Sunday, January 25, 2015

Diklat para Penyembah Batu




Kami tak menyangka bahwa jadwal Diklat ini sedemikian padat. Kami sempat berharap banyak, malam adalah saat kami bersantai, bercengkerama dengan teman-teman dari seluruh Indonesia. Dalam jadwal yang dibagikan panitia memang tertera ada kelas malam, tapi saya mengira itu isapan jempol belaka, semata-mata untuk memenuhi syarat formal saja. Rupanya kami salah. Dari lima hari empat malam jadwal diklat, tiga malam di antaranya kami habiskan di kelas.

Jadilah waktu kami bersantai ria di lorong-lorong asrama menjadi sempit. Sebagian besar peserta diklat memilih lekas beristirahat, karena pada pukul 05.00 WIB sirine akan meraung-raung pertanda kami harus segera menuju lapangan untuk mengikuti senam dan apel pagi. Kejam rasanya.

Meski badan didera penat, saya termasuk satu dari sedikit peserta yang memilih tak segera memeluk guling. Biasanya kami nongkrong di selasar depan asrama, membawa secangkir kopi dari kamar masing-masing. Peserta yang nafsu makannya tak terkendali lantas memesan sate atau ketroprak yang melegenda itu dari balik pagar.

Lalu meluncurlah beragam topik pembicaraan. Kami berasal dari beragam latar belakang jabatan. Ada yang menjabat Kepala Sub Bagian Umum, Kasi Waskon, Kasi Penagihan, Kasi PDI, Kasi Riki dan saya satu-satunya dari Seksi Humas. Ragam latar belakang itulah yang membuat topik obrolan meloncat-loncat, mulai dari pengadaan barang, SPPD, ekstensifikasi hingga kehumasan. Terkuak pula suka duka menjalani tugas negara di daerah pelosok tanah air.

Topik tak kalah menarik di komunitas imsomnia ini adalah batu. Ya, batu cincin tepatnya. Benda keras hasil proses alam ini memang tengah booming dan happening dimana-mana. Fenomenanya melebihi booming tanaman gelombang cinta dan ikan lohan.

“Wah, sayang bawaanku udah pesanan semua, mas Slamet. Nanti aku kirimi ya,” ujar Oji, rekan sekelas yang berdinas di KPP Pratama Tapak Tuan.

Pria kelahiran Cirebon ini sebenarnya bukan penyuka batu, namun sebagai pegawai yang berdinas di daerah penghasil batu membuatnya sadar diri. Batu merupakan buah tangan wajib baginya. Dia mengatakan bahwa di tasnya tersimpan puluhan bahan batu yang sudah dia siapkan untuk teman-temannya, gratis. Saya kagum dengan kepribadiannya. Dari kota asal berdinas, saya tak membawa buah tangan apapun, meski hanya sebungkus batagor. Saya memang termasuk orang yang amat malas membawa oleh-oleh. Bagi saya oleh-oleh itu prioritas ke sekian ketika bepergian.

Jumat adalah hari terakhir diklat ini. Pagi itu kami dikumpulkan di aula untuk mendapatkan siraman penguatan mental dari pak Dedi Rudaedi, mantan Sesditjen kami. Sembari menunggu beliau naik panggung, tiba-tiba Oji datang tergopoh-gopoh sambil membawa bongkahan batu. Bongkahan batu seukuran kaset itu terbungkus plastik bening. Hendri, teman sekelas kami yang duduk di sebelahnya segera merenggut bungkusan itu.

“Berapa ini?”
“Sebentar, aku tanya sama pemiliknya. Berapa nih?” tanya Oji kepada seseorang yang duduk persis di belakang saya.
“Seratus lima puluh, Ji.”

Transaksi itu berjalan cepat. Tiga lembar lima puluh ribuan segera berpindah tangan. Saya geleng-geleng kepala sambil menggerutu.

