Saturday, April 25, 2015

Rapat Koordinasi di Tengah Kepungan Pasukan


Parade Pasukan Penjaga Peringatan 60 Tahun KAA di Bandung - Foto oleh Joko Purwanto


Pagi itu berjalan seperti biasa. Setelah menjentikkan telunjuk di mesin presensi, saya menuju ke kedai kopi Mang Ajo. Waktu baru menunjukkan pukul 06.30 WIB. Sebetulnya kedai yang saya maksud bukanlah kedai dalam artian sebenarnya. Kedai itu hanyalah tiga buah bangku panjang yang diletakkan di teras samping kantor, di sebelah pintu masuk masjid. Letaknya tersamar oleh deretan mobil yang parkir di depannya, sehingga memberi sedikit privacy kepada kami. Di kedai ini, setiap pagi, sebelum jam kantor dimulai, kami menghabiskan waktu ngobrol ngalor ngidul. Topik obrolan kami beragam, mulai dari batu akik, keluarga, hingga pekerjaan. 

Ketika menjejakkan kaki di kedai tersebut, saya terhenyak. Sudah ada dua orang menduduki daerah kami. Mereka berseragam tentara, lengkap dengan senapannya. Tampang mereka amat siaga. Semula saya ragu untuk mendekat, namun senyum mereka seolah mempersilahkan saya untuk bergabung.

“Pagi, Mas... Lagi jaga, ya?”
“Iya, Pak. Kami dari Zeni Tempur dapet tugas di kantor Bapak.”

Dua serdadu itu berpangkat tamtama dan bintara. Dari nama yang tertera di bajunya, mereka berasal dari Sumatera Utara. Yang berpangkat tamtama usianya masih muda, sedangkan yang berpangkat bintara usianya sekitar 50 tahun.

Secangkir kopi segera saya pesan. Sebagai pelanggan tetap di kedai ini, mang Ajo sudah hafal dengan pesanan saya. Pun saya selalu diprioritaskan olehnya.
Mendadak muncul seorang tentara lain. Tampaknya dia komandan regu. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Astaga, saya hampir meloncat saking kagetnya. Sebuah kantor plastik bening berisi ratusan peluru tajam dia keluarkan begitu saja di hadapan kami. Yang membuat saya kaget adalah kemasan peluru itu hanyalah plastik seadanya. Saya tak bisa membayangkan jika satu saja pelor itu jatuh ke orang yang salah, maka fatal akibatnya.

“Segera isi magasin kalian dengan ini. Peluru karetnya kantongin saja.”

Saya bergidik. Logam berwarna keemasan itu segera dia bagikan ke dua prajurit yang duduk di samping saya. Dengan sigap mereka segera mengisi magasin kosong yang telah mereka siapkan di tas kecil yang mereka sandang di pinggang. 

“Boleh saya pegang, Mas?” pinta saya ke salah satu serdadu itu.
“Silahkan, Pak. Tapi hati-hati ya.”
“Kenapa benda berbahaya ini hanya dibungkus plastik, Mas”
“Haha... nggak ada anggaran buat mbungkus mas. Ada sih boksnya di posko, tapi ya gini, waktu mbagi-mbagi ke pasukan tetep aja pake kantong ala kadarnya.

Benda sepanjang jari kelingking itu lalu saya pegang dengan hati-hati. Ujungnya runcing. Seumur-umur baru sekali ini saya memegang peluru senapan serbu. 

“Kenapa diganti peluru tajam, Mas?”
“Perintahnya memang begitu, Pak. Kantor Bapak ini masuk ring 1. Kalo ada gerakan mengancam perintahnya tembak di tempat. Tuh di atap kantor Bapak ada sniper juga.”

Wew... sebegitu gawatkan ancaman menjelang peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika ini? Lalu saya mahfum. Kantor saya persis bersebelahan dengan hotel Savoy-Homann, tempat puluhan kepala negara akan berkumpul dua hari lagi.

“Ngomong-ngomong sudah pernah tugas kemana aja, Mas?”
“Timor-timur dan Aceh, Pak,” sahut serdadu yang usianya sudah senior tadi.
“Nggak usah jadi tentara deh, hidupnya susah, taruhannya nyawa. Udah gitu gajinya kecil.”

Saya manggut-manggut. Di lingkungan keluarga saya ada beberapa orang yang berkarir di militer. Secara materi kehidupan mereka memang serba pas-pasan.

