Pekan lalu. Pagi itu berjalan seperti
biasa. Pukul 07.00 WIB, pakde Saman sudah selesai dimandikan oleh adik saya,
Titik Widianto. Dia dimandikan di teras samping rumah; persis di sebelah kamar
tidurnya. Teras itu berupa sebuah lorong selebar dua meter. Dinding lorong itu
adalah tembok rumah dan tebing samping rumah. Sudah sebulan ini, pakde
dimandikan di teras itu karena kondisi fisiknya tak memungkinkannya berjalan ke
kamar mandi. Seperti galibnya hari-hari yang lalu, beliau minta bersuci, wudhu.
Meski bacaan dan gerakannya tak sempurna, pakde selalu ingat sholat.
Setelah diberi pakaian, pakde dituntun ke
ruang tengah. Ruang itu berada di samping kamar tidurnya. Dia didudukkan di
sofa rotan yang usianya seumuran dengan saya. Sepiring nasi berlauk tempe telah
tersedia di situ. Dengan telaten Titik menyuapi pria yang sebulan belakangan
ini tak mampu berjalan dan makan sendiri. Di usianya yang ke 67, pakde telah
menjelma menjadi sesosok pria renta. Sebulan terakhir segala aktifitas
kehidupannya dilakukan di tempat tidur, teras samping rumah dan ruang tengah.
Pagi itu di rumah bapak suasana senyap
seperti hari-hari lainnya. Ibu masih tiduran di ranjang yang berada di rumah
samping. Bapak sedang menyapu lantai di dekat tempat tidur ibu. Sunyi, seakan
sesuatu akan terjadi.
Titik heran, mata pakde terpejam.
Kunyahannya amat pelan. Suapan itu tak segera dia telan. Titik menyodorkan air
putih untuk membantunya memudahkan kunyahan. Sembari mengunyah, mulut pakde
melafadzkan nama Allah dengan suara pelan. Seiring dengan kondisi fisiknya yang
kian menurun, pakde memang menjadi sosok yang sunyi. Tak ada suara apapun yang
keluar dari mulutnya selain kata Allah, dalam lafadz yang cedal dan lemah.
Bapak lah yang berhasil memberi dogma tentang ucapan itu.
Suapan kedua berhasil dia telan setelah
dibantu dengan dorongan air putih. Tiba-tiba tubuh pakde ambruk ke sandaran
sofa. Titik berlari ke bapak dengan panik.
"Paaaak.. Pakde, Pak...
Pakde.......". Hanya itu sepenggal kalimat yang mampu dia ucapkan.
Bapak segera berjalan ke ruang tengah.
Sebagai pensiunan paramedis dia tahu apa yang harus dilakukan. Dirabanya lengan
pakde untuk mengecek detak nadi. Tubuh yang telah lunglai itu lalu direbahkan
di lantai, persis di bawah sofa, membujur ke selatan. Tiba-tiba pakde menguap
panjang. Sekali lagi bapak mencari detak nadi. Kali ini pangkal leher yang
dirabanya. Detak itu telah tiada, menguap bersama jiwa yang kembali ke
Khaliknya.
Nun jauh di hotel Fave Gatot Subroto,
Jakarta, saya baru saja selesai mandi. Ponsel saya berdering kencang. Kang
Giyo, kakak sepupu saya yang menelepon. Ah, tak biasanya dia menelepon sepagi
ini.
"Halo,
Ri..." suaranya gugup tercekat.
"Opo,
Kang?"
"Iki ngene,
lek Saman ninggal, baru saja. Tolong anak-anak dikabari"
Hanya segitulah percakapan kami. Saya
segera melukar busana. Jam telah menunjukkan pukul 07.20 WIB. Jadwal Rakorsus
P2Humas dimulai pukul 08.00 WIB. Sepanjang perjalanan kaki ke Kantor Pusat
Ditjen Pajak, saya tak kuasa menahan air mata.
Sosok pakde Saman menggoreskan banyak hal
dalam kehidupan saya. Ketika masih kecil, dialah satu-satunya harapan saya akan
datangnya oleh-oleh lebaran. Dia adalah satu-satunya anggota keluarga kami yang
merantau. Penantian akan datangnya oleh-oleh berupa biskuit dan panganan kecil
lainnya adalah hal paling romantis dalam kehidupan masa kecil saya. Tak seperti
perantau lainnya yang umumnya menjadi tukang kayu atau pedagang bakso di
Jakarta, pakde hanya merantau ke Jatisrono, kota kecamatan yang bersebelahan
dengan tempat tinggal saya. Dia juga tidak menjadi tukang batu atau pedagang
bakso. Dia ngenger ke camat setempat. Latar belakang pendidikannya menumbuhkan
tekad; dia harus menjadi seorang Pegawai Negeri. Ngenger ke pejabat adalah
salah satu cara menggapi cita-cita megah itu.