“Sialan lu, Hen. Lu kan di Sumatra, masak beli batu dari Jakarta. Buat gue aja deh.”
“Hahaha.. di Lubuk Linggau nggak ada batu kayak gini, Mas.”
“Tenang mas Slamet. Masih ada stok kok, tapi udah bentuk cincin, mau?” sela Oji.
“Mana coba liat.”

Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, tiba-tiba tangan pria di belakang saya tadi telah menyodorkan dua plastik kecil berisi batu.

“Pilih aja, Pak. Empat ratus.”

Wah, lumayan murah, pikir saya.

“Ya udah, saya ambil dua-duanya, deh.”
“Berarti delapan ratus, Pak.”

Asem, rupanya angka empat ratus itu untuk satu buah batu. Saya buru-buru meralat ucapan.

“Satu aja ding, gak enak entar yang lain nggak kebagian.”

Saya segera menyimpan batu calsedonia warna hijau tua itu ke dalam tas. Inilah batu termahal yang saya punya.

Tak lama kemudian sesi ceramah dimulai. Pria asal Garut ini memang piawai mengaduk-aduk batin kami. Kemampuan public speaking-nya memang luar biasa. Kalimat-kalimat motivasi dia gemakan, membuat kami tertunduk dalam. Kalimat bijak yang paling saya ingat adalah “orang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan, dan kadang air mata.” Dua jam kami dibuai oleh beragam kisah dan cerita yang kadang diselingi humor.

Ketika sesi ceramah ini berakhir, Abeth, rekan seangkatan saya di STAN berbisik kepada saya.

“Met, jangan lupa sesi foto bersama dengan pak Dedi, ya.”

Saya mengiyakan. Selama menjalani diklat ini, saya memang selalu membawa kamera kemana-mana lengkap dengan tripodnya. Di kelas kami, setiap sesi pembelajaran selalu diakhiri dengan foto bersama seluruh kelas dengan pengajar. Abeth termasuk yang iri dengan ritual itu, karena di kelasnya tak ada yang membawa kamera. Sebetulnya ketua kelas sebelah sudah sepakat dengan saya untuk mengadakan sesi pemotretan, namun selalu gagal karena terbentur jadwal yang padat dan cuaca yang tak menentu. Apa daya, sampai hari terakhir, sesi foto kelas sebelah tak jua terlaksana.

“Baik teman-teman, silahkan berjajar di depan, urut per kelas. Kita akan melakukan sesi foto bersama sesuai kelas masing-masing.”

Wah, rupanya ide Abeth berkembang liar. Semula saya menduga sesi foto ini hanya antara seluruh peserta diklat dengan pak Dedi Rudaedi saja. Rupanya ketika sesi foto berakhir, dia langsung ambil microphone dan membuat pengumuman tersebut. Saya senyum-senyum saja. Jadilah empat kelas ini foto secara berurutan.

Ketika sesi foto per kelas ini berakhir, saya mengambil microphone.

“Mohon kepada masing-masing ketua kelas menyalin file foto tadi ke kamar saya. Saya di H. 34, silahkan datang ke sana membawa flash disc ya.”

Hujan rupanya masih mengguyur di luar sana. Saya membungkus kamera dengan kantong plastik agar tak terkena guyuran air hujan. Sesampai di H.34 saya segera memindahkan file foto ke laptop. Tak lama kemudian beberapa teman mulai berdatangan. Saya persilahkan mereka menyalin file foto dari folder yang sudah saya siapkan.

Saya lantas beranjak ke teras kamar, duduk di sana sembari menikmati teh panas. Cucuran air hujan mengenai pokok palem botol yang meranggas. Alirannya menelusur hingga akhirnya menyentuh tanah di depan asrama ini. Kadang mengalir deras, kadang nyaris terhenti.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Seandainya saya mau, saya bisa memperoleh uang sekitar satu juta dari sebuah bisnis. Bisnis apakah? Apalagi kalau bukan bisnis foto bersama. Peserta diklat ini berjumlah 104 orang. Satu lembar foto ukuran 8R ongkos cetak di langganan saya cuma 10 ribuan. Jika saya jual 20 ribu maka keuntungan bersihnya mencapai satu jutaan. Saya memilih melewatkannya. Bagi saya, senyum ceria teman-teman ketika saya foto tadi dan ucap terima kasih dari mereka tak ternilai harganya, lebih dari sejuta, lebih dari apapun.