“Kenapa kantor Bapak nggak diliburkan?”
“Wah, nggak tahu juga Mas. Penginnya sih libur, tapi kami kan tetap harus kerja, Mas. Nyariin duit negara buat nggaji sampeyan.”
“Remun kami kapan jadi 100 persen ya, Pak?” tanyanya sembari tersenyum tipis.

Saya tak kuasa menjawabnya. SMS dari bank Mandiri tentang rapelan Tukin kemarin telah saya terima. Kondisi yang membuat saya kikuk di hadapan mereka, para manusia setengah dewa yang bekerja dengan taruhan nyawa. Saya segera pamit ke mereka. Rapat koordinasi Kanwil Jabar I akan segera dimulai. Ini mungkin rapat yang paling aman sedunia, karena dijaga oleh puluhan prajurit bersenjata lengkap.

Bandung, 25 April 2015

Tuesday, April 14, 2015

Lasem – Waktu yang Seolah Berhenti


Gerbang masa lalu


Menapakkan jejak di Lasem adalah sebuah perjalanan dengan mesin waktu. Kota  yang terletak di pantai utara Jawa, sebelah Timur kota Pati ini, memiliki sejarah panjang. Sejarah yang kini mungkin hanya tergaung ke dunia luar lewat batik.

Awal sebuah ritual


Maka masuklah ke perkampungan di sisi jalan raya Pantura. Tak lebih dari satu kilometer, akan terpapar lansekap yang menarik kita ke masa lampau.
Lewat pintu samping
Hio, perangkat utama ritual

Khusyuk berdoa
Adalah sebuah kelenteng kuno yang terletak di pinggir sungai. Tak ada papan nama dalam bahasa Indonesia yang terpasang di depan bangunan. Semua ditulis dengan huruf Cina. Wajar saja, seiring dengan longgarnya kebijakan pemerintah terhadap keragaman agama di Indonesia, kaum minoritas ini bisa menampakkan jati dirinya dengan leluasa. Selain itu, mau tidak mau, suka tidak suka, keberadaan Lasem tak lepas dari eksistensi mereka di masa lampau.
Dewa kesekian yang harus disambangi

Awal dan akhir melewati pintu semula

Klenteng yang didirikan pada tahun 1477 ini merupakan klenteng tertua di pulau Jawa. Dengan statusnya tersebut maka artefak-artefak di dalamnya juga tak kalah tua. Pengurus klenteng, koh Aceng, bercerita bahwa suatu hari ada seorang pencuri masuk lalu mengambil salah satu patung dewa di situ. Apa lacur, pencuri itu tak bisa keluar dari area klenteng. Dia berkali-kali mencari jalan keluar tapi tak berhasil. Tingkah ganjil tersebut lalu mengundang perhatian istri pengurus klenteng. Tak lama kemudian durjana itu diringkus masyarakat setempat dengan barang bukti berupa patung seukuran mug yang telah patah di beberapa tempat. Wallahu’alam bissawab.

Secara umum seluruh dinding bagian dalam klenteng ini belum pernah dipugar sejak didirikan. Pun demikian dengan tiang besar penyangga utama konstruksi bangunan itu. Kualitas kayu jatinya memang sangat prima sehingga tak bakal lapuk didera usia.

Ketenangan batin dan pencerahan jiwa
Akhir dari sebuah ritual

Demikianlah, Lasem dan klenteng seolah pasangan sehidup semati. Pasangan yang telah mengarungi kerasnya kehidupan selama ratusan tahun.

Bandung, 15 April 2015

Wednesday, April 8, 2015

Orok Berbaret Orange



Bulik Win hanya bisa tersenyum kecil. Dia duduk sembali menyelonjorkan kakinya ke bangku kecil. Kandungannya telah memasuki bulan ke tujuh. Kondisi badannya sedang meriang. Wanita kelahiran Bantul itu tak bisa membantu suaminya mengemas pakaian.

“Kira-kira berapa lama di Aceh, Pak?”
“Belum tahu lah, Bu. Aceh anget lagi.”
“Yo wes, Pak… Moga-moga bisa nungguin lairan anakmu.”

Lek Medi sibuk mengeluarkan beberapa lembar pakaian dari lemari usang itu. Dua setel PDL telah terlipat rapi di ransel loreng kapasitas 20 kilogram. Ruang tas yang tersisa tinggal buat pakaian harian, tak lebih dari tiga potong.

“Wis yo Bu. Aku berangkat dulu.”
“Iya, Pak. Mugo-mugo slamet. Doakan anakmu sehat di dalam sini,” ujar bulik Win sembari mengelus perutnya. Langkahnya rada tertatih ketika mengantar kepergian suaminya ke pintu rumah.

