Tugas memotret di seputaran
jalan Malioboro Yogyakarta dengan tema transportasi darat membuat saya mual.
Semenjak berangkat dari hotel benak saya dipenuhi ide, tapi tidak fokus. Semula
saya ingin memotret seputar Trans Yogya. Menurut saya moda angkutan ini menarik
karena tidak banyak kota-kota di Indonesia yang menyediakannya. Tapi niat itu
saya urungkan. Dua halte yang saya lalui sepi penumpang. Saya tetap berjalan
beriringan dengan Alpa, Erwan, mas Bari pembimbing kami, dan mbak Nisa staff
dari lembaga pendidikan tempat kami belajar.
Di pangkal jalan Malioboro kami
berpisah. Rombongan kecil itu meneruskan langkah, berpencar untuk sejam
kemudian sepakat berkumpul di depan Malioboro Mall. Saya memelankan langkah.
Ada sebuah kios bensin eceran yang ikonik. Rak kayu tempat memajang botol-botol
bensin itu bertuliskan "Pertamini". Sebuah semiotika yang menurut
saya amat mengena. Saya potret dalam berbagai sudut.
|
Pertamini, sebuah propaganda yang mengena.. |
Puas memotret benda itu, saya
berjalan ke kiri, ke arah jalan Abu Bakar Ali. Saya masih penasaran dengan
Trans Yogya. Kebetulan di dekat situ ada halte. Lagi-lagi saya kecewa. Halte
itu tak ada calon penumpangnya. Saya lantas menyeberangi jalan, balik arah,
menuju ke jalan Malioboro.
|
Deretan becak di depan hotel Garuda |
Memasuki jalan legendaris ini
bak memasuki medan laga. Sebetulnya sore itu jalanan ini tak terlalu ramai. Tak
banyak turis lokal maupun import yang berkelana. Penghuni jalan ini didominasi
para pedagang dan penjual jasa. Saya makin bingung menentukan fokus pemotretan.
Tak berapa lama saya melangkah,
saya menemukan lagi semiotika yang menarik. Sebuah himbauan untuk menghormati
pejalan kaki disampaikan dengan cara memasang rambu berupa gambar sepasang
sendal jepit dan tulisan himbauan di bawahnya. Orang Jawa memang suka
bersemiotika.. Saya lantas mencari sudut pemotretan yang pas. Saya ingin
menangkap bahwa ada paradoks di sini. Di satu sisi orang Jawa dikenal dengan
sifatnya yang santun, tapi di sisi lain hampir semua orang berpendapat bahwa
lalu lintas di kota ini semrawut. Ada sekitar 15 frame yang saya hasilkan dari
obyek ini.
|
Hormati pejalan kaki |
Puas memotret obyek ini saya
melangkah ke arah selatan. Deretan becak berwarna biru di depan hotel Grand Ina
itu amat ritmis. Saya potret dengan komposisi death centre. Saya lantas
menyeberang ke sisi barat. Seorang tukang becak menyambut saya dengan tawaran
khas, mengajak keliling mencari oleh-oleh dengan ongkos hanya 10.000 rupiah.
Saya tolak dengan halus.
|
Bertahan di tengah gerusan jaman |
"Mboten, Pak. Saya lagi
belajar motret."
"Oh...tugas kuliah, ya
Pak...?"
"Haha...bukan, Pak. Tugas
kantor.
Mungkin dalam benak bapak itu
yang namanya fotografi itu melulu tugas kuliah.
"Becaknya sendiri,
Pak?"
"Iyo mas. Berat kalo nggak
punya sendiri."
"Lho emang berapa
setorannya sehari?"
"Lima ribu sih
Pak..."
"Ooh... Ngomong-ngomong
sekarang tukang becak lebih seneng nawarin ke toko-toko oleh-oleh, nggih
Pak?"
"Iya mas, lumayan dapet
komisi 10% sampai 20%. Belum lagi undiannya..."
Demikianlah fenomenanya. Di
Solo juga. Tukang becak sudah menjadi agen toko-toko penjaja oleh-oleh,
berharap memperoleh komisi dari nilai penjualan ke tamu yang dia antar. Saya
lantas pamit, meneruskan langkah ke arah selatan.
Tepat di seberang Malioboro
Mall, saya bertemu dengan mas Bari. Dia sedang berbincang dengan seorang tukang
becak. Saya mendekat kepadanya.
"Sudah dapet foto apa, pak
Slamet?"
"Bingung,
mas...hahaha.."
