Friday, October 11, 2013

Mengabdi pada Kemudi



Hari baru saja berganti ke Sabtu ketika saya, Arief dan mas Bimo melangkah keluar dari kantor, minggu lalu. Arief memisahkan diri di pintu basement, dia menuju parkiran sepeda motor. Saya berdua dengan mas Bimo meneruskan langkah kaki ke jalan Gatot Subroto, mencari taksi. Sebuah acara di kantor menyatukan kami bertiga. Tadinya hanya Arief saja yang terlibat, karena saya masih dinas ke Yogya. Rupanya acara di Yogya bisa dipercepat sehingga saya bisa membantunya. Tanpa sepengetahuan saya, rupanya mas Bimo juga dimintain bantuan oleh salah satu koleganya di sini.

Taksi pertama segera datang. Saya persilahkan senior saya untuk menaikinya terlebih dahulu. Tinggallah saya sendirian berdiri di kegelapan. Tak lama sebuah taksi kosong tampak dari kejauhan. Segera saya lambaikan tangan untuk memberhentikannya.

"Selamat malam, Pak. Tujuan mana?"
"Kampung Makasar Halim ya, Pak."
"Baik, Pak. Maaf saya colokin kartu saya dulu, soalnya tadi sudah saya matikan argonya, sudah mau pulang."

Pengemudi itu lantas memasukkan kartu yang bentuknya mirip kartu ATM ke mesin argo taksi. Hebat juga teknologi taksi ini. Argo tidak akan bisa diakses jika pengemudi tidak memasukkan kartu akses tadi.

"Pool mana, Pak?"
"Tangerang, Pak."
"Waduh, bapak nanti kemaleman dong sampai pool?"
"Nggak apa-apa, Pak. Paling kena denda tiga puluh ribu."

Simpang susun Semanggi baru saja terlewati. Lalu lintas agak padat menjelang Plasa Semanggi. Sebuah bus ngetem di halte.

"Pak, kok perusahaan ndenda gitu, sih? Kan Bapak nyariin duit buat dia.."
"Ya buat disiplin aja, Pak. Ini kan taksi setoran, bukan komisi."

Logika saya belum menemukan kaitan atas dua premis itu.

"Emang berapa setorannya, Pak?"
"Tiga ratus ribu, Pak. Buat bensin seratus lima puluh ribu, makan lima puluh ribu.
"Jadi sehari Bapak bawa uang berapa?"
"Ya nggak tentu, Pak. Bapak hitung aja sendiri. Kalo dapet lima ratus ribu berarti saya nggak bawa pulang seperak pun..."

Saya mengamati profil pengemudi itu dari sisi samping belakang. Badannya ceking, rambutnya sudah memutih semua.

"Maaf, Bapak usia berapa?"
"Enam puluh dua tahun, Pak."

Saya terhenyak. Tiba-tiba saya terbang ke Wonogiri, membayangkan bapak saya yang usianya sama dengannya.

"Narik taksi dari tahun berapa, Pak?"
"Tahun tujuh enam, Pak."
"Haaaa? Itu saya baru umur dua tahun, Pak."

Di pom bensin Shell Pancoran saya meminta berhenti sebentar. Saya mampir ke mini market untuk membeli rokok. Pengemudi itu juga turun, membeli minuman isotonic.

"Kenapa nggak alih profesi, Pak?"
"Mau jadi apa, pak? Saya nggak punya kepandaian apa-apa selain nyopir. Lagian usia segini, saya mau kerja apa?"
"Tapi apa cukup penghasilan Bapak buat hidup sehari-hari?"
"Hehe...dicukup-cukupin, Pak. Rejeki sudah ada yang ngatur. Hari ini saya nombok setoran mungkin besok saya dapet lebihan. Gitu aja, Pak. Pusing kalo dipikirin mah."

Saya tertohok. Bulan ini saya merasa miskin. Penghasilan rutin saya tak mampu membiayai pengeluaran keluarga saya. Dalam hati saya sempat mengumpat institusi saya yang seolah tidak memikirkan kesejahteraan pegawainya.