Bulan dan tahun silih berganti. Surat
Keputusan itu tak juga menghampiri. Puluhan tahun menjadi tenaga harian di
kantor kecamatan harus dia akhiri ketika usianya mencapai batas akhir
persyaratan PNS. Selain itu, pejabat yang dia tumpangi juga memasuki masa
pensiun. Pakde lantas mengakhiri pengabdiannya, mengubah haluan menjadi buruh
pabrik di Palur. Kami sekeluarga menerima kenyataan ini dengan hati pedih.
Neneklah yang paling terpukul melihat kenyataan ini.
Kepedihan kami seolah terobati ketika
akhirnya pakde menemukan pasangan hidup. Pasangan itu bahu membahu membangun
keluarga dari nol. Bude membantu seorang kerabat berjualan di kantin pabrik
tempat pakde bekerja.
Kodrat manusia telah tersurat dalam
kalam-Nya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Siang itu pakde
sedang memperbaiki lampu penerangan pabrik. Anak tangga yang menjadi pijakan
kaki pakde patah. Tubuhnya terjungkal menghempas lantai. Jari tangan dan tulang
punggungnya cedera. Kejadian itu memporak-porandakan bangunan perekonomian
rumah tangga yang belum kukuh itu. Setelah sembuh dari perawatan, mereka berdua
ditampung di rumah kami.
Nenek bernafas lega ketika akhirnya
pasangan itu berhasil membangun rumah di tanah warisan bude. Bude berjualan
dawet dan rengginang di pasar Baturetno. Pakde membantu istrinya berjualan di
pasar.
Kenyataan itu tak membuat pakde sanggup
mengubur cita-citanya. Baju KORPRI yang sering dia pakai ketika menjadi tenaga harian
di kantor kecamatan masih dia simpan. Bude bercerita bahwa pakde masih suka
mematut diri di depan cermin dengan baju itu. Obsesi yang lama kelamaan
menggerogoti jiwanya, membuatnya terpuruk.
Suatu hari di tahun 2013, pakde diantar
oleh bude ke rumah bapak. Kondisi fisiknya tak memungkinkan dia ditinggal
berjualan. Jadilah dia jadi "pasien" bapak. Gerak tubuhnya sudah
lamban ketika itu. Keseimbangan tubuhnya juga lemah. Berulang kali dia terjatuh
dan meninggalkan jejak luka di sekujur tubuhnya. Kondisi ini membuat kami semua
prihatin sekaligus bersatu, bahu membahu merawatnya. Bapak dan Titik lah yang
berperan utama melakukan semua itu, memandikan, merawat luka; membersihkan
kotoran dan menjaganya agar tak kabur dari rumah. Sementara kami, keponakan-keponakan
yang berada di perantauan hanya bisa membantu dengan doa. Saya paham, beban di
rumah tidak ringan. Ibu baru saja terserang stroke. Jadilah bapak dan Titik
mempunyai dua "pasien" manula di tengah kondisi fisik bapak sendiri
yang sudah tidak bugar lagi. Diabetes yang bersarang di tubuhnya sejak tahun
2002 membuat fisik bapak tak segagah dulu lagi.
Menghadapi situasi seperti ini bapak hanya
bisa bersabar. Baginya ini bukan pengalaman pertama merawat orang sakit. Meski
sesekali kesabarannya berkurang, bapak selalu minta maaf kepada kakak iparnya
itu. Baginya, pakde Saman adalah guru kehidupannya, mengajarkan kesabaran dan
keteguhan menggantang obsesi sepanjang hidupnya. Dalam setiap kesempatan
berbagi hati dengannya, saya membesarkan hati bapak dengan kalimat seperti ini,
"Pak, sabar nggih. Itu sudah rejeki Bapak. Ndak semua orang punya
kesempatan berbuat seperti yang Bapak lakukan."
Malam ini kami menggelar tahlilan di rumah
bapak. Sepekan sudah guru kehidupan itu berpulang. Senthong kulon itu telah kehilangan
penghuninya. Kembali kosong melompong seperti sedia kala, sama seperti ketika
saya tinggalkan selepas lulus SMA. Kaligrafi bertuliskan Allah yang saya
goreskan di dinding senthong itu masih berada di sana. Dzat yang namanya
senantiasa dilafadzkan oleh pakde hingga ujung hayatnya.