Tuesday, March 31, 2015

Rindu Padanya



Tak ada yang sederhana ketika menyangkut bodro (pindah rumah). Bongkar perabotan, paking, angkut, bongkar lagi, tata, dan banyak yang tercecer bahkan hilang. Belum lagi urusan mindahin anak sekolah, lapor RT, nyari warung sayur baru, tukang gas, tukang jahit keliling, dan sebagainya. Itulah yang saya alami setahun yang lalu. Capek? Pasti.

Dua minggu pertama kami lewati dengan kulu-kilir (Bahasa Palembang: mondar-mandir) mencari rekanan dapur baru. Mulailah satu per satu kami temukan. Gas dan beras bisa diorder via telepon, tukang jahit keliling tak dikenal di sini, urusan RT beres, tinggal urusan sayur. Kebetulan nyonya saya tidak bisa bermotor, pasar jauh, ojek atau becak tak ada, sehingga harapan satu-satunya tinggal tukang sayur keliling. Kami memang tak biasa belanja sayur di toserba. Meski mampu, rasanya tak rela membayar seikat bayam seharga lima ribu.

Ajaib. Hidup kami memang tak dilebihkan, tapi seolah senantiasa dimudahkan. Suatu pagi pandangan mata nyonya menangkap sesosok pria sedang terbungkuk-bungkuk mengayuh gerobak sayur. Aha... Wanita yang saya nikahi sebulan setelah kerusuhan Mei 98 itu segera memburu gerobak tadi.

"Mang, jual sayur, ya?" nyonya saya seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Leres, Neng," sahut pria itu sambil menghentikan kayuhannya.

Pria bertopi itu lantas turun dari gerobaknya. Dari gurat wajahnya terlihat usianya di atas 60 tahun. Senyumnya lebar, menampakkan giginya yang menguning. Mang Sueb namanya.

"Priyogi sayur naon, Neng?"

Nyonya gelagapan. Dua minggu di Bandung belum cukup bagi kami untuk belajar bahasa Sunda. Lha wong melafalkan nama-nama daerah seperti Sekelimus, Kiara Condong, Ciroyom aja masih suka keseleo lidah, apalagi ditodong dengan bahasa halus seperti itu.

Demikianlah selanjutnya, setiap pagi, kecuali hari Minggu, Mang Sueb menyambangi kami. Kepadanya kami berpesan bahwa tak usah menunggu dibukakan pagar halaman, buka saja sendiri, karena pagar itu tak pernah kami kunci. Derit pintu pagar pada pukul 06.05 menjadi penanda kedatangan pria asal Pangandaran itu. Dalam beberapa kesempatan saya ikut nimbrung nyonya di gerobak warna biru yang jadi lapak dagangan tersebut. Saya kagum, gerobak besi ini ternyata memuat banyak komoditi, mulai dari sayur mayur, daging, ikan, bumbu-bumbuan, serta buah-buahan.
 
Mang Sueb dengan mobile lapaknya
"Kalau saya borong semua, berapa segerobak ini, Mang?"
"Ah, Bapak aya-aya wae. Dua juta, Pak."

Haaa.. saya terperangah. Semula saya pikir nilai dagangan Mang Sueb ini tak lebih dari 500 ribu.

"Bu, punten. Ini jeruknya masem, nggak usah dibeli. Besok aja saya carikan lagi yang manis," ujar Mang Sueb kepada nyonya. Mang Sueb memang melayani pesanan apapun dari pelanggannya. Kami, lagi-lagi, amat beruntung. Rumah kami adalah pelanggan pertama setiap pagi sehingga nyonya bisa dengan radikal memilih sayuran.

"Pak, punten. Tadi saya nanem labu siem di kebun Bapak. Udah ada tunasnya," ujarnya suatu hari. Dan memang benar. Di petakan samping rumah dinas ini telah tertanam sebuah labu Siam. Saya terharu dengan inisiatif pak tua ini. Tanaman itu sekarang sudah menjalar ke segala penjuru, dan Mang Sueb lah yang memberinya lanjaran.

