Thursday, July 17, 2014

Cerita Bersambung Bagian 3 - Ketika Zorro Pergi Umroh



Bapak berpose di depan Masjid Nabawi


Kiri ke kanan : Pak Anas, Pak Cucu, Bapak dan Ibu di depan Masjid Terapung, Jeddah

Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini

Akibat kekurangtahuan pengemudi bus tadi menyebabkan kedatangan kami di Madinah terlambat hampir dua jam. Pukul 20.00 waktu setempat kami tiba di kota yang menurut riwayat diberkahi dua kali dibanding Mekkah ini. Cahaya gemerlap lampu malam tampak menyirami kota yang relatif datar ini.
Sebelum turun dari bus, Pak Ansori memberi arahan bahwa tak seperti Masjidil Haram yang buka 24 jam, Masjid Nabawi akan tutup pada pukul 23.00. Jamaah masih bisa masuk tapi hanya melewati pintu-pintu tertentu. Dia juga berpesan bahwa godaan ibadah di Madinah jauh lebih besar daripada di Mekkah. Godaan dimaksud adalah godaan belanja. Tipikal pertokoan di sini memang berbeda dengan di Mekkah. Di Madinah, begitu keluar dari lobi hotel, kita langsung akan dihadang oleh pusat-pusat perbelanjaan, mulai dari kelas butik sampai kelas kaki lima.
Saya segera menuntun bapak dan ibu menuju restoran yang sebentar lagi akan tutup. Berbeda dengan di Mekkah, makan pagi, siang dan malam kami disediakan oleh pihak hotel namun waktunya amat ketat. Rupanya pihak hotel menyewa perusahaan katering khusus untuk jamaah dari Indonesia. Untuk tamu dari Timur Tengah makannya disediakan oleh koki hotel, entah maksudnya apa. Ketika di Mekkah, untuk sarapan kami lakukan di restoran hotel, sedangkan makan siang dan makan malam disediakan di restoran masakan Indonesia yang berada di lantai 3A menara Zamzam. Waktu yang disediakan di restoran itu juga relatif longgar, sehingga kami tak pernah buru-buru.
Seperti biasa, pertama-tama yang saya lakukan adalah mencarikan tempat duduk bagi kedua orang tua saya, barulah saya mengambilkan makanan untuk bapak. Untuk urusan makan, ibu sepenuhnya bisa melakukan sendiri. Pak Anas makan bersama pak Cucu, kesepakatan tak tertulis yang kami buat semenjak di Mekkah, agar saya punya waktu yang cukup untuk membantu orang tua saya.
“Mau makan banyak apa sedikit, Pak?”
“Sing akeh, Le... bapak laper banget.”
Saya maklum adanya. Perjalanan Mekkah ke Madinah memang lumayan menguras energi. Sepanjang perjalanan bapak amat membatasi makan dan minum karena takut harus ke belakang. Hal ini sebenarnya sudah saya larang. Saya tegaskan bahwa bapak tidak perlu menahan lapar dan haus hanya karena takut merepotkan orang lain. Namun begitulah bapak, beliau memang susah dilawan jika sudah memutuskan sesuatu.
Seporsi besar nasi beserta gulai ayam dan lalapan ala kadarnya segera saya sajikan ke meja bapak. Sebetulnya saya menyimpan kecemasan akan kondisi gula darah beliau. Namum kecemasan itu segera saya tepis. Saya kembali terngiang kalimatnya yang menyatakan siap mati di sini. Untunglah adik saya bekerja di perusahaan farmasi, sehingga sekantong obat wajib bapak beserta jadwal minumnya menjadi bekal beliau selama di sini.
Tak berapa lama ibu bergabung di samping bapak. Sembari mengunyah daging ayam, saya diam-diam mengamati dua sosok agung ini. Orang tua saya ini menjadi pasangan suami istri melalui jalur perjodohan.
Karakter keduanya sebetulnya amat bertolak belakang. Ibu adalah sosok melankolis, berpendidikan hanya sampai kelas 4 SD, anak bungsu dari lima bersaudara. Kesehariannya ibu adalah sosok yang tak jauh dari urusan dapur, kasur dan sumur. Sepanjang hidupnya memang tidak pernah  menjalani pekerjaan formal. Dahulu beliau pernah berdagang beras di pasar kampung dan membuka warung makan.Belakangan setelah anak-anaknya dewasa, beliau memutuskan konsentrasi menjadi ibu rumah tangga. Naluri keibuannya amat kuat. Pernah suatu malam, sudah amat larut malam, adik perempuan saya yang tinggal berdekatan dengan mereka, menelepon saya. Adik saya hanya memastikan apakah saya sehat-sehat saja. Rupanya seharian tadi setiap makan ibu tersedak. Saya sampaikan ke adik saya, bahwa saya sekeluarga baik-baik saja. Saya tidak sampaikan bahwa anak sulung saya sedang kambuh sinusnya, karena jika sampai itu terjadi, mereka pasti akan segera meluncur ke Jakarta. Sampai sekarang, setiap malam Senen Legi yang merupakan weton saya, ibu selalu membuat nasi lengkap dengan urap dan lauk ala kadarnya. Setampan nasi itu kemudian dibawanya ke mushola depan rumah untuk dibacakan doa buat saya dan adik ketiga saya yang kebetulan lahir pada hari dan pasaran yang sama.
