Kami tak menyangka bahwa
jadwal Diklat ini sedemikian padat. Kami sempat berharap banyak, malam adalah
saat kami bersantai, bercengkerama dengan teman-teman dari seluruh Indonesia.
Dalam jadwal yang dibagikan panitia memang tertera ada kelas malam, tapi saya
mengira itu isapan jempol belaka, semata-mata untuk memenuhi syarat formal
saja. Rupanya kami salah. Dari lima hari empat malam jadwal diklat, tiga malam
di antaranya kami habiskan di kelas.
Jadilah waktu kami
bersantai ria di lorong-lorong asrama menjadi sempit. Sebagian besar peserta
diklat memilih lekas beristirahat, karena pada pukul 05.00 WIB sirine akan
meraung-raung pertanda kami harus segera menuju lapangan untuk mengikuti senam
dan apel pagi. Kejam rasanya.
Meski badan didera penat, saya termasuk satu dari sedikit peserta yang memilih tak segera memeluk guling. Biasanya kami nongkrong di selasar depan asrama, membawa secangkir kopi dari kamar masing-masing. Peserta yang nafsu makannya tak terkendali lantas memesan sate atau ketroprak yang melegenda itu dari balik pagar.
Meski badan didera penat, saya termasuk satu dari sedikit peserta yang memilih tak segera memeluk guling. Biasanya kami nongkrong di selasar depan asrama, membawa secangkir kopi dari kamar masing-masing. Peserta yang nafsu makannya tak terkendali lantas memesan sate atau ketroprak yang melegenda itu dari balik pagar.
Lalu meluncurlah beragam
topik pembicaraan. Kami berasal dari beragam latar belakang jabatan. Ada yang
menjabat Kepala Sub Bagian Umum, Kasi Waskon, Kasi Penagihan, Kasi PDI, Kasi
Riki dan saya satu-satunya dari Seksi Humas. Ragam latar belakang itulah yang
membuat topik obrolan meloncat-loncat, mulai dari pengadaan barang, SPPD,
ekstensifikasi hingga kehumasan. Terkuak pula suka duka menjalani tugas negara
di daerah pelosok tanah air.
Topik tak kalah menarik di
komunitas imsomnia ini adalah batu. Ya, batu cincin tepatnya. Benda keras hasil
proses alam ini memang tengah booming dan happening dimana-mana. Fenomenanya
melebihi booming tanaman gelombang cinta dan ikan lohan.
“Wah, sayang bawaanku udah
pesanan semua, mas Slamet. Nanti aku kirimi ya,” ujar Oji, rekan sekelas yang
berdinas di KPP Pratama Tapak Tuan.
Pria kelahiran Cirebon ini
sebenarnya bukan penyuka batu, namun sebagai pegawai yang berdinas
di daerah penghasil batu membuatnya sadar diri. Batu merupakan buah tangan
wajib baginya. Dia mengatakan bahwa di tasnya tersimpan puluhan bahan batu yang
sudah dia siapkan untuk teman-temannya, gratis. Saya kagum dengan
kepribadiannya. Dari kota asal berdinas, saya tak membawa buah tangan apapun,
meski hanya sebungkus batagor. Saya memang termasuk orang yang amat malas
membawa oleh-oleh. Bagi saya oleh-oleh itu prioritas ke sekian ketika
bepergian.
Jumat adalah hari terakhir
diklat ini. Pagi itu kami dikumpulkan di aula untuk mendapatkan siraman
penguatan mental dari pak Dedi Rudaedi, mantan Sesditjen kami. Sembari menunggu
beliau naik panggung, tiba-tiba Oji datang tergopoh-gopoh sambil membawa
bongkahan batu. Bongkahan batu seukuran kaset itu terbungkus plastik bening.
Hendri, teman sekelas kami yang duduk di sebelahnya segera merenggut bungkusan
itu.
“Berapa ini?”
“Sebentar, aku tanya sama
pemiliknya. Berapa nih?” tanya Oji kepada seseorang yang duduk persis di
belakang saya.
“Seratus lima puluh, Ji.”
Transaksi itu berjalan
cepat. Tiga lembar lima puluh ribuan segera berpindah tangan. Saya geleng-geleng
kepala sambil menggerutu.
“Sialan lu, Hen. Lu kan di
Sumatra, masak beli batu dari Jakarta. Buat gue aja deh.”
“Hahaha.. di Lubuk Linggau
nggak ada batu kayak gini, Mas.”