Dua bulan lalu Mang Sueb pamit untuk tak berjualan selama seminggu. Mau pulang kampung, katanya. Di antara kami memang timbul ikatan batin yang tak sekedar pembeli dan penjual.

“Jangan lama-lama ya Mang, susah saya kalo nggak ada Mang Sueb,” pesan nyonya.
“Sumuhun, Ibu.” Pria tua itu segera mendorong gerobaknya keluar halaman.

Suatu pagi terdengar bunyi ganjil setelah bunyi derit pagar rumah kami. Bunyi itu mirip dengan alarm truk ketika dikemudikan mundur, "Nit...nit...niiiiiit." Ah... saya terpana. Jika sebelumnya kendaraan tempur Mang Sueb adalah gerobak tua, pagi ini berbeda. Bunyi nit nit tadi rupanya berasal dari gerobak bermotor. Posisi duduk Mang Sueb pun sudah tidak di belakang gerobak lagi, tapi berpindah ke depan. Maka pantat gerobaklah yang masuk terlebih dulu ke halaman rumah kami.

Saya bergegas mendekat.

“Waaaah… keren nih, Mang. Kenapa ganti?” saya berkeliling mengitari sepeda motor merk China yang telah dimodifikasi menjadi gerobak canggih itu. Electric starter, gigi mundur, dan tentu tak harus mengeluarkan tenaga untuk mengayuh. Rak sayurnya pun lebih apik. Rak itu didesain secara bersusun seperti laci, sehingga bisa ditarik keluar. Saya geleng-geleng.

“Iya, Pak. Saya sudah tua, sudah gampang capeeek.”
Saya mahfum. Di usianya sekarang, seharusnya pria ini tinggal mengasuh cucu sembari menjalani kegemaran. Sayang, kehidupan kadang berjalan di luar kehendak manusia. Sebetulnya saya pengin bertanya kemana anak-anaknya, kenapa dia biarkan pria selanjut ini masih berjuang mencari nafkah? Ah, niat itu saya urungkan. Rasanya Mang Sueb bukan satu-satunya pria yang menjalani masa tua dengan beban seberat ini. Saya lalu teringat pakde Yadi, dan pakde-pakde lain yang kehidupannya mirip dengan Mang Sueb.

Seminggu lalu saya pulang ke rumah dalam keadaan lapar berat. Tudung nasi segera saya kuak. Sepotong lele tampak “ngglinding” di sana. Tak ada sayur, tak ada oseng, menu kegemaran saya. Dan ini sudah berlangsung beberapa hari.

“Iya, Pak. Mang Sueb nggak jualan,” kata nyonya menanggapi keluhan saya. “Apa dia sakit ya, Pak?”
“Waktu ketemu terakhir emang bilang apa, Ma?”
“Iya, dia bilang badannya ngilu-ngilu semua, kayaknya encok. Mama liat memang mukanya pucet gitu sih.”

Saya terdiam. Rasa lapar itu menafikkan kekawatiran tentang kondisi kesehatan rekanan dapur kami.

Tiga hari lalu saya coba telepon Mang Sueb. Telepon selulernya tak bisa dihubungi. Kami mulai was-was. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai perihal ini. Semalam saya kembali mencoba meneleponnya.

“Assalamualaikum, Mang. Mang Sueb sakit?”
“Wa alaikum salam. Oh, Bapak ya….? Iya, Pak. Saya masih sakit.”
“Lho, sakit apa, Mang? Sudah berobat belum?”
“Sumuhun, Pak. Darah tinggi. Sudah berobat. Tapi masih disuruh istirahat dulu. Barang seminggu lagi saya mungkin sudah bisa jualan.”

Nada suaranya memang terdengar lemah. Seolah dia sedang menahan rasa yang berat. Kondisi tersebut segera saya kabarkan ke orang rumah.

“Belanjalah ke Griya, Ma. Masak suamimu yang pejabat ini dikasih lauk lele melulu. Boseeeennn. Lama-lama bikin darah tinggi juga, tauk…”

Halaman rumah kami masih dirundung sepi. Rumput teki yang tempo hari dicabuti adik saya kini mulai bersemi kembali. Tunas teki itu seolah mengejek kami. Mengejek seisi rumah yang tengah dirundung rindu pada Mang Sueb.