Sedangkan bapak adalah sosok pria tangguh. Masa kecilnya yang dihabiskan bersama pamannya melahirkan sosok mandiri hingga kini. Meskipun berprofesi sebagai pegawai negeri, bapak amat giat berladang. Baginya tak boleh ada sejengkal tanahpun yang lepas dari hantaman cangkulnya. Pekarangan rumah kami di kampung sana tertata rapi, penuh dengan tanaman yang amat terawat. Kini, di masa pensiunnya, bapak memilih memelihara ayam kampung daripada sapi atau kambing. Disamping lebih mudah merawatnya, ternyata peliharaan itu disediakan buat anak cucunya ketika mudik. Selain mandiri, bapak juga sosok yang tegas namun bijak menyikapi setiap persoalan. Banyak yang mendorong beliau untuk maju sebagai kepala desa menggantikan ayahnya, tapi dengan tegas beliau menolak. Baginya menjadi rakyat kebanyakan jauh lebih nyaman dibanding harus memikul tanggung jawab besar sebagai punggawa rakyat. Satu hal yang saya tiru adalah bahwa bapak tidak pernah ikut campur masalah keuangan keluarga. Seluruh gajinya dari dulu sampai sekarang sepenuhnya dikelola oleh ibu. Bapak pernah bilang bahwa jadi pria itu jangan cengeng, jangan mengandalkan gaji untuk membeli rokok, cangkul, dan bibit tanaman.
Meski saling bertolak belakang, kedua insan ini tidak pernah terlibat dalam keributan besar. Sepanjang hidup saya, saya hanya sekali menemui kejadian yang membuat ibu menangis. Kejadiannya pun sudah lama sekali, saya bahkan tak sanggup mengingat apa penyebab peristiwa itu. Bapak memang memilih untuk mengalah ketika ibu mulai tersulut emosi. Baginya wanita memang bukan lawan tandingnya.
Kami harus segera beranjak dari restoran itu, karena lampu penerangan sudah dimatikan. Saya segera menuntun bapak dan ibu ke kamar kami yang terletak di lantai 5. Kali ini kamar kami terpisah agak jauh meskipun berada di lantai yang sama. Kepada teman sekamarnyalah saya menitipkan ibu agar ibu bisa sholat berjamaah di masjid Nabawi. Berbeda dengan Masjidil Haram, di Nabawi pintu masuk laki-laki dan perempuan terpisah sehingga saya tidak bisa mendudukkan ibu pada sebuah posisi. Hal ini sebetulnya amat merisaukan perasaaan bapak. Hilangnya ibu di bukit Marwah tempo hari rupanya amat membekas di hati beliau.
Kami baru saja selesai menunaikan sholat Jumat ketika terbetik kabar bahwa ada anggota rombongan kami yang meninggal dunia karena sakit. Kabar tersebut menyentak kami semua. Syukurlah suaminya ikut serta dalam rombongan ini sehingga proses penguburan jenazah bisa segera dilaksanakan. Rupanya pihak rumah sakit di sini tidak akan melakukan apapun terhadap jenazah apabila belum mendapat ijin dari keluarganya.
“Orang seperti aku dan ibumu ini tinggal menikmati bonus umur lho, Le,” ujar bapak sembari tiduran di ranjang sebelah. Saya asyik membalas beberapa pesan di ponsel sembari duduk membelakanginya.
“Pak, boleh saya nanya?”
Meh takon apa, Le?”
“Gini lho, Pak. Anak bapak ini kan sebagian besar hidup di Jakarta, hanya satu yang di Wonogiri. Nah, suatu saat nanti ketika Bapak dipanggil Yang Maha Kuasa, apa harapan Njenengan terhadap kami?”
“Ada dua, Le. Yang pertama, kalian tak usah menahan jenazah bapak atau ibumu. Biarkan kami langsung diurus sama yang di rumah. Selesaikan urusan kalian terlebih dahulu, baru pulang.”
Saya menghela nafas dalam-dalam. Telepon seluler itu segera saya letakkan di atas meja. Saya tiba-tiba menyesal telah bertanya seperti itu.
“Bapak nggak pengin merepotkan tetangga kiri kanan, mengurus jenazah sambil menunggu kedatangan kalian. Bapak kok ngga sreg ngeliat jenazah harus nginap hanya gara-gara nunggu anaknya belum datang.”
“Inggih, Pak. Insya Allah nanti saya sampaikan ke adik-adik.”
