Parade Pasukan Penjaga Peringatan 60 Tahun KAA di Bandung - Foto oleh Joko Purwanto |
Pagi
itu berjalan seperti biasa. Setelah menjentikkan telunjuk di mesin presensi,
saya menuju ke kedai kopi Mang Ajo. Waktu baru menunjukkan pukul 06.30 WIB.
Sebetulnya kedai yang saya maksud bukanlah kedai dalam artian sebenarnya. Kedai
itu hanyalah tiga buah bangku panjang yang diletakkan di teras samping kantor,
di sebelah pintu masuk masjid. Letaknya tersamar oleh deretan mobil yang parkir
di depannya, sehingga memberi sedikit privacy
kepada kami. Di kedai ini, setiap pagi, sebelum jam kantor dimulai, kami
menghabiskan waktu ngobrol ngalor ngidul.
Topik obrolan kami beragam, mulai dari batu akik, keluarga, hingga pekerjaan.
Ketika
menjejakkan kaki di kedai tersebut, saya terhenyak. Sudah ada dua orang
menduduki daerah kami. Mereka berseragam tentara, lengkap dengan senapannya.
Tampang mereka amat siaga. Semula saya ragu untuk mendekat, namun senyum mereka
seolah mempersilahkan saya untuk bergabung.
“Pagi,
Mas... Lagi jaga, ya?”
“Iya,
Pak. Kami dari Zeni Tempur dapet tugas di kantor Bapak.”
Dua
serdadu itu berpangkat tamtama dan bintara. Dari nama yang tertera di bajunya,
mereka berasal dari Sumatera Utara. Yang berpangkat tamtama usianya masih muda,
sedangkan yang berpangkat bintara usianya sekitar 50 tahun.
Secangkir
kopi segera saya pesan. Sebagai pelanggan tetap di kedai ini, mang Ajo sudah
hafal dengan pesanan saya. Pun saya selalu diprioritaskan olehnya.
Mendadak
muncul seorang tentara lain. Tampaknya dia komandan regu. Dia mengeluarkan
sesuatu dari kantong celananya. Astaga, saya hampir meloncat saking kagetnya. Sebuah
kantor plastik bening berisi ratusan peluru tajam dia keluarkan begitu saja di
hadapan kami. Yang membuat saya kaget adalah kemasan peluru itu hanyalah
plastik seadanya. Saya tak bisa membayangkan jika satu saja pelor itu jatuh ke
orang yang salah, maka fatal akibatnya.
“Segera
isi magasin kalian dengan ini. Peluru karetnya kantongin saja.”
Saya
bergidik. Logam berwarna keemasan itu segera dia bagikan ke dua prajurit yang
duduk di samping saya. Dengan sigap mereka segera mengisi magasin kosong yang
telah mereka siapkan di tas kecil yang mereka sandang di pinggang.
“Boleh
saya pegang, Mas?” pinta saya ke salah satu serdadu itu.
“Silahkan,
Pak. Tapi hati-hati ya.”
“Kenapa
benda berbahaya ini hanya dibungkus plastik, Mas”
“Haha...
nggak ada anggaran buat mbungkus mas. Ada sih boksnya di posko, tapi ya gini,
waktu mbagi-mbagi ke pasukan tetep aja pake kantong ala kadarnya.
Benda
sepanjang jari kelingking itu lalu saya pegang dengan hati-hati. Ujungnya runcing.
Seumur-umur baru sekali ini saya memegang peluru senapan serbu.
“Kenapa
diganti peluru tajam, Mas?”
“Perintahnya
memang begitu, Pak. Kantor Bapak ini masuk ring 1. Kalo ada gerakan mengancam
perintahnya tembak di tempat. Tuh di atap kantor Bapak ada sniper juga.”
Wew...
sebegitu gawatkan ancaman menjelang peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika
ini? Lalu saya mahfum. Kantor saya persis bersebelahan dengan hotel
Savoy-Homann, tempat puluhan kepala negara akan berkumpul dua hari lagi.
“Ngomong-ngomong
sudah pernah tugas kemana aja, Mas?”
“Timor-timur
dan Aceh, Pak,” sahut serdadu yang usianya sudah senior tadi.
“Nggak
usah jadi tentara deh, hidupnya susah, taruhannya nyawa. Udah gitu gajinya
kecil.”
Saya
manggut-manggut. Di lingkungan keluarga saya ada beberapa orang yang berkarir
di militer. Secara materi kehidupan mereka memang serba pas-pasan.
“Kenapa
kantor Bapak nggak diliburkan?”
“Wah,
nggak tahu juga Mas. Penginnya sih libur, tapi kami kan tetap harus kerja, Mas.
Nyariin duit negara buat nggaji sampeyan.”
“Remun
kami kapan jadi 100 persen ya, Pak?” tanyanya sembari tersenyum tipis.
Saya
tak kuasa menjawabnya. SMS dari bank Mandiri tentang rapelan Tukin kemarin
telah saya terima. Kondisi yang membuat saya kikuk di hadapan mereka, para
manusia setengah dewa yang bekerja dengan taruhan nyawa. Saya segera pamit ke
mereka. Rapat koordinasi Kanwil Jabar I akan segera dimulai. Ini mungkin rapat
yang paling aman sedunia, karena dijaga oleh puluhan prajurit bersenjata lengkap.
Bandung,
25 April 2015