|
Berteduh di bawah Papan Nama |
“Ok..
jam 01.30 aku nyampe situ.”
Itulah
kalimat terakhir dari mas Rindhang melalui pesan WA. Saya segera memejamkan
mata. Alarm di telepon genggam saya atur ke pukul 01.00 WIB agar saya punya
waktu untuk cuci muka dan mempersiapkan kondisi. Kamera dan perangkat
pendukungnya sudah saya siapkan di tas, tinggal menjinjingnya.
Ketika
dua jam kemudian alarm itu menyalak, saya lantas bangun dengan segera. Setelah
mencuci muka dan gosok gigi, saya bangunkan teman sekamar saya, Cupez dan
tetangga kamar, mas Deddy. Sepuluh menit kemudian kami sudah berkumpul di lobi
hotel, menunggu mas Rindhang.
Tak
lama berselang, dari balik kegelapan malam, muncullah sesosok pria yang amat
khas senyumnya. Kami lantas bersalaman. Saya bahkan merasa perlu mencium
tangannya, sebagai tanda penghormatan baginya. Bagi saya, sosok pria kelahiran
Surabaya ini sudah seperti kakak kandung sendiri. Bertahun-tahun kami terlibat
pertemanan yang mendalam dan melibatkan emosi di dalamnya.
“Aku
bawa termos jahe sama kopi, mau nyicip?”
“Boleh,
Mas..”
Pria
ini memang amat peduli dengan urusan bekal perjalanan. Kepribadian yang amat
klop dengan istrinya. Suami istri ini memang dianugerahi Tuhan talenta memasak
yang luar biasa. Belakangan mereka sukses merintis usaha kios makanan di kota
ini. Dengan bangga dia bercerita bahwa sekarang sudah ada menu nasi bebek di
warungnya.
Jam
sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kami segera masuk ke mobil yang terparkir di
halaman hotel itu. Mas Fath, rekan sesama peserta workshop dari BPPK,
memutuskan ikut bergabung bersama kami pagi ini. Kami agak susah menemukan
dirinya, karena kami tidak tahu nomor kamarnya, dia memesan atas nama orang
lain yang tidak kami kenal, dan nomor teleponnya tidak bisa kami hubungi.
Deru
mesin diesel membelah kesunyian jalan Magelang. Yogya beberapa hari lalu
diselimuti debu tebal akibat letusan gunung Kelud. Aroma debu itu masih tercium
hingga kini meski Yogya sudah bersih darinya.
Hanya
perlu waktu 45 menit untuk mencapai kawasan wisata candi Borobudur. Mas
Rindhang perlu memelankan laju kendaraan untuk mencari jalur ke tempat yang
kami tuju, karena papan penunjuknya hanya berupa tulisan kecil yang numpang di
sebuah papan nama restoran dan tempat peristirahatan. Beberapa hari yang lalu
dia sudah ke sini bersama anaknya. Namun memang tak mudaht menelusuri lagi rute
yang sama mengingat waktunya adalah dini hari dan rute yang kami lalui sudah
masuk daerah pinggiran. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai.
Ketika
papan petunjuk itu kami temukan, mas Rindhang segera membelokkan arah mobilnya
ke kiri. Selang beberapa kilometer kemudian kami menemukan papan penunjuk
terakhir, sebuah papan kayu bertuliskan “Borobudur Nirwana Sunrise”.
Rute
selanjutnya berupa jalan kampung yang hanya muat satu mobil. Jalan kampung ini
sudah diperkeras dengan cor semen. Rumah penduduk berjajar rapi dan resik, khas
perkampungan di Jawa Tengah. Tak lama kemudian jalan yang kami lalui menanjak
curam. Perlu kelihaian mengemudi dalam kondisi jalan seperti ini. Namun rupanya
tanjakan itu tidak panjang, hanya beberapa puluh meter. Seperminuman teh
kemudian, mas Rindhang membelokkan mobil ke kanan, memasuki tanah lapang
berlapis konblok dan diberi garis sejajar sebagai panduan pengendara mobil
ketika memarkirkan mobilnya.
Tak
berapa lama seorang pemuda berkalung sarung mendatangi kami. Dia mengarahkan
posis parkir mobil. Hebat juga, pikir saya. Sepagi ini sudah ada yang siaga
menjaga parkiran ini.
|
Loket Puthuk Setumbu |
Kami
lantas diarahkan menuju loket masuk kawasan perbukitan ini. Loket tersebut
terletak di sisi kanan jalan, menyatu dengan rumah yang diperuntukkan sebagai
posko pengelola tempat wisata ini. Di loket tersebut tertera tarif masuk
kawasan wisata seharga lima belas ribu rupiah untuk wisatawan lokal dan tiga
puluh ribu rupiah untuk wisatawan asing. Sebuah harga yang adil, menurut saya.
