Monday, December 30, 2013

Berpagar Mangkok, bukan Tembok

Hujan meningkahi perjalanan mudik kami. Pun juga ketika tapak kaki menyentuh pekarangan rumah orang tua. Senja telah tiba, adzan magrib berkumandang dari mushola kecil di depan rumah. Setelah membereskan barang bawaan, saya lantas terlibat obrolan dengan Bapak di ruang depan.
"Ini sudah dateng mangsa Kapitu, lho Le... Waktunya alu turu."
Saya terhenyak mendengar sabda beliau barusan. Mangsa kapitu, wayahe alu turu; sebuah kalimat berima yang sarat makna.
Dalam kultur masyarakat Jawa terdapat pedoman tak tertulis yang menjadi patokan bercocok tanam sesuai periode musim. Pedoman itu disebut "mangsa" atau masa. Dalam satu tahun terdapat dua belas mangsa yang masing-masing mempunyai umur yang berbeda-beda. Dimulai dari mangsa Kasa atau masa pertama yang dimulai tanggal 22 Juni dan berusia 41 hari, berurut-turut mangsa Karo sampai Desta atau masa ke dua belas yang berakhir tanggal 21 Juni tahun berikutnya. Masing-masing mangsa punya karakteristik yang khas dan relatif tidak berubah semenjak pedoman ini diciptakan oleh Pakoeboewana VII pada 22 Juni 1856.
Segelas teh panas dan pisang goreng tersaji di depan kami. Rintik hujan kian deras di luar sana. Rumah orang tua saya tak berplafon sehingga air hujan menerobos lewat celah genteng menjadi butiran-butiran halus. Dingin menusuk tulang.
"Apa karakteristik mangsa Kapitu, Pak?"
Saya memang selalu penasaran dengan hal-hal seperti ini. Bagi saya pengetahuan mengenai kejawen selalu mengusik saya untuk bertanya dan mencari tahu.
"Dimulai tepat hari ini lho Le, 23 Desember. Mangsa Kapitu usianya 43 hari dari sekarang. Sekarang ini wong tani mulai nanem padi. Hujan mulai sering datang. Sungai mulai banjir bandang."
Tak sadar tiga potong pisang tanduk goreng itu habis saya kunyah. Pisang goreng memang salah satu makanan favorit saya.
"Mangsa Kapitu itu masa paceklik. Padi baru saja ditanam, panenan sudah habis dimakan. Jaman nenekmu dulu kalo sudah dateng mangsa ini kami semua diajak prihatin."
Ibu datang untuk bergabung dengan kami. Beliau duduk di depan saya, di kursi rotan yang umurnya hanya lebih muda 8 tahun dibandingkan dengan umur saya. Saya baru sadar, rambut ibu sudah didominasi warna putih. Kerutan di wajahnya kian jelas. Ah.. sosok agung itu kini telah berusia senja.
"Dulu ibumu ini harus ikut prihatin. Gaplek panenan nenekmu sebagian harus disembunyikan biar cukup buat dimakan sampai musim panen berikutnya," ujar Ibu.
"Jaman sekarang apa orang sini masih terpengaruh mangsa Kapitu, Pak?"
“Ya masih to. Kamu lihat sendiri, seluruh sawah baru saja ditanemi bibit. Itu artinya empat bulan lagi baru panen. Nah, selama empat bulan itu kan kerjanya cuma ngabisin hasil panen. Ini waktunya alu turu, artinya tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain nungu hasil panen, itupun kalo nggak kena hama."
Saya terhenyak. Saya baru sadar kehidupan saya jauh lebih beruntung dibanding mereka. Gaji saya tidak tergantung mangsa, hanya tergantung dengan kalender Masehi yang umurnya tetap, satu bulan. Besarannya pun tetap, tidak mengenal gagal panen.
"Tahun ini keadaan terasa lebih berat, Le.."
"Kenapa, Pak?"
"Iyo.. Kamu tahu bulan ini bulan baik, banyak orang ngadain hajatan. Itu artinya banyak pengeluaran untuk ngisi amplop, to?"
"Inggih, Pak.."
"Di balik semua ini sebenarnya ada petuah lho, Le.. Bahwa sesulit apapun keadaan kita, selalu sempatkan untuk berbagi rejeki dengan sesama. Lebih baik berpagar mangkok dari pada berpagar tembok. Itu ajarane Mbah mu dulu."
Gelas teh panas yang sudah saya angkat ke arah mulut saya taruh lagi di atas meja. Petuah itu tersabdakan lagi untuk kesekian kalinya.
Bapak saya bukan orang berada. Penghasilan utamanya hanya pensiuanan PNS golongan II A. Sepetak pekarangan di sekeliling rumah dia tanami kunyit yang panennya hanya setahun sekali. Namun beliau selalu mengingatkan saya untuk selalu berbagi rejeki dengan sesama.
Saya tiba-tiba teringat kejadian di mushola saat sholat magrib berjamaah tadi. Bapak sholat sembari duduk bersila. Beliau sudah tidak mampu mendirikan sholat dengan berdiri. Diabetes telah menggerogoti fisiknya selama dua belas tahun terakhir ini. Namun penyakit itu tak mampu meruntuhkan kemurahan hatinya. Mushola ini dibangun di atas tanah wakaf darinya, dua tahun lalu.
"Banda (harta) tidak dibawa mati lho, Le.." ujarnya saat itu.