Bandung, 25 Januari 2015.

Tuesday, January 13, 2015

Tips Menyetir Hemat BBM

Kenaikan harga BBM telah memicu bertambahnya pengeluaran bagi siapapun, terlebih bagi pemilik kendaraan. Selain menyiasati hal tersebut dengan mengurangi penggunaan kendaraan, sebetulnya kita bisa melakukan penghematan dengan cara lain, yakni menyetir secara smart. 

Smart Driving sendiri didefinisikan sebagai cara mengemudi yang baik sesuai kebutuhan agar penggunaan tenaga kendaraan optimal. Seperti kita ketahui, setiap kendaraan sejatinya adalah sebuah sistem kerja mekanis yang memindahkan daya dari putaran mesin ke laju roda. Pemindahan daya tersebut disalurkan melalui transmisi, baik manual maupun otomatis.

Kali ini saya akan berbagi tips tentang bagaimana mengemudi secara pintar agar penggunaan BBM bisa dihemat.


  1. Kendalikan pijakan gas Anda. Ingat, Anda tidak sedang menyetir mobil balap. Menekan gas dalam-dalam untuk mengejar akselerasi mengakibatkan terjadinya inefisiensi BBM yang terbakar di ruang kompresi. Jagalah putaran mesin (RPM) pada angka sekitar 1.500 - 2.000 RPM.
  2. Pindahkan gigi sesegera mungkin. Hal ini bertujuan agar tenaga yang tersalur sesuai kebutuhan. Ketika mobil sudah dijalankan, maka tenaga yang diperlukan makin berkurang karena adanya kelembaman. Sebagai analogi, tenaga yang kita gunakan untuk mendorong mobil yang dimatikan mesinnya makin lama makin berkurang setelah mobil berhasil didorong.
  3. Jaga kecepatan mobil pada tingkat yang konstan. Mengemudikan mobil dengan kecepatan yang bervariasi akan membuat mesin bekerja tak efisien. Sesuaikan kecepatan dengan kondisi lalu lintas di depan kita. Jangan sampai kita melaju terlalu kencang di jalanan yang kondisi lalu lintasnya padat karena sebentar kemudian kita pasti harus mengerem kendaraan. Panduannya sederhana saja, Anda dikatakan melaju terlalu kencang jika suatu saat sehabis melepas pedal gas Anda harus segera menekan pedal rem.
  4. Ketika melaju di jalan bebas hambatan, lakukan akselerasi secara halus. Menekan gas terlalu dalam ketika menaikkan posisi gigi mengakibatkan pembakaran tak sempurna sehingga BBM terbuang percuma. Selain itu ikuti ayunan langkah percepatan mobil. Tak perlu terburu-buru mencapai kecepatan tertentu. Tetap jaga RPM pada tingkat 2.500 - 3.000 RPM.
  5. Lakukan pengereman secara halus. Mengerem secara mendadak akan menaikkan putaran mesin yang pada gilirannya membuang BBM sia-sia.
  6. Lakukan perawatan berkala. Merawat secara berkala berarti menjaga mesin pada kondisi standar sehingga pembakaran dan penyaluran tenaga berjalan optimal. Ruang bakar selalu meninggalkan kerak yang harus dibersihkan, demikian juga kamplas kopling dan rem harus dicek secara berkala. Tak kalah penting adalah menjaga ban pada tekanan sesuai buku petunjuk. Ban yang kurang tekanan memberatkan kerja mesin.

Demikian sekilas tips menghemat BBM dengan smart driving. Semoga bermanfaat.

Monday, January 5, 2015

Memotret dari Dalam Pesawat Terbang

Sebetulnya tak ada yang berbeda antara memotret di daratan dengan memotret dari atas daratan. Semuanya butuh persiapan, baik posisi maupun peralatan yang kita gunakan. Kali ini saya akan mengulas hal-hal yang harus kita siapkan ketika memotret dari pesawat terbang. Dalam hal ini kita bertindak sebagai penumpang biasa.

