Sunday, September 29, 2013

Tersekap Prasangka



Yogyakarta, 26 September 2013, pukul 05.45 WIB.
Sebetulnya saya janjian sama Erwan dan Alpha untuk bersama-sama jalan kaki ke Malioboro. Namun setelah saya tunggu-tunggu di lobi selama 5 menit mereka tak muncul jua. Saya memutuskan untuk menyusuri pagi ini seorang diri. Di bahu kanan tergantung kamera Nikon D90 dan lensa 20-35 mm. Yogya pagi ini dikurung mendung. Hawa dingin masih menyelimuti jalan ini.

Baru beberapa puluh meter melangkah, tukang becak sudah menghampiri saya, menawarkan jasanya.

"Mari, Pak.. Lima ribu saja, keliling cari oleh-oleh...Dagadu, batik, gudeg."
"Mboten, Pak. Saya pengin jalan kaki."
"Murah kok Mas. Itung-itung ngasih penglaris saya. Belum narik nih Mas..."

Saya mulai jengkel ketika tawaran itu berubah menjadi emisan. Bagi saya itu tidak fair, profesi ya profesi, pisahkan dari unsur meminta-minta. Saya meneruskan perjalanan ke arah selatan.

Belum juga genap 25 meter melangkah, tukang becak yang lain sigap menyergap saya. Modusnya sama. Menawarkan jasa, lantas mengeluh belum narik. Saya kian cuek. Jawaban saya kian pendek.

Gerbang Stasiun Tugu sudah di depan mata. Saya menyeberang ke sisi kanan jalan Mangkubumi. Dua orang tukang becak sedang asyik memotret diri mereka sendiri tepat di bawah monumen kereta api di gerbang itu. Saya mengabadikan peristiwa itu dari jarak 10an meter. Mereka supanya sadar dengan kelakuan saya.

"Wah, kita malah difoto ni..."
"Hehe... Pose lagi mas, saya foto dari sini."
"Wah, orang jelek kok difoto to Mas..."

Saya berjalan mendekati mereka.

"Monggo Mas sarapan makanan ndeso. Pasti Mas ini nggak kenal makanan ini."
"Apa to Mas sarapannya?"
"Thiwul, Mas."
"Walah... Thiwul mah makanan sehari-hari saya dulu, Mas. Saya kan orang Wonogiri."
"Ooooo... Saya Pacitan Mas..."

Obrolan singkat itu saya pungkasi. Saya meneruskan perjalanan ke arah selatan, menyeberangi rel, memasuki ruas jalan Malioboro. Saya berjalan di sisi timur jalan ini. Sisi timur lansekapnya lebih terbuka dibanding sisi barat yang trotoarnya berada di emperan toko beratap. Belum lagi pinggir emperan itu dipenuhi lapak pedagang kaki lima, sehingga trotoar itu menjelma menjadi lorong sempit dan panjang.

Saya tak sempat menghitung jumlah tawaran tukang becak yang menghampiri saya. Beberapa bahkan membuntuti saya sejauh beberapa langkah. Jawaban saya hanya sepotong.

"Mboten Pak, saya mau jalan kaki."

Hasrat memotret saya lantas sirna. Tawaran tukang becak itu sungguh mengganggu konsentrasi saya. Akhirnya saya memilih berjalan kaki semata, tak memotret sejepretpun.

Ujung jalan Malioboro itu berupa perempatan besar. Sisi timur lautnya adalah Benteng Vredeburg. Saya berhenti di bangku beton yang terletak persis di depan benteng itu. Secangkir kopi panas lantas saya pesan dari seorang kakek yang berjualan di bawah pohon. Saya duduk melamun, memandangi gedung BNI yang terletak di sisi barat daya perempatan ini. Matahari masih tertutup awan.

Kopi hangat itu belum saya sentuh ketika seorang pria berperawakan jangkung, berpakaian olah raga dan mengenakan topi, mengucapkan salam kepada saya. Dia lantas duduk di sebelah kiri saya, dekat dengan cangkir kopi dan rokok saya. Saya menggeser duduk saya ke kanan demi memberinya ruang kepadanya. Dia lantas memesan kopi serupa dengan pesanan saya tadi.