“Yang ke dua. Tolong nanti sholatkan bapak di mushola depan rumah. Biarlah bapak jadi contoh buat tetangga, bahwa seyogyanya menyolatkan jenazah itu ya di masjid atau mushola.”
Tiba-tiba telepon seluler saya menampilkan pesan baru. Rupanya ibu pengin bergabung bersama kami. Saya segera menjemput ibu di kamar seberang.
Setibanya di kamar kami, ibu duduk di ranjang saya.
“Katanya ada yang ninggal, Le?”
Inggih, Bu. Rombongan bus dua.”
“Gek piye urusane? Dikubur dimana?”
“Biasanya sih dikubur di sini, Bu. Bisa sih dibawa pulang ke Indonesia, tapi urusannya panjang.”
“Yuuuh, kasihan anak-anaknya ya. Kalau mereka mau nyekar terus gimana?”
“Ngirim doa buat arwah itu bisa dari mana saja, Bu. Dari Indonesia juga nyampe ke Gusti Allah, kok,” ujar Bapak menyela obrolan kami.
“Gini, Bu. Barusan Bapak pesen bahwa jika suatu saat nanti Bapak atau Ibu dipanggil Allah, jenazahnya nggak usah nunggu kami. Nurut Ibu, gimana?”
“Aku yo setuju kok, Le. Mesakne, orang udah mati kok sampai nginap. Medeni.....”
“Nah, sekarang saya mau nanya, Pak, Bu. Jika nanti Bapak Ibu meninggal pas hari Selasa Kliwon, kuburannya minta ditungguin, nggak?”
Bapak yang pertama kali menjawab, “Bapak nggak minta ditungguin, Le. Kasihan jadi merepotkan tetangga harus nungguin siang malam di kuburan selama 40 hari.”
“Lah, kalau aku ya minta ditungguin, Le. Bukan apa-apa. Adat di desa kita kan seperti itu, setiap yang mati hari Selasa Kliwon katanya mayatnya diambil sama orang jahat. Bagian tubuhnya dipakai untuk jimat. Sebetulnya Ibu nggak percaya sama semua itu, tapi ini adat, Le. Nanti kita diomongin orang nggak punya adat. Lagian kamu apa nggak malu jadi omongan orang nantinya. Tuh, anaknya pak Santoso gagah-gagah, masak orang tuanya mati hari Selasa Kliwon kuburannya nggak ditungguin, emang nggak punya duit, apa?”
Begitulah Ibu jika sudah bersabda. Pertimbangannya bukan hal rasional lagi, tapi lebih ke emosional.
Saya terdiam. Sampai sekarang saya memang masih mengalami perang batin untuk satu hal ini. Di satu sisi saya tidak terlalu percaya dengan hal-hal semacam itu. Namun di sisi lain saya juga tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan yang ada.
Kakak sepupu saya, Kang Giyo, pernah berkata, “Kamu rela anggota badan orang tuamu dicuri orang?”
Saya terdiam ketika itu. Menurut cerita yang beredar di daerah saya, konon jenazah orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon memang ampuh dijadikan jimat. Sudah banyak dijumpai kuburan yang berlubang karena tidak ditunggui selama 40 hari 40 malam.
Nggih, Bu. Untuk satu hal ini saya belum bisa ngambil keputusan. Semoga Bapak Ibu nanti dipanggilnya nggak pas hari itu..hahaha...”
Sembari menyajikan cemilan kurma dan menuangkan air Zamzam yang saya bawa dari Mekkah, saya ngunandiko, bahkan Tanah Suci ini belum mampu membuat saya lepas dari pengaruh takhayul di desa kami.

Bandung, 17 Juli 2014
######Bersambung######

Tuesday, July 15, 2014

Cerita Bersambung Bagian ke 2 - Ketika Zorro Pergi Umroh

Kiri ke kanan : Pak Anas, Bapak, Ibu seusai Umroh ke dua
Cerita bagian I ada di sini
 
Tepat pukul 14.00 waktu Mekkah bus kami berangkat ke Madinah. Seperti biasa cuaca amat panas. Pendamping kami, pak Ansori, dengan semangat mulai berkisah tentang tempat-tempat yang kami lalui. Pria asal Semarang ini mengajak kami untuk senantiasa melantunkan shalawat nabi.
Saya duduk di bangku paling belakang, di belakang bapak dan ibu. Sembari bershalawat, saya memotret suasana kota Mekkah. Sejenak kemudian saya menemukan hal ganjil. Bus ini seperti berputar-putar di jalan yang sama. Pak Ansori bahkan berkata dengan intonasi meninggi kepada pengemudi bus bahwa kita salah jalan. Perkiraan saya ternyata tidak meleset, bus ini tersesat di kota Mekkah.
“Kenapa, To”, bapak rupanya menangkap kegelisahan saya.
“Itu sopirnya nggak tahu jalan, Pak”
“Lha terus gimana?”
“Coba sebentar saya ke depan, Pak.”