1. Persiapan Posisi Duduk. 
Datanglah ke meja ceck in lebih awal. Jika airlines Anda mempunyai fasilitas web ceck in, pergunakan fasilitas tersebut. Hal itu berguna untuk keleluasaan kita memilih tempat duduk di pesawat terbang nantinya. Pilihlah tempat duduk dekat jendela, bukan dekat lorong. Jendela kiri atau kanan? Ini amat tergantung pada arah take off maupun landing pesawat terbang yang kita naiki. Sebagaimana kita ketahui, pesawat terbang akan take off dan landing melawan arah angin. Masing-masing bandara memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai gambaran, secara umum di bandara Soekarno Hatta, pesawat akan take off ke arah barat, lalu berbelok ke Teluk Jakarta. Sebaliknya jika landing, pesawat akan datang dari arah Timur. Pelajarilah arah take off dan landing pesawat karena hal ini menentukan keberhasilan sudut pemotretan kita.

Foto ini saya ambil sesaat setelah take off dari bandara Soekarno-Hatta, Banten. Saya duduk di lajur sebelah kiri mepet jendela. Cuaca pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB amat cerah. Begitu airborne, pesawat langsung belok kanan ke arah teluk Jakarta. Pada sudut ini, bandara bersudut tegak lurus dengan posisi pesawat sehingga garis landasan amat simetris.

Bandara Soekarno Hatta


2. Persiapan Alat.  
Pemotretan dari atas pesawat udara memerlukan beragam jenis lensa, sesuai kebutuhan. Secara umum kita membutuhkan lensa sudut lebar karena sasaran kita adalah bentang alam atau pemandangan. Lensa telephoto kadang kita gunakan jika kita ingin mengambil detail dari sebuah obyek, misal gunung berapi, awan, dan sebagainya.
Simpanlah kamera beserta peralatan pendukungnya (lensa) di tas yang akan kita bawa ke kabin. Tas tersebut sebaiknya tak usah dimasukkan ke dalam loker barang di atas tempat duduk kita. Hal ini terkait dengan waktu pemotretan yang biasanya terjadi pada saat pesawat take off atau landing. Segera keluarkan kamera dan pasanglah lensa yang sesuai dengan kebutuhan. Kamera tersebut bisa kita pangku atau kita letakkan di bawah tempat duduk kita.
Selain kamera dan lensa, siapkan juga kain untuk mengelap kaca jendela pesawat. Saya sering menjumpai lapisan minyak yang menempel di jendela pesawat. Saya menduga hal itu berasal dari keringat wajah penumpang yang tadinya duduk di situ.





3. Persiapan Menjepret Momen.
Kapan kita memotret dari atas pesawat? Momen terbaik adalah saat pesawat sedang bermanufer sesaat setelah take off atau ketika akan landing. Pada saat itu pesawat akan berbelok ke kiri atau ke kanan sesuatu rute yang dituju. Jika kita berada pada sisi jendela yang tepat, maka daratan akan berada persis di bawah kita. Begitu momen tersebut tiba, segera lakukan pemotretan. Manuver pesawat biasanya tak berlangsung lama. Setelah mencapai ketinggian jelajah normal, pesawat akan sejajar dengan bumi sehingga posisi pemotretan akan lebih sulit. 

Demikian juga saat menjelang pendaratan / landing. Pada posisi ini, pesawat akan menikung ke kiri atau ke kanan sesuai arah pendaratan. Lagi-lagi posisi duduk kita amat menentukan hasil pemotretan.

Demikian beberapa tips terkait pemotretan dari atas pesawat terbang. Selamat memotret.

Lembah Baliem, Wamena
Teluk Jakarta


Gunung Semeru dan Bromo

Prambanan Express

Somewhere beyond Sumatera
Jembatan Barelang, Batam