Tuesday, March 18, 2014

Penghuni Pantai Parang Kusumo


 
Langkah saya dan Cupez terhenti sejenak di punggung gumuk pasir itu. Di depan kami tersembul atap terbuat dari terpal plastik warna biru.
“Kok kayak ada rumah, ya Pez..”
“Iyo tu,Mas…”
Belum genap kebengongan kami dengan pemandangan ganjil ini, saya melihat seseorang berjalan rada tertatih dari arah pantai menuju bangunan itu. Saya kian penasaran.
“Wah, obyek human interest iki, Pez”
Kami bergegas mempercepat langkah ke arah bangunan itu, tanpa memedulikan sengatan duri perdu di kaki. Kian dekat bangunan itu kian nyata, tak terhalang lagi oleh gundukan pasir. Rupanya selain bangunan beratap biru tadi ada bangunan lain di depannya. Namun karena ketinggiannya lebih rendah, maka bangunan ke dua ini tadi tidak tampak sama sekali.
Langkah kami sudah mencapai jalan setapak menuju bangunan itu. Saya segera belok kanan ke arah bangunan itu tanpa memedulikan lagi keberadaan Cupez yang rupanya belok kiri ke arah bibir pantai. Anak muda separo Jawa kelahiran Kalimantan itu rupanya tak tertarik dengan obyek ini. Dia memilih memburu matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.
Hati saya agak ciut ketika langkah sudah mencapai semacam gerbang bangunan itu. Pemandangan di depan saya agak menyeramkan. Tampak dua pria sedang duduk di pasir beralaskan seadanya. Namun saya bismillah saya, toh niat saya tidak banyak dan macam-macam, hanya ingin bertamu ke mereka, syukur-syukur boleh memotretnya. Masih terngiang ucapan om Darwis Triadi kemarin siang yang mensyaratkan pemanusiaan manusia, kecuali kita motret cicak.
“Assalamualikum wr wb. Kulo nuwun, Pak.”
Bagi orang Jawa, kulo nuwun itu salam wajib, bahkan dulu kedudukannya melebihi salam yang diwajibkan bagi seorang muslim.
“Weh… monggo… monggo mas. Silahkan mampir,” sambut pria yang duduk di halaman bangunan itu.
Dia sedang asyik membongkar tas lusuh dan beberapa buntal kantong plastik. Seekor kucing berwarna telon tampak asyik mengitari pria itu. Saya segera mendekat untuk bersalaman dengan mereka.
“Dari mana, Mas?”
“Saya asli Wonogiri, Pak.. tapi tinggal di Jakarta.”
“Wah, jauh ya. Kameranya Nikon apa Canon, Mas?”
Saya yang sudah jongkok di depan pria itu nyaris terjengkang. Pertanyaan yang keluar dari mulut pria tua ini amat mengagetkan saya.
“Nikon, Pak. Jangan-jangan Njenengan ini fotografer juga?”
“Kata orang bagus Canon, ya Mas?”
Nah… lagi-lagi saya kaget. Ke lima indera segera saya pasang kuat-kuat. Dua pertanyaan itu cukup untuk membuat saya meningkatkan kewaspadaan. Segala kemungkinan bisa terjadi.
Sembari berfikir untuk menjawab pertanyaan pria itu, padangan mata saya kitarkan ke sekeliling bangunan ini. Di depan saya tampak bangunan yang konstruksinya terbuat dari bilah bambu. Dinding dan atapnya terbuat dari bekas spanduk digital. Kondisinya sudah compang-camping dan ditambal dengan lembar lain di sana-sini. Tingginya hanya sekitar 160 cm sehingga secara umum tak mungkin berdiri di bawahnya. Bangunan itu terbagi menjadi dua, bagian depan difungsikan sebagai ruang tamu ala kadarnya. Sementara itu bagian belakangnya ada semacam kamar berpintu kain. Saya menduga itu adalah kamar tidur.
