Tuesday, June 30, 2015

Zakat Planning

Tak kalah dengan pajak yang mengenal istilah Tax Planning, dalam dunia perzakatan pun ada langkah halal ini.
Konsep berbagi dalam Islam secara garis besar ada 3, yaitu Sedekah, Infak dan Zakat, Masing-masing konsep tersebut punya pengertian dan aturan sendiri-sendiri.

Sedekah
Sedekah adalah segala pemberian kepada sesama yang bersifat baik. Ketika Anda tersenyum dengan tulus, maka senyum itu adalah bentuk Sedekah. Kerelaan hati Anda untuk mendahulukan antrian manula, atau memberikan bangku kereta kepada wanita hamil adalah salah satu bentuk sedekah pula. Artinya sedekah tak melulu soal pemberian harta berwujud. Saya kurang tahu apakah tebar pesona masuk dalam kategori ini.

Infak
Infak adalah pemberian dalam bentuk harta (uang) kepada Mustahiq (orang atau badan yang berhak menerima sedekah itu). Dalam Islam ada beberapa golongan orang yang masuk kategori Mustahiq, yaitu: Fakir, Miskin, Amil Zakat, Mualaf, Riqab (Budak), Gorimin (Orang yang terlilit hutang), Sabilillah (orang/ badan pengemban amanah keagamaan), dan Ibnusabil (pengembara yang kehabisan bekal). Infak tidak mengenal batasan kuantitas, pun bentuk. Infak juga tidak terikat pada nishab/ batas minimal harta yang akan disedekahkan. Tolok ukurnya hanya kelapangan hati dan kesesuain penerima. Memberi angpao kepada teman yang tengah melangsungkan pernikahan tentu tidak masuk kategori ini karena dia bukan Mustahi, kecuali mempelai itu tengah terlilit hutang dan nekad menikah.

Zakat
Zakat adalah jumlah tertentu dari harta/penghasilan seseorang yang WAJIB dibayarkan kepada Mustahiq. Pengertian ini lebih sempit daripada Infak. Kesamaannya adalah pada pihak penerima atau Mustahiq. Dalam zakat dikenal Nishab atau batas minimal suatu harta agar harta tersebut terkena hukum wajib zakat. Jika dalam setahun emas Anda hanya 2 gram, itupun pemberian mertua, maka tentu tak wajib dizakati. Zakat fitrah Anda hanya sah jika dibayarkan kepada Mustahiq, bukan kepada sembarang orang yang tiap Jumat gemar berkeliling kampung sembari membawa "kemploh” (kantong bekas kemasan tepung terigu).
Tak semua harta wajib dizakati, tak semua perhiasan wajib dizakati. Meski berharga mahal, batu Bacan Anda tak wajib dizakati, pun juga intan dan berlian, hanya emas dan perak.
Masih pelit urusan zakat, gampang.... belilah batu akik sebanyak-banyaknya.
*Disarikan dari kultum sebelum sholat Taraweh tadi malam, yang tumben-tumben setan kantuk tak mendekati saya.