Lek Medi segera meloncat ke truk pasukan yang telah sedia di perempatan komplek. Tak ada lambaian tangan, pun ucap perpisahan dari tetangga kiri kanan. Sore itu berlalu seperti biasa di jalan Dakota, Halim. Penghuni komplek tak hirau dengan linangan air mata bulik Win ketika memandangi punggung suaminya.

Demikianlah akhirnya, sampai kelahiran anak pertamanya, lek Medi belum pulang dari Aceh. Kabar kelahiran diterimanya lewat pesan dari petugas jaga. Tugas patroli di kawasan Takengon ini tetap harus dijalankan, tanpa peduli kondisi batin anggota pasukan.

Ketika akhirnya masa penugasan itu berakhir, jabang bayi itu telah berumur hampir setahun. Anak pertama pasangan itu diberi nama Sabrina Intan Kinanti.
 
Mbah Medi, Adel, Intan, Bulik Win
*****

Perjalanan seregu prajurit Khas itu tiba-tiba terhenti. Komandan regu memerintahkan anggotanya lekas menyebar. Rumah yang disasar tinggal setengah kilo lagi. Hari telah diselimuti senja di sebuah kampung di pedalaman Aceh.

Praka Medi diperintahkan sebagai pendobrak pintu rumah. Tugas ini tak bisa dipandang sepele. Seorang pendobrak menghadapi resiko kematian yang amat tinggi, karena posisinya paling depan dan tanpa perlindungan sama sekali.

Rumah berdinding kayu itu terletak di sudut kebun. Tak ada cahaya penerangan apapun dari dalam rumah, gelap gulita. Desa ini memang belum dialiri listrik PLN. Warga desa mengandalkan penerangan seadanya.

Praka Medi berjalan mengendap. Senapan SS1 sudah terkokang di tangan. Dengan sekali tendangan, pintu kayu itu jebol. Tak ada siapa-siapa di dalam situ. Senyap mencekam.

Tiba-tiba ada seberkas cahaya muncul dari balik dinding ruangan. Praka Medi menajamkan mata. Seorang perempuan tua berjalan terbungkuk-bungkuk membawa dian. Nyala dian itu hampir padam oleh hembusan angin yang masuk dari pintu yang telah terdobrak tadi. Keadaan itu membuat seisi ruangan nyaris tanpa cahaya.

Praka Medi baru saja mau mendekat ke perempuan tua itu, ketika tiba-tiba dia merasakan panas di paha kananya. Langkahnya terhuyung, jatuh ke lantai rumah. Darah mengucur deras dari balik pakaiannya. Dua prajurit yang berada di belakangnya segera memburu ke arah wanita itu. Percuma, tak ada siapapun di sana. Sniper itu telah menghilang lewat pintu belakang.

Melalui radio komunikasi, komandan regu memerintahkan pengejaran ke arah kebun belakang rumah. Sisanya diperintahkan segera mengevakuasi Praka Sumedi. Pendarahan itu harus segera dihentikan.

Tiga minggu kemudian Praka Medi diperbolehkan pulang ke Jakarta. Dia diterbangkan dari Medan, setelah menjalani operasi penyembuhan luka tembus di paha kanan.

*****

Pagi itu saya minta ijin kepada atasan untuk terlambat datang. Bekas luka operasi usus buntu nyonya saya harus diperiksakan ke dokter. Saya mengambil rute melewati komplek TNI AU Halim Perdanakusuma untuk menghindari macet di jalan Kerja Bakti. Mobil saya lolos dari pemeriksaan Provost berkat stiker sakti yang menempel di kaca depan. Tanpa stiker tersebut jangan harap bisa melewati pos penjagaan. Provost itu bahkan memberi hormat kepada saya. Punya tampang mirip serdadu itu selain ditakuti preman terminal, juga dihormati provost, hahaha…...

Di lapangan sebelah bandara, tampak puluhan tenda pasukan terpasang rapi. Ratusan prajurit sedang senam pagi. Mereka adalah anggota Kontingen Garuda yang akan diberangkatkan ke Yordania.  Menilik tampangnya, saya yakin mereka belum genap berumur 25 tahun. Tak ada gurat kesenduan sedikitpun terpancar dari sorot mata mereka. Senam senjata itu diperagakan dengan sikap sempurna, tanpa cela.

Selepas melewati barak lapangan tersebut, saya harus memelankan laju mobil. Di sebelah kanan jalan adalah markas Paskhas 461. Bangunan bercat hijau itu tampak angker. Pasukan khusus ini memang bukan sembarang pasukan. Hanya prajurit terpilihlah yang berhak menyandang baret orange.

