Thursday, November 28, 2013

Secercah Harapan dari Sudut Malabar

Oase itu terletak di ujung jalan Malabar.  Sekelompok pedagang kaki lima berjualan di sana. Yang mepet dengan jalan Pajajaran adalah penjaja makanan dan minuman ringan. Sebelah kanannya adalah penjual mie ayam disusul oleh penjual sate Madura. Mereka berdiam di bawah kerindangan pepohonan yang terpelihara dengan apik. Sore itu Bogor menyajikan keromantisan. Cuaca teduh, hawa sejuk, jalanan mulus terhampar. Bogor memang menyajikan sesuatu yang berbeda
Pria penjual makanan dan minuman ringan itu berusia 45 tahun. Kehidupannya dijalani di sudut jalan ini. Berjualan sudah dia lakoni sejak tahun 1992, jauh sebelum krisis moneter melanda negeri ini. Dia kelahiran Darmaga, sebuah daerah berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota ini. Raut wajahnya ceria. Ketika saya bertandang kepadanya tadi siang untuk memuaskan dahaga, dia menyambut saya dengan senyum luar biasa. Kali ini tujuan kedatangan saya berbeda.
“Ngopi lagi, Ak?” sambutnya.
“Nggak, Pak. Yang lain aja. Pulpy juga boleh,” ujar saya.
Sejurus kemudian minuman dalam kemasan itu tersaji di depan saya. Kepadanya saya ajukan pertanyaan sederhana, “Bapak bayar pajak?”
“Pajak apa nih, Ak?”
Lalu secara umum saya jelaskan maksud pertanyaan saya. Jawaban darinya sungguh tak terkira.
“Pasti, Ak. Saya tidak pernah telat bayar PBB dan pajak motor saya.”
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara nasional tahun 2012 masih amat rendah. Tengoklah angka-angka berikut ini. Jumlah orang pribadi yang penghasilannya lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebanyak 60 juta orang. Dari jumlah tersebut yang terdaftar sebagai Wajib Pajak hanya sebanyak 20 juta. Ke dua puluh juta orang tersebut tidak semuanya membayar pajak. Data di Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan bahwa jumlah pembayar pajak hanya sebanyak 8,8 juta, atau 14,7 persen.
Jumlah perusahaan yang terdaftar di Kemenkeumham sebanyak 5 juta. Dari jumlah tersebut yang terdaftar sebagai Wajib Pajak hanya sebanyak 1,9 juta. Berdasarkan data Ditjen Pajak pada tahun 2012 jumlah pembayar pajak sektor badan usaha sebanyak 520 ribu atau 10,4 persen.
Data di atas menggambarkan betapa kecil tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia. Sebagai pembanding, tingkat kepatuhan Wajib Pajak Malaysia adalah 80 persen.
Lalu apa penyebab rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak Indonesia. Secara umum belum terbangun trust dari masyarakat atas kegunaan uang pajak yang mereka bayarkan. Tindak pidana korupsi menghantui mereka. Selain itu masyarakat juga belum sadar akan kegunaan uang pajak yang mereka bayarkan. Mereka tidak menyadari bahwa jalan, jembatan, subsidi pendidikan, subsidi energi, dan banyak lagi subsidi yang mereka nikmati berasal dari uang pajak yang mereka bayar sendiri.
Sosialisasi pajak masih harus ditingkatkan.
“Saya tidak pernah disuluh pajak, Ak”, ujar Pak Karsa, penjual makanan dan minuman itu.
“Hanya nurani yang membuat saya mau bayar pajak,”  pungkas pria beranak dua ini.

Sembari menikmati mie ayam dari warung sebelah saya punya keyakinan masih banyak pria bernurani seperti Pak Karsa. Dari sudut jalan Malabar harapan itu terang terbentang.
Pak Karsa tengah melayani pembelinya

Tuesday, November 26, 2013

Misteri sepasang Sendal di Mercu Suar



Hajat memotret di Pulau Lengkuas sudah hampir usai. Kami tiba di sini pukul 05.00 WIB tadi pagi. Perjalanan selama setengah jam kami tempuh dengan menggunakan perahu motor kecil. Begitu mendarat kami dimanjakan dengan pesona alam yang luar biasa. Langit biru membentang tersaput awan putih tipis di ujung cakrawala, air laut tenang tanpa gelombang, adalah sebuah perpaduan yang amat diharap oleh setiap fotografer lansekap. Kami merasa puas berhasil mengabadikan berbagai sudut pulau ini. Tiba semenjak fajar membuat kami berhasil mengabadikan sun rise di ufuk timur sana. Selepas momentum sun rise, kami lantas berpencar mencari sudut lain di pulau ini. Sudah lama saya tidak berburu foto lansekap. Energi saya serasa tercurah tanpa lelah.

Hari telah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Kami semua sepakat untuk istirahat. Makan siang telah tersaji di depan kami. Lauknya berupa ikan laut dan udang yang baru saja matang dimasak. Makanan yang terhampar di atas pasir beralaskan terpal plastik itu lantas ludes tersantap.

Ada satu obyek lagi yang belum kami jamah, yaitu pemandangan alam dari puncak mercu suar. Lengkuas memang sebuah pulau yang terletak di barat laut Pulau Belitung yang di tengahnya terdapat mercu suar. Berdasarkan data yang ditulis di dinding bangunan, mercu suar itu dibangun tahun 1882. Pemerintah Hindia Belanda membangunnya sebagai rambu bagi kapal yang berlayar di daerah itu. Perairan sekitar  pulau Lengkuas memang tidak terlalu dalam dan terdapat banyak batu berukuran besar mencuat ke permukaan laut. Jika tidak dilengkapi dengan mercu suar, kondisi ini tentu saja membahayakan pelayaran. Meski sudah berusia lebih dari seabad, bangunan setinggi 50 meter ini masih berdiri dengan kokoh dan berfungsi dengan baik.