"Anak sudah gede-gede, Pak?"
"Sudah, Pak. Alhamdulillah sudah kerja semua."
"Terus Bapak mau jadi sopir sampai kapan?"
"Saya punya cita-cita tiga tahun lagi berhenti, Pak. Bodo amat nggak punya duit. Saya mau istirahat. Saya mau ikut anak aja. Cukup sudah tiga puluh sembilan tahun saya mengabdi di belakang kemudi."

Ah.... Lagi-lagi saya tertohok. Beberapa waktu yang lalu, sahabat saya menawari saya untuk kerja dengannya dengan gaji dua kali lipat dibanding gaji saya sekarang. Saya sempat diskusikan dengan nyonya, mertua, adik, dan terakhir dengan bapak saya. Bapak saya cuma berujar singkat.

"Jadi pegawai negeri itu separonya ngabdi, lho Le... Kalo bisa jangan keluar."

Soto Ceker samping kantor, 2 September 2013, 13:23:08 WIB.

Saya Bangkrut karena Tak Sabar


"Good evening, Sir. I think I can help you."
"Really? Please take me to jalan Jaksa..."
"Yes, Sir..."

Sepotong obrolan itu bukan terjadi antara siapa-siapa, hanya antara sopir taksi dan seorang bule yang berdiri di depan Kantor Kedubes Amerika Serikat beberapa minggu yang lalu. Sopir taksi itu barusan mengantar saya ke terminal 1C Bandara Soetta.

Semula saya berniat naik taksi sampai terminal Rawamangun saja, seperti biasa. Kekawatiran saya akan kemacetan lalu lintas lah yang mengubah rute saya. Begitu naik, sopir itu mempersilahkan saya merokok. Rupanya dia melihat saya membuang rokok sesaat sebelum masuk taksinya. Saya memilih tidak merokok, rasanya tak nyaman melakukannya.

Sopir itu seorang pria berumur 50-an tahun, bernama Soeyitno. Perawakannya tegap, mukanya segar. Sesaat kemudian saya lantas sibuk menelepon ke Bowo, kameraman saya yang sedang on job di gedung BPK. Saya memberi instruksi tentang blocking kamera dan menjelaskan rundown acara. Telepon terputus.

"Kerja dimana, Om?"
"Di pajak, pak. Tapi lagi ada kerjaan sampingan di BPK."
"Wah, malaikatnyan BUMN, tu.."
"Kenapa, Pak?"
"Iya, bos-bos BUMN kan paling takut sama BPK."

Saya terhenyak. Sopir ini terlalu sok tahu menurut saya.

"Sudah lama di Blue Bird, Pak?"
"Baru tiga bulan, Om.."
"Sebelumnya kerja apa, Pak?"
"Sopir juga, tapi bawa direksi di perusahaan swasta."
Saya mulai makhfum. Tol R. Soediyatmo pagi itu lumayan lancar. Obrolan kami lantas berlanjut.
"Saya pernah sukses, Om."
"Oya? Usaha apa, Pak?"
"Pakan ternak, Om... Sehari saya bisa jual jagung buat merpati dua ton..."

Dia lantas panjang lebar menceritakan kesuksesannya. Semua berawal dari krisis moneter tahun 1998. Dia dirumahkan perusahaan tempat dia bekerja sebagai sopir karena bank itu gulung tikar. Bermodal sedikit tabungan, pria beranak dua ini lantas membuka usaha pakan ternak, utamanya jagung buat merpati.

Dia bercerita bahwa jagung dari petani itu rupanya rata-rata sudah mengendap selama dua bulan sebelum sampai di tangannya. Kondisinya amat dekil. Dia lantas berinisiatif mensortir jagung itu, mencucinya hingga bersih, hal yang tidak dilakukan oleh pedagang lain. Inilah yang membuat komoditinya laku keras. Usahanya berkembang dan melebar. Dia merambah ke pakan ayam bangkok berupa gabah beras merah. Lagi-lagi dia melakukan inovasi. Sebelum dijual, gabah itu dia sortir dengan cara merendamnya dalam air. Gabah yang mengapung berarti tak layak jual. Inovasinya mendulang kesuksesan. Usahanya menjulang. Omsetnya kian membesar. Suatu hari godaan itu datang...

