Thursday, August 29, 2013

Seat 1A



Telepon dari salah satu Kepala Sub Direktorat tempat saya bertugas itu datang dalam perjalanan pulang saya dari Cicalengka, Jawa Barat seusai survey calon lokasi ICV. Dia memberitahukan bahwa besok pagi Dirjen Pajak bersama Sesditjen akan mendampingi Menkeu bersama suami meninjau lokasi bencana di kota Padang, Sumatera Barat. Saya diminta segera menghubungi staff protokoler untuk koordinasi lebih lanjut. Saya segera menelepon staff dimaksud. Isi pembicaraan kami singkat saja. Roni, staff protokoler itu hanya memberitahu bahwa saya harus sudah siap di terminal II Bandara Sukarno Hatta pukul 04.30 WIB untuk mengambil tiket penerbangan ke Padang. Tiket kembali ke Jakarta belu
Eks KP. PBB Padang

Kantor Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumbar. Lantai dasarnya amblas.

Ruko ini lantai dasarnya amblas, yang tampak sekarang adalah lantai dua.

Mengais sisa reruntuhan

Menyelamatkan yang tersisi

Kendaraan pun tak luput dari gempa

Hotel Ambacang

Alat berat sedang mengeruk reruntuhan

m ada di tangan, pun juga rencana penginapan. Kemungkinan besar rombongan tidak akan menginap.
Gempa bumi yang melanda daerah Sumatera Barat dan sekitarnya dua hari lalu memang menyisakan keprihatinan. Kota Padang porak poranda. Televisi tak henti-hentinya menayangkan suasana kota yang terkena efek gempa. Miris melihatnya.
Sesungguhnya saya juga tak begitu siap mental dengan apa yang bakal saya lihat di sana. Bayangan buruk tentang suasana provinsi Aceh paska bencana tsunami beberapa tahun silam menyelimuti benak saya.
Pukul 04.15 WIB saya sudah tibai pintu terminal II F bandara Sukarno Hatta. Roni sudah ada di situ. Segera saya sambar tiket pesawat itu, lantas saya langsung menuju ruang tunggu. Saya tidak membawa tas baju ganti, hanya tas berisi seperangkat kamera.
Begitu panggilan boarding terdengar, saya langsung memasuki pesawat. Saya duduk di kelas Ekonomi, tentu saja, seat 9C. Di seberang tempat duduk saya terlihat sekelompok orang mengenakan jaket oranye dan topi atribut sebuah partai yang diketuai oleh seorang pensiunan jenderal. Ah, apa pula urusan mereka dengan bencana ini. Tak lama, di rombongan penumpang yang terakhir masuk pesawat, masuklah Menkeu beserta suami, Dirjen, Sesditjen dan tiga ajudan. Pesawat penuh tak menyisakan satu tempat duduk kosong.
Pukul 07.00 WIB pesawat mendarat dengan mulus di Padang. Di bandara Menkeu menyempatkan diri meninjau posko bantuan bencana dan memberikan arahan kepada staff Bea dan Cukai yang bertugas di sana. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke kota Padang.
Kerusakan bangunan, baik rumah tinggal maupun perkantoran dan pusat perbelanjaan mulai tampak. Rombongan kami berhenti di eks KP. PBB Padang yang lokasinya paling dekat dari bandara. Kantor ini memang sdh tak berpenghuni semenjak KP. PBB digabung ke KPP tahun 2009 lalu. Kondisinya parah, temboknya retak di sana sini. Beberapa bagian plafon runtuh ke lantai.
Perjalanan dilanjutkan ke kantor Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumbar. Bangunan dua lantai ini kondisinya amat parah. Tembok lantai dasar bagian belakang runtuh, rata dengan tanah sehingga lantai duanya mepet ke lantai dasar. Tetapi pergolatidak runtuh, sehingga jika dilihat dari samping bangunan ini seperti mendongak. Menurut informasi tidak ada korban jiwa sama sekali karena gempa terjadi setelah jam kerja usai. Saya tak dapat membayangkan jika gempa melanda saat jam kerja.
Berturut-turut kami mengunjungi kantor Samsat, KPP. Padang, KPBC dan terakhir Kanwil DJP Sumbar dan Jambi. Semua bangunan yang kami kunjungi mengalami kerusakan meski tak begitu parah. Gempa Padang memang unik menurut saya. Gempa itu seperti memiliki jalur, tak semua bangunan rusak. Yang rusak serasa berada di sebuah garis maya.
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Padang
Pukul 16.00 WIB kunjungan usai. Rombongan kembali ke bandara. Setiba di bandara saya baru teringat, saya belum memegang tiket pulang. Saya segera menghubungi mas Hery, sahabat saya yang bertugas di sini dan sedari tadi menjadi sopir saya.
"Lho, mas Slamet belum pegang tiket?"
"Belum mas, maaf saya juga lupa ngasih tahu."
"Waduh, sebentar ya... Soalnya semua pesawat penuh ini."
Saya was-was. Kemungkinan terburuk segera saya antisipasi, menginap di Padang. Kebetulan rumah dinas Kakanwil dijadikan penginapan sementara bagi para pegawai yang kehilangan tempat tinggalnya akibat gempa.
Setengah jam menjelang jadwal keberangkatan pesawat, mas Hery mendatangi saya.
"Ini mas tiketnya. Tapi tidak atas nama mas Slamet ya, soalnya hasil beli dari penumpang lain yang batal berangkat."
Saya terima tiket itu dengan rasa syukur. Padang - Jakarta GA-sekian-sekian, seat 1A, business class. Saya kaget.
"Mas Hery, yang bener aja, masak saya naik kelas bisnis, udah gitu duduk di paling depan lagi."
"Iya, Mas. Adanya tinggal itu. Itu aja orangnya sudah sempet ceck in."
Waduh, cilaka. Apa kata Dirjen dan Menteri nanti? Saya segera konsultasi dengan para ajudan mengenai kondisi ini. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Sialan.