Bandung, 31 Maret 2015.

Monday, March 30, 2015

Lapor SPT Berhadiah Kambing



Hawa panas memanggang Jakarta. Angin dari teluk Jakarta menerobos menyeberangi pelabuhan Tanjung Priok, lalu seolah bersarang di halaman kantor kami. Aroma tak sedap meruah dari got di depan kantor yang tergenang sepanjang tahun. Minimnya elevasi tanah membuat got itu menjelma menjadi kubangan abadi.

Saya menghela nafas berat, sembari menyeka keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Tenda ini tak mampu melindungi kami dari serangan hawa sumuk, ditambah lagi dengan hiruk pikuk ratusan manusia yang lalu lalang di halaman kantor pajak Tanjung Priok. Halaman tak seberapa luas ini disulap menjadi arena penerimaan SPT Tahunan PPh yang hari itu memasuki hari terakhir, 31 Maret.

“Pak, ini gimana sih, masak kurang melulu lampirannya,” suara seorang pria tinggi besar mengagetkan saya.
“Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Mas yang di sana bilang saya harus nglampirin Faktur Pajak, sementara yang satunya bilang nggak usah. Kalian ini maunya apa sih?!!”

Saya terhenyak sesaat. Tadinya saya pikir dia mau lapor SPT Tahunan, rupanya tidak. Bundelan berkas yang sudah digelar di depan saya itu ternyata SPT Masa PPN.  Saya tak bisa menyalahkan bapak ini. Meski ini memang bukan “musim” lapor SPT PPN, bagi saya penolakan kepadanya akan memperparah keadaan. Ini Priok, Bung; demikianlah ungkapan yang sering digunakan untuk menggambarkan keseraman daerah ini. Kantor kami hanya seperlemparan tombak dari terminal bus yang terkenal angker itu.

“Baik, Pak. Memang Bapak gak salah kok. SPT Bapak nggak perlu dilampiri Faktur Pajak. Simpan aja Pak Fakturnya, jangan sampai hilang. Nanti lapornya bisa besok-besok aja ya. Kebetulan kami sedang konsentrasi nangani SPT Tahunan, Pak. Takutnya berkas Bapak malah kececer.”
“Ah… dasar kalian orang pajak. Kerjanya bikin susah,” ujar pria itu sembari ngeloyor pergi.

Di meja sebelah, suasana tak kalah seru. Asep, teman saya, sedang bersitegang dengan seorang tamu.

“Sudah syukur saya mau lapor, Pak. Saya ini Cuma buruh rendahan, gaji udah dipotong pajak, eh mau lapor aja susah banget, ini salah, itu salah.. Rusak aturan kalian itu.”
“Saya hanya menyarankan agar Bapak mengganti SPT ini lho, Pak. Tulisan tangan Bapak nggak kebaca. Ketentuannya memang begitu, kan harus lengkap, benar dan jelas.”
“Lha memang tulisan saya jelek, situ mau apa?”
Asep terdiam. Lajang asal Cisarua itu memang orang Sunda yang kalem, tak mau konfrontasi.
“Ya sudah Pak. Kalo memang Bapak nggak mau ngganti nggak apa-apa.”

Stempel bundar lantas tertera di atas tanda terima SPT yang tulisannya acak-acakan itu. Saya tersenyum getir membayangkan petugas perekam yang bakal pusing ketika melihat angka itu.

Demikianlah sekelumit cerita seputar hajat tahunan Direktorat Jenderal Pajak. Tanggal 31 Maret, kala itu, adalah hari yang amat riuh rendah di semua Kantor Pelayanan Pajak. Semua Wajib Pajak seolah tak mau rugi dengan lapor di awal waktu. Semua merasa kurang keren jika lapor sebelum tanggal-tanggal akhir.