Seorang
pria paruh baya berbadan kurus mendekati kami.
“Mau
ditemani, Mas?”
Saya
menoleh ke arah mas Rindhan, meminta pertimbangan.
“Boleh,
Pak. Rada horor, je..”
Saya
membatin geli. Di balik sosoknya yang garang, kang mas saya ini memang nyalinya
tak besar.
Kami
lantas menurunkan bawaan, termasuk dua thermos berisi jahe dan kopi panas serta
selusin gelas plastik sekali pakai.
“Jauh
jalannya, Mas?”
“Nggak,
paling setengah jam..”
Ah...
saya terdiam sejenak. Kalimat tadi agak menyiutkan nyali saya. Bayangan buruk
kembali menyapa. Kuat nggak ya saya menaiki jalur ini?
Tadinya
kami mau beristirahat dulu di sini, ketika tiba-tiba mas Deddy menawarkan
sesuatu yang belum pernah saya lakukan.
“Kita
motret Bima Sakti di atas, yuuk..”
Wah...
memotret galaksi merupakan pengalaman baru buat saya. Selama ini saya terlanjur
berkutat dengan fotografi liputan kegiatan kantor. Tawaran tadi sekaligus
menaikkan nyali saya.
|
Surga itu berada di balik kabut |
|
Puthuk Setumbu dalam balutan kabut |
Dengan
langkah digagah-gagahkan, saya berjalan paling depan. Jalur ini berupa jalan
setapak yang sudah diperkeras dengan semen di beberapa bagian. Beberapa bagian
lainnya masih berupa tanah merah, sehingga amat licin ketika basah, seperti
saat ini. Sendal untuk naik gunung merupakan alas kaki yang amat cocok untuk
mendaki jalur seperti ini. Selepas loket tadi, tak ada satu rumah penduduk pun
yang kami temui. Kiri kanan kami adalah ladang penduduk, bahkan sebagian masih
nerupa hutan. Suasananya memang rada menyeramkan.
Tak
lama kemudian jalanan kian mendaki. Pihak pengelola taman wisata ini telah membangun
anak tangga dari semen sehingga pejalan kaki tak perlu kawatir bakal kesulitan.
Di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan lereng curam juga telah diberi
pagar pengaman dari bambu, sekaligus bisa dipakai untuk berpegangan. Bapak
berperawakan ceking tadi menerangi perjalanan kami dengan sebuah lampu senter
kecil.
Tiba-tiba
tanjakan di depan kian curam. Di ujung tanjakan nampak lampu neon menerangi
sebuah bangunan kecil terbuat dari papan kayu. Subhanallah, rupanya itu adalah
sebuah rumah ibadah, mushola.
Akhirnya
kami tiba di sebuah puncak bukit kecil. Kami masuk dari sisi selatan. Selain
dari sisi ini, ada jalan masuk dari sisi utara. Luasnya hanya seluas lapangan
basket. Puncak ini telah dipapas rata sehingga amat nyaman bagi para pengunjung.
Di bagian utara terdapat sebuah bangunan kayu menjulang tinggi, berlantai dua.
Rupanya itu adalah gardu pandang. Di sebelahnya terdapat bangunan serupa, hanya
saja tidak bertingkat. Bangunan ke dua ini fungsinya sama, hanya saja
dimensinya sedikit lebih luas. Terdapat sebuah bangku permanen tempat kami bisa
segera menaruh barang bawaan kami.
“Nggak
apa-apa Mas semua kita taruh sini? Nanti kalo ada pengunjung lain gimana?”
“Tenang
aja, pengunjung pertama adalah raja.. hahaha.”
Tawa
mas Rindhang membelah kesunyian, membangunkan arwah-arwah penunggu bukit ini.
Saya
segera mengekor langkah mas Deddy yang sudah lebih dulu mencari spot untuk
memotret galaksi Bima Sakti. Dia mengambil posisi di sisi tenggara puncak bukit
ini untuk mencari tatapan yang leluasa ke arah langit.
“Sebenarnya sudah tidak ideal motret Bima Sakti jam
segini, mas Slamet. Sudah mulai turun posisinya.”
“Lho,
enake jam berapa, Mas?”