"Udah Mas, duduk aja di situ, enak lho..."
"Iya Mas, saya aja yang nganter Ibu kemana-mana belum pernah naik kelas bisnis."
"Plis, tukeran dong, kalian deh yang duduk di bisnis, aku dui belakang aja," rengek saya.
Mereka bergeming karena alasan yang menurut saya logis. Wajah mereka sudah amat dikenali oleh para atasannya. Akan menjadi sebuah tragedi jika mereka ketahuan duduk di kelas bisnis karena memang jatah kami adalah kelas ekonomi. Apalagi para atasan mereka duduk di seat 3A, B, C dan D.
Panggilan boarding telah tiba. Saya segera keluar dari ruang VIP Bandara Padang paling awal. Jaket tipis dan topi gunung yang untungnya saya bawa segera saya kenakan. Saya naiki tangga pesawat itu dengan hati risau.
Tempat duduk itu berada di sayap kiri, posisinya paling depan, mepet dengan jendela. Joknya amat lebar untuk ukuran tubuh saya. Semua penumpang kelas ekonomi sudah masuk. Inilah saat-saat yang mendebarkan bagi saya. Satu per satu penumpang kelas bisnis memasuki pesawat. Tiga wajah ajudan terlihat, pertanda di belakang mereka adalah giliran atasannya. Saya segera menurunkan topi saya, nyaris menutupi seluruh wajah saya, mengancingkan jaket, dan berpaling ke kiri melihat ke arah jendela. Pramugari sigap membagikan handuk dingin dan minuman pembuka. Saya sambar cepat-cepat. Pun juga ketika makanan dihidangkan. Saya memakannya sembari tetap menoleh ke arah jendela. Hingga pesawat ini landing di Jakarta.

Warung Soto Ceker samping kantor, 29 Agustus 2013 07:30:55 WIB.

Tuesday, August 27, 2013

Berlebaran dengan Musuh Bebuyutan

Sawah di seberang ladang bapak
 
Wonogiri, 9 Agustus 2013. Lebaran hari ke dua.
Hawa dingin semalam, kami menyebutnya bediding, hanyalah salah satu pertanda bahwa musim kemarau telah tiba. Jauh-jauh hari sebelum mudik adik saya, Titik, sudah berpesan agar kami membawa selimut tebal. Hawa di desa saya sedang tidak bersahabat. Ketika siang panas terik, sedangkan malam hari dining menusuk tulang. Selimut hangatlah yang kemudian  meninabobokkan saya, terlelap sampai-sampai adzan Subuh di mushola depan rumah bapak saya tak terdengar. Ujian keimanan  yang sebenarnya, kata ustadz di sebuah pengajian, memang pada Subuh lebaran ke dua. Jika pada Lebaran hari pertama Sholat Subuh kita masih terjaga kualitasnya karena biasanya kita akan meneruskan aktifitas sholat Idul Fitri, tidak demikian dengan lebara hari ke dua. Dan itulah yang terjadi pada diri saya pagi itu. Iman saya belum teruji.