Saya beranjak ke samping pengemudi. Pak Ansori disibukkan oleh dua urusan sekaligus, membimbing jamaah dan mengarahkan rute bus.  Saya menawarkan bantuan.
“Pak, gimana kalo sopirnya saya aja yang ngarahin, Bapak konsen saja sama jamaah.”
“Lho, pak Slamet hafal kota Mekkah?”
“Nggak sih, Pak. Kan ada GPS,” ujar saya sembari menunjukkan ponsel pintar yang udah saya pasang aplikasi Waze.
Telepon seluler itu segera saya pasang di dashboard. Dengan bahasa Tarzan saya suruh sang pengemudi mengikuti petunjuk yang tertera di sana. Kemampuan bahasa Inggris saya yang tak seberapa ini sama sekali tak berguna karena pengemudi asal Afrika ini tak bisa bahasa Inggris sama sekali. Dia hanya bisa bahasa Afrika dan bahasa Arab.
Akhirnya bus berhasil menemukan rutenya. Jalan bebas hambatan terbentang di depan kami. Speedometer menunjukkan angka 120 kilometer per jam, stabil, nyaris tak berubah, tak seperti jalanan di Indonesia. Sembari menikmati kegersangan suasana perjalanan, saya lantas teringat pada kejadian dua hari lalu.
Kami mendarat di bandara Jeddah pukul 16.30 waktu setempat. Setelah membereskan semua urusan administrasi, bus berangkat ke kota Mekkah lepas Magrib. Perjalanan ke kota Mekkah memakan waktu hampir dua jam. Kami sudah berpakaian Ihram sejak di pesawat terbang, karena begitu tiba di Mekkah kami akan segera menunaikan ibadah Umroh.
Pukul  20.00 waktu setempat, bus tiba di Mekkah. Maha Suci Allah... kota ini begitu berbinar cahaya. Kami langsung diarahkan ke lobby hotel Pullman, tempat rombongan kami menginap. Pak Ansori memberi pengumuman bahwa jamaah diharap berkumpul di lobby ini pukul 23.00 waktu setempat untuk bersiap menunaikan Umroh. Pemilihan waktu tengah malam ini didasari pada pertimbangan kondisi cuaca semata, meskipun di sisi lain disadari pula bahwa pada kisaram jam segini Masjidil Haram akan penuh sesak oleh jamaah lain.
Setelah menerima kunci kamar, kami bergegas menuju kamar masing-masing. Saya sekamar dengan bapak dan dua jamaah pria lain. Pria pertama bernama Cucu berusia 60an, berasal dari Garut, sedangkan pria ke dua seorang kakek-kakek bernama Anas, berusia 78 tahun, berasal dari Cirebon. Manajemen biro perjalanan memang menempuh kebijakan bahwa jamaah yang telah berumur akan dipasangkan dengan jamaah yang berusia relatif muda agar bisa saling membantu. Ibu saya sekamar bertiga dengan dua jamaah lain. Alhamdulillah kamar kami berdekatan sehingga memudahkan komunikasi. Orang tua saya memang tidak saya bekali dengan telepon seluler karena percuma saja, mereka tidak bisa menggunakannya.
Koper kami masih diurus oleh pihak biro perjalanan, sehingga kami tak membawa apa-apa ke dalam kamar. Bawaan saya hanyalah tas pinggang berisi kamera dan buku petunjuk ibadah Umroh. Setiba di kamar, saya segera berpesan kepada ibu agar sewaktu-waktu bersiap nanti untuk bersama-sama menunaikan ibadah Umroh.
“Le, aku pengin mandi, boleh kan?” tanya bapak kepada saya setiba di kamar. Bapak saya ini memang amat tidak tahan dengan hawa panas. Ketika menginap di Jakarta, beliau sering tidur di lantai jemuran saking tak tahannya dengan hawa lembab Jakarta.
“Boleh, Pak. Monggo saja, yang penting jangan pakai sabun.”
Bapak segera masuk kamar mandi, tapi tak lama kemudian beliau keluar lagi.
“Ini gimana cara mandinya, Le? Kok nggak ada gayungnya..”
Saya baru sadar, kamar mandi hotel ini berbeda dengan kamar mandi rumah kami. Yang tersedia di dalamnya adalah bath up dan pancuran, tanpa bak air dan gayung. Saya berpikir keras. Lantai bath up ini amat licin. Kondisi yang jelas-jelas berbahaya bagi bapak yang sudah tidak kukuh berdirinya. Akhirnya saya putuskan agar bapak mandi menggunakan kran toilet. Sebuah pilihan sulit, dan mengandung konsekuensi bahwa saya harus mengeringkan lantai kamar mandi agar air tak menggenang. Untunglah manajemen hotel sudah mengantisipasi beragam tipikal jamaah tamu mereka. Di kamar mandi tersebut telah tersedia alat penggiring air seperti yang banyak terdapat di Indonesia.