Alu : alat untuk menumbuk hasil panen (gabah menjadi beras, gaplek menjadi tepung tapioka), terbuat dari kayu bulat.
Turu : tidur, tergeletak.
Lebih baik berpagar mangkok dari pada berpagar tembok : lebih baik memagari kehidupan dengan memperbanyak sedekah daripada memagarinya dengan rumah mewah.

Wonogiri, 24 Desember 2013.

Sengketa Pemukul Bedug

Saya baru saja selesai merapikan buku tulis dan buku paket untuk jadual sekolah besok pagi. Sedianya saya akan segera beranjak tidur, tapi saya baru ingat bahwa sholat Isya belum tertunai. Dengan langkah malas saya keluar kamar kost menuju kamar mandi untuk bersuci.
Baru genap lima langkah, dari kamar seberang terdengar obrolan seru. Rifa, teman seangkatan saya sedang berbincang dengan Heri, teman sekamarnya. Heri adalah adik kelas kami. Dia juga berasal dari Wonogiri, anak seorang pendeta.
"Satu itu ya satu, Her. Dan itu sifat Tuhan yang utama."
"Iya, Mas. Tuhan kami juga satu lho.. Tuhan Yesus."
"Ah.. Itu ada Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus?"
"Mas Rifa.. Dalam keyakinan kami ada konsep Trinitas...."
Niat bersuci saya urungkan. Kantuk yang tadi menggoda saya untuk melewatkan sholat Isya mendadak sirna. Dengan langkah hati-hati saya mendekat ke kamar itu. Keremangan malam di kost Bu Broto Warung Miri ini amat membantu menyembunyikan saya dari penglihatan mereka. Saya tak mau kehadiran saya merusak diskusi mereka. Di bawah pohon jambu air yang sedang berbuah lebat, saya berdiri mencakung, tanpa suara.

"Kenapa orang Kristen suka berdoa sambil main gitar?"
"Kenapa orang Islam suka berisik manggil-manggil orang supaya sholat? Bukannya waktu sholat itu nggak berubah-ubah, Mas?"
"Kenapa kalian suka mengkristenkan orang Islam?"
"Kenapa kalian kalo bikin pengajian atau sholat Id suka nutup jalan umum?"
"Kenapa kalian kalo ke gereja pakai rok pendek?"
"Kenapa Lebaran kalian suka beda hari?"
Wah... Rupanya diskusi mereka kian memanas. Bertubi-tubi pertanyaan sensitif saling mereka lontarkan. Dengan argumen seadanya, dua penghuni kamar yang sama itu saling sigap menjawab pertanyaan lawan diskusinya.
"Kenapa Tuhanmu mati disalib?"
"Kenapa nabimu doyan kawin?"
Dua pertanyaan terakhir itu membuat saya memutuskan untuk segera meneruskan niat awal, bersuci dan segera menunaikan sholat Isya.