Desaku dari atas Watu  Gowok, Pakelan
Kelar menunaikan sholat Subuh yang kesiangan tersebut saya beranjak ke kandang ayam. Ada beberapa butir kelapa yang belum dikupas. Ibu semalam sudah menyuruh saya mengupasnya untuk malam nanti santannya dipakai memasak opor ayam. Agak lama baru bisa menemukan linggis yang akan saya pakai untuk mengupas kelapa ini. Rupanya linggis itu ditaruh bapak di bagian belakang kandang ayam. Saya segera menancapkan bagian atas linggis tersebut ke dalam tanah yang lunak permukaannya. Perlu beberapa kali upaya agar linggis tersebut tertancap dengan kukuh di tanah. Saya lantas mengambil sebutir kelapa dan segera membenturkannya ke ujung linggis untuk mengupas sepet kulit kelapa. Kebisaan ini saya punyai sejak kecil dan sampai sekarang sengaja saya pelihara. Saya bangga bisa mengupas kelapa menggunakan linggis yang posisinya dibalik seperti ini. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk mengupas lima butir kelapa yang sudah tua ini. Bongkahan sepetnya segera kumpulkan di dekat tiang kandang ayam, agar kelak bisa dipakai untuk membuat perapian. Butiran kelapa yang sudah terkupas lantas saya pecahkan batoknya, saya buang airnya karena kelapa tua seperti ini airnya sudah tidak manis lagi.

Saya baru saja selesai mengembalikan linggis ke tempatnya semula ketika bapak muncul dari arah sungai.

"Ngapain, To?"
"Ini habis ngupas kelapa, Pak."
"Ayok jalan-jalan ke kebun, nengok kayumu."
"Inggih, Pak."

Saya berjalan di samping bapak menuju ke arah timur rumah. Sebelum mencapai kebun dimaksud, bapak berhenti di bagian belakang rumah kandang ini.

"Jadi gini To, pekarangan rumah sampai batas sini ini jatahnya adikmu Titik. Kalian yang anak-anak lanang jangan mengharap bagian tanah dan rumah sampai bagian ini yo."
"Inggih Pak. Saya mengerti."
"Nah, mulai batas ini sampai nanti ketemu parit, itu adalah masih haknya bapak sama ibumu," ujar bapak sembari meneruskan langkah.

Kami melangkah melewati parit-parit diantara gundukan tanah yang tampak kosong padahal di dalamnya adalah tanaman kunyit yang memang sedang "tidur" ketika musim kemarau. Kunyit tersebut tahun depan siap dipanen.
Tanaman kunyit sedang tidur di gundukan tanah itu

Tibalah kami pada parit kering yang melintang di depan kami, dari sisi selatan ke sisi utara menuju sungai. Di sebelah timur parit ini berdiri pohon durian.

"Nah mulai dari parit ini sampai pinggir sungai sana juga sudah haknya adikmu Titik. Tanah ini bapak tukar dengan tanah depan rumah punya adikmu Titik yang sekarang bapak wakafkan untuk bangunan mushola itu."

Saya memandangi bentangan lahan di depan kami. Lahan ini berukuran 300 m2 dan ditumbuhi beragam kayu keras, mulai dari sengon laut, waru dan beberapa jati. Sebelah utara dan timur lahan ini berbatasan dengan sungai, sedangkan sebelah selatannya adalah pekarangan lek Kasnidin. Saya manggut-manggut mendengar konsep tukar guling bapak.

Sungai di bawah rumah bapak
"Ayuk sekarang ke pekarangan lek Kasnidin, lihat kayumu."
"Inggih, Pak."