Seuasai mandi, saya kembali membantu bapak memakaikan pakaian Ihram. Tubuh kukuh itu kini mulai renta. Bapak yang dahulu kondisi fisiknya amat perkasa, pemain bulu tangkis handal, petani tulen, kini telah memasuki usia senja. Saya hampir menangis ketika memakaikan pakaian Ihram itu. Terbayang suatu saat nanti saya membungkusnya dengan kain kafan.
Waktu telah menunjukkan pukul 22.30. Saya segera mengajak mereka bertiga turun ke lobby. Tak lupa saya ketok kamar ibu untuk berangkat umroh bersama kami. Sebetulnya bisa saja saya titipkan beliau ke dua teman sekamarnya, tapi sudah menjadi tekad saya bahwa mereka harus senantiasa berada di samping saya selama di sini.
Setiba di lobby jamaah sudah ramai berkumpul. Kami dikelompokkan sesuai rombongan bus kami. Total ada 8 kelompok yang masing-masing beranggotakan 45 jamaah. Pak Ansori memegang bendera kecil berwarna biru sebagai patokan agar para jamaah tidak terpisah.
Akhirnya secara bertahap 8 kelompok itu berangkat ke Masjidil Haram. Jarak dari hotel kami ke pintu King Abdul Aziz hanya seperlemparan tombak, karena hotel tersebut terletak di Zamzam Tower. Begitu mendekati pintu Masjidil Haram, kami segera melepas alas kaki. Subhanallah, ujian mulai saya hadapi. Saya tidak pernah membayangkan bapak perlu waktu sekian lama untuk melepas alas kakinya. Sementara itu rombongan kami sudah mulai melangkah masuk ke dalam Masjidil Haram. Selain orang tua saya, Pak Cucu dan Pak Anas turut bersama dalam rombongan kecil saya, sehingga total saya harus membantu 4 jamaah manula.
“Gimana ini, Le? Kita ketinggalan rombongan tu..”
“Nggak apa-apa, Pak. Kita berlima tetap bersama-sama. Insya Allah saya bisa mengimami bacaannya.”
“Mas Slamet, ayo cepetan, kita ketinggalan rombongan,” ujar pak Anas. Saya menghela nafas dalam-dalam. Kalimat saya barusan ternyata tidak dia dengar karena memang pak Anas sudah berkurang jauh pendengarannya.
Dengan senyum tipis saya jelaskan ke beliau bahwa saya akan memimpin rombongan kecil ini. Lima pasang alas kaki ini saya masukkan dalam tas kecil saya. Saya tidak terpikir lagi untuk berfoto dan sebagainya. Pertarungan sudah di depan mata.
Gebang Abdul Aziz segera kami masuki. Saya mengambil posisi di tengah-tengah mereka. Ibu saya gandeng dengan tangan kanan, bapak dengan tangan kiri. Pak Anas dan Pak Cucu memegangi pundak saya dari belakang. Berbekal buku panduan Ibadah Umroh, saya mulai membaca lafadz-lafadz yang diajarkan. Lautan manusia ini bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, mengitari situs peninggalan nabi Ibrahim. Langkah saya terseok-seok, terseret ke kiri dan ke kanan, kadang nyaris terjeremban kena serudukan jamaah lain. Saya berbagi tugas. Pak Anas saya suruh menghitung jumlah putaran tawaf, karena daya ingatnya meyakinkan.
Pada putaran ke 6 saya menawarkan anggota rombongan saya untuk berjuang menyentuh rukun Yamani. Kepada mereka saya beritahu bahwa sudut ini cukup disentuh, tidak perlu dicium seperti Hajar Aswad. Atas ijin Allah, kami berhasil menyentuh salah satu sudut Kabah itu. Pak Anas bersikeras ingin mencium Hajar Aswad, tapi dengan terpaksa saya tidak perbolehkan. Hal ini  semata-mata didasari pada kondisi di sana yang menurut saya amat berat bagi orang seumuran beliau. Syukurlah beliau mengerti dengan penjelasan saya.
Jauh-jauh hari adik saya sudah mengantisipasi jika kondisi bapak tidak memungkinkan tawaf dan sai dengan jalan kaki, agar dicarikan sewaan kursi roda. Alhamdulillah sejauh ini bapak kuat menjalani tawaf hingga putaran ke enam.
“Masih kuat, Pak”
“Masih, Le... tinggal satu putaran lagi, kan”
“Inggih, Pak.”
“Wis, to.. nggak usah pikiran kondisi Bapak, mati di sini pun Bapak siap.”
Dalam hati saya berguman, bapak mungkin ikhlas mati di sini, tapi mbok ya anaknya ini ditanya, ikhlas nggak ditinggal mati bapaknya di Mekkah.