“Jam
sembilan malem lah. Posisinya masih di atas kita.”
Dalam
kegelapan dini hari, saya manggut-manggut. Saya memang tidak punya modal
pengetahuan apa-apa tentang hal ini, bahkan termasuk setting kamera.
“Pasang
di F/8, ISO 800, WB Auto, waktu sekitar 20 detik, Mas Slamet.”
Bermodal
penerangan dari power bank, saya segera menuruti petunjuknya. Clap!!!! Ajaib,
hasil di lcd langsung kelihatan. Lensa 20-35 mm yang terpasang di body
bersensor APS-C ternyata kurang lebar sudut pandangnya.
“Idealnya pakai 11 mili, Mas Slamet. Bima Sakti kan
hampir memenuhi bidang langit.”
“Kalo nggak ya terpaksa kita gali lubang biar dapet
sudut ya, Mas.. hahaha...”
Sayangya
mendung datang di atas sana. Pandangan ke Bima Sakti terhalang olehnya. Cupez
yang alpa membawa tripod sempat mengambil beberapa jepretan, bermodal tripod
pinjaman milik mas Deddy.
Saat
sholat Subuh telah tiba. Kami segera bergantian menunaikan sholat. Tempat
bersuci tempatnya agak terpisah dari mushola tadi, menyatu dengan toilet.
Airnya melimpah dan bersih, khas air pegunungan. Air disedot menggunakan pompa
listrik dan ditampung di atas bangunan toilet. Sebelum berangkat saya sempat
mengkhawatirkan keberadaan toilet di tempat ini. Ritual pagi saya mengharuskan
adanya toliet. Untunglah pengelola tempat ini paham akan kebutuhan mendasar
setiap manusia.
|
Bangunan toilet dengan air melimpah |
Pelan-pelan
pengunjung lain mulai berdatangan. Mereka rata-rata datang berombongan. Usianya
beragam, meski kebanyakan anak muda. Bukit yang tadinya sunyi kini telah
berubah menjadi ajang berkumpul puluhan orang. Mereka menunggu satu peristiwa
yang konon keindahannya mirip surga, matahari terbit dari belakang candi Borobudur
yang agung itu.
|
Fasilitas Rumah Ibadah |
Seorang
pria asing berusia enam puluhan tahun datang bersama istrinya. Dia segera
menancapkan tripod dan memasang kamera tepat di sebelah tripod saya. Benda itu
saya tancapkan di bibir jurang yang menganga di depan kami, menghadap ke arah
timur, siap menghadang kedatangan sang dewi surga, matahari. Pria itu berwajah
ramah. Sapaan dalam bahasa Inggris yang amat fasih saya balas sebisanya.
Ufuk
timur mulai berderak oleh guratan cahaya matahari. Kamera sudah saya pasangi
dengan lensa telezoom 80-200 mm, tinggal jepret. Pandangan mata semua
pengunjung tertuju pada satu titik, cakrawala timur.
Waktu
berjalan terasa lambat. Kami dilanda kerisauan. Mendung di kejauhan sana lah
penyebabnya. Warnanya putih keabu-abuan. Menilik warnanya, saya pastikan dia
adalah mendung, bukan kabut. Jarum jam tangan saya telah menunjukka pukul 05.30
WIB, dan mendung itu masih di sana.
Tiba-tiba
gerimis turun dengan deras. Saya segera membungkus kamera saya dengan kantong
plastik. Setelah saya pastikan aman dari guyuran hujan, saya segera berteduh di
bawah bangunan di samping gardu pandang itu. Puluhan manusia berkumpul di sini.
Seorang turis bule celingak-celinguk mencari tempat duduk.
“Would
you like to remove these stuffs? I need a seat.”
Dengan
muka malu saya segera memindahkan tas kamera dan buntalan gelas plastik ke
tempat lain. Di sebelah saya, mas Rindhang hanya bisa cengar-cengir. Prinsip
the first visitor is King ternyata tumbang.
Beberapa
kali saya bolak balik ke tempat kamera terpasang, untuk sekedar memastikan
bahwa posisinya aman dari air hujan; pun demikian juga dengan pria asing
pemilik kamera di sebelah saya. Dia berpayung, sementara saya tidak.
“Hello,
good morning. Wanna join with me here?”
Rupanya
dia menawari saya untuk ikut berteduh di payungnya sembari menunggui kamera.
Saya pikir tak ada salahnya, dari pada saya harus bolak balik. Saya hanya
berharap dia tak banyak mengajak saya bercakap-cakap karena saya tahu kapasitas
bahasa Inggris saya.