"Enak ya Pak, jam segini jalan pagi," sapanya.
"Iya, Pak."
"Kenalkan, Pak. Saya Hari."
"Saya Slamet, Pak."
"Pak Slamet dari mana?"
"Saya sebenarnya orang Wonogiri, kerja di Jakarta, lagi dinas di sini, Pak. Pak Hari sendiri asalnya dari mana?"
"Saya dari Jambi, Pak."
"Owh... Kakak ipar saya juga tinggal di Jambi, pak Hari."

Kami lantas tenggelam dalam obrolan seru dan intens. Saling bertukar informasi profesi, keluarga dan kepentingan. Dia mengaku seorang pengusaha kelapa sawit dan sedang ada urusan bisnis di Yogyakarta. Yogya baginya adalah kota ke dua karena ada adiknya yang bekerja di UGM. Saat ini dia sedang menunggu untuk dijemput sopir adiknya. Dia sendiri menginap di hotel Santika.

Sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba dari arah selatan muncul seorang pria berperawakan gemuk pendek. Busananya rapi, mengenakan kaos polo yang ujung bawahnya dimasukkan ke celana pendek berikat pinggang. Sepatu olah raganya terlihat mahal. Kulitnya bersih.

"Assalamualaikum. Boleh awak ikut bercakap?"

Kalimat salam itu agak tenggelam dalam deru sepeda motor yang sedang berhenti di perempatan persis di depan kami.

"Wa'alaikum salam..."
"Boleh awak minta bantuan. Awak mencari masjid As Syuhada. Awak dari kerajaan Brunei."
"Wah, saya bukan orang Yogya, Pak," jawab saya. Pria itu berdiri di sebelah kanan saya. Saya lantas memberinya tempat duduk.
"Oh, masjid As Syuhada di sebelah sana, Pak. Bapak menginap dimana?" Sergah pak Hari seraya menunjuk ke arah timur laut benteng Vredeburg.

"Awak menginap di hotel Santika."
"Lho sama dong. Ada perlu apa ke masjid itu?"

Dengan bahasa Melayu bercampur Indonesia, dia menerangkan maksud dan tujuannya. Pria yang mengenalkan diri bernama Aswan itu bercerita bahwa dia sedang berkeliling mencari masid As Syuhada untuk memberikan bantuan tunai. Dia juga bertanya kepada saya apakah di sekitar kampung saya Wonogiri ada yang perlu bantuan tunai untuk kegiatan keagamaan. Saya jawab bahwa kami sudah punya mushola dan sekarang sedang tidak butuh bantuan apapun. Pikiran saya mulai diselimuti syak wasangka.

"Pak Slamet, ayo kita antar pak Aswan ke masjid itu. Naik mobil saya aja, itu mobilnya sudah menunggu di depan Kantor Pos."

Saya gamang menghadapi situasi ini. Pikiran saya dipenuhi pikiran buruk. Belum sempat saya menjawabnya, pak Hari berucap lagi.

"Ayo Pak Slamet, kita berangkat."

Saya bak kerbau yang dicocok hidungnya. Kami bertiga melangkah ke arah timur ke Jalan Senopati. Sebuah mobil Rush berwarna hitam telah terparkir tak jauh dari tempat kami duduk tadi.

"Pak Slamet duduk depan saja. Saya yang nyetir," kata pak Hari sembari mengambil kunci mobil dari sopir yang menjemputnya. Lagi-lagi saya seperti dihipnotis. Jadilah sopir itu berpindah ke bangku tengah belakang sopir dan Aswan duduk di belakang saya. Mobil lantas dijalankan. Cara menyetirnya agak grusa-grusu. Tiba di pertigaan pertama mobil itu belok ke kiri, ke arah jalan Mayor Suryotomo. Kepadatan lalu lintas pagi itu membuat mobil ini harus zigzag.

Pikiran saya mulai kalut. Saya menyesal, kenapa saya ikut mobil ini. Siapa mereka ini? Rasanya terlalu mudah untuk sebuah momen kebetulan. Saya menangkap ada skenario yang sudah terancang sebelumnya. Kemunculan Aswan pasti tidak kebetulan.