Seorang pria yang saya taksir berusia di atas 60 tahun tampak duduk bersandar di dekat pintu kamar itu. Kulitnya yang sawo matang tampak relatif bersih. Dia tak banyak bicara.
“Sama saja kok, Pak. Monggo pak, rokok,” ujar saya. Saya tak mau terjebak dalam diskusi merk kamera dengan pria ini.
“Matur nuwun, Mas. Ni, Pak.. dapet rejeki rokok,” ujar pria itu sembari melempar bungkus rokok kepada pria yang sedang bersandar tadi.
Tiba-tiba terdengar suara pria lain berdehem dari dalam ruang tamu. Saking rendah dan gelapnya ruang tamu itu, saya tidak menyadari bahwa ada manusia lain di bangunan itu.
“Tu, mas.. rokok,” saya menawarkan rokok kepada pria yang masih relatif muda dan bertopi itu.
“Suwun, Mas.. rokok saya lain.”
“Ke sini sendirian, Mas”
“”Enggak, Pak. Kami berempat, yang lain lagi pada motret di pantai.”
“Nggak motret orang lomba paralayang, Mas?”
“Mboten, Pak. Kami lebih suka motret pemandangan.”
Sembari berbincang, tangan kanan pria itu sibuk membongkar kantong plastic lusuh. Rupanya ada beberapa makanan sisa di sana, beberapa potong ayam goreng dan tulang ayam bakar. Tulang ayam diberikan ke kucing, sedangkan potongan ayam goreng yang masih utuh disimpan lagi. Ingatan saya terbang ke anak bungsu, Abyan. Tuhan menganugerahkan kesensitifan hati kepadanya, terutama ketika berhubungan dengan kehidupan satwa. Dia pernah merengek ke mamanya agar boleh membawa pulang seekor kucing yang tampak tak terurus di pasar Kramat Jati. Tangisnya juga pecah ketika saya dengan terpaksa menyembelih kelincinya yang sekarat tak kuat melawan penyakit. Yang agak menggelikan, suatu hari, dia membeli anak burung di sekolahannya seharga tiga ribu rupiah. Bukannya dipelihara, burung itu kemudia dilepaskan ke alam bebas.
Hati saya berdesir melihat pemandangan ini. Desirannya kian kuat ketika pandangan mata saya tertuju pada lengan kirinya. Rupanya yang selama ini saya anggap normal, pria ini hanya berlengan satu. Lengan kirinya ternyata palsu.
“Aslinya mana, Pak?”
“Saya dari Gampingan situ, Mas.”
Gampingan adalah nama sebuah daerah di kota Yogyakarta. Letaknya hanya sekitar 40 kilometer dari sini.
“Saya boleh foto kucingnya, Pak?”
“Monggo, Mas. Tapi jangan cuma kucingnya, sekalian sayanya dong..”
Inilah momen terindah bagi seorang penggemar fotografi manusia. Komunikasi yang membuahkan hasil berupa keleluasaan hati dari obyek foto. Hal ini tidak berhasil saya temui selama beberapa kali motret di jalan Malioboro.
Ketika senja mulai tiba, saya beranjak pamit kepada mereka bertiga. Pria berlengan satu itu mengantar saya sampai ke bibir pantai, tempat Cupez, mas Deddy dan Fath sedang asyik memburu matahari.