Alhamdulillah akhirnya ritual Tawaf berhasil kami lalui dengan baik. Setelah menunaikan sholat sunnat di Maqam Ibrahim dan minum air zamzam, kami beristirahat. Saya mempersilahkan rombongan kecil saya untuk tiduran di lantai masjid, mengingat dari indonesia kami relatif belum istirahat. Tak berapa lama teman serombongan kami mulai berdatangan. Rupanya kami menyelesaikan Tawaf lebih cepat dari pada mereka, ajaib.
Setelah dirasa cukup beristirahat, saya mengajak mereka berempat untuk melaksanakan rukun Sai. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 waktu setempat. Dengan formasi sama persis dengan formasi Tawaf tadi, saya mengajak mereka menuju bukit Safa.
Setibanya di sana, kami segera mulai Sai. Saya ajak mereka berempat melalui rute khusus jamaah berkursi roda agar jarak tempuh kami efisien. Sekali lagi pertimbangan saya adalah kondisi fisik bapak.
Pada putaran ke tiga ibu mulai lepas dari pegangan saya. Kondisi fisik beliau memang masih prima. Di kampung sana, ibu masih biasa jalan kaki berkilo-kilo meter jaraknya. Bapak sebenarnya mewanti-wanti saya agar tetap menggandeng ibu, karena meski fisiknya masih prima, ibu sudah amat pelupa. Namun akhirnya saya tak tahan juga. Pikiran saya toh rute Sai ini hanya memutar dan kalaupun ibu jalan duluan, kami nanti akan saling bertemu di tengah-tengah perjalanan.
Benar saja. Kami sedang menuju bukit Safa pada putaran ke enam ketika berjumpa ibu yang sudah dalam perjalanan menuju ke bukit Marwah untuk terakhir kalinya. Saya hentikan langkahnya di tengah jalan. Kepadanya saya berpesan agar menunggu kami di bukit Marwah, jangan kemana-mana.
Setiba finish di bukit Marwah, saya segera mencari tumpangan untuk bertahalul. Kami tidak membawa gunting sendiri karena masih berada di kopor. Selesai menuntaskan rukun Umroh, saya segera mendudukan bapak, pak Anas dan pak Cucu di sebuh sudut ruangan. Saya bergegas menuju puncak bukit Marwah untuk menemui ibu di sana.
Puncak bukit itu kini lebih menyerupai gundukan batu kecil. Dasarnya sudah tenggelam oleh lantai masjid. Ratusan orang berkumpul di sana. Ada yang tiduran, ada pula yang duduk sembari membaca Al Qur’an. Saya kitari puncak bukit itu berulang kali, tapi tak saya temui ibu di sana. Pencarian saya lebarkan ke sudut-sudut kawasan Marwah, namun hasilnya tetap nihil. Ibu seakan lenyap ditelan Marwah.
Saya kembali ke tempat rombongan kecil berada, berharap ibu sudah ada di situ. Wajah bapak cemas menyambut kedatangan saya. Ibu tak ada di sana.
“Ibumu belum ketemu, Le?”
“Belum tu, Pak. Coba saya cari lagi deh..”
Pencarian saya lanjutkan ke arah bukit Safa. Sepanjang perjalanan mata saya melotot ke setiap sudut. Hasilnya nihil. Saya kembali ke bukit Marwah dengan putus asa. Betis saya mulai terasa sakit. Wajah bapak kian cemas melihat kedatangan saya yang masih sendirian.
“Ibumu ki ngeyel sih, disuruh nggandeng anaknya kok maunya cepet-cepet,” bapak mulai menggerutu.
“Sabar nggih, Pak. Saya coba cari lagi ke toilet.”
Di usia mereka, ritual buang hajat kecil memang lebih sering terjadi dibandingkan dengan usia saya. Perkiraan saya satu, ibu berada di toilet wanita. Dengan langkah cepat, saya menuju area toilet wanita. Semula saya sempat dilarang oleh jamaah wanita dari TimurTengah ketika mau masuk ke toilet wanita. Namun setelah saya jelaskan maksud kedatangan saya, dia memperbolehkan saya masuk ke toilet wanita dengan pengawalannya.
Nama ibu saya panggil berulang-ulang dari luar toilet. Tak ada sahutan satupun. Saya kian lemas. Gusti, dimana Ibu saya? Gimana jika terjadi apa-apa dengannya?
Kumandang adzan Subuh terengar dengan merdu. Masya Allah, tak terasa, pencarian saya telah memakan waktu hampir dua jam lamanya. Astaga, saya baru menyadari satu hal. Kenapa dari tadi saya tidak menghubungi pak Ansori pembimbing kami, ya?
Dengan terburu-buru saya memanggil nomor ponselnya. Panggilan pertama tidak dia jawab. Barulah pada panggilan kedua telepon itu diangkat. Suaranya berat, pertanda baru terjaga dari tidur.
“Asalamulaikum, Pak. Saya Slamet. Ibu saya hilang, Pak”, ucap saya terbata-bata.
“Nama ibunya siapa, Mas?”
“Bu Lasiyem, Pak.”