Namun
harapan saya sia-sia. Pria itu selain ramah dan baik juga doyan ngobrol. Dia
mulai mengenalkan dirinya. Namanya sulit saya eja dan ingat. Yang jelas dia
berasal dari Sri Lanka. Dia sedang menghadiri sebuah seminar di ITB Bandung
bersama istrinya. Gaung keindahan tempat ini rupanya sudah mendunia, sehingga
menarik perhatiannya untuk berkunjung ke sini.
Topik
pembicaraan mulai rumit. Saya juga mulai gagal paham dengan detil isi
pembicaraannya. Satu hal yang saya tangkap jelas adalah ketika dia menebak
bahwa sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilu. Saya penasaran, dari mana
dia tahu hal itu.
“I
saw so many photos placed on the tree.”
Hahaha....
baru kali ini saya bisa memahami kelucuan dalam bahasa asing. Dia menerangkan
bahwa di negaranya hal itu juga terjadi. Ketika musim kampanye tiba, pepohonan
dipenuhi dengan tampang calon legislator. Dasar orang Asia, pikir saya.
Tiba-tiba
seorang gadis berambut pirang mendekati kami.
“Still
waiting for the miracle?”
Kami
serentak mengangguk sembari tersenyum. Gadis itu hanya mengenakan kaos oblong
tipis dan tak berpayung. Lagi-lagi teman baru saya ini dengan ramah mengajaknya
bergabung dalam payung kami. Wow.. Sepayung bertiga dalam pagi yang rintik
dengan gadis bule memicu hasrat lain dalam batin saya.
|
Pokok pohon penanda titik pusat Puthuk Setumbu |
Rupanya
dia berasal dari Belanda. Dia baru usai berwisata ke Bandung. Dari sekian
banyak pembicaraannya, ada dua hal yang menyentil, yakni rendahnya kemampuan
pramuwisata dalam berbahasa Inggris, sampai-sampai tak mampu membedakan towel
dan blanket. Selain itu dia juga mengeluhkan minimnya penamaan dan petunjuk
arah dalam bahasa Inggris sehingga menyulitkan pendatang sepertinya. Dua hal itu saya benamkan dalam ingatan, untuk suatu
saat saya suarakan ke pihak yang berkepentingan.
Gerimis
mulai reda, berganti dengan kabut yang datang tiba-tiba. Puncak ini berubah
menjadi ruang dengan jarak pandang yang amat terbatas. Namun kabut itu hanya
melintas sesaat.
Peristiwa
yang kami tunggu-tunggu tak jua terjadi. Hari sudah terang benderang. Perlahan-lahan
sebagian pengunjung mulai meninggalkan kawasan ini karena jam sudah menunjukkan
pukul 07.00 WIB. Gerimis dan kabut datang silih berganti.
Di
gardu pandang rupanya telah tergelar lapak dimana dijajakan minuman hangat dan
jas hujan kecil seharga sepuluh ribu rupiah. Dagangan itu lari manis karena
sebagian besar pengunjung tak membawa payung atau jas hujan. Sayangnya tidak
tersedia panganan atau mie instant di lapak itu, hanya teh dan kopi. Saya sampai
berani menantang penjual itu untuk menyediakan mie rebus dengan harga dua puluh
ribu semangkok, tapi dia menyerah. Dia bilang tidak punya alat merebus dan
persediaan mie instant. Ah.. harusnya mereka melihat peluang usaha ini.
Tanpa
terasa penghuni puncak ini hanya tinggal rombongan kami dan tiga pria yang
sedang asyik memotret dan sekenanya. Borobudur sempat tampil sekejap, namun
didominasi oleh balutan kabut dan mendung di batas cakrawala.
|
Kantor Sekretariat Pengelola Puthuk Setumbu |
|
Pengunjung melihat foto-foto keindahan sunrise |
|
Parkiran mobil amat representatf |
Ketika
akhirnya pada pukul 08.15 WIB akhirnya kami memutuskan untuk turun, kami menjadi
pengunjung terakhir yang turun dari tempat ini. Bisa dibilang misi kami gagal,
tapi itu tak membuat saya kecewa.
|
Foto Borobudur yang berhasil saya dapatkan |
|
Puthuk
yang dalam bahasa Jawa artinya puncak dan Setumbu adalah tempat menaruh padi,
telah mengajak saya melihat surga dalam selimut kabut.
Kampung
Makasar, 9 Maret 2014