Pak Soeyitno, demikian nama sopir itu,  pengin membesarkan usahanya. Bank-lah yang jadi tujuan pencarian sumber modalnya. Apesnya tak satupun proposal pengajuan kreditnya diterima. Dia frustasi. Kesabarannya mentok. Dia lego semua asset usahanya, laku seratus juta rupiah. Uang hasil penjualan itu habis dalam waktu sebulan, tak bersisa. Bahkan untuk sekedar membeli rokok pun dia tak punya.

Dia lantas banting setir ke usaha berjualan sayur keliling. Untungnya tipis, katanya. Belum lagi dia bermusuhan dengan ibu-ibu langganannya karena persoalan tunggakan utang. Bubar. Berjualan mie ayam keliling lantas dia jalani. Itu pun tak bertahan lama. Takdir melabuhkannya ke profesi baru, sopir pribadi selama beberapa tahun untuk kemudian menjadi sopir taksi ini sejak tiga bulan yang lalu.

Dia bercerita, bulan pertama jadi sopir taksi, sudah mendapat bonus penuh karena omsetnya bagus.

"Apa resep Bapak melayani penumpang?"
"Saya berusaha melayani sepenuh hati mas."
"Maksudnya gimana, Pak?"
"Saya tak pernah menolak penumpang. Pernah suatu hari ada penumpang naik dari stasiun Gambir tujuan RRI. Deket banget kan Om. Apa dinyana, saya diberi lima puluh ribu rupiah, padahal argo saya baru delapan ribu rupiah."

Saya manggut-manggut. Sejujurnya saya tidak selalu mendapat perlakuan yang baik dari sopir taksi. Saya sering ditolak karena jarak tempuh saya terlalu dekat.

"Tempo hari saya juga dapet penumpang ibu-ibu, Om. Dia naik dari perempatan Pancoran, tujuan ke SMESCO. Bawaannya buanyak banget, kompos gas segala. Rupanya dia jualan di kantin itu. Saya bantuin naikin barangnya, eh pas turun saya disuruh mampir kantinnya, disuguhi kopi dan dikasih ongkos lima puluh ribu, padahal argonya belum berubah."
"Wah, hebat sampeyan, Pak."
"Ah, enggak Om. Saya hanya berusaha sebisanya."

Terminal 1C sudah di depan mata. Secuil obrolan itu begitu mengena di hati saya. Apa yang pasti? Tak ada. Tapi apa yang bisa terlampaui? Semua bisa, memang tak mudah, tapi semua mungkin untuk dilakukan.

Terminal 1C Bandara Soetta, 30 September 2013.