Posisi pekarangan lek Kasnidin lebih tinggi dibandingkan lahan yang kami lewati. Saya beberapa kali harus jalan di depan dan menarik tangan bapak agar beliau bisa menaiki lereng pekarangan tersebut. Diabetes yang diderita bapak sejak sepuluh tahun yang lalu menggerogoti syaraf lututnya sehingga bapak tidak selincah dulu lagi.

"Nah itu To, kayumu yang kamu beli sepuluh tahun lalu."
"Wah, sudah gede juga tu pak, bisa buat ningkat rumah, hahaha.."
"Iyo.. Harusnya kelima-limanya besarnya sama. Tapi jangan marah yo le, yang dua dijual lagi oleh lek Kasnidin tanpa seijin bapak. Terus sama dia ditukar dengan yang lebih kecil."

Saya terdiam mendengar kabar tersebut. Saya amati lima batang kayu jati yang berdiri di pekarangan lek Samidin ini. Tiga batang pertama usianya mungkin sudah 25 tahun, diameternya sekitar 40 centimeter. Dua batang sisanya masih agak kecil, berdiameter sekitar 30 centimeter. Saya jengkel sekali dengan ulah lek Kasnidin ini.

Suatu hari sepuluh tahun yang lalu bapak datang ke Jakarta menengok kami. Saya ingat waktu itu bapak baru saja pensiun. Beliau bercerita bahwa ada pohon kayu jati yang mau dijual milik lek Kasnidin. Ada lima batang harganya tiga juta rupiah. Pohon tersebut boleh dipelihara sampai kapan saja. Saya setuju untuk membeli pohon kayu tersebut, meskipun sebenarnya saya belum tahu mau saya apakan. Kini batang kayu itu kelima-limanya harusnya sudah bisa ditebang untuk dijadikan perabotan atau kusen rumah. Namun apa mau dikata yang dua batang belum siap ditebang, masih harus menunggu beberapa tahun lagi.

Dua bulan yang lalu Titik memang bercerita pada saya bahwa ada tetangga curang, kayu sudah dijual ke orang lain kok dijual lagi. Saya tidak menyangka jika kayu tersebut adalah kayu saya yang saya beli sepuluh tahun yang lalu.

"Inggih Pak, nggak apa-apa. Saya yakin lek Kasnidin pasti sedang kepepet sampai bertindak begitu," ujar saya sembari menahan rasa jengkel.
"Iyo Le, sudahlah, sewu dalaning rejeki, seribu pintu rejeki, nggak usah kawatir."
"Inggih, Pak."
"Ayo sekalian kita lebaran ke rumah lek Kasnidin."

Saya kian terhenyak mendengar ajakan bapak. Saya sama sekali tidak terpikir untuk berlebaran ke orang yang telah berbuat curang kepada saya. Tidak demikian dengan bapak.

Kampung Makasar, 20 Agustus 2013 22:07:44 WIB.

58 Detik



Kepergian saya siang ini ke kantor hanyalah untuk mengambil sejumput kain bahan baju. Kain motif batik tersebut merupakan bahan seragam panitia Konferensi SGATAR minggu depan. Saya berpikir mumpung hari libur dan itulah waktu luang saya untuk membawanya ke penjahit langganan di pasar Kramat Jati.

Perjalanan ke kantor sempat terhadang kemacetan di lampu merah Pancoran. Saya menyesal kenapa saya tadi tidak masuk tol di pintu depan menara Saidah. Jakarta tetap menyajikan kemacetan meski di hari libur. Akhirnya saya masuk tol di pintu depan eks Mabes AU. Penyesalan saya niscaya akan bertambah jika nekad tidak masuk tol, karena ternyata menjelang lampu merah Kuningan lalu lintas  juga macet.

Setiba di kantor saya segera mencari bahan baju tersebut. Kepalang tanggung, saya sekalian saja memindahkan file dari kartu memori kamera ke komputer. File tersebut adalah hasil liputan saya di Semarang dan Magelang hari Kamis dan Jumat kemarin. Tiba-tiba telepon seluler saya berdering, anak bungsu saya menelepon.

"Pak, masih di kantor?"
"Masih, Nak."
"Pulang jam berapa? Aku jam satu minta dianter les sama Bapak."
"Ni sdh mau pulang kok, Nak. Sebentar ya."