Semilir angin laut di tengah terik siang itu memancing datangnya kantuk kami. Tiba-tiba terbersit ide di benak saya.

"Mas Eko, mau ngopi nggak?"
"Boleh, Mas. Aku kopi item yaa..."
"Sip. Yang lain mau nggak?"
"Udah pesenin semua aja, Bey..." kali ini Eka yang menyergah.

Teman yang satu ini baru bergabung bersama kami pagi tadi. Sebuah urusan bisnis memaksanya tidak bisa berangkat bersama kami kemarin siang.

"Aku nggak usah dipesenin, Met. Wis gak bisa ngopi lagi, " ujar mas Harris.

Pria pemenang lomba Salon Foto Indonesia kategori olah digital tahun lalu ini rupanya punya masalah yang sama dengan saya, maag. Yang membedakannya adalah saya masih nekad ngopi sementara dia tidak.

"Okay... Lima kopi hitam sama dua kopi putih ya...," ujar saya sembari berlalu.

Tujuan saya adalah komplek bangunan mercu suar itu. Mercu suar itu dikelilingi oleh bangunan berbentu huruf U. Komplek bangunan seluas 1.500an meter persegi itu ditunggui oleh tiga pria dewasa. Mereka adalah pegawai Kementerian Perhubungan. Di dalam komplek bangunan juga tersedia toilet umum bagi para pengunjung. Airnya bersih. Jumlahnya pun relatif cukup, sehingga fasilitas itu dirasa cukup nyaman bagi pengunjung. Selain itu, bagi pengunjung yang mempunyai nyali dan fisik yang kuat, bisa naik ke puncak mercu suar. Syaratnya cukup membayar retribusi 5.000 rupiah dan membersihkan kaki terlebih dahulu. Segala alas kaki harua ditanggalkan sebelum memasuki mercu suar. Ini semata demi kebersihan bangunan itu.

"Bang, kopinyo maseh ado?"
"Maseh.. Nak berapo?"
"Limo kopi item samo duo kopi putih ye..."

Pria paruh baya itu lantas menyeduh kopi pesanan saya. Dia adalah salah satu penunggu mercu suar ini. Berjualan kopi dan mie instant rebus adalah pekerjaan sampingannya. Saya bercakap dengannya menggunakan bahasa Melayu. Belitung memang didominasi oleh dua etnis besar, yakni Melayu dan Tionghoa.

Pandangan mata saya tertuju pada mercu suar itu. Saya berdiri sejauh 5 meter dari pintu masuknya. Di depan pintu masuk berjajar empat pasang alas kaki. Jumlah itu sekaligus menandakan berapa jumlah pengunjung yang saat ini berada di dalam mercu suar. Hati saya bergolak, sekaligus bimbang. Peperangan sedang terjadi di sana. Perang antara saya melawan ketakutan saya sendiri. Peperangan itu segera saya pungkasi dan saya menangkan. Saya bergegas kembali ke tempat dimana teman-teman berkumpul.

"Aku mau naik ke mercu suar, siapa yang mau join?" ujar saya setibanya di tempat mereka lagi

Tak satupun dari mereka bertujuh menyambut ajakan saya. Keletihan, sudah pernah melakukan sebelumnya, dan kondisi fisik yang tidak memungkinkan menjadi alasan mereka.

"Aku nitip body kamera aja ya Bey. Nanti fotoin," sahut Eka dengan nada mengejek. Dia termasuk orang yang pernah naik ke puncak mercu suar itu.
"Pret... Kalo mau nitip memory card aja," jawab saya sembari bersungut-sungut.

Saya bergegas megganti lensa 16-35 mm dengan lensa fisheye milik Eka. Dalam hati saya berguman, barang apa yang tidak dimiliki kawan ini...

"Yo wis, aku naik dulu ya. Pesanan kopi nanti dianter."

Dengan langkah berderap saya menuju pintu mercu suar. Sebelum masuk, alas kaki saya tanggalkan persis di depan pintu masuk. Selembar uang 5.000an saya masukkan ke kotak kayu yang terletak di sebelah kanan pintu masuk. Bawaan saya hanya sebuah kamera dan tas pinggang. Saya memang sengaja meminimalkan beban. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya menaiki menara. Pada tahun 2010 saya bersama mas Yusan, mas Rindhang, mas Ikhsan, Arief, Ari dan Hendra pernah menaiki mercu suar di Bangkalan Madura. Ketinggiannya relatif sama. Yang membedakannya adalah kesendirian saya. Itulah yang membuat pecah peperangan tadi.
Lantai Dasar Mercu Suar

Pelan tapi pasti saya melangkah ke dalam mercu suar. Penerangannya hanya mengandalkan sinar matahari dari dua buah jendela. Begitu menginjakkan kaki di lantainya saya terhenyak. Lantai bangunan yang terbuat dari semen ini basah. Saya edarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk mencari sumber air itu. Tidak saya temukan apa-apa. Yang terpampang di depan saya hanyalah sebentuk ruang berbentuk tabung yang kosong melompong dan senyap. Dinding bangunan dan anak tangga yang terbuat dari besi tampak sudah berkarat di sana sini. Saya sempat surut langkah mengkhawatirkan kekuatan bangunan ini. Namun pikiran buruk itu segera saya tepis. Saya berkeyakinan bahwa waktu kematian saya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Jika pun kematian itu akan tiba sekarang tidak akan terhalangi oleh apapun. Dia juga tidak akan datang lebih cepat gara-gara saya menaiki mercu suar ini.