※※※※※※※

Hujan rintik malam itu tak mengurangi semangat para jamaah satunya masjid di desa kami untuk berbondong-bondong datang ke masjid ini. Di pintu masuk halaman masjid beberapa orang pemuda sedang asyik membikin gerbang dari bilah bambu yang dihiasi dengan janur kuning. Di serambi puluhan jamaah yang rata-rata sudah berusia lanjut sedang asyik berbincang sembari minum teh hangat. Sholat Isya berjamaah baru saja selesai mereka tunaikan.
Dari selasar depan tiba-tiba terdengar bunyi bedug dan kentongan dipukul dengan irama apik meningkahi suara takbir. Bunyi itu mendadak berhenti oleh sebuah teriakan penuh amarah.
"Siapa yang nyuruh takbir, he?"
Lima pemuda tanggung itu hanya diam.
"Kalian kan tahu, mbah Kiai belum nerima putusan lebarannya besok atau lusa. Jadi jangan coba-coba takbir sebelum ada perintah darinya."
Seorang bapak-bapak berambut keriting datang mendekat.
"Ada apa to ini? Kok berhenti takbirannya?"
"Tidak boleh takbir sebelum ada perintah dari mbah Kiai."
"Lho.. Memangnya kenapa? Menurut hitungan kami, besok sudah lebaran kok. Jadi ya malam ini kami mau takbiran."
"Silahkan kalo pakde mau lebaran besok. Tapi jangan takbiran di masjid ini."
"Kenapa nggak boleh? Ini masjid lho, milik umat, bukan milik kiai mu."
"Pokoknya nggak boleh sampai ada putusan dari mbah Kiai. Mana, sinikan pemukul bedug itu."
Sosok pria berambut keriting itu hanya melongo ketika pemuda itu merebut pemukul bedug sembari ngeloyor pergi. Saya yang sedari tadi duduk di seberang jalan sembari makan es lilin memilih pulang ke rumah. Sisa makanan kendurian tadi sore lebih menarik dibandingkan dengan keributan di masjid ini.
※※※※※※※
Bangunan tepat di seberang rumah kontrakan kawan karib saya ini lebih menyerupai rumah dibandingkan dengan gereja. Keterbatasan lahan membuatnya tak mempunyai halaman sama sekali. Hanya papan nama bertuliskan Gereja Pantekosta lah yang mencirikan bahwa ini adalah rumah ibadah, bukan rumah tinggal.

Minggu sore itu saya bersiap kembali ke kost saya di Jurang Mangu setelah dua malam menginap di sini. Saya sedang memasang kaos kaki di teras ketika Eka dan Robin, penghuni rumah kontrakan ini mendatangi saya.
"Ngapain sih Bey jam segini udah mau pulang?"
"Sorry Ka.. Besok ujian euy..." "
Walah Bey.. Bey.. Kamu ini kan lulusan Prodip, masak ujian PA aja masih perlu belajar.." timpal Robin.
"Aku nggak mau terjerumus ke luar Jawa lagi coy..."
Tiba-tiba terdengar alunan musik dari gereja depan. Tak lama disusul oleh nyanyian koor para jemaat. Suaranya amat jelas terdengar karena jarak teras ini ke gereja itu hanya sepuluh meter. Merdu dan meriangkan hati. Saya sudah berdiri untuk beranjak ketika tiba-tiba saya mendengar bahasa aneh dari mulut pendeta. Wah... Hebat juga gereja ini, pendetanya kutbah memakai bahasa Ibrani, pikir saya.
"Ngawur lu, itu bukan bahasa Ibrani, Bey. Bahasa roh," jawab Eka ketika saya menanyakan perihal itu.
"Lu percaya sama bahasa roh, Ka?" timpal Robin. Mereka seiman.
"Ah.. Nggaklah... Itu kan penyesatan. Sekte Pentakosta mengklaim dirinya lebih tinggi tingkatan kerohaniawanannya dibandingkan dengan sekte lain gara-gara mereka bisa bahasa roh. Padahal Paulus dalam 1 Korintus 14: 20 justru mengingatkan mereka untuk berpikir secara dewasa."
"Tapi jangan salah Ka.. Dalam 1 Korintus 14: 4 dikatakan bahwa bahasa roh itu selain alat untuk membangun dirinya sendiri juga untuk membangun iman umat."
"Sebentar... Kalian ini sibuk diskusi tapi kok nggak ke gereja?"
"Sialan lu, Bey... Nggak boleh ke gereja kalo masih mabok."
"Yo wis lah.. Mabuk kok ngomongin agama." ujar saya sembari melangkah keluar pagar.
Sembari menahan pusing akibat kebanyakan nenggak Long Island tadi malam di kafe Pasir Putih, saya berjalan menuju halte bus depan hotel Cempaka.

Wonogiri, 26 Desember 2013.