Monday, March 17, 2014

Supel dan Sumpel - Ketika Bapak Bingung Memilih

Sesosok pria tua itu tampak sedang memegangi lututnya sembari duduk di teras, saat saya menggapai rumah, malam Sabtu lalu. Setelah membuka pagar, saya langsung sungkem dan memeluknya erat-erat.

“Kamu baru pulang, Le?”
“Inggih, Pak. Tadi dari Bandung langsung mampir rumah sakit.”
“Piye kondisinya anakmu?”
“Alhamdulillah sudah stabil, Pak. Bapak sendiri pripun?”
“Sehat... nggak usah jadi pikiranmu..”

Orang tua satu ini memang tidak pernah mau membebani pikiran anaknya dengan kondisi kesehatannya. Padahal jelas-jelas tadi beliau sedang memegangi lututnya yang memang sedang sakit. Diabetes telah menggerogoti fisknya sejak 12 tahun yang lalu. Kedatangan beliau ke Jakarta kali ini utamanya adalah untuk mengecek kondisi kesehatannya.

Setelah melepas sepatu saya bergegas masuk rumah. Heni, sepupu saya, sedang meracik bahan masakan di dapur.

“Ibu mana, Hen?”
“Tu lagi sholat, Mas.”

Saya meneruskan langkah ke kamar tidur, meloloskan pakaian kerja, berganti dengan pakaian hangat. Kondisi badan saya memang sedang menurun. Dua hari ini saya dilanda demam dan pusing. Saya segera kembali teras.

“Ndesa sedang musim apa, Pak?”
“Ini musim tanam padi, Le. Alhamdulillah musimnya bagus sekarang ini. Curah hujannya cukup.”

Tiba-tiba dari balik pintu muncul sosok agung berambut nyaris putih semua, ibu.

“Bhakti saya, Bu...” saya menyalaminya lantas memeluknya erat-erat.
“Lho kok badanmu anget, Le?”
“Inggih, Bu. Agak meriang ini.”
“Yo wes, sini tak keroki. Wong kamu ini dari kecil kalo masuk angin belum dikeroki belum sembuh kok.”
“Iyo lho, To.. Sana biar dikerokin ibumu dulu.”

Sesaat kemudian saya sudah meringis-ringis kesakitan dihajar liukan jemari ibu. Tenaganya tak kuat lagi, namun efeknya sama saja. Sekujur tubuh saya berubah menjadi selembar papan beralur merah menghitam.

“Ini masuk angin kasep, To. Sudah sana pake baju. Jangan begadang sama bapakmu dulu, nanti nggak sembuh-sembuh.”

Larangan kembali terucap. Ibu memang kurang suka melihat kami menghabiskan malam dengan berbincang-bincang di teras rumah. Angin malam itu angin jahat, katanya. Namun apa daya, larangan itu tinggal larangan. Saya sudah duduk di depan bapak sembari menyeruput teh panas di teras.

“Minggu kemarin Bapak didatengi orang dari mBatu, To.”
“Siapa dia, Pak?
“Jadi awal tahun 60an kan Bapak dinas di mBaturetno jadi petugas pembasmi nyamuk malaria. Nah, di suatu desa kecil Bapak disuruh mampir sama orang tua, namanya mbah Mahtal. Rupanya dia orang sakti di situ. Bapak ditanya asalnya dari mana, anaknya siapa, dan seterusnya. Begitu bapak ceritain asal-usul bapak, mbah Mahtal bilang bahwa berarti bapakmu ini masih terhitung cucunya.”
“Lho kok selama ini Bapak nggak pernah cerita ke kami?”
“Lha iya, wong ya Cuma sekali itu bapak ini ketemu sama mbah Mahtal.”
“Nah, minggu kemarin ada orang dateng ke rumah, ngakunya masih sanaknya mbah Mahtal juga. Dia datang untuk menyambungkan kembali silaturahmi yang sudah puluhan tahun terputus.”
“Wah.... hebat orang itu nggih, Pak. Mau-maunya ke ndatengi Bapak.”
“Iyo... aku yo seneng, apalagi pas pulang dia ngasih salam tempel. Begitu tak buka isinya lima puluh ribu rupiah. Lumayan to buat mbeliin pakan ayam.”
“Wah... ada embel-embelnya nggak tu, Pak?”
“Nggak... dia hanya minta doa restu mau nyalon jadi anggota dewan..”

Saya terdiam pilu. Bapak saya rupanya terlalu polos untuk memaknai pemberian itu.

Saya baru sadar, ini adalah tahun politik, dan Maret ini adalah bulan kampanye. Dan hiruk pikuk itu rupanya sampai juga di desa kami, sebuah desa terpencil yang terletak di tepi timur provinsi Jawa Tengah.