Pun demikian dengan kami. Ritual yang merupakan bentuk implementasi pelayanan kepada Wajib Pajak itu ditunaikan secara tak serius. Pembentukan satgas seolah hanya tinggal selembar Nota Dinas tanpa kekuatan apa-apa. Pegawai yang berada di luar seksi PPh Badan dan PPh Perseorangan menganggap Nota Dinas itu angin lalu. Mereka lebih suka mengerjakan pekerjaan sendiri di ruangan, seperti juga saya yang saat itu bukan warga PPh Badan dan Perseorangan. Tugas di meja penelitian itu saya jalani sekedarnya saja, sambil cuci mata, dan syukur-syukur ada Wajib Pajak yang memberi uang rokok.

Kini lima belas tahun telah berlalu dari kejadian itu. Hajat tahunan itu masih ada, bahkan menjadi setahun dua kali, yaitu 31 Maret dan 30 April. Apakah suasana pelayanan masih seperti yang tergambar di atas? Saya yakin tidak.

Tengoklah sebentar ke KPP terdekat. Tempat Pelayanan Terpadu sekarang sudah nyaman dan representative, tak lagi kusam seperti dulu. Petugas juga telah dilatih sedemikian rupa sehingga bisa memberikan pelayanan yang baik kepada tamunya. Inovasi-inovasi telah dilakukan, mulai dari e-Filing, SPT Drive Through, sampai ada yang memberikan souvenir bagi pelapor via e-filing seperti yang dilakukan KPP Pratama Purwakarta.

Dua Wajib Pajak berpose dengan souvenir yang diperolehnya dari KPP Pratama Purwakarta


Kini melapor SPT harusnya bukan sesuatu yang menyengsarakan. Kewajiban, ya memang ini kewajiban, bagi setiap pemilik penghasilan di atas PTKP ini menjelma menjadi ritual yang didesain semenarik mungkin. Sebuah KPP, lagi-lagi di Bandung, menggunakan jasa SPG untuk menggaet WP agar mau menggunakan e-Filing. Salah? Saya rasa tidak, meski kadang masih dipandang aneh. Pun demikian juga dengan pemberian souvenir tadi. Salah? Masak salah. Mungkin iya, nyleneh, apalagi setelah itu foto selfie-nya diunggah ke akun media sosial KPP tersebut. Saya malah membayangkan lapor SPT awal waktu bisa dapet hadiah kambing.

Tidak usah takut dengan inovasi sepanjang niat, tujuan dan caranya baik. Lha wong nabi saja ada yang menganggap gila karena membawa ajaran baru.

Selamat lapor.

Bandung, 30 Maret 2015.

Monday, March 23, 2015

Lir Gumanti – Rejeki Lungsuran



Entah apa maksud Tuhan yang telah memberi saya sifat suka menerima barang lungsuran (bekas pakai). Serius, saya tidak sedang membual. Barang yang saya maksud meliputi apa saja, mulai dari pakaian, gadget, peralatan olah raga, atau apapun. Selain itu saya juga gemar membeli barang bekas. Jenis barangnya pun lagi-lagi tak terbatas. Sebut saja jas yang saya pakai waktu menikah. Jas itu dibelikan oleh (calon) kakak ipar di pasar pakaian import bekas di Jambi sana seharga 50 ribu. Lalu beberapa telepon seluler, sepeda buat anak saya, bahkan sepatu pantofel buat ngantor. Saya memang berlangganan sepatu bekas di pasar Taman Puring. Dengan harga 150 ribu saya sudah bisa menenteng sepatu kulit yang masih kinyis-kinyis.

Apa yang melatarbelakangi sikap ini? Tak ada sih. Semata-mata karena kepepet keadaan saja; tak punya cukup uang untuk membeli barang baru berkualitas bagus. Atau mungkin saya memang tak punya ego serta gengsi tampil ala priyayi; yang harus serba wah dan mengundang komentar “Waaaah..” dari para penggemar saya. Sama sekali tidak, saya memang tak punya rasa gengsi dengan penampilan. Orang tua selalu berpesan, hidup jangan mencari sensasi penampilan dan memburu “waah”.