"Pak Slamet fokus aja ke
kendaraan tak bermesin. Kan ada becak, andong dan sepeda."
"Baik mas..."
Tepat di sebelah kami
berbincang ada dua andong sedang parkir. Saya mendekat ke salah satunya.
Kusirnya seorang pemuda ingusan. Saya taksir masih berumur 20 tahunan. Dia
sedang memegangi kepala kudanya.
|
Kuda pun butuh penutup kuping |
"Di, tolong bantuan
pegangin dong, mau nyumpelin kuping, ni..."
"Ya udah sini, aku
bantu."
Dua orang kusir itu lantas
sibuk memasang kain putih sebesar sapu tangan ke lubang kuping kuda. Kuda itu
sempat meronta sebentar, lalu diam setelah kupingnya disumpal. Kuda memang amat
sensitif dengan bunyi-bunyian, makanya kupingnya harus disumpal.
"Andong sampeyan, mas
Di?"
"Iya, Pak. Berat kalo
mbawa andong juragan."
"Emang berapa
setorannya?"
"Sebetulnya nggak pasti
sih mas. Tergantung kesadaran kita sendiri aja."
"Weh, kok gitu?"
"Lha iya, kayak sekarang
ini, sudah tiga hari saya nggak narik sekalipun."
"Lho, kenapa?"
"Mas lihat sendiri, lagi
sepi tamu mas. Musim paceklik. Sementara kuda harus tetap dibeliin makanan,
sehari habis tiga puluh ribu. Belum sayanya..."
|
Alas kaki buat semua... kuda dan manusia |
Saya diam terpekur mendengar
kenyataan ini. Satu yang membuat saya tetap salut kepadanya, dia tetap ceria,
senyumnya tetap mengembang ketika menawarkan jasanya ke para pejalan kaki,
meski tak satupun yang akhirnya menjadi penumpangnya. Saya lantas meminta ijin
memotret andongnya. Saya telah menemukan fokus pemotretan, andong dan becak.
Rasa haus menuntun saya ke
penjual minuman dingin di seberang jalan. Disamping itu saya juga sudah lelah.
Sebotol minuman dingin lantas tertenggak dengan segera. Erwan muncul di samping
saya. Dia baru selesai memotret pedagang batik di sekitar Mirota.
"Gimana, Wan? Dapet
foto?"
"Apaan.... Yang ada duit
guwa melayang seratus ribu.."
"Hahaha....lha kok
bisa?"
"Iya, guwa bela-belain
belanja di toko itu biar diijinin motret, eh si embaknya nggak mau dipotret...
Sial."
"Hahaha.... Nasib lu
dah..."
Di awal kami sudah
diwanti-wanti oleh mas Bari. Jangan melakukan pendekatan ke obyek foto dengan
uang. Itu amat merusak naluri jurnalisme kita. Saya pegang teguh pesan itu.
Erwan sebenarnya juga tidak melakukannya, toh dia berbelanja, bukan memberi
uang.
Kelar menenggak minuman dingin,
saya kembali ke seberang jalan. Erwan memilih istirahat di emperan Malioboro
Mall sembari menunggu Alpha.
Di seberang jalan ada
pemandangan menarik. Seorang kusir tua sedang duduk di atas andongnya yang
masih kinclong.
"Sugeng sonten, Pak...
Andongnya baru, nggih?"
"Wah baru tapi rugi,
Mas..."
"Lho kok rugi, Pak?"
"Lha iya, yang lama dibeli
seorang bupati, lima puluh juta. Terus saya pesan lagi, eh ternyata harganya
sama. Saya rugi waktu, tiga minggu nggak bisa narik, nunggu pesanan andong ini
selesai dikerjain."
"Hehehe... Rejeki nggih,
Pak."
"Iya Mas... Rugi,
wis...."
|
Kuda beneran vs kuda besi |
Kusir tua itu lantas panjang
lebar bercerita. Dia seorang duda beranak lima. Kelimanya sudah hidup terpisah
dengannya. Jadilah dia hidup sebatang kara di sebuah desa berjarak 15 kilometer
dari sini. Jarak itu dia arungi pulang pergi sembari menaiki andongnya.
"Yang paling ngenes itu
kalo di jalan kehujanan terus sampai rumah masuk angin, Mas. Saya bener-bener
nelongso."
Saya jadi terbayang situasi
yang dialamu kusir ini. Hidup sendiri di usia senja, penyakit datang mendera...
"Anak-anak nggak ada yang
ikut Bapak?"
"Nggak Mas, udah pada
mencar semua."