Apa yang Pasti


Tugas memotret di seputaran jalan Malioboro Yogyakarta dengan tema transportasi darat membuat saya mual. Semenjak berangkat dari hotel benak saya dipenuhi ide, tapi tidak fokus. Semula saya ingin memotret seputar Trans Yogya. Menurut saya moda angkutan ini menarik karena tidak banyak kota-kota di Indonesia yang menyediakannya. Tapi niat itu saya urungkan. Dua halte yang saya lalui sepi penumpang. Saya tetap berjalan beriringan dengan Alpa, Erwan, mas Bari pembimbing kami, dan mbak Nisa staff dari lembaga pendidikan tempat kami belajar.
Di pangkal jalan Malioboro kami berpisah. Rombongan kecil itu meneruskan langkah, berpencar untuk sejam kemudian sepakat berkumpul di depan Malioboro Mall. Saya memelankan langkah. Ada sebuah kios bensin eceran yang ikonik. Rak kayu tempat memajang botol-botol bensin itu bertuliskan "Pertamini". Sebuah semiotika yang menurut saya amat mengena. Saya potret dalam berbagai sudut.
Pertamini, sebuah propaganda yang mengena..
Puas memotret benda itu, saya berjalan ke kiri, ke arah jalan Abu Bakar Ali. Saya masih penasaran dengan Trans Yogya. Kebetulan di dekat situ ada halte. Lagi-lagi saya kecewa. Halte itu tak ada calon penumpangnya. Saya lantas menyeberangi jalan, balik arah, menuju ke jalan Malioboro.
Deretan becak di depan hotel Garuda
Memasuki jalan legendaris ini bak memasuki medan laga. Sebetulnya sore itu jalanan ini tak terlalu ramai. Tak banyak turis lokal maupun import yang berkelana. Penghuni jalan ini didominasi para pedagang dan penjual jasa. Saya makin bingung menentukan fokus pemotretan.
Tak berapa lama saya melangkah, saya menemukan lagi semiotika yang menarik. Sebuah himbauan untuk menghormati pejalan kaki disampaikan dengan cara memasang rambu berupa gambar sepasang sendal jepit dan tulisan himbauan di bawahnya. Orang Jawa memang suka bersemiotika.. Saya lantas mencari sudut pemotretan yang pas. Saya ingin menangkap bahwa ada paradoks di sini. Di satu sisi orang Jawa dikenal dengan sifatnya yang santun, tapi di sisi lain hampir semua orang berpendapat bahwa lalu lintas di kota ini semrawut. Ada sekitar 15 frame yang saya hasilkan dari obyek ini.
Hormati pejalan kaki
Puas memotret obyek ini saya melangkah ke arah selatan. Deretan becak berwarna biru di depan hotel Grand Ina itu amat ritmis. Saya potret dengan komposisi death centre. Saya lantas menyeberang ke sisi barat. Seorang tukang becak menyambut saya dengan tawaran khas, mengajak keliling mencari oleh-oleh dengan ongkos hanya 10.000 rupiah. Saya tolak dengan halus.
Bertahan di tengah gerusan jaman
"Mboten, Pak. Saya lagi belajar motret."
"Oh...tugas kuliah, ya Pak...?"
"Haha...bukan, Pak. Tugas kantor.
Mungkin dalam benak bapak itu yang namanya fotografi itu melulu tugas kuliah.
"Becaknya sendiri, Pak?"
"Iyo mas. Berat kalo nggak punya sendiri."
"Lho emang berapa setorannya sehari?"
"Lima ribu sih Pak..."
"Ooh... Ngomong-ngomong sekarang tukang becak lebih seneng nawarin ke toko-toko oleh-oleh, nggih Pak?"
"Iya mas, lumayan dapet komisi 10% sampai 20%. Belum lagi undiannya..."
Demikianlah fenomenanya. Di Solo juga. Tukang becak sudah menjadi agen toko-toko penjaja oleh-oleh, berharap memperoleh komisi dari nilai penjualan ke tamu yang dia antar. Saya lantas pamit, meneruskan langkah ke arah selatan.