Itu juga yang mendasari sikap saya ketika di penghujung 2005 saya diberi kesempatan menduduki jabatan Koordinasi Pelaksana di Dit. Penyuluhan Kantor Pusat. Saat itu saya duduk sebagai verifikator di Seksi PPh Pot. Put KPP Tanjung Priok. Banyak teman yang menyayangkan langkah saya ini, karena meski naik jabatan posisi tersebut “tak menjanjikan apa-apa”. Apa lacur? Setahun kemudian saya malah di-grounded menjadi pelaksana karena modernisasi Ditjen Pajak. Menyesal? Tidak. Mengumpat? Nggaklah, wong itu pilihan saya sendiri karena saya malas jadi AR.

Saya tadi mau nulis apa ya? Oh..iya, baru inget, rejeki lungsuran. Tempo hari adik saya berkunjung ke Bandung. Pulangnya saya bawain setas pakaian bekas saya. Pakaian bekas itu terdiri dari kaos, celana panjang, dan kemeja batik. Di keluarga kami memang punya kebiasaan saling melungsurkan pakaian yang masih layak pakai. Ketika kuliah di STAN, saya amat senang di-lungsuri kaos Hammer dari Mas Joko, kakak sepupu yang sudah mapan sebagai supervisor di pabrik rotan. Saya menyesal tak semua pakaian tersebut muat oleh saudara-saudara di Wonogiri karena postur saya yang sungguh ideal ini.

Beruntunglah saya mendapatkan pasangan hidup yang juga nggak hobi ngemol dan bersolek dengan barang mahal. Baginya belanja sayur di pasar Kramat Jati, Pasar Andir, dan Pasar Ciroyom itu sebuah kenikmatan tersendiri. Baginya membeli pakaian di butik itu sebuah pilihan terakhir, ketika toko langganannya di Pusat Grosir Cililitan dan Pasar Baru Bandung sudah tak menyediakan pakaian lagi. Baginya mengenakan pakaian kondangan seharga 60 ribu itu bukan masalah, yang penting warnanya gathuk dan pas di badan. Saya sih seneng-seneng saja, meski imbasnya saya juga harus nrimo dibelikan baju batik produk Thamrin City seharga 100 ribu per 3 buah, atau celana kerja dari Fabric Bajoe seharga 59 ribu.

Pun demikian dengan anak-anak. Kami menanamkan sikap samadya kepada mereka, meski memang tak selalu berhasil. Setidaknya anak sulung saya pede-pede saja menaiki sepeda bekas seharga 300 ribu, atau gitar listrik bekas seharga sejuta setengah. Ketika saya berganti ponsel, maka ponsel lama saya hibahkan ke nyonya, lalu ponsel nyonya dihibahkan ke si sulung, dan terakhir ponsel si sulung dilemparkan ke adiknya. Lir gumanti, silih berganti, saling memberi, demikianlah ajaran orang tua kami. 

Maka ketika teman karib yang berpenghasilan 120 juta per bulan heran dengan kecukupan hidup kami, saya hanya tersenyum lebar sembari berucap, "Kan aku nggak kayak kamu, harus tinggal di komplek mewah, harus rutin makan kepiting lada hitam, harus pakai pakaian bermerk, harus disopiri, dan harus-harus yang lain, fellow." Di ujung pertemuan malam itu, dia berkomitmen membantu cicilan mobil bekas saya. Penak, to?

Saya masih ingat, suatu pagi, seorang teman biasa (saya tak terlalu akrab dengannya) mengirim pesan pendek.

“Met, mau tab bekas?”
“Wah… mau banget, Mas. Tapi saya belum punya anggaran untuk beli, tu?”
“Nggak usah dibeli, aku ganti dengan i-Pad. Merk Cina gpp, kan?”
“Walah, gpp Mas. Merk Tri Windu aja saya mau.. hahahaha”

Tri Windu adalah nama pasar barang loak di Solo sana. Itulah kisah tab pertama dan satu-satunya yang berhasil saya punyai, lungsuran. Saya yakin, tangan Tuhan sedang bekerja lewat Pemangku Jabatan Eselon III di Kemenkeu itu. 
Saya juga masih ingat, tanah Lee Kwan Yu berhasil saya jejak untuk tujuan membezuk saudara yang sedang sakit, juga berkat kebaikan kawan. Tiket dan uang saku sudah dicukupi, bahkan ketika pulang saya masih bisa kemaki nunjuk-nunjuki sisa dollar Singapura.