Saya sengaja tidak memasang sabuk pengaman agar jika terjadi apa-apa saya bisa segera melarikan diri. Saya menghafal letak handle pembuka kunci pintu dan tuas pembuka pintu. Saya memperhitungkan ground clearance mobil ini. Mata saya awas mengamati gerak-gerik orang yang duduk di belakang saya. Tangan kanan saya menggenggam erat kamera Nikon D90, siaga menjadikannya senjata apabila diperlukan. Tali gantungannya saya ikatkan ke pergelangan tangan.

"Pak Slamet, awak minta nomor hapenya."
"Saya juga, Pak," pak Hari ikut menimpali.

Saya sebutkan nomor ponsel saya. Mereka lantas melakukan panggilan ke nomor saya. Saya abaikan saya, tak segera menyimpannya. Konsentrasi saya sedang tertuju pada dua orang itu.

Tak terasa mobil sudah tiba di pertigaan jalan Mataram dan jalan Abu Bakar Ali. Di depan terliat tiga polisi sedang menjaga dan mengatur lalu lintas.

"Pak, ada polisi. Sabuk pengamannya tolong dipakai."

Saya makin gugup. Skenario itu rupanya terbaca olehnya.

Mobil mengambil posisi berbelok ke kanan, ke arah jalan Abu Bakar Ali, karena kalau belok kiri akan kembali ke arah jalan Malioboro. Saya sedikit tenang, artinya mobil ini melaju ke arah yang benar, masjid As Syuhada. Masjid itu, kata pak Hari tadi, terletak di dekat jalan Jendral Sudirman, searah ke hotel Santika tempat mereka menginap.

Ajakan cakap Aswan tentang tawaran bantuan ke desa saya tidak terlalu saya tanggapi. Saya tegaskan bahwa saya tidak tinggal di desa itu sehingga sulit mengkomunikasikannya. Dia nekad saya mengoceh dalam bahasa Melayu yang kurang jelas tertangkap maksudnya. Saya tak peduli.

"Nah itu masjidnya, Pak," ujar pak Hari.

Di depan sebelah kiri terlihat kubah masjid yang amat besar. Sejurus kemudian masjid itu terlihat utuh. Sebuah bangunan tua berwarna putih tegak berdiri dengan megah. Pagarnya terbuat dari besi tempa, sudah kusam catnya. Di sisi kirinya terdapat Taman Kanak-kanak.

"Wah, ini tidak perlu bantuan. Masjidnya sudah jadi," ujar Aswan.
"Lho, pak Aswan nggak menemui pengurusnya dulu? Siapa tahu mereka butuh bantuan untuk mengembangkan pendidikannya."
"Tak usah, kita terus saja."
"Iya, pak Slamet. Mungkin pak Aswan pengin mbantunya soal pembangunan fisik."
"Lho, itu kan ada TK, pak Hari. Siapa tahu pengurus butuh bantuan dana untuk pengembangan pendidikannya."

Pak Hari tetap saja tak menghentikan laju mobilnya. Saya kembali tegang. Ini sudah tidak benar. Tadi Aswan begitu menggebu berbicara tentang tawaran bantuan tunai dari Brunei tapi tak tertarik sama sekali mensurvey masjid ini. Kepercayaan saya hilang seketika, berubah menjadi prasangka. Ini pasti konspirasi. Saya pasti sedang diperdaya. Tangan saya kembali bersiaga.

Tak berapa lama kami sampai di pertigaan jalan Jendral Sudirman. Beberapa puluh meter dari sini kami akan sampai di hotel Santika. Mobil berbelok ke kiri, ke arah barat.

"Saya turun di depan saja, pak Hari, tidak usah diantar ke penginapan."
"Oh, nggak apa-apa pak Slamet, saya antar saja."
"Iya, pak Slamet, biar diantar saja," Aswan ikut menimpali.

Hotel Santika lantas terlewat begitu saja. Saya tetap waspada. Di depan adalah perempatan Tugu. Saya sudah putuskan, apabila mobil ini tidak belok kiri ke arah jalan Mangkubumi, saya akan kabur di perempatan itu.