Sunday, December 22, 2013

Saya Pelaksana yang Punya Anak Buah

Kantor saya mendadak geger sore itu. Bukan oleh apa-apa tapi oleh secarik surat rahasia. Isinya sederet nama, tiga di antaranya teman seruangan saya. Mereka tidak sedang dihukum, juga tidak sedang berperkara. Mutasi ke unit kerja lainnya, itu saja.
Gegeran memang selalu melanda setiap ada mutasi, tanpa memandang level jabatan. Bahkan mutasi office boy dan cleaning service saja mampu mengoyak ketenangan kantor saya. Apa pasalnya? Kenapa mutasi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan karir seorang PNS Ditjen Pajak selalu menjadi isu panas? Hal ini tak lepas dari sejarah dan milestone Ditjen Pajak sendiri.
Dahulu kala, kami sering menyebutnya dengan istilah jaman jahiliyah, mutasi selalu dikaitkan dengan posisi kantor atau jabatan. Hal ini bisa dimaklumi karena seperti istilah di ujian, posisi menentukan prestasi. Kala itu ada istilah seksi basah dan seksi kering. Istilah itu untuk menggambarkan potensi penghasilan sampingan di luar penghasilan resmi sebagai PNS. Tak dapat dipungkiri, Ditjen Pajak adalah sebuah instansi pemerintah yang berurusan dengan uang dalam jumlah besar. Tugasnya memang mengumpulkan duit buat negara. Banyak potensi kecurangan di sana dan celakanya sebagian petugas pajak menjadikannya ajang mencari rejeki tambahan. Maka kala itu mutasi adalah sebuah komiditi dagang. Sang pemilik ambisi akan berupaya dengan segala cara agar mendapatkan posisi basah. Ujung-ujungnya bisa ditebak, mutasi melibatkan transaksi uang. Kinerja dan kualitas pegawai dinomor sekiankan. Anda pintar cari uang dan punya modal untuk membayar harga, silahkan duduki posisi itu. Senaif itu.
Kini jaman telah berubah. Ditjen Pajak telah berevolusi menjadi institusi pemerintah yang bersih dari praktik korupsi. Tidak ada lagi istilah seksi basah dan seksi kering karena kami telah dipagari dengan kode etik dan pengawasan yang ketat. Dimanapun tempat dan posisi kami relatif memberi tingkat penghasilan yang sama. Tak ada lagi kasak kusuk transaksi uang di hajatan mutasi. Lalu kenapa mutasi masih menjadi barang yang seksi dan memicu kericuhan?
Ada beberapa penyebab kenapa hal itu bisa terjadi. Sudut pandangnya pun berbeda-beda. Pertama sekali adalah sifat dasar manusia yang menyukai zona kenyamanan (comfort zone). Contohnya saya sendiri. Pertengahan 2010 saya dimutasikan dari seksi Pemutakhiran Tax Knowledge Base di Subdit Pelayanan ke Seksi Hubungan Eksternal di Subdit Hubungan Masyarakat. Saya kalut. Bagi saya ini adalah sebuah malapetaka. Terbayang pekerjaan di tempat baru tersebut akan berbeda dengan pekerjaan lama saya. Pun juga dengan rekan-rekan kerjanya. Benak saya dipenuhi syak wasangka. Dalam pandangan saya, rekan-rekan Subdit Humas itu manusia yang tidak pernah bergaul dengan rekan lain di luar Subditnya. Mereka asyik dengan dunianya sendiri. Ihh.. Nggak gue banget deh. Demikian isi kepala saya ketika itu.
Faktor penyebab ke dua adalah jarak dengan keluarga. Ditjen Pajak ini kantornya tersebar dari Sabang sampai Merauke dan Tahuna sampai Bajawa. Banyak kantor kami yang berlokasi di daerah terpencil yang amat jauh dari bandar udara atau akses transportasi publik lainnya. Belum lagi ongkos yang harua dikeluarkan ketika akan menengok keluarga. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari tempat tugas ke tempat tinggal. Dahulu ketika bertugas di KPP Baturaja, saya hanya bisa pulang setahun dua kali. Selain karena saya tidak punya cukup biaya, jarak dari Baturaja ke Wonogiri amat jauh. Perlu waktu dua hari dua malam untuk satu kali perjalan pulang, belum kembalinya. Syukurlah saya mendapatkan jodoh di sana sehingga ritual mudik yang dirindukan namun berbiaya mahal itu sedikit tereduksi karena saya sudah punya keluarga sendiri. Saya memahami kegalauan hati rekan-rekan yang sekarang tengah terpisah dengan keluarga. Delapan belas tahun silam saya juga mengalami hal itu.