Dari kejauhan tampak dua orang prajurit sedang memotong rumput di sebelah kiri jalan, tepat di seberang gerbang markas. Saya hafal dengan sosok salah satu pemotong rumput itu.

“Woooi….Mbah Medi…. Sarapan dulu….. pagi-pagi udah motong rumput ajaaa….” seru saya sambil tetap melajukan mobil.

Saya memang memanggilnya dengan sebutan “Mbah” bukan “Lek”, semenjak saya punya anak. Hal itu sebagai bahan pengajaran kepada anak saya, bahwa dia harus memanggil “Mbah” ke pria ini. Pria berkaos loreng itu hanya melambaikan tangan ke arah kami lalu kembali asyik mengarahkan mata pisau mesin pemotong rumput. Luka tembak di paha kanannya telah membatasi aktifitas kemiliterannya. Meski masih aktif sebagai anggota pasukan khusus, dia sudah tidak lagi diterjunkan ke daerah operasi militer. Sebagai gantinya, dia lebih sering mengokang mesin pemotong rumput dibanding senapan serbu. Saya kadang bertanya-tanya, di markas tentara ini sebenarnya punya tenaga kebersihan nggak, sih? Masak tentara disuruh motong rumput. Saya tidak bisa membayangkan jika disuruh membersihkan kantor, saya pasti  misuh-misuh. Lha wong disuruh pulang jam 7 malam saja serasa disiksa dunia akherat.

“Le, kapan sih mentrimu naikin remun kami?  Kamu kan sering moto dia, mbok kamu tanyain, to. Mosok sudah 3 tahun nerima cuma 30% terus?” tanyanya suatu sore.
“Hehe… nggih Mbah… nanti tak tanyain yaaa…”

Hanya kalimat itu yang bisa saya utarakan. Saya lalu mengalihkan topik pembicaraan ke urusan lain.

Bandung, 8 April 2015.

Wednesday, April 1, 2015

Ngaplo bin Ndlongop



Saya baru saja melangkah ke dalam Gerai Telkomsel Bandung, ketika ponsel di saku berderak dan berdering keras.

“Jadi cuma sebatas ini pertemanan kita?”

Ponsel Samsung G-Note I yang saya beli dalam kondisi bekas dua tahun lalu itu saya jauhkan dari telinga. Saya ragu dengan nama yang terpampang di situ setelah mendengar kalimat barusan. Ah, tak ada yang salah. Pak Pulung, sohib di Kanwil Jawa Barat I, demikianlah nama yang muncul di layar itu.

“Ya, Pak. Ada apa ya?”
“Masak bagi-bagi batu saya ndak kebagian. Tipislah pertemanan kita selama ini.”
“Hahahahahaha….. siap pak Pulung. Untuk Bapak masak saya kasih batu itu. Nggak level-lah. Masih ada kok, Pak..”

Batu ini memang bikin kami semua gila. Setiap hari ruang-ruang waktu kami selalu diisi dengan pembicaraan mengenai per-batu-an. Saya yang selama ini sama sekali tak tertarik dengan batu tiba-tiba jadi penggila. Beberapa koleksi batu yang sudah saya gudangkan sejak puluhan tahun silam kini saya keluarkan dari laci. Pun ketika ada cukong nawarin batu yang warnanya menarik, saya tak segan menyisihkan uang rokok untuk menebus maharnya. Gila….

Sepulang dari Gerai Telkomsel hari telah memasuki waktu Ashar. Seusai sholat di masjid kantor, sekumpulan pria tak langsung kembali ke ruangan. Mereka, termasuk saya, ngobrol di sudut gedung. Sudah tentu topik obrolan kami adalah batu, sambil menggosok-gosokkan batu kepunyaan masing-masing ke celana kerja.

“Jadi mana bagian saya, mas Slamet?” pak Pulung langsung menagih janji.
“Bagian apa. Nih? Jangan main belakang dong!!” uda Edral, Kasi sebelah ikut-ikutan menyela.
“Naaah.. Uda nggak dikasih juga sama mas Slamet? Wadoooh, paraaaah…” pak Pulung kian kalap.
“Wasyuuuuu…. Matek aku. Gara-gara secuil batu kok saya jadi orang hina gini yak…”
“Hahahaha…. Makanya jangan pelit berbagi, mas Slamet. Udah mana batunya, kita belah di sini. Nanti suruh Tommy aja yang bawa ke tukang asah.’