Anak tangga itu dimulai dari sisi sebelah kiri pintu masuk. Sebelah kirinya mepet dengan dinding bangunan sedangkan sebelah kananya dipagari besi dan pegangan. Lebarnya kurang dari satu meter, sehingga ketika berpapasan dengan pengunjung lain salah satu harus mengalah.

Tiga lantai pertama saya lalui dengan mudah. Saya tidak menjumpai seorang manusiapun sejauh ini. Saya istirahat sebentar sembari mengatur nafas. Lutut kanan saya baru saja mengalami cedera. Sebetulnya kondisinya belum benar-benar sembuh. Sinshe yang mengobati saya wanti-wanti melarang saya untuk tidak berolah raga apapun, termasuk jalan kaki menanjak. Selama ini saya patuh. Kebiasaan menaiki tangga dari lantai basement 2 ke lantai dasar kantor saya berubah menjadi naik lift.  Larangan itu kali ini saya abaikan.

Tujuh lantai berikutnya saya lalap sekaligus tanpa jeda istirahat. Nafas saya tersengal-sengal tanda jantung saya mulai bekerja ekstra keras memompa aliran darah. Saya memutuskan untuk istirahat lagi. Lagi-lagi saya terjebak dalam medan laga. Saya mengkhawatirkan kondisi fisik saya. Terbayang jika tiba-tiba saya mengalamiserangan jantung di sini; siapa yang akan menolong? Semua teman berada di bawah sana. Pulau ini juga tidak dilengkapi fasilitas medis apapun. Di dalam tas pinggang saya hanya ada Betadine, minyak kayu putih dan obat maag. Nyawa saya pasti tidak akan tertolong. Kebimbangan melanda benak saya. Terus naik sampai ke puncak atau kembali ke bawah? Degup jantung kian kencang. Nafas terasa sesak. Keringat dingin mencucur deras. Lengan kiri terasa pegal. Tubuh saya memberikan sinyal bahwa dia tidak kuat menanjak lagi. Saya berdiri mematung dengan wajah pucat pasi.

Volume ruangan bangunan ini kian ke atas kian mengecil. Di pinggir jendela sebelah kiri yang sudah hilang daunnya, seorang pria bertelanjang dada sedang berdiri memandang keluar menara. Dia mempersilahkan saya untuk mengambil tempatnya. Rupanya dia sedang dalam perjalanan turun sehabis dari puncak menara.

"Delapan lantai lagi, Pak," sapanya.
"Iya Mas. Capek euy.."
"Ayoo semangat Pak. Bapak pasti bisa."

Ah... Seandainya pria itu tahu apa yang sedang terjadi..

Sembari beristirahat saya sempatkan mengambil foto dari lubang jendela. Pucuk pohon kelapa sudah berada di bawah saya. Pemandangan ke arah tenggara sangat memesona. Gugusan batu besar menyembul dari dasar samudera, membentuk konfigurasi yang ritmis.

Gerah melanda, keringat bercucuran. Kaos lengan panjang segera saya tanggalkan dan saya ikatkan ke pinggang. Tinggallah rompi Nikon yang tersandang. Saya segera meneruskan langkah dengan perlahan. Saya hanya berpegang pada satu keyakinan, jika saya terkena serangan jantung pun, saya rela demi mendapat sudut pemotretan dari atas sana.

Delapan sisa lantai itu saya tempuh dengan dua jeda istirahat. Di lantai 15 saya berpapasan dengan seorang bapak dan anak laki-lakinya yang baru berusia 11 tahun.

"Dari puncak, Pak?'
"Iya Mas. Nih si kecil merengek minta ke atas."
"Wah hebat kamu, Dik," ujar saya sembari meneruskan langkah.

Akhirnya puncak mercu suar ini tertapak jua. Di sebelah kiri anak tangga terakhir terdapat sebuah pintu besi. Di bali pintu itu ada sebuah teras selebar satu meter, melingkar mengelilingi sisi luar mercu suar. Teras itu dipagari besi setinggi perut saya. Dengan langkah perlahan saya keluar dari pintu itu.

Hati saya langsung berdesir. Bumi serasa menyedot saya. Tubuh saya limbung. Saya undur ke belakang, kembali ke dalam mercu suar. Lamat-lamat saya mendengar percakapan dua orang wanita di luar situ. Dengan langkah pelan saya kembali melangkah keluar. Benar saja, dua orang cewek muda berkerudung berjalan santai ke arah saya. Saya sontak merasa malu. Cewek berjilbab yang identik dengan perilaku dan sifat baik saja berani berjalan di luar situ, masak saya minder. Sekali lagi peperangan itu saya menangkan.

Sejujurnya ketakutan saya belum hilang sama sekali. Saya hanya mengakalinya dengan mengintip pemandangan luar melalui view finder kamera. Sudut pandang kamera fish eye ini amat ekstrim, 180 derajad, sehingga memanipulasi pandangan saya terhadap jurang di depan saya. Sembari menjepretkan shutter kamera, saya memajukan langkah ke arah kanan. Saya berhasil maju seperempat lingkar pagar, ketika dari belakang saya terdengar percakapan dua orang pria. Saya terpaksa melepaskan kamera dari mata saya. Hasilnya seperti yang saya duga, bumi kembali menyedot saya. Saya buru-buru memundurkan langkah, kembali ke arah pintu.