“Banyak yang ikut nyaleg to Pak?”
“Wah.. nggak banyak lagi, Le. Bayangin aja, sak kecamatan Tirtomoyo itu calegnya dua puluh sembilan orang.”
“Walah-walah... trus siapa nanti yang mau milih ya, Pak?”
“Itulah Le... Bapak juga bingung. Tapi kan sebenere modal nyaleg itu gampang...”

Wah.... inilah yang saya tunggu-tunggu, teori komunikasi massa dari seorang pensiunan PNS yang tidak pernah baca koran.

“Modale Cuma dua lho, Le...”
“Apa itu, Pak?”
“Satu supel, dua sumpel
“Hahahaha.... Bapak ini bisa aja.”
“Lho lha iyo to? Percuma kamu supel ke semua orang, kalo kamu nggak punya sumpel, mana mau orang milih kamu. Orang pasti akan milih caleg yang ngasih sumpel lebih gede.”
“Saya boleh nanya, Pak?”
“Mau tanya apa?” nada Bapak seolah sudah tahu arah pertanyaan saya.
“Jadi Bapak nanti mau nyoblos siapa? Bapak udah terima sumpel Lho..hahahaha..”
“Hahaha... aku terus terang yo bingung, Le. Lha bu Hartini istrinya pak Agung temen sekerja bapak dulu juga nyaleg. Bapak bingung....”

Air muka bapak mendadak berubah. Dulu pria ini teguh dengan pendiriannya, pokoknya Golkar, pokoknya mbah Harto, titik. Kini sumpel itu telah menggoyahkan keteguhannya.

“Ayooo Pak, anake lagi nggak sehat, jangan diajak begadang, to,” tiba-tiba Ibu menyela kami dari balik pintu.
“Laper Bu. Nggoreng tempe aja, Bu,” rengek saya.

Seperempat jam kemudian obrolan kami sudah berpindah ke depan televisi yang tengah menayangkan indonesian Idol. Sembari mengunyah tempe goreng, saya ngunandiko, gerangan Yahudi mana yang telah memengaruhi bapak saya ini sehingga sekarang doyan nonton tayangan ini. Ah... rupanya tak hanya keyakinan politik, wawasan bapak tentang hiburan pun telah bergeser dari wayang kulit ke idol-idolan... Sumpeeeeeel....

Bandung, 17 Maret 2014

Sunday, March 9, 2014

Melihat Surga dari Puthuk Setumbu - Sebuah Catatan Perjalanan

Berteduh di bawah Papan Nama
“Ok.. jam 01.30 aku nyampe situ.”

Itulah kalimat terakhir dari mas Rindhang melalui pesan WA. Saya segera memejamkan mata. Alarm di telepon genggam saya atur ke pukul 01.00 WIB agar saya punya waktu untuk cuci muka dan mempersiapkan kondisi. Kamera dan perangkat pendukungnya sudah saya siapkan di tas, tinggal menjinjingnya.

Ketika dua jam kemudian alarm itu menyalak, saya lantas bangun dengan segera. Setelah mencuci muka dan gosok gigi, saya bangunkan teman sekamar saya, Cupez dan tetangga kamar, mas Deddy. Sepuluh menit kemudian kami sudah berkumpul di lobi hotel, menunggu mas Rindhang.

Tak lama berselang, dari balik kegelapan malam, muncullah sesosok pria yang amat khas senyumnya. Kami lantas bersalaman. Saya bahkan merasa perlu mencium tangannya, sebagai tanda penghormatan baginya. Bagi saya, sosok pria kelahiran Surabaya ini sudah seperti kakak kandung sendiri. Bertahun-tahun kami terlibat pertemanan yang mendalam dan melibatkan emosi di dalamnya.

“Aku bawa termos jahe sama kopi, mau nyicip?”
“Boleh, Mas..”