Mobil ini berjalan pelan, berbagi ruang dengan kendaraan lain yang mulai menyemut pagi ini. Jam digital di dashboard menunjukkan angka 07.15 WIB.

Saya baru bernafas lega dan mengikis prasangka buruk ketika akhirnya mobil ini berhenti di depan lobi hotel Grand Zuri. Sembari sarapan

Gudeg di resto hotel yang terasa asin banget, saya ngunandika, prasangka dan kekawatiran ternyata tidak akan membawa saya kemana pun.

Yogyakarta, 27 September 2013, 07:17:45 WIB.

Monday, September 23, 2013

Saya (bukan) Ayah yang Baik

21 April 2006 - Kartinian SD Angkasa III


1 Juni 2013 - Wisuda SMP
Persoalannya sebenarnya amat sepele. Anak sulung saya, Abiyyu, waktu itu baru berumur delapan tahun. Dia duduk di kelas tiga Sekolah Dasar. Sejak kecil dia sudah didiagnosa punya alergi terhadap hawa dingin dan minuman dingin. Kami sebagai orang tuanya lantas mengambil sikap, melarang dia mengkonsumsi minuman dingin dan menyelimuti dia rapat-rapat ketika tidur. Bukan apa-apa, kami kasihan melihat kondisinya ketika terserang alergi. Saluran pernafasannya pasti tersumbat sehingga tidurnya tidak nyenyak. Dia juga ngorok.

Tapi apa daya, larangan itu sering dilanggar olehnya. Diam-diam, ketika lepas dari pengawasan kami, dia suka membeli jajanan minuman dingin. Berulangkali kami memarahinya tapi tak juga membuatnya jera.

Malam itu dia merengek minta manisan buah yang ada di lemari pendingin. Saya bersikukuh tidak mengijinkannya. Nyonya saya idem dito. Tapi dia merengek, bahkan menangis. Saya menyerah.

"Ya sudah Kak, tapi ambil sendiri ya, segelas kecil aja."

Dia lantas mengambil gelas kecil di rak piring yang terletak persis di sebelah kiri lemari pendingin itu. Saya meneruskan nonton siaran televisi di ruang tengah, persis di depan lemari pendingin itu. Ruang tengah rumah kami memang menyatu dengan dapur. Pembatasnya hanya berupa meja makan berbentuk huruf "L". Meja makan itu terbuat dari bata yang bagian atasnya saya lapisi dengan keramik ukuran 40 x 40 cm sepanjang 2 meter. Desain ini terinspirasi dari meja bar di Pasar Festival Kuningan, tempat saya dahulu suka bermain bilyard.

Di ruang tengah tempat televisi itu terpajang, tidak ada kursi atau alas lantai yang permanen. Saya memang sengaja mengosongkan ruang tengah tersebut agar terlihat lapang. Kalau pengin nonton televisi kami menggelar kasur Palembang. Praktis dan tidak memakan tempat.

Saya masih asyik mencari-cari kanal stasiun televisi yang menarik untuk ditonton ketika tiba-tiba terdengar bunyi "krompyang". Saya kaget. Bunyi itu berasal dari arah lemari pendingin. Rupanya baskom alumunium tempat manisan buah itu jatuh ke lantai. Anak saya sembrono. Dia tidak mengeluarkan baskom itu terlebih dahulu, tetapi nekad mengambil manisan buah dari dalam lemari pendingin.

"Kakak!!! Gimana sih? Ayoooo, bersihin semua tumpahan itu. Bersihin pake kain pel terus keringin pake lap!!"

Saya meradang tak kepalang. Emosi saya membuncah.

"Tadi kan bapak sudah ngomong, hati-hati ngambil manisannya. Keluarin dulu baskomnya. Masak gitu aja nggak bisa sih.

Anak saya diam, tak mengeluarkan sepatah katapun. Dia tampaknya juga kaget dengan suara keras tadi. Dengan muka menunduk dia ambil kain pel di kamar mandi. Segera dia lakukan semua perintah saya tanpa bersuara sedikitpun. Nyonya saya yang sudah tidur dengan anak bungsu saya sampai terbangun mendengar teriakan saya. Dia segera ke dapur mengambil kain lap untuk mengeringkan lantai yang sudah selesai dipel oleh Abiyyu.