Pemandangan dari puncak mercu  suar.
Dua pria itu seumuran, berusia sekitar 30an. Pria yang satu menenteng kamera semerk dengan kamera saya. Keduanya tampak ragu melangkah keluar mercu suar.

“Udah... Lu duluan deh. Guwa males keluar,” ujar pria tanpa kamera kepada temannya yang menenteng kamera.
“Alaaah... masak Lu takut sih. Kagak apa-apa lagi,” sahut pria berkamera itu.
“Iya Mas, nggak apa-apa kok. Saya barusan dari luar,” sergah saya sembari masuk ke dalam mercu suar.
“Beneran nggak apa-apa, Pak? Lantai terasnya masih kuat?”
“Masih.. tu barusan ada dua cewek berjilbab dari luar juga. Mereka bahkan mengelilingi teras. Masak kalian kalah sama mereka?”.

Saya berkata sembari menata hati. Kenyataannya saya juga tidak seberani dua cewek tadi. Saya mempunyai ide dadakan.

“Mas, mau saya pinjemi lensa saya? Ini lensa fisheye lho, efeknya luar biasa.”
“Oh boleh, Pak. Sekalian pasangin ya Pak, soalnya saya cuma pinjem kamera ini dari saudara. Nggak terlalu ngerti cara makainya.”
Saya segera menukar lensa yang terpasang di kamera saya dengan lensa miliknya.
“Udah ni Mas, silahkan dicoba.”
“Hehe.. Bapak aja deh yang motretin. Saya nggak terlalu bisa motret, Pak.”

Sialan... siasat saya tidak mengena. Saya tadi berencana mencari teman ke luar sana, eh rupanya mereka malah menyuruh saya seperti itu. Kelaki-lakian saya sontak tertantang. Dengan langkah saya gagah-gagahkan, saya keluar mercu suar. Tiga jepretan berhasil saya lakukan. Tanpa sadar saya telah mencapai separuh keliling teras mercu suar ini. Saya segera kembali ke mereka yang masih dilanda ketakutan di balik pintu sana. Saya perlihatkan hasil jepretan tadi.

“Waaah, bagus banget, Pak. Thanks ya..”
“Sama-sama, Mas. Kalian nggak pengin saya foto di luar situ?”
“Hehe... mau sih Pak. Tapi takut.”
“Halaah... cowok kok takut ketinggian. Malu lagi sama ceweknya.”
“Bukan ceweknya, Pak... Istrinya. Saya sudah beristri, Pak.”
“Nah... kalo saya tambah malu tu...”
“Iya deh, Pak. Tapi di deket pintu aja ya. Nggak usah jauh-jauh.

Akhirnya dua pria itu bersedia saya potret dengan latar belakang bentang bumi di bawah kami. Saya juga memanfaatkan keberadaan mereka untuk memotret saya dengan komposisi yang sama. Pria tanpa kamera tampaknya benar-benar takut dengan ketinggian. Lututnya gemetaran, wajahnya pucat pasi.

Setelah saling berucap terima kasih, saya pamit turun. Delapan belas lantai mercu suar itu saya turuni tanpa jeda. Sepanjang perjalanan saya tidak menemui siapapun. Hanya suara langkah saya di anak tangga lah yang terdengar. Bunyinya terpantul pelan dari dinding bangunan tua ini. Saya sempat merasakan hawa dingin di lantai 10, tempat saya bertemu dengan pria tak berbaju tadi. Saya mempercepat langkah tanpa menoleh.
Di lantai 5 saya kembali berpapasan dengan pria muda tanpa baju yang tadi saya temui di lantai 10. Dia sedang menaiki tangga.

“Wah... naik lagi, Mas?”
“Iya, Pak. Nih bawa turis.”

Saya baru menyadari bahwa langkah pria itu diikuti oleh dua wanita berparas jelita. Tiba-tiba saya menyesal terlalu terburu-buru turun. Saya membayangkan dua wanita itu pasti amat suka dipotret di atas sana.

Akhirnya saya mendaratkan langkah di lantai dasar. Hawa dingin lantai ini kembali menyergap. Saya segera mengambil alas kaki yang terletak di depan pintu. Di tempat menaruh alas kaki tergeletak 7 pasang alas kaki, termasuk milik saya. Darah saya tersirap. Saya menghitung kembali jumlah pengunjung mercu suar yang masih berada di dalam sana. Dua orang pria di puncak dan tiga orang yang berpapasan dengan saya di lantai 5 tadi. Saya bergidik.

Tiba kembali di tempat teman-teman berkumpul saya membawa wajah sumringah penuh kemengan. Mereka sudah selesai berkemas, siap kembali ke Belitung. Kamera saya langsung disambar oleh mas Harris.

“Luar biasa Begawaaaaan....” ucapnya berbuih.

Kawan yang satu ini memang tak mengenal kalimat celaan ketika melihat hasil pemotretan orang lain. Kalimatnya penuh pujian dan membesarkan hati.

“Mas Harris, sebelum memuji foto itu mbok kameranya dihidupkan dulu. Belum liat fotonya kok udah muji,” ujar saya sembari buru-buru berkemas. Sang pemilik lensa, Eka, hanya tersenyum kecil ketika ikut melihat hasil jepretan saya.

“Ah... kalo Cuma foto kayak gini mah aku juga udah punya, Bey...,” ujarnya datar. Saya memang tidak pernah berharap mendapat pujian darinya.