“Oh.. bu Lasiyem to. Tuh sudah saya antar ke kamarnya, tadi saya temukan di Marwah, Mas. Saya pikir memang ketinggalan rombongan, makanya saya ajak pulang ke hotel.”
Saya tak menjawab apa-apa lagi. Kaki ini seolah tak mampu menopang tubuh saya. Dengan langkah tertatih, saya kabarkan berita ini ke bapak. Muka cemasnya sirna seketika, berganti dengan keceriaan tiada tara. Baru kali ini saya melihat ekspresi cinta bapak ke ibu sedemikian dalam.

Bandung, 15 Juli 2014
#####Bersambung#####

Monday, July 14, 2014

Cerita Bersambung Bagian 1 - Ketika Zorro Pergi Umroh

Saya menggeser posisi duduk ke meja kecil agar bisa berhdap-hadapan dengan bapak. Beliau duduk di tepi ranjang ekstra. Kamar 1631 hotel Pullman Mekkah ini sedianya memang untuk 2 orang, namun oleh manajemen travel diisi 4 orang sehingga memerlukan tambahan tempat tidur. Pagi itu kami usai melaksanakan Tawaf Wada. Masih ada 4 jam sisa waktu untuk istirahat sebelum meneruskan perjalanan ke kota Madinah. Sebetulnya jadwal Tawaf Wada adalah pukul 10.00 waktu sini, tapi saya memilih mendahului melakukannya setelah sholat Subuh tadi, dengan perhitungan sesudahnya saya bisa istirahat.
“Waktu itu Bapak disuruh sama Mbah Kakungmu untuk menjemputnya pagi-pagi, Le..”
“Lho, Mbah Kakung emangnya menginap dimana, Pak?”
“Mbahmu nginap di rumah salah satu istrinya, di desa seberang.”
Almarhum mbah saya memang pria tak biasa. Bahkan saya sendiri tak hafal siapa saja istri-istrinya. Poligami yang dijalananinya memaksa cucu-cucunya berakrab ria dengan kehidupan yang kadan terasa tidak biasa.
“Yo wis, jadilah pas ayam mulai berkokok, Bapak berangkat njemput Mbahmu, naik kuda.”
Tahun 1960an desa kami masih gelap gulita. Jalanan yang ada hanyalah jalan setapak. Kendaraan bermotor belum mampu merambah desa kami. Mbah saya adalah seorang Kepala Desa. Negara memberinya kendaraan dinas, berupa seekor kuda jantan. Disamping itu, beliau juga memiliki kuda betina. Dua hewan peliharaan tersebut dirawat oleh bapak saya, mulai dari mencarikan pakan, memandikan, merawat bulunya dan mengurusnya ketika sakit. Pekerjaan tersebut membuat bapak amat piawai menunggang kuda. Saking piawainya, kadang beliau menaiki kuda tersebut tanpa pelana, menyusuri lereng-lereng bukit, mengawal mbah meninjau wilayah kerja.
“Hari masih gelap ketika Bapak sudah mencapai desa Nggodang, Le. Kuda itu tak seblaki sekuat tenaga karena Mbahmu marah kalau sampai terlambat dijemput.”
“Bapak nggak takut lewat Watu Platar?”
Watu Platar adalah nama sebuah onggokan batu andesit sebesar tiga kali rumah limasan. Batu itu terletak di lereng bukit, dimana di bawahnya dibikin jalan penghubung dua desa. Konon di daerah situ suka ada penampakan hantu glundhung pringis. Hantu itu berupa kepala manusia yang terlepas dari lehernya, berguling-guling dari puncak batu ke arah jalan sambil meringis menyeramkan. Sampai sekarang cerita itu lekat dengan masyarakat desa kami.
“Walah, kita ini kan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajadnya to, Le.. Masak takut sama hantu.”
“Rasa takut itu kan manusiawi, Pak.”
“Lha iya.. Kamu boleh takut, tapi sak madya saja, seukuran, jangan berlebihan. Rasa takut itu hanya ada di pikiranmu, bukan sesuatu yang benar-benar nyata.”
Saya terdiam. Kopi instant itu masih separo mug kecil. Saya memang suka menghabiskan kopi berlama-lama. Sebatang rokok lantas saya sulut. Apa daya, larangan merokok di Tanah Suci ini tak bisa saya patuhi. Di tas saya tersimpan lima bungkus rokok bawaan dari Indonesia.
“Kamu tahu, kenapa Bapak nggak ngrokok?”
Pertanyaan itu amat mengagetkan saya. Sepanjang hidup, saya memang belum pernah menjumpai bapak menghisap rokok. Hal itu sebenarnya amat mengundang rasa penasaran saya, namun entah kenapa saya belum pernah berani menanyakannya.
“Haha... kenapa, Pak? Dulu nggak punya uang , ya?”
“Wah, salah kamu, To. Bapakmu dulu kalo mau ngrokok tidak harus beli. Kan suka dapet jatah setiap nemenin Mbahmu keliling desa.”