Pria ini memang amat peduli dengan urusan bekal perjalanan. Kepribadian yang amat klop dengan istrinya. Suami istri ini memang dianugerahi Tuhan talenta memasak yang luar biasa. Belakangan mereka sukses merintis usaha kios makanan di kota ini. Dengan bangga dia bercerita bahwa sekarang sudah ada menu nasi bebek di warungnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kami segera masuk ke mobil yang terparkir di halaman hotel itu. Mas Fath, rekan sesama peserta workshop dari BPPK, memutuskan ikut bergabung bersama kami pagi ini. Kami agak susah menemukan dirinya, karena kami tidak tahu nomor kamarnya, dia memesan atas nama orang lain yang tidak kami kenal, dan nomor teleponnya tidak bisa kami hubungi.

Deru mesin diesel membelah kesunyian jalan Magelang. Yogya beberapa hari lalu diselimuti debu tebal akibat letusan gunung Kelud. Aroma debu itu masih tercium hingga kini meski Yogya sudah bersih darinya.

Hanya perlu waktu 45 menit untuk mencapai kawasan wisata candi Borobudur. Mas Rindhang perlu memelankan laju kendaraan untuk mencari jalur ke tempat yang kami tuju, karena papan penunjuknya hanya berupa tulisan kecil yang numpang di sebuah papan nama restoran dan tempat peristirahatan. Beberapa hari yang lalu dia sudah ke sini bersama anaknya. Namun memang tak mudaht menelusuri lagi rute yang sama mengingat waktunya adalah dini hari dan rute yang kami lalui sudah masuk daerah pinggiran. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai.

Ketika papan petunjuk itu kami temukan, mas Rindhang segera membelokkan arah mobilnya ke kiri. Selang beberapa kilometer kemudian kami menemukan papan penunjuk terakhir, sebuah papan kayu bertuliskan “Borobudur Nirwana Sunrise”.

Rute selanjutnya berupa jalan kampung yang hanya muat satu mobil. Jalan kampung ini sudah diperkeras dengan cor semen. Rumah penduduk berjajar rapi dan resik, khas perkampungan di Jawa Tengah. Tak lama kemudian jalan yang kami lalui menanjak curam. Perlu kelihaian mengemudi dalam kondisi jalan seperti ini. Namun rupanya tanjakan itu tidak panjang, hanya beberapa puluh meter. Seperminuman teh kemudian, mas Rindhang membelokkan mobil ke kanan, memasuki tanah lapang berlapis konblok dan diberi garis sejajar sebagai panduan pengendara mobil ketika memarkirkan mobilnya.

Tak berapa lama seorang pemuda berkalung sarung mendatangi kami. Dia mengarahkan posis parkir mobil. Hebat juga, pikir saya. Sepagi ini sudah ada yang siaga menjaga parkiran ini.
 
Loket Puthuk Setumbu
Kami lantas diarahkan menuju loket masuk kawasan perbukitan ini. Loket tersebut terletak di sisi kanan jalan, menyatu dengan rumah yang diperuntukkan sebagai posko pengelola tempat wisata ini. Di loket tersebut tertera tarif masuk kawasan wisata seharga lima belas ribu rupiah untuk wisatawan lokal dan tiga puluh ribu rupiah untuk wisatawan asing. Sebuah harga yang adil, menurut saya.

Seorang pria paruh baya berbadan kurus mendekati kami.

“Mau ditemani, Mas?”

Saya menoleh ke arah mas Rindhan, meminta pertimbangan.

“Boleh, Pak. Rada horor, je..”

Saya membatin geli. Di balik sosoknya yang garang, kang mas saya ini memang nyalinya tak besar.

Kami lantas menurunkan bawaan, termasuk dua thermos berisi jahe dan kopi panas serta selusin gelas plastik sekali pakai.

“Jauh jalannya, Mas?”
“Nggak, paling setengah jam..”

Ah... saya terdiam sejenak. Kalimat tadi agak menyiutkan nyali saya. Bayangan buruk kembali menyapa. Kuat nggak ya saya menaiki jalur ini?