Usai berkemas saya celingukan mencari kopi jatah saya. Sekeliling tempat kami mangkal sudah bersih dari sampah.

“Kopi saya mana, mas Eko?”
“Lha embuuuuh....,” jawabnya sembari ngeloyor pergi ke arah perahu kami.

Saya menggerutu tak tentu. Usaha keras saya memenangkan peperangan melawan ketakukan tidak berbuah manis. Foto saya dicela oleh Eka, dipuji sih oleh mas Harris, tapi memujinya sebelum melihat fotonya. Dan yang paling menjengkelkan, kopi saya disabotase entah oleh siapa. Bayangan tentang kenikmatan menyeruput kopi putih di bawah pohon kepala sembari mereview hasil foto dari atas menara sirna dengan segera.

Meskipun demikian saya tetap merasa bangga. Setidaknya hari ini saya kembali memenangkan peperangan. Selama ini saya lebih sering dipecundangi lawan. Saya sering kalah melawan ketakutan saya sendiri akan kondisi fisik saya. Satu kalimat mujarab yang belakangan saya gunakan sebagai senjata hanyalah kalimat sederhana. Saya yakin Adjie Massaid dan Basuki akan tetap meninggal dunia meskipun mereka tidak main futsal malam itu. Sesungguhnya waktu kematian itu sudah pasti adanya.

Kampung Makasar, 24 Nopember 2013, 19.45 WIB.


Saturday, November 2, 2013

Etika Memotret; Memang Ada?


Posting seseorang di Group Facebook DOF siang itu menyentak perasaan saya. Dalam foto yang diunggah tersebut tampak 4 orang fotografer dengan berbagai gesture sedang memotret detik-detik pengibaran bendera pusaka di upacara Hari Oeang tanggal 30 Oktober 2013. Di caption-nya itu pengunggah mempertanyakan sikap dan perilaku fotografer yang dinilai tidak etis dengan gesture dan penempatan diri tersebut. Saya menghela nafas panjang. Hanya sebuah kebetulan saja bukan saya yang terekam di foto itu. Oleh karena suatu tuntutan pekerjaan lain, hari itu saya tidak bertugas memotret upacara Hari Oeang. Arief lah yang bertugas di sana. Sosoknya langsung saya kenali di antara ke empat fotografer itu.
 
Kedatangan Nopember 2013 menggenapkan usia bertugas saya di Direktorat P2Humas menjadi 8 tahun. Enam tahunnya saya habiskan untuk menjalani tugas sebagai seorang fotografer “resmi”. Perjalanan itu mengajarkan saya banyak hal; mulai dari teknik memotret; manajemen acara; protokoler acara; sampai hal-hal kecil yang mungkin terlewat oleh mata kebanyakan.

Satu Foto Seribu Kata
Siang itu saya sedang asyik berdiskusi dengan teman mengenai detil sebuah rencana kerja. Kami berdiskusi di sofa ruang tamu kantor sembari mengerubungi laptop. Tiba-tiba Wahyu, teman seruangan, memanggil saya,

“Mas Slamet ada telepon dari KPP. Jambi.”
Saya segera beranjak menuju pesawat telepon yang terletak di meja Wahyu itu.
“Halo, Pak. Ini Slamet. Ada yang bisa saya bantu?”
“Iya mas Slamet. Saya Kasubag TU KPP. Jambi. Gini Mas.. Saya butuh foto kegiatan peresmian  gedung KPP. Jambi tahun lalu, Pak.”
“Oh... boleh Pak. Nanti saya email. Kalo boleh tahu kira-kira buat apa ya, Pak?”
“Gini, Mas. Kami lagi diperiksa Itjend. Mereka memerlukan bukti pendukung pengadaan acara tersebut. Kebetulan fotografer kami tidak memotret detil panggung tempat acara berlangsung.”

Seusai menuntaskan percakapan tersebut, saya segera membuka-buka file foto di komputer. Tidak terlalu susah menemukan foto dimaksud. Saya menamai folder foto sesuai nama kegiatan. Foto itu terletak di Folder Kegiatan Dirjen Pajak/Peresmian KPP Jambi. Saya memilih beebrpa foto yang bisa menggambarkan keseluruan acara tersebut. Wide shoot gedung KPP Jambi dari depan gerbang, panggung tempat acara berlangsung dan detil beberapa sudut panggung. Beres, sesederhana itu.

Adalah Adianto Legowo yang mengajarkan saya tentang hal ini. Kepala Sub Bagian Protokoler KPDJP ini senantiasa mewanti-wanti saya agar memotret semua elemen kelengkapan acara tanpa pandang bulu. Mulai dari panggung, kursi, hiasan bunga, booth katering, sound system sampai dengan standing AC yang disewa dari pihak ketiga. Tujuannya cuma satu, membuktikan secara visual bahwa proses pengadaan barang dan jasa itu benar-benar ada dan sesuai dengan yang dilaporkan.

Beberapa buah file foto yang saya kirim ke KPP. Jambi tadi semoga bisa mewakili ribuan kata tentang acara tersebut.

Salah Kostum di Istana Wapres

Order ini bersifat pribadi, di luar status saya sebagai PNS. Memotret kegiatan Persatuan Istri Legiun Veteran RI ketika sedang beranjangsana ke Wapres Jusuf Kalla. Kegiatannya jatuh pada hari kerja. Saya terpaksa minta ijin ke atasan menggunakan jam kantor untuk kegiatan pribadi. Atasan saya mengijinkan dengan syarat absen tidak boleh dilakukan alias saya akan terkena potongan tunjangan. Saya setuju. Bagi saya ini hal yang fair.