“Wah.. gratifikasi itu, Pak.. Hahaha..”
“Lha embuh.. pokoke Bapak nggak pernah nolak setiap dikasih apapun sama rakyatnya Mbahmu. Mereka tulus kok.”
“Lalu apa yang membuat Bapak nggak pernah merokok?”
“Gini, Le.. Waktu itu Bapak disuruh Mbahmu untuk mewakili beliau jagong manten ke dusun Pakelan. Bapak dandan rapi banget, pakai pakaian putih-putih, dan seperti biasa naik kuda.”
Dusun Pakelan adalah bagian dari desa Sidorejo. Letaknya paling timur, berbatasan langsung dengan desa Penggung kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. Dusun itu berada di atas ketinggian bukit sehingga senantiasa diselimuti hawa dingin. Seumur-umur saya baru sekali ke dusun itu, lebaran tahun lalu. Medannya amat sulit, melewati lereng perbukitan dan jurang di sisi kanannya.
“Bapak berangkat tengah hari karena takut kemalaman, Le. Sampai sana Bapak disuruh duduk di barisan depan, lha wakil Kepala Desa, je..”
“Wah, Bapak naik derajad, dong?”
“Lh iyo, kapan lagi Bapakmu ini bisa duduk di depan. Lha wong biasane kalo ngawal Mbahmu duduknya campur dengan para rakyat jelata itu, je..”
Dalam hati saya berpikir, rupanya bapak ini punya keinginan jadi priyayi juga. Semula saya pikir beliau adalah sosok lempeng tanpa ambisi. Rupanya...
“Nah... pulangnya Bapak dibawain nasi, cemilan, sama dua bungkus rokok yang sudah kebuka kotaknya, Le.. Rokok itu Bapak simpan di saku baju depan. Karena hari sudah sore, Bapak segera pamit ke tuan rumah, takut kemalaman di jalan.”
“Eh, Bapak waktu itu sudah menikah belum, ya?”
“Ya belum... Bapak masih bujangan. Inilah pertama kalinya Bapak disuruh jadi wakil Mbahmu.”
“Apa nggak ngeri naik kuda ke Pakelan, Pak? Jalannya kan curam banget. Lebaran kemarin saya bermotor aja rasanya takut banget.”
“Kuda itu kan tergantung jokinya, Le. Kalau sudah sehati dia kayak ngerti dengan bahasa kita. Ya memang perlu latihan, nggak asal naik.”
Sisa keperkasaan bapak saya memang masih ada hingga kini. Usianya sudah mencapai 72 tahun, namun berdasarkan pemeriksaan terakhir, detak jantungnya amat stabil. Maklumlah, bapak bukan manusia yang suka berdiam lama-lama. Apa saja beliau kerjakan, mulai dari menyapu halaman sampai menggarap ladang.
“Nah, di tengah jalan turun hujan lebat, Le. Karena sudah senja, Bapak nekad meneruskan perjalanan. Pakaian Bapak basah kuyup, termasuk nasi dan lauknya yang dibungkus pakai daun pisang itu.”
“Nggak bawa payung to, Pak?”
“Payung gundulmu.. pernah liat orang naik kuda pakai payung?”
Saya tertawa ngakak. Meskipun saya berbahasa krama inggil ke beliau tak berarti saya merasa segan untuk mencandainya.
“Nah, begitu sampai rumah Bapak baru sadar, rupanya rokok yang Bapak kantongin itu luntur kehujanan. Lunturannya mengenai baju kebesaran Bapak itu. Buru-buru Bapak rendam dan cuci pakai biji klerak. Berulang-ulang Bapak sikat, tetap saja kotorannya nggak bisa ilang.”
“Walah, tragis sekali ya, Pak?”
“Nggak Cuma tragis, Le.. Menyakitkan.. Baju itu Bapak beli dari hasil ngumpulin sedikit demi sedikit selama hampir setahun. Eh, lha kok gara-gara rokok jadi nggak pantes lagi dipakai. Ya sudah, sejak saat itu Bapak bertekad nggak akan nyentuh apalagi ngisep rokok.”
Sebatang rokok yang masih separo ini tiba-tiba terasa hambar di mulut saya. Buru-buru saya matikan di washtafel kamar mandi. Meski hotel ini tidak melarang merokok di dalam kamar, namun manajemen tidak menyediakan asbak di kamar, sehingga terpaksa saya matikan di washtafel.
Saya lirik jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul 12.00 waktu Mekkah. Saya bergegas mengajak bapak ke kamar mandi untuk bersuci. Kran toilet saya arahkan ke telapak tangan bapak agar beliau bisa bersuci dari pancuran air. Perlu waktu agak lama untuk menyelesaikan ritual ini. Tubuh renta sang Zorro itu tak kuasa lagi berdiri tegak, bahkan untuk sekedar bersuci.
 Bandung, 14 Juli 2014
####Bersambung#####