Tadinya kami mau beristirahat dulu di sini, ketika tiba-tiba mas Deddy menawarkan sesuatu yang belum pernah saya lakukan.

“Kita motret Bima Sakti di atas, yuuk..”

Wah... memotret galaksi merupakan pengalaman baru buat saya. Selama ini saya terlanjur berkutat dengan fotografi liputan kegiatan kantor. Tawaran tadi sekaligus menaikkan nyali saya.
 
Surga itu berada di balik kabut

Puthuk Setumbu dalam balutan kabut

Dengan langkah digagah-gagahkan, saya berjalan paling depan. Jalur ini berupa jalan setapak yang sudah diperkeras dengan semen di beberapa bagian. Beberapa bagian lainnya masih berupa tanah merah, sehingga amat licin ketika basah, seperti saat ini. Sendal untuk naik gunung merupakan alas kaki yang amat cocok untuk mendaki jalur seperti ini. Selepas loket tadi, tak ada satu rumah penduduk pun yang kami temui. Kiri kanan kami adalah ladang penduduk, bahkan sebagian masih nerupa hutan. Suasananya memang rada menyeramkan.

Tak lama kemudian jalanan kian mendaki. Pihak pengelola taman wisata ini telah membangun anak tangga dari semen sehingga pejalan kaki tak perlu kawatir bakal kesulitan. Di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan lereng curam juga telah diberi pagar pengaman dari bambu, sekaligus bisa dipakai untuk berpegangan. Bapak berperawakan ceking tadi menerangi perjalanan kami dengan sebuah lampu senter kecil.

Tiba-tiba tanjakan di depan kian curam. Di ujung tanjakan nampak lampu neon menerangi sebuah bangunan kecil terbuat dari papan kayu. Subhanallah, rupanya itu adalah sebuah rumah ibadah, mushola.

Akhirnya kami tiba di sebuah puncak bukit kecil. Kami masuk dari sisi selatan. Selain dari sisi ini, ada jalan masuk dari sisi utara. Luasnya hanya seluas lapangan basket. Puncak ini telah dipapas rata sehingga amat nyaman bagi para pengunjung. Di bagian utara terdapat sebuah bangunan kayu menjulang tinggi, berlantai dua. Rupanya itu adalah gardu pandang. Di sebelahnya terdapat bangunan serupa, hanya saja tidak bertingkat. Bangunan ke dua ini fungsinya sama, hanya saja dimensinya sedikit lebih luas. Terdapat sebuah bangku permanen tempat kami bisa segera menaruh barang bawaan kami.

“Nggak apa-apa Mas semua kita taruh sini? Nanti kalo ada pengunjung lain gimana?”
“Tenang aja, pengunjung pertama adalah raja.. hahaha.”

Tawa mas Rindhang membelah kesunyian, membangunkan arwah-arwah penunggu bukit ini.

Saya segera mengekor langkah mas Deddy yang sudah lebih dulu mencari spot untuk memotret galaksi Bima Sakti. Dia mengambil posisi di sisi tenggara puncak bukit ini untuk mencari tatapan yang leluasa ke arah langit.

“Sebenarnya sudah tidak ideal motret Bima Sakti jam segini, mas Slamet. Sudah mulai turun posisinya.”
“Lho, enake jam berapa, Mas?”
“Jam sembilan malem lah. Posisinya masih di atas kita.”

Dalam kegelapan dini hari, saya manggut-manggut. Saya memang tidak punya modal pengetahuan apa-apa tentang hal ini, bahkan termasuk setting kamera.

“Pasang di F/8, ISO 800, WB Auto, waktu sekitar 20 detik, Mas Slamet.”


Bermodal penerangan dari power bank, saya segera menuruti petunjuknya. Clap!!!! Ajaib, hasil di lcd langsung kelihatan. Lensa 20-35 mm yang terpasang di body bersensor APS-C ternyata kurang lebar sudut pandangnya.