Dengan segala kabejan (keberuntungan) tersebut apakah saya lantas Cuma bisa ngathong (menengadahkan telapak tangan) mengharap belas kasih orang? Tentang ini, bapak saya berpesan. Orang hidup itu punya sewu dalaning rejeki, seribu pintu rejeki. Bobollah dengan kekuatan niat ingsun-mu. Lelah? Gampang, tengoklah sejenak lek Kadiyo yang begitu keras mengejar sesuap nasi, Pakde Yadi yang menghabiskan hari di ladang, Kang Satimin yang seolah tak kehabisan cucuran keringat. Maka ketika beberapa minggu yang lalu seorang teman sejawat di sini meminta tolong untuk memotret acara reuni angkatan dia, saya iyakan dengan sepenuh hati. Kawan saya itu sampai nggak enak hati karena ternyata saya banyak dikenal di angkatan mereka, melebihi dirinya sendiri. Saya sih santai saja. Bagi saya, menenteng kamera itu mendatangkan pride tersendiri, apalagi pulangnya disodorin 10 lembar ratusan ribu. Pekerjaan kasar apa yang dalam 10 jam mendatangkan uang segitu? Saya rasa tidak banyak.

Maka ketika belakangan nyonya bertanya tentang kenaikan penghasilan bulanan, saya stop dengan satu kalimat, “Sebelum masuk rekening tak usah dibahas. Setelah masuk rekening jangan lantas lupa daratan. Ada hak  orang lain dalam setiap jengkal rejeki kita, itu yang lebih utama.” Nyonya paham, untuk urusan satu ini suaminya memang rada-rada ndeso.

Maka ketika malam Minggu kemarin saya bercengkerama dengan Bapak di Cilebut sana, tiba-tiba saya teringat kenangan masa kecil. Di desa kami, setiap ada kendurian, imam tahlilannya pasti mbah Modin. Dia bukan siapa-siapa saya, hanya kebetulan rumah kami berdekatan. Cucunya seusia dengan saya. Di balik sifatnya yang galak, dia amat perhatian dengan anak-anak kecil. Jangan harap lolos dari sergapannya ketika rambut kami gondrong. Mbah Modin pasti akan segera menggelandang kami untuk dicukur. Pun juga dia amat rajin memeriksa gigi susu kami. Siapapun yang giginya sudah mau tanggal pasti dia copot dengan jurus sekelebatan tangan. 

“Pak, lebaran nanti ingatkan saya untuk memberi mbah Modin sedikit rejeki.”
“Lah ada apa, Le?”
“Gini, Pak. Jaman dulu, waktu saya masih suka ikut Bapak kendurian, uang rokok mbah Modin itu selalu dikasih ke saya?”
“Mosok? Padahal dia kan punya cucu sendiri?”
“Lha ya nggak tau, Pak. Cuma seratus rupiah sih, tapi saya tahu itu amat bernilai saat itu.”

Lir gumanti, silih berganti, saling memberi. Jangan-jangan hidup ini hanya sebatas itu.

Bandung, 23 Maret 2015.

Sunday, March 22, 2015

Takluknya sang Dosen Mlunthuh



Ini adalah hari pertama saya kuliah S2 di Bandung. Ruangan di lantai III itu penuh sesak oleh mahasiswa dan asap rokok. Dengan langkah sedikit ragu, saya masuk ke kelas tersebut, sesuai petunjuk bagian Administrasi Kemahasiswaan. Di dalam kelas, suasananya tak kalah kacau, mirip ruang tahanan penjahat kelas kambing. Ruangan kelas yang harusnya diisi oleh 25 mahasiswa, kali ini dijejali dengan 60 mahasiswa sekaligus. Sekolah tinggi ini memang tengah kebanjiran mahasiswa program Paska Sarjana. Bagian Administrasi Kemahasiwaan tadi memberitahu saya bahwa angkatan ini berjumlah 250 orang. Fastastis.