Saya lirik arloji saya, pukul 12.15 WIB. Saya bergegas membereskan meja sembari menunggu proses pemindahan file ke komputer. Seperangkat kamera saya pindahkan dari tas ke dry cabinet.

Saya baru saja mau menyalakan mobil ketika anak saya menelepon lagi.

"Pak, sudah dimana?"
"Bapak masih di parkiran kantor, Nak. Ni mau pulang."
"Ya udah, cepetan ya, ngebut aja, salipin semua mobil."

Saya melirik arloji saya, pukul 12.30 WIB. Anak bungsu saya ini karakternya memang berbeda sekali dengan kakaknya. Kakaknya cenderung pendiam, dia tidak. Anaknya suka memprovokasi, sifatnya juga agak temparemental. Yang jelas itu bukan sifat bawaan saya.

Syukurlah lalu lintas arah pulang lancar-lancar saja. Di simpang susun Semanggi seorang pengendara sepeda motor dihentikan polisi karena masuk ke jalur khusus mobil. Saya terpaksa menghentikan laju mobil saya, memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menyelesaikan urusannya.

Saya kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Saya menghidupkan koleksi lagu-lagu Jawa klasik dari head unit mobil.Saya seperti trance setiap mendengarkan alunan lagu Jawa klasik Target saya pukul 12.50 WIB tiba di rumah untuk langsung mengantar anak saya ke tempat les.

Simpang susun Cawang saya lampaui dengan lancar. Saya sedari tadi mengambil posisi di lajur paling kanan. Lampu merah tinggal sekitar seratus meter lagi. Dari puncak simpang susun tersebut terlihat antrian mobil menunggu lampu berwarna hijau. Jumlahnya sekitar sepuluh mobil. Saya memelankan laju mobil saya.

Mendekati ekor antrian, saya pindah ke lajur kiri. Lajur kanan biasanya antriannya lebih lama karena banyak mobil memutar di lampu merah tersebut, meski jelas-jelas ada tanda larangan memutar. Saya berhenti di belakang mobil Mitsubishi lancer Evo III berwarna hitam.

Baru saya mau memindahkan tuas gigi ke posisi N, lampu merah berubah warna ke hijau. Meski saya buta warna parsial red green, tak usah diragukan kemampuan saya membedakan warna lampu merah. Saya urung memindahkan tuas gigi. Lampu merah ini dilengkapi dengan penunjuk waktu. Siang itu nyala lampu hijau diberi waktu lima puluh delapan detik. Saya melirik arloji, pukul 12.45 WIB, aman, pikir saya.

Bruk!!!! Saya kaget. Suara itu entah datang dari mana. Saya sapukan pandangan ke seliling mobil, tidak ada yang aneh. Pandangan saya lantas tertuju ke depan mobil saya. Saya merasa posisi Mitsubishi di depan saya sangat mepet dengan mobil saya. Saya diam sejenak, mencerna kejadian baru saja. Saya baru sadar, posisi gigi mobil saya di D dan hanya saya tahan dengan pijakan rem kaki.  Saya tidak menguncinya dengan rem tangan.

Saya beriam dalam mobil sambil membuka jendela kaca depan. Seorang pemuda berumur 30an, berperawakan kurus, berkulit putih, memakai kaca mata minus keluar dari Mitsubishi, mendatangi saya. Di belakang saya suara klakson memekakkan telinga, protes kepada saya.

"Mas, kita berhenti di depan aja ya, nggak enak, nanti bikin macet."

Pemuda itu kembali ke mobilnya. 58 detik tadi sudah berlalu. Mobil kami terhadang lampu merah. Pemuda itu kembali mendatangi saya. Wajahnya menggambarkan emosinya. Saya menenangkan diri saya.

"Mas, maaf, saya yang salah. Kita berhenti di dekat bengkel Nissan ya."

Dua ratus meter dari lampu merah tadi Mitsubishi itu berhenti, saya ikut berhenti. Dia berjalan ke arah belakang mobilnya, memeriksa bumper belakang. Kukunya mengorek-orek cat yang terkelupas.

"Mas, saya minta maaf. Saya yang salah. Kita ke bengkel aja yuuk, biayanya saya ganti."

Saya mengulurkan tangan, dia menyambutnya, kami berjabat tangan.