“Tenang mas Slamet. Masih ada
stok kok, tapi udah bentuk cincin, mau?” sela Oji.
“Mana coba liat.”
Dengan gerakan yang sulit
diikuti mata, tiba-tiba tangan pria di belakang saya tadi telah menyodorkan dua
plastik kecil berisi batu.
“Pilih aja, Pak. Empat
ratus.”
Wah, lumayan murah, pikir
saya.
“Ya udah, saya ambil
dua-duanya, deh.”
“Berarti delapan ratus,
Pak.”
Asem, rupanya angka empat
ratus itu untuk satu buah batu. Saya buru-buru meralat ucapan.
“Satu aja ding, gak enak
entar yang lain nggak kebagian.”
Saya segera menyimpan batu
calsedonia warna hijau tua itu ke dalam tas. Inilah batu termahal yang saya
punya.
Tak lama kemudian sesi
ceramah dimulai. Pria asal Garut ini memang piawai mengaduk-aduk batin kami. Kemampuan
public speaking-nya memang luar biasa. Kalimat-kalimat motivasi dia gemakan,
membuat kami tertunduk dalam. Kalimat bijak yang paling saya ingat adalah “orang
hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka
dibentuk melalui kesukaran, tantangan, dan kadang air mata.” Dua jam kami
dibuai oleh beragam kisah dan cerita yang kadang diselingi humor.
Ketika sesi ceramah ini
berakhir, Abeth, rekan seangkatan saya di STAN berbisik kepada saya.
“Met, jangan lupa sesi foto
bersama dengan pak Dedi, ya.”
Saya mengiyakan. Selama
menjalani diklat ini, saya memang selalu membawa kamera kemana-mana lengkap
dengan tripodnya. Di kelas kami, setiap sesi pembelajaran selalu diakhiri
dengan foto bersama seluruh kelas dengan pengajar. Abeth termasuk yang iri
dengan ritual itu, karena di kelasnya tak ada yang membawa kamera. Sebetulnya
ketua kelas sebelah sudah sepakat dengan saya untuk mengadakan sesi pemotretan,
namun selalu gagal karena terbentur jadwal yang padat dan cuaca yang tak
menentu. Apa daya, sampai hari terakhir, sesi foto kelas sebelah tak jua
terlaksana.
“Baik teman-teman,
silahkan berjajar di depan, urut per kelas. Kita akan melakukan sesi foto
bersama sesuai kelas masing-masing.”
Wah, rupanya ide Abeth
berkembang liar. Semula saya menduga sesi foto ini hanya antara seluruh peserta diklat dengan pak
Dedi Rudaedi saja. Rupanya ketika sesi foto berakhir, dia langsung ambil
microphone dan membuat pengumuman tersebut. Saya senyum-senyum saja. Jadilah
empat kelas ini foto secara berurutan.
Ketika sesi foto per kelas
ini berakhir, saya mengambil microphone.
“Mohon kepada
masing-masing ketua kelas menyalin file foto tadi ke kamar saya. Saya di H. 34,
silahkan datang ke sana membawa flash disc ya.”
Hujan rupanya masih
mengguyur di luar sana. Saya membungkus kamera dengan kantong plastik agar tak
terkena guyuran air hujan. Sesampai di H.34 saya segera memindahkan file foto
ke laptop. Tak lama kemudian beberapa teman mulai berdatangan. Saya persilahkan
mereka menyalin file foto dari folder yang sudah saya siapkan.
Saya lantas beranjak ke
teras kamar, duduk di sana sembari menikmati teh panas. Cucuran air hujan
mengenai pokok palem botol yang meranggas. Alirannya menelusur hingga akhirnya
menyentuh tanah di depan asrama ini. Kadang mengalir deras, kadang nyaris
terhenti.
Tiba-tiba saya teringat
sesuatu. Seandainya saya mau, saya bisa memperoleh uang sekitar satu juta dari
sebuah bisnis. Bisnis apakah? Apalagi kalau bukan bisnis foto bersama. Peserta diklat
ini berjumlah 104 orang. Satu lembar foto ukuran 8R ongkos cetak di langganan
saya cuma 10 ribuan. Jika saya jual 20 ribu maka keuntungan bersihnya mencapai
satu jutaan. Saya memilih melewatkannya. Bagi saya, senyum ceria teman-teman
ketika saya foto tadi dan ucap terima kasih dari mereka tak ternilai harganya,
lebih dari sejuta, lebih dari apapun.
Bandung, 25 Januari 2015.