Demikianlah akhirnya. Sebongkah batu kiriman “sedulur sinorowedi” dari Bangko itu sah menjadi bancakan penyembah berhala kantor kami. Tommy senyum-senyum saja mendapat titas membawa batu itu ke tukang asah.

“Pokoke minggu depan kita sepakat pakai batu dari mas Slamet yaaa….”

Edaan… batu sudah membuat kami gila.

Hari berganti minggu. Sore tadi sesuai Ashar, kelompok penyembah batu kembali berkumpul di tempat biasa.

“Asem tenan, barusan dapet sms dari Mandiri, jebule TC-ku turun sejuta lebih. Padahal absenku penuh. Baru inget kalo turun grade,” ujar pak Pulung sambil bersungut-sungut.

Kemarin beberapa dari kami memang dilantik dalam jabatan baru sesuai aturan mengenai reorganisasi DJP. Saya termasuk di dalamnya. Seksi Humas berubah nama menjadi Seksi Kerjasama dan Hubungan Masyarakat. Keramas adalah akronim pertama yang muncul di benak saya. Pak Pulung juga mengalami hal yang sama dengan saya. Bedanya adalah dia turun grade dari 15 ke 14, sedangkan saya tetap di 14.

Wis to Mas, rejeki nggak akan tertukar,” ujar mas Eko. Fungsional penyidik itu sebetulnya bukan penggemar batu, namun sesekali dia bergabung bersama kami. Pria asal Semarang itu kembali ke ponselnya, tak hirau dengan reaksi ucapannya barusan.

“Lha inggih lah, mas Eko. Rejeki grade 15 mah nggak akan tertukar dengan grade 14…hahahaha”

Sahutan saya memancing gelak tawa anggota per-akik-an ini.

“Jadi kalo dikaitkan dengan kenaikan Tukin nanti, berapa potential loss pak Pulung?” tanya uda Edral denga senyum sinis. Dasar orang Minang, rasanya tak puas kalo semua persoalan tidak dihitung untung ruginya dari sisi uang. Pak Pulung seolah kehilangan kata-kata. Lulusan STAN 92 itu memilih ngelus-elus bacan yang tersemat di jari manis kanannya.

“Dua setengah juta, pak Pulung. Setahun berarti tiga puluh juta. Bisa beli bacan berapa tuh?”

Tawa kami kembali pecah. Seorang wanita berseragam Bea dan Cukai yang kebetulan tengah melintas sampai menoleh ke arah kami.

“Ngomong-ngomong Tukin jadi nggak sih?”
“Sudahlah pak Slamet. Nikmati saja yang ada. Pak Slamet nggak turun grade, kan?”
“Nggak, Da. Dan Alhamdulillah saya sekarang nggak minder lagi. Di komunitas ini ada dua orang yang grade 14, saya dan pak Pulung.. hahahaha.”

Pak Pulung kembali tertohok. Dia ngeloyor ke kios rokok mang Ajo. Sebotol minuman dingin dia tenggak di depan kami.

“Uda tahu nggak, kemarin-kemarin pak Pulung tuh minumnya Pocari, lho. Kok hari ini minumnya teh botol doang, ya?”
“Masak pak Slamet nggak tahu. Grade, Pak… gradeeeee….”

Kembali sore ini seolah mau meledak oleh derai tawa kami.

“Makanya, Da. Kalo ada idle cash tahan dulu deh, kayaknya sebentar lagi ada yang jual batu murah nih…hahahahaha…..”
“Betul pak Slamet. BU CPT (butuh uang cepat).. huahahahaha….”
“Ngomong-ngomong Tommy kemana ya, Da?” Kebetulan uda Edral adalah atasannya.
“Lagi cuti, mas Slamet. Minggu depan baru masuk,” sergah pak Pulung seolah menemukan celah pengalih topik.
“Lha trus urusan pesanan batu kita gimana dong?” saya mulai was-was.
“Yaah… gimana lagi. Kita tunggu aja sampai dia masuk, Mas.”
“Walaaah.. kacau nih. Ngaplo bin ndlongop (kecewa) deh kita. Aturan udah bisa kita pake rame-rame kok malah cuti bocah iku.. Ngomong-ngomong kok urusan batu ini seolah nyindir kita ya? Tukin yang diarepin, turun grade yang malah dateng…hahahahahaha……!!!!!!”

Tawa keras kami berlanjut di perjalanan kembali ke ruangan masing-masing. Kami, empat pria berumur ini, berjalan beriringan. Pak Pulung merangkul pundak saya.

“Sama-sama grade 14 jalannya bareng ya, Le…Hahahahaha”

Bandung, 1 April 2015