Lalu faktor penyebab ke tiga adalah ketidakpastian jangka waktu bertugas di suatu kantor. Desember 1995 saya mulai bertugas di KPP Baturaja berbekal ijazah D3 Pajak. Ketika masa kerja saya menginjak tahun ke tiga, pikiran saya mulai dihantui pertanyaan, sampai kapan saya harus bertugas di sini? Akankah selamanya atau hanya sementara? Pertanyaan itu tak ada yang bisa menjawabnya. Atasan saya hanya menyuruh saya bersabar. Rekan seangkatan saya, Ragil, juga mengalami hal yang sama dengan saya, galau dan risau. Sistem mutasi di institusi saya memang masih sangat perlu perbaikan. Saya pernah mendengar ada seorang pegawai asal Jawa yang pernah bertugas di tanah Papua selama lebih dari 15 tahun. Selama itu tak ada yang peduli dengan nasibnua, sampai suatu hari hal itu diketahui oleh sang Dirjen. Sontak Dirjen marah. Dia segera menginstruksikan bawahannya untuk segera memindahkan pegawai yang bersangkutan dari Papua ke Jawa. Saya yakin hingga kini masih banyak rekan-rekan saya yang mengalami hal serupa; terjebak dalam penempatan di suatu daerah yang jauh dari keluarga tanpa ada kepastian kapan dia akan dipindahkan ke daerah asal (home base).
Perasaan terbuang dari kantor lama juga menjadikan mutasi sebagai momok bagi siapapun. Saya sempat diusulkan untuk dimutasikan dari kantor saya yang sekarang ke suatu KPP. Hal pertama yang terpikir oleh saya waktu itu adalah saya dibuang. Saya tidak dibutuhkan lagi di sini. Saya tidak kompeten di sini. Saya dibenci makanya saya dipindah. Perasaan tersebut muncul karena kriteria mutasi tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Paling mudah tolok ukurnya adalah masa kerja di suatu kantor, tapi hal itu sering terpatahkan. Ada pegawai yang sudah puluhan tahun berdiam di satu kantor tidak pernah kena mutasi, tapi ada pula yang baru sebentar sudah dipindah lagi. Mutasi memang menyimpan segudang misteri.
Ditinjau dari sudut atasan, mutasi adalah sebuah ajang pencarian bakat. Jika jaman dulu kriteria anak buah yang disukai adalah yang pandai mencari rejeki tambahan, maka semenjak reformasi kriteria tersebut berubah. Seiring dengan hilangnya potensi rejeki tambahan, kini atasan menetapkan kriteria yang lebih adil, meski kadang dibayangi kesubyektifan yang amat dominan. Lagi-lagi saya mencontohkan diri saya sendiri. Meskipun saya ini hanya pelaksana yang secara struktural tidak punya anak buah, namun secara de facto saya punya anak buah. Sebetulnya dia bukan anak buah saya dalam artian yang sebenarnya. Dia adalah rekan kerja yang punya tugas sama dengan saya, dokumentasi kegiatan pimpinan Ditjen Pajak. Keberadaannya memang atas rekomendasi saya. Ketika itu saya merasa butuh bantuan orang lain mengingat beban pekerjaan yang kian berat. Direktur memerintahkan saya mengajukan nama untuk menjadi rekan kerja saya. Kriteria pertama yang saya syaratkan adalaj dia harus bisa bekerja sama dengan saya dan harus patuh dengan saya. Kemampuan menjadi nomor sekian karena saya yakin tingkat kecerdasan pegawai Ditjen Pajak tidak perlu diragukan lagi. Apalagi hanya urusan foto memfoto, apa susahnya. Persyaratan ini ternyata memunculkan kesulitan bagi saya. Audisi yang saya lakukan secara virtual di benak saya tidak menemukan banyak calon pemenang. Hati saya dipenuhi egoisme. Hal buruk yang mendominasi pikiran saya adalah bahwa dia harus nurut dan tidak akan mengudeta saya. Satu bulan berlalu dan saya hanya menemukan satu nama.
Demikianlah akhirnya. Hajatan besar bernama mutasi pasti tetap akan menjadi biang kegegeran sepanjang hal-hal tersebut masih ada. Untuk organisasi sebesar Ditjen Pajak, menurut saya sudah waktunya melakukan pembenahan secara sungguh-sungguh terhadap hal ini. Saya tidak mengatakan hal ini mudah dilakukan, tapi saya punya keyakinan bahwa Ditjen Pajak harusnya mampu melakukannya. Dasar pikiran saya adalah bahwa hanya urusan mutasi lah Ditjen Pajak bisa mandiri, bebas dari ketergantungan institusi lain. Tidak seperti urusan rekruitmen pegawai, anggaran belanja, dan sebagainya.
Ketika hal ini masih juga terjadi, saya hanya menegakkan keyakinan pada diri saya sendiri. Ketika suatu hari nanti saya harus hengkang dari sini, dimutasikan ke tempat lain, maka hal itu terjadi karena organisasi membutuhkan saya, bukan karena sebab lain.
Sekian.
Kampung Makasar, 22 Desember 2013.