Sang pemberi order berpesan kepada saya agar saya mengenakan pakaian sipil lengkap. Saya iyakan. Kapan lagi kesempatan bertemu Wapres di istananya dengan mengenakan jas dan dasi. Keren, pikir saya.

Hari yang ditentukan telah tiba. Acara akan dimulai pukul 09.30 WIB, Saya diminta sudah siap sedia di sana sejam sebelumnya. Dengan langkah mantap saya memasuki gerbang belakang Istana Wapres. Sederet pemeriksaan menghadang saya. Mulai dari pemeriksaan mobil, barang bawaan dan pemeriksaan tubuh. Lancar, tak ada halangan berarti. Sejam menunggu membuat saya bosan. Tak ada sesuatupun yang bisa saya lakukan. Saya duduk sembari ngobrol dengan anggota Paspampres di depan ruang pertemuan. Saya meminta ijin untuk melongok ke dalam ruangan yang masih tertutup itu. Syukurlah serdadu itu mengijinkan saya. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengenali medan.

Pukul 09.00 WIB rombongan ibu-ibu, tepatnya nenek-nenek itu datang. Mereka datang serentak menggunakan bus sedang. Mereka mengenakan seragam kebaya berwarna oranye. Saya sejenak tercenung, ini adalah sebuah organisasi yang anggotanya kian menyusut, bukan bertambah. Betapa tidak, anggota LVRI adalah eks Legiun yang rata-rata sudah berusia senja. Tak lama lagi mereka akan tutup usia. Demikian juga dengan istrinya. Tak akan ada regenerasi kecuali Indonesia dilanda perang dan ada pembentukan LVRI lagi.

Saya segera menempatkan diri di sisi kiri podium. Ratusan anggota Piveri duduk di kursi menghadap podium. Di samping saya telah bergabung 2 orang fotografer dan kamerawan Istana Wapres. Kami saling bertegur sapa dan berkenalan.

Tak berapa lama, tepat pukul 09.30 WIB, Jusuf Kalla memasuki ruangan dari pintu belakang. Beliau mengenakan kemeja warna putih tanpa dasi dan celana hitam. Demikian juga dengan staf protokolernya. Saya baru sadar, satu-satunya orang yang mengenakan jas berdasi di ruangan ini hanya saya sendiri.

Digelandang ke Kantor Biro Pers Istana Negara

Hajatan Rapat Pimpinan Gabungan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai ini amat melelahkan. Apa pasalnya? Acaranya akan dilangsungkan di Istana Negara. Kami sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Puluhan rapat digelar, melibatkan pihak internal Kementerian Keuangan dan Sekretariat Negara. Saya diundang untuk mengikuti salah satu sesi rapat. Rapat itu membahas alur acara termasuk pendokumentasiannya. Saya bersama 3 orang fotografer dari Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea dan Cukai diberi tugas mengabadikan acara tersebut. Arahannya jelas, kostum baju putih berdasi dan celana hitam. Surat Tugas untuk kami berempat dibikin khusus. Istana memang sensitif terhadap keberadaan fotografer dan kamerawan.

Hari H akhirnya tiba. Acara akan dimulai pukul 10.00 WIB. Saya tiba paling awal dibanding 3 teman itu. Saya langsung menuju ruang Upacara, salah satu ruangan di Istana Negara, tempat acara itu akan dilangsungkan. Di dalam ruangan tampak puluhan anggota Paspampres dan Staff Rumah Tangga Kepresidenan sedang sibuk menyiapkan segalanya. Mereka bekerja dengan mulut terkunci, tatapan tajam dan gerakan gesit. Saya mendekat ke salah satu anggota Paspampres. Saya tunjukkan name tag kepanitian saya kepadanya sembara meminta arahan tentang sudut pemotretan. Pengawal itu bilang, silakan saja, yang penting tidak mengganggu kekhidmatan acara dan tidak keluar dari blok yang sudah khusus disiapkan buat fotografer dan kamerawan. Blok itu dibatasi dengan garis merah.

Beberapa teman panitia dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai juga sudah hadir di sini. Kesempatan ini mereka gunakan untuk memperdaya saya. Mereka minta di foto dengan berbagai gaya di bawah lukisan para presiden yang pernah dan sedang memimpin negeri ini. Saya layani sepuasnya. Saya paham, ini kesempatan langka buat mereka. Pun bagi saya, ini juga kesempatan langka. Kapan lagi bisa memotret di dalam Istana Negara, pikir saya.

Ketika sedang asyik memotret teman-teman, saya dikejutkan oleh sentuhan ringan di bahu saya. Seorang wanita berparas manis berambut pendek sudah berdiri di belakang saya. Ekspres wajahnya lurus, tanpa senyum.

“Bapak dari mana?”
“Saya Slamet Rianto, dari Ditjen Pajak, Mbak.”
“Boleh lihat pengenal Bapak?”
“Oh ini silakan..”

Saya menunjukkan tanda pengenal kepanitiaan yang sudah ditera dengan stempel Paspampres. Tanpa tanda pengenal ini jangan harap bisa lolos dari pos pemeriksaan Istana Negara. Di situ tertera nama lengkap dan jabatan saya di kepanitiaan.

“Oh, bukan ini yang saya maksud, Pak. Tanda pengenal dari Biro Pers Istana.”
“Wah, saya nggak punya tu, Mbak.”
“Tanpa itu Bapak tidak boleh memotret di sini.”
“Waduh, lalu gimana, Mbak?”
“Silahkan Bapak ikut saya ke kantor. Kita urus di sana. Kita lihat apakah memang Bapak terdaftar sebagai fotografer resmi dari kantor Bapak.”