"Nggak usah dibantuin, Ma. Biarin dibersihin sendiri sama kakak. Bandel sih."

Nyonya saya surut langkah. Dia sudah hafal dengan sifat suaminya. Dalam kondisi seperti ini saya memang pantang dilawan, atau saya akan kian emosi. Dia memilih kembali ke kamar tidur.

Adik kandung saya, Bowo, yang melihat kejadian itu juga tak berani berkata apa-apa. Dia memilih menyingkir ke teras. Baginya, kakak tertuanya itu terlalu menakutkan untuk dikoreksi.

Saya lantas meneruskan mencari-cari kanal siaran televisi. Tak juga menemukan siaran yang menarik, saya lantas mencuci kaki, tangan, dan muka, bersiap tidur. Sebelum menuju kamar tidur, saya melongok ke kamar tidur tengah tempat Abiyyu tidur bertiga dengan mamanya dan adiknya. Dari balik pintu saya melihat dia sedang duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk, air matanya berlinang. Dia duduk sembari memegangi gelas kecil yang masih kosong.

Saya tak jadi menuju tempat tidur. Kantuk saya hilang seketika. Dada saya sesak oleh emosi yang berbalik arah, sebuah penyesalan. Saya duduk merenung di balkon jemuran. Dalam kegelapan malam saya ngunandika. Jabatan tertinggi di rumah ini tak membuat saya dewasa. Selama ini saya cenderung gencar mengkritik atasan yang saya nilai tak punya nurani memimpin kami. Saya sedemikian mudah mencacinya, mengumpatnya dengan pikiran buruk, percuma kalian digaji besar tapi kenyataannya kalian hanya tenggelam dalam kursi empuk kekuasaan. Sejenak saya sadar, saya ternyata belum bisa memegang amanah yang secara kodrati tersemat sebagai ayah. Saya hanyalah pria ingusan yang tak bisa mengendalikan kekang amarah.

Kampung Makasar, 23 September 2013, 23:30:15 WIB.

Sunday, September 22, 2013

Katakan Tidak pada Blackberry


"Dhik, bapak mau tidur, hapenya nanti bawa masuk ya.."

"Iya, Pak. Ni Byan masih mainin."

Saya lantas beranjak masuk rumah. Minggu siang itu begitu redup, memancing kantuk cepat datang. Tak lama kemudian saya terlelap.

Saya terbangun pukul 16.00 WIB. Secangkir kopi panas sudah tersedia di meja makan. Setelah mendirikan sholat Ashar saya lantas membawa kopi itu ke teras. Deru dan laju pesawat terbang sesekali melintas di seberang rumah saya. Rumah saya memang hanya berjarak 300an meter dari landas pacu bandara Halim Perdana Kusuma.

Senja lantas datang meremang. Kelar mandi, saya langsung mendirikan sholat Magrib. Seterusnya adalah menyantap makan malam.

"Dhik, hape bapak mana?"

Anak bungsu saya terbengong. Ekspresi wajahnya dilanda kecemasan.

"Eh...dimana ya.... Tadi Byan taruh di meja situ, Pak."

Saya bergerak cepat. Naluri saya menangkap sesuatu yang buruk. Saya panggil nomor hape dari telepon rumah. Mesin penjawablah yang menyahut di seberang sana, memberitahu bahwa nomor tujuan sedang tidak aktif. Tak terdengar nada dering di dalam rumah. Nyonya saya lantas menginterogasi Abyan. Jawabannya plin-plan. Saya mencapai titik puncak emosi, pasrah. Hape Motorolla V series itu telah hilang.

Dua hari berikutnya saya disibukkan dengan pengurusan SIM Card yang hilang. Nomor ponsel itu sudah saya pakai sejak tahun 2002, dan saya sangat tidak berminat menggantinya dengan nomor baru. Terlalu ribet bikin pengumumannya.

Selesai dengan urusan penggantian SIM Card tiba saatnya membeli ponselnya. Saya browsing ke situs gadget. Saya batasi query saya pada harga di bawah dua juta rupiah. Saya memang penganut paham konservatif untuk urusan gadget. Bagi saya membelinya harus sesuai dengan kebutuhan, bukan bagian dari gaya hidup.