"Wah, nggak bisa, Pak. Saya mau pulang."
"Pulang ke arah mana, Mas?"
"Ke Ciracas."
"Ya udah, kita mampir bengkel sekalian saja. Bengkelnya bagus kok, langganan saya. Letaknya di sebelah kanan, sebelum makam Kebon Pala."
"Bapak tinggal dimana?"
"Saya tinggal di Kampung Makasar, Mas."
"Ya sudah kalo gitu. Bapak duluan, saya ikut di belakang."

Agak susah untuk mendahului mobil itu di jalur utama bandara Halim ini.  Jalannya hanya dua jalur dan siang ini amat ramai. Di depan klub eksekutif Persada saya baru berhasil mendahuluinya. Mendekati bengkel Ketok Magic Pak Imam, saya memelankan laju mobil. Saya langsung parkir di depan pintu bengkel, satu-satunya tempat yang tersedia siang itu. Mitsubishi itu berhenti di seberang bengkel.

"Ciloko, mas... Aku nyruduk mobil," ujar saya kepada tukang ketok yang menyambut saya.
Hampir seluruh pegawai bengkel ini telah saya kenal dengan baik. Sejak tahun 2000 saya berlangganan dengan bengkel ini. Meski bernama ketok magic, tak usah berharap ada unsur magis dalam proses kerjanya. Mereka hanya mengandalkan puluhan alat ketok dan kepiwaian mengetok penyok semata, tak lebih. Bahkan tak seperti bengkel ketok magic lainnya, dia tidak menyembunyikan proses kerja pengetokan mobil.

"Mana mobil yang ditabrak, Pak?"
"Tu, parkir di seberang."
"Suruh parkir depan makam aja, Pak. Nanti saya lihat."

Saya menyeberang jalan. Pemuda itu saya suruh parkir di lahan parkir makam yang jaraknya hanya 30 meter dari sini. Saya menyusul berjalan kaki bersama tukang ketok.

"Ini mas, tolong diperbaiki bumper belakang, ongkosnya jangan mahal-mahal lho," ujar saya kepada tukang ketok sesampai di parkir makam.
"Ini harus dicat satu bumper, Pak. Kalo nggak nanti belang."
"Yo wis, kalo memang harus begitu..."
"Enam ratus ribu, Pak."
"Wah...kok mahal gitu?"
"Iya, Pak. Bumper ini baru saja saya cat. Habisnya memang segitu," sergah pemilik Mitsubishi itu.
"Tapi mobilnya harus nginap lho, mas."
"Waduh, mobilnya saya pakai kerja, je. Gimana, dong."
"Ya sudah gini saja, mas," saya menyela. "Kalo memang hari ini mas belum sempat mbetulin di sini karena mobilnya mau dipakai, silahkan saja kapan-kapan ke sini lagi. Pokoknya semua biaya saya tanggung."
"Gini aja deh, Pak. Saya minta ganti uang aja."
"Oh, ya sudah kalo gitu. Kita ke ATM depan, Mas."
Oya, Pak. Saya minta gantinya nggak usah 600.000 tapi 500.000 saja."
"Okay, mas."

ATM BRI yang seyognyanya saya hampiri ternyata parkirnya penuh. Saya lantas beralih ke ATM lain di mini market Alpha Midi Kampung Makasar. Perlu waktu lima menit untuk tiba di sini.

Sepuluh lembar uang pecahan lima puluh ribuan saya sodorkan kepadanya yang menunggu saya di parkiran mini market.

"Berapa ini, Pak?"
"Lima ratus ribu, kan Mas. Sesuai dengan jumlah yang sampeyan minta."
"Nggak kebanyakan, Pak?"
"Lho....lha sampeyan mintanya berapa to?"
"Iya sih, Pak."
"Ya sudah mas, terima saja. Saya yang salah. Saya ikhlas dan fair kok, Mas."
"Baik, Pak. Makasih pengertiannya."

Kami berpisah di sini. Saya menelepon rumah sebelum beranjak, berharap anak saya belum berangkat les.

"Abyan sudah berangkat bareng temennya, Pak. Naik angkot," ujar nyonya saya di seberang telepon.

Saya tertunduk lesu. Pukul 13.15 WIB.


Kampung Makasar, 24 Agustus 2013