 Di perjalanan ke kantor Biro Pers saya diam membisu. Pikiran saya kalut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saya ternyata tidak dibolehkan memotret acara ini.

Ruangan itu terletak di lantai dasar gedung eks Bina Graha. Saya dihadapkan pada seorang pria paruh baya berkaca mata.

“Silahkan duduk. Mana surat tugas Bapak?”
“Surat tugas apa ya, Pak?”
“Surat tugas yang menugaskan Bapak memotret acara ini. Saya sudah tekankan itu ke pihak Bapak. Tanpa itu Bapak tidak boleh memotret di sini.”
“Tapi kata Paspampres tadi saya boleh motret, Pak. Saya sudah menunjukkan tanda pengenal ini kepadanya.”
“Urusan potret memotret adalah kewenangan kami, bukan Paspampres.”

Saya melongo.

“Jadi Bapak tidak punya surat tugas itu?”
“Sebentar ya Pak. Saya telepon atasan saya. Beliau yang mengurus hal itu.”

Saya segera menelepon atasan saya. Dia berada di ruangan Upacara.

“Met, kamu dimana? Ini acaranya sudah mau dimulai. Peserta sudah masuk.”
“Ini Bu, saya dilarang memotret oleh Biro Pers.”
“Lho kenapa memangnya?”
“Saya nggak pegang surat tugas, Bu.”
“Ah.. Mana coba aku ngomong sama yang nglarang kamu.”

Telepon segera saya sodorkan ke pria di depan saya itu.

“Pak, ini atasan saya mau bicara sama Bapak.”
“Ya, Bu. Ini anak buah Ibu nggak boleh motret karena nggak punya surat tugas.”
“Oh...begitu Bu. Baik coba saya cari sebentar.”

Pria itu lantas mengembalikan telepon ke saya. Dia lantas sibuk mengaduk-aduk tumpukan berkas di mejanya. Sejumput map dia buka. Ekspresinya berubah ramah.

“Ini pak Slamet. Surat tugas sampeyan ternyata sudah ada di meja saya. Silahkan segera kembali ke ruang Upacara. Jangan lupa tanda pengenal itu diganti dengan yang ini.”

Pria itu menyodorkan tanda pengenal kepada saya. Biro Di bagian atasnya tertera tulisan Biro Pers Istana, lengkap dengan nama lengkap dan jabatan saya di bagian bawahnya.

Dengan langkah jumawa saya menuju ke ruangan Upacara. Kini tak satupun orang bisa melarang saya.

Pejabat Eselon Dua pun Nurut Dengan Saya

Sub judul itu pasti mengesankan selarik kesombongan saya. Namun tunggu dulu. Silakan menilainya setelah membaca seluruh sub tema ini.

Penerimaan SPT Tahunan Presiden dan Pejabat Tinggi Negara di Kantor Pusat Ditjen Pajak tahun 2011. Hajat seremonial tahunan ini selalu penuh hiruk pikuk dan melelahkan. Persiapannya menyedot energi dan melibatkan banyak pihak. Syukurlah dari tahun ke tahun tugas saya itu-itu saya. Saya bahkan terbiasa memotret sendirian, tidak merasa butuh bantuan teman. Kalaupun butuh bantuan, maka dia saya posisikan sebagai kamerawan, bukan fotografer. Saya sudah hafal di luar kepala alur acaranya. Ini adalah kali ke lima saya memotret acara yang sama di tempat yang sama.

Yang sedikit membedakannya adalah sejak tahun lalu penerimaan SPT Presiden tidak di Gedung B lagi, tetapi berpindah ke Gedung Utama KPDJP. Hal ini seiring dengan kepindahan Kantor Pusat Ditjen Pajak ke gedung ini.

Acara hari itu dijadwalkan pukul 11.00 WIB. Saya menenteng dua body kamera, satu saya pasangi lensa vario sudut lebar, satunya saya pasangi lensa telephoto 70-200 mm. Pertimbangan saya adalah kesendirian saya. Ada satu lagi fotografer yang membantu saya. Kami berbagi tugas. Saya bertugas di area lobi gedung sampai dengan ruang tunggu VIP, sementara dia bertugas di dalam Auditorium lantai 2 tempat acara berlangsung. Kondisi ini meringankan beban saya. Saya tidak perlu wira-wiri naik turun gedung.

Pukul 09.30 WIB saya sudah siap sedia di depan lobi gedung Utama KPDJP. Bagi saya urusan waktu adalah hal krusial. Tidak boleh ada kata terlambat bagi seorang fotografer. Jika perlu urusan ke belakang pun harus ditunda dulu ketika momentum itu sedemikian penting.

Tetamu mulai tiba. Dimulai dari para pejabat Pemda DKI, Kodam Jaya dan Polda Metro Jaya. Urutannya bisa ditebak. Pejabat yang level jabatannya lebih rendah tiba lebih dulu dibanding yang level jabatannya lebih tinggi.