"Sebetulnya berapa sih Pak
penghasilan kusir per hari?"
"Wah lha ya nggak pasti,
mas. Tapi pukul rata mungkin seratusan ribu lah..."
"Cukup buat hidup,
Pak?"
"Cukup itu kan ada di
sini, Mas...bukan di sini," ujar kusir itu sembari memegang dadanya lantas
berganti menunjuk tangannya.
Serombongan turis lokal
membuyarkan obrolan kami. Pak kusir sibuk menawarkan jasanya. Sayang, lima
orang turis itu memilih menggunakan dua becak dibanding andong. Kesempatan itu
lantas saya gunakan untuk pamitan sekaligus minta ijin memeotret andongnya.
Saya bergegas mencari rombongan saya. Telepon seluler saya menyisakan jejak
panggilan tak terjawab sebanyak 8 panggilan dari satu nama, Erwan. Mereka
menunggu saya di emperan Malioboro Mall. Beriringan kamu kembali ke hotel. Jam
tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Tak terasa sudah dua setengah
jam kami berkutat di sini.
Setiba di hotel saya langsung
ambruk. Kantuk saya tak tertahankan. Ketika terbangun, di luar sana sudah gelap
gulita. Lamat-lamat terdengar suara adzan Isya'. Saya bergegas mandi. Alpha tak
tampak batang hidungnya, sementara Erwan terlelap dengan sempurna di ranjang
ekstra. Kami bertiga menghuni kamar yang sama.
Angkringan depan Kedaulatan
Rakyat itu menjadi pelabuhan saya. Dua bungkus nasi oseng tempe, delapan sate
kikil sapi dan dua tempe bacem saya lahap dengan segera. Sebenarnya tempat ini
amat nyaman buat menyendiri berlama-lama, sayang pengamen silih berganti
menghampiri.
Saya sedang asyik menulis
cerita "Disekap Prasangka", ketika seorang sahabat saya mengabarkan
bahwa dia mau datang ke sini. Ada sesuatu yang mau dia titipkan kepada saya
buat koleganya di Jakarta. Kami janjian untuk bertemu di lobi hotel saja karena
saya sudah tak nyaman berada di sini.
"Mau mampir ke kamar
nggak, Mas?" Sapa saya kepadanya ketika kami sudah bertemu di lobi hotel.
“Yuuuk.."
Kami lantas meneruskan obrolan
di kamar. Mutasi eselon IV yang baru saja terjadi sore tadi membuat obrolan
kami kian hangat. Dia rupanya sempat was-was namanya ada di SK itu. Syukurlah
itu tidak terjadi.
Dibalik kekonyolan dan rasa
humornya yang tinggi, dia menyimpan banyak masalah berat. Dia sempat terpisah
dengan keluarga ketika awal dia pindah ke sini. Akhirnya seluruh keluarganya
diboyong ke sini setahun kemudian. Kebetulan anak kami seumuran, sehingga topik
obrolan kami loncat ke sana dan ke sini, mulai dari urusan kantor, anak-anak
dan keluarga.
Dia banyak bercerita sisi-sisi
masa lalu keluarganya. Saya terperanjat, ceritanya amat menyentuh. Saya tak
menyangka bahwa masa lalu keluarganya sebegitu memelas. Mereka harus hidup
terlunta-lunta dari satu kontrakan ke kontrakan lain sebanyak tujuh kali. Saya
tak pernah punya pikiran seperti itu karena ketika beberapa tahun yang lalu
saya diajak mampir ke rumahnya, kondisi rumahnya lumayan apik. Waktu itu ibunya
seorang guru SD Negeri. Bapaknya memang sudah tiada sedari beberapa tahun yang
lalu.
Beberapa waktu lalu dia sendiri
juga terkena pemotongan tunjangan karena hukuman disiplin. Saya berani bertaruh
100% bahwa sebenarnya dia tak bersalah. Tapi apa daya, hukum di negeri ini
memang tidak berpihak pada kaum lemah.
"Dari situ aku belajar
satu hal, Met..."
"Apa itu, Mas?"
"Bahwa di dunia ini nggak
ada yang pasti. Nggak ada... Bahkan termasuk penghasilan bulanan kita yang
selama ini kita anggap pasti."
Saya terdiam ketika
mengantarnya ke pintu kamar. Di balik sosoknya yang penuh canda, sahabat saya
yang satu ini memang punya falsafah dan kedewasaan hati jauh di atas saya.
Kampung Makasar, 28 September
2013, 14:04:01 WIB.