Saat itu ponsel pintar Blackberry sedang moncer-moncernya. Saya bukannya tidak tertarik, tapi ego saya mengatakan, Blackberry itu main stream banget. Saya amat benci dengan perilaku penggunanya yang selalu tenggelam dalam ke-autis-annya. Ego itu menuntun keputusan saya, saya akan membeli ponsel apapun asal bukan Blackberry.

Pilihan saya akhirnya jatuh ke Nokia E63 seharga 1,85 juta rupiah. Ini ponsel Qwerty pertama saya. Bagi saya penampilan antar mukanya elegan dan ukurannya ergonomis di telapak tangan saya yang berjari besar ini.

Hari Kamis saya sudah kembali terhubung ke dunia luar. Puluhan pesan pendek menyerbu masuk di hari pertama tersebut. Beberapa pengirim pesan mengeluh kemana saja saya selama tiga hari tidak bisa dihubungi sama sekali. Salah satu pesan pendek itu datang dari sahabat saya yang berkantor di lantai 26 gedung yang sama dengan kantor saya.

"Bey, kemana aja seeeh. Cepet hubungi aku dong, urgent."

Saya segera menghubungi dia. Panggilan saya tidak dia respon. Saya lantas mengirim pesan pendek, memberitahu penyebab putusnya komunikasi tersebut. Pesan pendek itu tidak terbalas sampai hari Jumat keesokan harinya. Saya dalam hari bertanya-tanya, ada apa gerangan. Dia menyuruh saya untuk menghubunginya tetapi sampai Jum'at siang tidak ada balasan pesan pendek saya.

Panggilan darinya akhirnya masuk ketika sudah pukul 15.00 WIB.

"Adoooh....kenapa sih hape bisa ilang gitu?"

"Biasa lah Pak, anakku lupa, hape di taruh di teras. Yo wis, bablas angine..haha.."

"Eh, Bey... Kebetulan aku baru ganti hape. Lu mau nggak pake hapeku yang lama. Tapi maaf lho ya, ini lungsuran."

"Weh....hape Blackberry itu?"

"Iya.... Mau nggak? Kalo mau sore ini ambil ke 26 ya.."

Saya tertegun setelah percakapan tersebut usai. Rentetan peristiwa dari hari Minggu ini begitu sarat makna bagi saya. Kehilangan ponsel merupakan sesuatu yang menyakitkan dan mengesalkan. Kerugian material jelas, tapi yang lebih terasa adalah hilangnya seluruh kontak di ponsel tersebut. Ketika kemudian saya memutuskan membeli penggantinya, ego saya mengatakan asal bukan Blackberry. Tapi apa lacur, belum genap 24 jam ego itu saya eksekusi, saya mendapat rejeki lungsuran Blackberry.

Kini tiga setengah tahun telah berlalu. Saya tetap setia memakai Blackberry. Ini adalah satu-satunya ponsel yang saya punya, tak ada ponsel lain di tangan saya. Ini adalah Blackberry ketiga yang saya punyai. Ketiganya pemberian semua, tidak ada yang saya beli sendiri.

Sejarah sedang berulang. Dunia sedang goncang oleh langsiran program chatting BBM untuk pengguna ponsel berbasis Android dan Ios. Sejenak hiruk pikuk pameran mobil di Kemayoran terlupakan. Anak sulung saya sudah kasak-kusuk dengan teman-temannya mengenai PIN yang akan segera tertanam di ponsel Android-nya. Teman-teman komunitas mobil se-merk bahkan sudah banyak yang berhasil memasang program tersebut dan dengan percaya diri mengumumkan PIN-nya minta di-invite. Di media sosial pun diramaikan dengan hal ini. Saya tersenyum dalam hati. Saya hanya belajar satu hal, tak ada gunanya menaruh rasa apapun secara berlebihan, termasuk rasa benci. Terbukti ego saya menemukan karma. Say no to Blackberry itu hanya bertahan tiga hari.

Teras Rumah, 22 September 2013, 20:19:05 WIB.
*tulisan ini dibuat di aplikasi Note Blackberry...