Setelah celingak-celinguk, akhirnya saya berhasil menemukan satu kursi yang masih kosong di bagian belakang. Di depan kelas, dosen wanita berparas ayu nan mlunthuh itu harus melantangkan suaranya. Dia tak peduli dengan kehadiran saya yang sudah terlambat 45 menit. Saya memerlukan beberapa menit untuk mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Aha.. rupanya dia sedang memaparkan topik wawancara dalam proses perekrutan SDM.

Rekan sekantor saya yang sama-sama menempuh studi di sini berbisik kepada saya, “Ati-ati, dia nggak suka sama orang pajak.” Saya tersenyum saja. Lagian sejak kapan orang pajak disukai?

Kabar gembira datang beberapa saat setelah kami menempuh Ujian Tengah Semester. Pihak pengelola sekolah tinggi ini memecah kelas sehingga jumlah penghuninya berkurang separo. Meski masih terasa sesak, bu dosen ayu itu kini tak perlu lagi melantangkan suaranya. Dia juga makin sering berjalan-jalan di lorong-lorong kursi, menyapa kami. Untuk wanita berusia 50an, dia memang masih mempesona.

“Baiklah, sekian dulu untuk hari ini. Minggu depan giliran kelompok pak Slamet yang presentasi. Pak Slamet sudah janji mau membagikan hand outnya kepada kita. Siap, pak Slamet?”

“Siap, Bu,” jawab saya singkat. Saya sengaja menubrukkan pandangan mata ke arahnya. Bisikan teman saya tempo hari membuat saya tertantang. Wanita bergelar doktor ini harus saya taklukkan.

Halaman Pendahuluan dan Landasan teori itu sudah selesai terketik. Tiba-tiba saya merasa tak pas mengambil topik komunikasi internal DJP. Bagi saya hal itu tidak pas saya bicarakan di luar organisasi, meski hanya sebatas ruang kuliah. Delapan lembar tulisan itu segera saya hapus. Saya mengubah haluan. Topik teknik komunikasi DJP melalui iklan menjadi tujuan selanjutnya. Perlu waktu dua hari untuk menyusun makalah dan membuat presentasi tersebut. Beres, saya tinggal gandakan secukupnya.

Hari yang dinanti telah tiba. Seusai memberikan paparan sebentar tentang komunikasi, dosen ayu itu mempersilakan saya maju ke depan kelas. Seperti yang telah terjanjikan, saya membagi hand out presentasi ke seluruh warga kelas. Ini kali pertama warga kelas menerima hand out dari kelompok yang bertugas. Bagi saya pembagian hand out itu penting, agar mereka lebih paham dengan paparan saya. Saya juga membekali diri dengan laser pointer untuk menunjang penampilan.

Hampir sejam kelas itu saya jejali dengan presentasi seputar teknik komunikasi DJP dengan pemangku kepentingannya lewat jalur iklan. Selain itu, saya juga sisipkan hal-hal seputar pentingnya pajak bagi kelangsungan pembangunan Indonesia; tentang pelayanan dan penegakan hukum. Sepuluh halaman hand out itu lantas memancing beberapa pertanyaan beragam. Ada yang setuju dengan konsep yang saya paparkan, ada pula yang menyanggah bahkan membantah, termasuk dari rekan sejawat saya. Tak jadi soal, tujuan presentasi ini memang bukan untuk mendogma mereka dengan satu hal. Saya punya target tersembunyi.

“Demikian pertemuan hari ini. Terima kasih kepada pak Slamet dan kawan-kawan DJP yang telah memaparkan banyak hal. Dari kalian saya menjadi tahu bahwa ternyata peran pajak itu amat penting buat kita. Mulai saat ini saya akan bantu kalian nyebarin info tentang pentingnya bayar pajak.”

Demikianlah... Johan Budi, mantan Jubir KPK, mengajarkan kepada saya, bahwa ketika bicara di depan publik tak usah terlalu peduli dengan pertanyaan mereka. Sampaikan apa yang ingin kita sampaikan meski itu kadang tak nyambung dengan pertanyaannya. Mata kuliah MSDM bagi saya adalah sebuah pertanyaan yang tak harus saya jawab dengan topik komunikasi antar manusia. Saya lebih suka membahas peran DJP di negeri yang katanya loh jinawi ini.

Bandung, 22 Maret 2015