Tepat di seberang Malioboro Mall, saya bertemu dengan mas Bari. Dia sedang berbincang dengan seorang tukang becak. Saya mendekat kepadanya.
"Sudah dapet foto apa, pak Slamet?"
"Bingung, mas...hahaha.."
"Pak Slamet fokus aja ke kendaraan tak bermesin. Kan ada becak, andong dan sepeda."
"Baik mas..."
Tepat di sebelah kami berbincang ada dua andong sedang parkir. Saya mendekat ke salah satunya. Kusirnya seorang pemuda ingusan. Saya taksir masih berumur 20 tahunan. Dia sedang memegangi kepala kudanya.
Kuda pun butuh penutup kuping
"Di, tolong bantuan pegangin dong, mau nyumpelin kuping, ni..."
"Ya udah sini, aku bantu."
Dua orang kusir itu lantas sibuk memasang kain putih sebesar sapu tangan ke lubang kuping kuda. Kuda itu sempat meronta sebentar, lalu diam setelah kupingnya disumpal. Kuda memang amat sensitif dengan bunyi-bunyian, makanya kupingnya harus disumpal.
"Andong sampeyan, mas Di?"
"Iya, Pak. Berat kalo mbawa andong juragan."
"Emang berapa setorannya?"
"Sebetulnya nggak pasti sih mas. Tergantung kesadaran kita sendiri aja."
"Weh, kok gitu?"
"Lha iya, kayak sekarang ini, sudah tiga hari saya nggak narik sekalipun."
"Lho, kenapa?"
"Mas lihat sendiri, lagi sepi tamu mas. Musim paceklik. Sementara kuda harus tetap dibeliin makanan, sehari habis tiga puluh ribu. Belum sayanya..."
Alas kaki buat semua... kuda dan manusia
Saya diam terpekur mendengar kenyataan ini. Satu yang membuat saya tetap salut kepadanya, dia tetap ceria, senyumnya tetap mengembang ketika menawarkan jasanya ke para pejalan kaki, meski tak satupun yang akhirnya menjadi penumpangnya. Saya lantas meminta ijin memotret andongnya. Saya telah menemukan fokus pemotretan, andong dan becak.
Rasa haus menuntun saya ke penjual minuman dingin di seberang jalan. Disamping itu saya juga sudah lelah. Sebotol minuman dingin lantas tertenggak dengan segera. Erwan muncul di samping saya. Dia baru selesai memotret pedagang batik di sekitar Mirota.
"Gimana, Wan? Dapet foto?"
"Apaan.... Yang ada duit guwa melayang seratus ribu.."
"Hahaha....lha kok bisa?"
"Iya, guwa bela-belain belanja di toko itu biar diijinin motret, eh si embaknya nggak mau dipotret... Sial."
"Hahaha.... Nasib lu dah..."
Di awal kami sudah diwanti-wanti oleh mas Bari. Jangan melakukan pendekatan ke obyek foto dengan uang. Itu amat merusak naluri jurnalisme kita. Saya pegang teguh pesan itu. Erwan sebenarnya juga tidak melakukannya, toh dia berbelanja, bukan memberi uang.
Kelar menenggak minuman dingin, saya kembali ke seberang jalan. Erwan memilih istirahat di emperan Malioboro Mall sembari menunggu Alpha.
Di seberang jalan ada pemandangan menarik. Seorang kusir tua sedang duduk di atas andongnya yang masih kinclong.
"Sugeng sonten, Pak... Andongnya baru, nggih?"
"Wah baru tapi rugi, Mas..."
"Lho kok rugi, Pak?"
"Lha iya, yang lama dibeli seorang bupati, lima puluh juta. Terus saya pesan lagi, eh ternyata harganya sama. Saya rugi waktu, tiga minggu nggak bisa narik, nunggu pesanan andong ini selesai dikerjain."
"Hehehe... Rejeki nggih, Pak."
"Iya Mas... Rugi, wis...."
Kuda beneran vs kuda besi
Kusir tua itu lantas panjang lebar bercerita. Dia seorang duda beranak lima. Kelimanya sudah hidup terpisah dengannya. Jadilah dia hidup sebatang kara di sebuah desa berjarak 15 kilometer dari sini. Jarak itu dia arungi pulang pergi sembari menaiki andongnya.