“Idealnya pakai 11 mili, Mas Slamet. Bima Sakti kan hampir memenuhi bidang langit.”
“Kalo nggak ya terpaksa kita gali lubang biar dapet sudut ya, Mas.. hahaha...”

Sayangya mendung datang di atas sana. Pandangan ke Bima Sakti terhalang olehnya. Cupez yang alpa membawa tripod sempat mengambil beberapa jepretan, bermodal tripod pinjaman milik mas Deddy.

Saat sholat Subuh telah tiba. Kami segera bergantian menunaikan sholat. Tempat bersuci tempatnya agak terpisah dari mushola tadi, menyatu dengan toilet. Airnya melimpah dan bersih, khas air pegunungan. Air disedot menggunakan pompa listrik dan ditampung di atas bangunan toilet. Sebelum berangkat saya sempat mengkhawatirkan keberadaan toilet di tempat ini. Ritual pagi saya mengharuskan adanya toliet. Untunglah pengelola tempat ini paham akan kebutuhan mendasar setiap manusia.
 
Bangunan toilet dengan air melimpah
Pelan-pelan pengunjung lain mulai berdatangan. Mereka rata-rata datang berombongan. Usianya beragam, meski kebanyakan anak muda. Bukit yang tadinya sunyi kini telah berubah menjadi ajang berkumpul puluhan orang. Mereka menunggu satu peristiwa yang konon keindahannya mirip surga, matahari terbit dari belakang candi Borobudur yang agung itu.
Fasilitas Rumah Ibadah

Seorang pria asing berusia enam puluhan tahun datang bersama istrinya. Dia segera menancapkan tripod dan memasang kamera tepat di sebelah tripod saya. Benda itu saya tancapkan di bibir jurang yang menganga di depan kami, menghadap ke arah timur, siap menghadang kedatangan sang dewi surga, matahari. Pria itu berwajah ramah. Sapaan dalam bahasa Inggris yang amat fasih saya balas sebisanya.

Ufuk timur mulai berderak oleh guratan cahaya matahari. Kamera sudah saya pasangi dengan lensa telezoom 80-200 mm, tinggal jepret. Pandangan mata semua pengunjung tertuju pada satu titik, cakrawala timur.

Waktu berjalan terasa lambat. Kami dilanda kerisauan. Mendung di kejauhan sana lah penyebabnya. Warnanya putih keabu-abuan. Menilik warnanya, saya pastikan dia adalah mendung, bukan kabut. Jarum jam tangan saya telah menunjukka pukul 05.30 WIB, dan mendung itu masih di sana.

Tiba-tiba gerimis turun dengan deras. Saya segera membungkus kamera saya dengan kantong plastik. Setelah saya pastikan aman dari guyuran hujan, saya segera berteduh di bawah bangunan di samping gardu pandang itu. Puluhan manusia berkumpul di sini. Seorang turis bule celingak-celinguk mencari tempat duduk.

Would you like to remove these stuffs? I need a seat.”

Dengan muka malu saya segera memindahkan tas kamera dan buntalan gelas plastik ke tempat lain. Di sebelah saya, mas Rindhang hanya bisa cengar-cengir. Prinsip the first visitor is King ternyata tumbang.

Beberapa kali saya bolak balik ke tempat kamera terpasang, untuk sekedar memastikan bahwa posisinya aman dari air hujan; pun demikian juga dengan pria asing pemilik kamera di sebelah saya. Dia berpayung, sementara saya tidak.

Hello, good morning. Wanna join with me here?”

Rupanya dia menawari saya untuk ikut berteduh di payungnya sembari menunggui kamera. Saya pikir tak ada salahnya, dari pada saya harus bolak balik. Saya hanya berharap dia tak banyak mengajak saya bercakap-cakap karena saya tahu kapasitas bahasa Inggris saya.

