambil air. Keluarga ini memang sudah seperti keluarag saya sendiri. Bapak dan ibu wanti-wanti, kalau pulang kehujanan dan saya tidak bisa menyeberang sungai karena banjir, saya disuruh mampir ke rumah wo Kami. Benar saja, suatu hari sepulang sekolah hujan turun dengan lebat. Sungai kecil itu berubah menjadi lautan air yang tidak mungkin saya seberangi. Saya akhirnya mampir ke rumah wo Kami. Dengan penuh perhatian dia menyiapkan makan siang buat saya dan kang Wiyadi.
Pulang sekolah siang itu saya minta diantar kang Wiyadi sampai pinggir sungai. Kang Wiyadi memang orangnya pemberani. Badannya juga lebih besar dibanding saya. Tulangnya keras banget. Kalau sedang main bola dia amat berani beradu tulang kering dengan lawannya.
Sesampai di rumah nenek sudah menunggui saya di teras. Wajahnya amat lega melihat kedatangan saya.
"Bapakmu itu memang tega, le. Mosok anak sekecil ini disuruh sekolah jauh-jauh. Kalo ada apa-apa gimana, coba," nenek menggerutu sembari menuntun saya ke dalam rumah.
"To, sana ganti baju, makan terus tidur. Nggak usah nyari rumput. Nggak usah main keluar. Nanti ada culik."
"Iyaaaa, buuu..."
Perintah itu tak mungkin saya lawan. Meski ibu dan nenek bukan orang yang galak, saya malas melawan mereka. Ujung-ujungnya perlawanan saya pasti akan terdengar oleh bapak. Dan itu amat berbahaya. Saya memilih tak mengambil posisi berhadapan dengan bapak saya. Berat resikonya.
"Le..le.. Bangun. Sudah sore," nenek membangunkan saya dengan lembut.
"Sana mandi. Tu kakangmu Dardi sudah nunggu di depan, mau nyuapin kamu."
Saya sontak bangun. Segera mandi dan berganti pakaian. Rupanya kang Dardi habis disuruh bapak membantu mencari rumput untuk pakan.
"Sini To, makan."
"Iyo, Kang. Tadi waktu nyari rumput ketemu culik nggak, Kang?"
"Enggak, kalo ketemu mau tak sembelih."
Kakak sepupu saya ini memang perangainya agak kasar. Tapi dia berubah menjadi pria lembut ketika menyuapiku, seperti sore ini.
"Culiiiiiik.... Culiiiiiik... Culiiiiiiiik!!!!!!"
Suara teriakan Yoto mengagetkan kami.
"Ada apa, To?"
"Iku Ri, culiknya ketangkep. Lagi diarak di nJarum."
"Serius?!!"
"Iyoooo... Ayuk nonton."
"Kang Dardi, makannya udahan dulu yo, nonton culik dulu."
Tanpa menunggu jawaban kang Dardi saya segera menyusul Yoto yang sudah berlari ke arah nJarum.
Pos ronda itu letaknya persis di tusuk sate pertigaan nJarum. Bangunannya sudah tua, bertembok semen dan beratap genteng, mirip bangunan rumah. Di depan pos itu sudah berkerumun puluhan manusia, tua dan muda serta anak-anak. Mereka tengah mengerubungi orang yang diduga culik itu. Rupanya culik itu ditangkap lantas digelandang beramai-ramai ke pos ini. Tubuhnya diseret dengan paksa, dimasukkan ke dalanm pos ronda. Pintu keluar pos ronda dipagari manusia, sehingga dia tak berkutik.
"Mana culiknya...mana culiknya!!!" teriak kang Dardi yang tiba-tiba sudah muncul di belakang saya.
Rupanya kang Dardi ikut menyusul saya. Di tangannya tergenggam sebilah parang milik bapak yang biasa dipakai bapak untuk mengupas kelapa. Dia menerobos masuk ke pos ronda itu. Orang-orang memberi jalan kepadanya. Tak ada sepatah kata pun terucap dari mereka.
Tak lama dia keluar menyeret sesosok pria tinggi kurus. Tubuhnya amat dekil. Wajahnya dipenuhi cambang dan jenggot mirip Fidel Castro. Pakaiannya kumal dan compang-camping. Tangannya memegang bambu untuk memikul dua benda, buntalan kain dan kaleng bekas terikat di kedua ujung bambu itu. Di kaleng bekas itu terikat satu benda yang membuat saya terkesiap, layang-layang yang baru selesai rangkanya.

Warung soto ceker samping kantor, 11 Juni 2013, 15.00 WIB