"Yang paling ngenes itu kalo di jalan kehujanan terus sampai rumah masuk angin, Mas. Saya bener-bener nelongso."
Saya jadi terbayang situasi yang dialamu kusir ini. Hidup sendiri di usia senja, penyakit datang mendera...
"Anak-anak nggak ada yang ikut Bapak?"
"Nggak Mas, udah pada mencar semua."
"Sebetulnya berapa sih Pak penghasilan kusir per hari?"
"Wah lha ya nggak pasti, mas. Tapi pukul rata mungkin seratusan ribu lah..."
"Cukup buat hidup, Pak?"
"Cukup itu kan ada di sini, Mas...bukan di sini," ujar kusir itu sembari memegang dadanya lantas berganti menunjuk tangannya.
Serombongan turis lokal membuyarkan obrolan kami. Pak kusir sibuk menawarkan jasanya. Sayang, lima orang turis itu memilih menggunakan dua becak dibanding andong. Kesempatan itu lantas saya gunakan untuk pamitan sekaligus minta ijin memeotret andongnya. Saya bergegas mencari rombongan saya. Telepon seluler saya menyisakan jejak panggilan tak terjawab sebanyak 8 panggilan dari satu nama, Erwan. Mereka menunggu saya di emperan Malioboro Mall. Beriringan kamu kembali ke hotel. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Tak terasa sudah dua setengah jam kami berkutat di sini.
Setiba di hotel saya langsung ambruk. Kantuk saya tak tertahankan. Ketika terbangun, di luar sana sudah gelap gulita. Lamat-lamat terdengar suara adzan Isya'. Saya bergegas mandi. Alpha tak tampak batang hidungnya, sementara Erwan terlelap dengan sempurna di ranjang ekstra. Kami bertiga menghuni kamar yang sama.
Angkringan depan Kedaulatan Rakyat itu menjadi pelabuhan saya. Dua bungkus nasi oseng tempe, delapan sate kikil sapi dan dua tempe bacem saya lahap dengan segera. Sebenarnya tempat ini amat nyaman buat menyendiri berlama-lama, sayang pengamen silih berganti menghampiri.
Saya sedang asyik menulis cerita "Disekap Prasangka", ketika seorang sahabat saya mengabarkan bahwa dia mau datang ke sini. Ada sesuatu yang mau dia titipkan kepada saya buat koleganya di Jakarta. Kami janjian untuk bertemu di lobi hotel saja karena saya sudah tak nyaman berada di sini.
"Mau mampir ke kamar nggak, Mas?" Sapa saya kepadanya ketika kami sudah bertemu di lobi hotel.
“Yuuuk.."
Kami lantas meneruskan obrolan di kamar. Mutasi eselon IV yang baru saja terjadi sore tadi membuat obrolan kami kian hangat. Dia rupanya sempat was-was namanya ada di SK itu. Syukurlah itu tidak terjadi.
Dibalik kekonyolan dan rasa humornya yang tinggi, dia menyimpan banyak masalah berat. Dia sempat terpisah dengan keluarga ketika awal dia pindah ke sini. Akhirnya seluruh keluarganya diboyong ke sini setahun kemudian. Kebetulan anak kami seumuran, sehingga topik obrolan kami loncat ke sana dan ke sini, mulai dari urusan kantor, anak-anak dan keluarga.
Dia banyak bercerita sisi-sisi masa lalu keluarganya. Saya terperanjat, ceritanya amat menyentuh. Saya tak menyangka bahwa masa lalu keluarganya sebegitu memelas. Mereka harus hidup terlunta-lunta dari satu kontrakan ke kontrakan lain sebanyak tujuh kali. Saya tak pernah punya pikiran seperti itu karena ketika beberapa tahun yang lalu saya diajak mampir ke rumahnya, kondisi rumahnya lumayan apik. Waktu itu ibunya seorang guru SD Negeri. Bapaknya memang sudah tiada sedari beberapa tahun yang lalu.
Beberapa waktu lalu dia sendiri juga terkena pemotongan tunjangan karena hukuman disiplin. Saya berani bertaruh 100% bahwa sebenarnya dia tak bersalah. Tapi apa daya, hukum di negeri ini memang tidak berpihak pada kaum lemah.
"Dari situ aku belajar satu hal, Met..."
"Apa itu, Mas?"
"Bahwa di dunia ini nggak ada yang pasti. Nggak ada... Bahkan termasuk penghasilan bulanan kita yang selama ini kita anggap pasti."
Saya terdiam ketika mengantarnya ke pintu kamar. Di balik sosoknya yang penuh canda, sahabat saya yang satu ini memang punya falsafah dan kedewasaan hati jauh di atas saya.


Kampung Makasar, 28 September 2013, 14:04:01 WIB.