Namun harapan saya sia-sia. Pria itu selain ramah dan baik juga doyan ngobrol. Dia mulai mengenalkan dirinya. Namanya sulit saya eja dan ingat. Yang jelas dia berasal dari Sri Lanka. Dia sedang menghadiri sebuah seminar di ITB Bandung bersama istrinya. Gaung keindahan tempat ini rupanya sudah mendunia, sehingga menarik perhatiannya untuk berkunjung ke sini.

Topik pembicaraan mulai rumit. Saya juga mulai gagal paham dengan detil isi pembicaraannya. Satu hal yang saya tangkap jelas adalah ketika dia menebak bahwa sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilu. Saya penasaran, dari mana dia tahu hal itu.

I saw so many photos placed on the tree.”

Hahaha.... baru kali ini saya bisa memahami kelucuan dalam bahasa asing. Dia menerangkan bahwa di negaranya hal itu juga terjadi. Ketika musim kampanye tiba, pepohonan dipenuhi dengan tampang calon legislator. Dasar orang Asia, pikir saya.

Tiba-tiba seorang gadis berambut pirang mendekati kami.

Still waiting for the miracle?

Kami serentak mengangguk sembari tersenyum. Gadis itu hanya mengenakan kaos oblong tipis dan tak berpayung. Lagi-lagi teman baru saya ini dengan ramah mengajaknya bergabung dalam payung kami. Wow.. Sepayung bertiga dalam pagi yang rintik dengan gadis bule memicu hasrat lain dalam batin saya.
 
Pokok pohon penanda titik pusat Puthuk Setumbu
Rupanya dia berasal dari Belanda. Dia baru usai berwisata ke Bandung. Dari sekian banyak pembicaraannya, ada dua hal yang menyentil, yakni rendahnya kemampuan pramuwisata dalam berbahasa Inggris, sampai-sampai tak mampu membedakan towel dan blanket. Selain itu dia juga mengeluhkan minimnya penamaan dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris sehingga menyulitkan pendatang sepertinya. Dua hal  itu saya benamkan dalam ingatan, untuk suatu saat saya suarakan ke pihak yang berkepentingan.

Gerimis mulai reda, berganti dengan kabut yang datang tiba-tiba. Puncak ini berubah menjadi ruang dengan jarak pandang yang amat terbatas. Namun kabut itu hanya melintas sesaat.

Peristiwa yang kami tunggu-tunggu tak jua terjadi. Hari sudah terang benderang. Perlahan-lahan sebagian pengunjung mulai meninggalkan kawasan ini karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Gerimis dan kabut datang silih berganti.

Di gardu pandang rupanya telah tergelar lapak dimana dijajakan minuman hangat dan jas hujan kecil seharga sepuluh ribu rupiah. Dagangan itu lari manis karena sebagian besar pengunjung tak membawa payung atau jas hujan. Sayangnya tidak tersedia panganan atau mie instant di lapak itu, hanya teh dan kopi. Saya sampai berani menantang penjual itu untuk menyediakan mie rebus dengan harga dua puluh ribu semangkok, tapi dia menyerah. Dia bilang tidak punya alat merebus dan persediaan mie instant. Ah.. harusnya mereka melihat peluang usaha ini.

Tanpa terasa penghuni puncak ini hanya tinggal rombongan kami dan tiga pria yang sedang asyik memotret dan sekenanya. Borobudur sempat tampil sekejap, namun didominasi oleh balutan kabut dan mendung di batas cakrawala.
Kantor Sekretariat Pengelola Puthuk Setumbu
Pengunjung melihat foto-foto keindahan sunrise

Parkiran mobil amat representatf
Ketika akhirnya pada pukul 08.15 WIB akhirnya kami memutuskan untuk turun, kami menjadi pengunjung terakhir yang turun dari tempat ini. Bisa dibilang misi kami gagal, tapi itu tak membuat saya kecewa.
Foto Borobudur yang berhasil saya dapatkan

Puthuk yang dalam bahasa Jawa artinya puncak dan Setumbu adalah tempat menaruh padi, telah mengajak saya melihat surga dalam selimut kabut.

Kampung Makasar, 9 Maret 2014