Di teras lobi telah siap sedia pula beberapa pejabat Eselon II KPDJP. Di antaranya adalah Sekretaris Ditjen Pajak dan beberapa Direktur. Mereka berdiri berjajar menyambut para tamu. Momentum bersalaman adalah hal yang tidak boleh saya lewatkan. Kamera sudah saya set ke mode Manual Exposure agar pencahayaan obyek terkunci pada titik tertentu sehingga tidak terpengaruh oleh metering kamera. Flash saya set ke GN kecil saja untuk mem-fill in obyek. Flash gun itu saya arahkan frontal ke depan, sejajar dengan arah bidikan saya. Sebenarnya saya enggan melakukan hal itu. Saya lebih suka mem-bounce flash gun. Bagi saya siraman sinar lampu flash ke wajah orang itu membuat orang tersebut tidak nyaman. Namun saat itu kondisinya tidak memungkinkan bagi saya untuk mem-bounce flash. Plafon teras lobi gedung ini teramat tinggi. Tak akan berdaya kekuatan lampu flash ini menjangkaunya.

Tiba-tiba saya dihadapkan pada posisi sulit. Tetamu yang tiba sudah mencapai level menteri dan pejabat negara. Jajaran pejabat Eselon II rupanya sudah tidak serapi tadi. Masing-masing pejabat mencari posisi yang nyaman buat mereka sendiri. Ada yang berdiri di samping kanan saya ada pula yang berdiri di samping kiri saya. Posisi berdiri saya adalah di tengah-tengah teras lobi. Ketika tamu turun dari mobil mereka langsung disambut oleh pejabat yang berdiri di sebelah kanan saya. Tamu itu langsung diarahkan oleh usher ke dalam lobi tanpa sempat bersalaman dengan pejabat yang berada di sebelah kiri saya. Saya kalut dengan kondisi ini. Pejabat yang berdiri di sebelah kiri saya di antaranya adalah Sesditjen Pajak. Dia orang yang sangat sensitif dengan harga diri. Saya berhitung dengan resiko. Jika dia tidak terpotret, pasti akan marah kepada saya. Tanpa pikir panjang saya segera mendekat kepadanya.

“Mohon maaf, Pak. Bapak lebih pas berdiri di sebelah kanan saya, biar saya bisa motret Bapak ketika salaman sama mentri.”
“Oh gitu ya Met.Sip.. sip, aku pindah ke situ ya.”
“Siap, Pak. Terima kasih.”

Saya lega. Pekerjaan yang tadinya sulit sekarang terasa mudah. Saya juga tidak perlu kawatir mendapat dampratannya karena dirinya tidak terfoto ketika sedang bersalaman dengan petinggi republik ini.

Saya belajar dari Mbak Widi tentang pola komunikasi. Mbakyu saya yang sekarang sudah beralih profesi menjadi widyaiswara di BPPK itu menngajarkan saya satu hal; kunci komunikasi itu hanya ada pada 4 kata, permisi, mohon maaf, silakan, dan terima kasih. Hari itu saya diselamatkan olehnya.

Salah Sangka versi Saya

Saya sedang menunaikan hajat kecil ketika telepon seluler saya berdering. Ajudan Dirjen menelepon saya. Dia sedang berada di ruang makan bersama Dirjen.
“Siap, lagi di toilet.”
“Cepetan... dipanggil bapak.”
“Okay.... kamera udah siap kok.”
“Bukan disuruh motret, Bro... disuruh makan.”

Jleb.... lempar kamera.

=====================

Saya sedang makan di ruang makan biasa di sebuah resto sea food. Dirjen beserta beberapa pejabat Kanwil DJP Kalimantan Barat makan di ruang VIP. Tiba-tiba ajudan melambaikan tangan ke saya. Saya sontak menyambar kamera yang saya letakkan di antara jajaran lauk di meja makan ini.

“Nggak usah bawa kamera. Bapak nggak minta di foto.”

Jleb... kepala ikan kakap itu terlelan dan nyangkut di leher saya.

=====================



Saya beserta teman-teman dari KPP. Pratama Magelang duduk agak jauh dari meja makan Dirjen. Malam itu acara pemberian kuliah umum di Balai Diklat Keuangan Magelang baru saja usai. Esok hari masih ada acara di Aula Balai Diklat Magelang.

                   “Eh... ada Slamet, to?” tiba-tiba Dirjen menyebut nama saya dari seberang sana.
“Siap, Pak.” Dasar Dirjen, lha wong sudah seharian menguntitnya, masak baru sekarang keberadaan saya dikenali.
“Mana kameramu?”
“Siap, Pak. Ada.”
Saya berjalan mendekat kepadanya sembari menenteng kamera.
“Sudah...malam ini nggak usah motret aku. Kita ngopi-ngopi aja.”

Jleb.... pisang goreng sepiring itu saya bungkus, bawa ke kamar.

=====================

Saya sedang berada di sebuah lantai di Gedung Bank Indonesia. Kamera saya geletakkan di kursi samping saya. Tiba-tiba direktur saya menghampiri.

“Met, temenin ibu ke bawah, njemput Dirjen.”
“Siap, Bu.”

Saya menguntit di belakangnya. Kamera tak saya bawa, toh acaranya di atas sini.

“Mana kameramu? Ngapain ikut saya kalo nggak bawa kamera...”

Jleb.... pintu lift itu saya tendang.

=====================

“Mas... segera turun ke lantai 5. Ada rapat yang harus dipoto,” ujar Direktur saya di ujung telepon.

Saya bergegas turun, menenteng kamera, siap tembak. Ruangan rapat itu tertutup rapat. Saya langsung nyelonong ke dalamnya. Puluhan pasang mata menatap aneh kehadiran saya. Dirjen duduk di ujung meja rapat, tak kalah aneh tatapan matanya. Di seberang pintu tempat saya berdiri, Direktur saya memberi isyarat mengusir saya. Rupanya ini rapat internal yang tidak boleh diliput.

Jleb.... lempar kamera ke meja rapat.

=====================

Kampung Makasar, 2 Nopember 2013.