Bandung, 30 Juni 2015

Wednesday, June 17, 2015

Ganteng Maksimal


Abiyyu dengan bukan bapaknya, tapi omnya

Sudah menjadi tekad kami berdua, sebisa mungkin anak-anak kami menempuh pendidikan di sekolah plat merah. Pertimbangannya tentu ada, efisiensi biaya, kelengkapan fasilitas dan yang paling penting adalah nrimo dengan keadaan yang sebenarnya. Konsep nrimo memang senantiasa kami pegang dalam kehidupan ini.  Nrimo ing pandum (menerima dengan keiklhasan) adalah pitutur Jawa yang meletakkan kecukupan menjadi sebuah keputusan, bukan sebuah kondisi.
Seperti jamaknya sekolah negeri, SMA tempat anak saya menempuh pendidikan menganut sistem pengelolaan sekolah tanpa biaya. Namun apa daya, karena BOS dari pemerintah tak cukup dan pemerintah daerah setempat tak mampu pula menyubsidi kekurangan BOS, maka siswa masih dipungut SPP. Tak apalah, toh jumlahnya juga masih manusiawi, “hanya” 300 ribu per bulan.  Jumlah yang menurut saya masih dalam ukuran wajar dan mampu saya tanggung.
Tentu bukan hanya soal bayaran yang menjadi sorotan saya kali ini. Kita semua tahu lah, secara umum sekolah negeri memang sarat dengan aroma birokrasi yang serba lamban, gemuk dan kurang terurus. Seperti kejadian Senen lalu, ketika kami mendapat undangan untuk mengambil raport semester II. Dalam undangan jelas-jelas tertera pukul 10.00 WIB. Ketika kami, saya dan nyonya, datang ke sekolah pukul 10.30 WIB, ruangan kelas sudah kosong. Teman sekelas anak saya yang sedang nongkrong di depan kelas mengatakan bahwa pembagian raport dimajukan ke pukul 08.00 WIB karena sudah banyak orang tua yang datang. Bagus sih, tapi mbok iyao kami yang datang sesuai undangan ini tetap dinanti. Tak apalah, bukankah kami harus nrimo? Akhirnya kami diantar menuju ke ruang guru untuk mengambil raport anak saya.
Ruang guru itu terletak persis di samping ruang Kepala Sekolah. Saya menduga ruangan ini dulunya adalah ruang belajar, mengingat ukuran dan rancangan arsitekturnya tak beda dengan ruang kelas yang ada. Yang membedakannya adalah suasana di dalamnya. Nyaris tak ada tempat kosong bagi tamu untuk duduk. Ketika wali kelas itu mempersilahkan kami duduk, hanya saya yang bisa duduk, itupun di bangku guru lain yang kebetulan sedang tidak berada di tempat. Nyonya saya suruh berdiri dulu saja.
“Gimana nilai anak saya, Pak?”
Seperti biasa nyonya selalu penasaran dengan nilai anak-anaknya. Saya malah sibuk menutupi baju putih yang terkena tinta pena tanpa sadar di kantor tadi. Asem tenan, nggak jadi ganteng maksimal deh…
“Secara umum bagus kok Bu. Abiyyu naik kelas. Hanya saja ada satu nilai yang kurang memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)...”
“Waduh, gimana dong, Pak? Mata pelajaran apa?”
“Bahasa Inggris lintas minat, Bu. Saya juga heran, ini kok kecil sekali, apa Biyyu nggak pernah masuk ya? Masak nilainya nggak sampai poin 1…”
Kalimat terakhir itu merisaukan saya. Bukan soal nilainya, tapi soal attitude anak saya.
“Pak, kalo boleh tahu, bahasa Inggris lintas minat ini jadwalnya di luar jam sekolah apa masih dalam range jam sekolah?” saya menukasnya dengan segera.
“Oh, masih dalam lingkup jam sekolah kok, Pak.”
Saya tenang. Senakal-nakal Abiyyu, dia bukan tipe pembolos seperti bapaknya.
“Baik, Pak. Apa mungkin ada kesalahan pencantuman nilai atau kesalahan teknis lain?”
“Bisa jadi, Pak. Jangan-jangan malah tertukar dengan nilai temannya. Karena untuk mata pelajaran yang sama yang bukan lintas minat, nilainya bagus banget kok. Ini pasti ada yang salah..”
Glek….. nrimo, Met… nrimo.
“Jadi gimana dong solusinya, Pak? Misal nilai Biyyu di atas ini berarti dia kan nggak ranking 15, kan? Bisa-bisa jadi ranking 3,” ujar nyonya dengan semangat. Saya tersenyum simpul. Meskipun telah menjalani pernikahan selama 17 tahun ada perbedaan yang tidak pernah bisa dan kami niatkan bisa diselaraskan.
Wali kelas itu menyarankan kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan. Kami mengiyakannya. Sayangya guru yang dimaksud sedang tidak berada di kantor.
“Satu lagi, Pak. Gimana sikap dan perilaku anak saya?”
“Owh.. Abiyyu mah anaknya baik, Pak. Tidak aneh-aneh. Hanya kadang terlalu pendiam, kayak cuek gitu dengan keadaan sekitar..”
Haha.. saya tergelak dalam hati. Bapaknya banget… Lho iya, sebelum mentertawakan pernyataan saya tersebut, saya mau mengakui sesuatu. Sesungguhnya saya ini pria pemalu, inferior, introver, soliter, dan enggan bergaul. Keadaan lah yang kemudian mampu membuat saya seperti sekarang ini, percayalah.
Jawaban wali kelas itu amat melegakan saya. Bagi saya, prestasi akademis itu non-sens jika tanpa pondasi attitude. Pinter tapi gemar minteri, atau pinter tapi suka keminter jelas bukan sifat yang terpuji. Bagi saya penilaian terhadap sikap jauh lebih penting daripada penilaian prestasi akademik hitam di atas putih. Anda hanya harus lihai menyontek teman sebelah untuk bisa mendapat nilai A, tapi percayalah, kekuatan akting Anda untuk bersikap baik tak akan bisa bertahan lama.
Ketika akhirnya kami sampai di rumah, ucapan selamat langsung kami hamburkan kepadanya. Ada waktu sejam sebelum harus kembali ke kantor, dan saya manfaatkan untuk menyambangi tanaman sayur yang agak kelirwan semenjak bapak saya pulang kampung. Saya sapa dan sirami bayam, pokcoy dan sawi itu sembari mendengarkan campur sari Manthous.
Tiba-tiba Abiyyu mendatangi saya. Dia pamit mau ke sekolah untuk menemui guru bahasa Inggris lintas minat. Aha… pasti di dalam rumah tadi mamanya langsung menginstruksikan hal tersebut. Saya yakin karena hafal dengan tabiat dan karakternya. Jangankan ngurus nilai, ketika gitarnya dirusak oleh temannya saja dia tak berani menuntut ganti rugi. Saya kembali asyik dengan petakan kosong di sebelah rumah dinas ini.
Beberapa jam kemudian ketika saya sudah di kantor, nyonya mengabari saya lewat pesan pendek. “Pak, nilai kakak sudah diralat, jadi 3,5”. Saya balas pesan itu dengan kalimat pendek, “Syukurlah, Ma.” Dalam hati saya berguman, “Mama sih nggak percaya sama aku, urusan prestasi akademik mah nggak usah diragukan, pasti bagus kok, kayak bapake.. Udah ganteng, pinter lagi…”

Bandung, 16 Juni 2016

Monday, June 15, 2015

Tertohok Pria Pengedar Zamzam



Pria Pengedar Zamzam

Lupakan soal pesona jilbob, istilah sarkastis bagi pemakai kedurung tapi tetap megal-megol. Lupakan soal dispute penghormatan terhadap yang berpuasa atau yang tidak. Ini lebih serius dari hal itu, karena menyangkut, katanya, dosa yang tak bakal terampuni, yaitu menyekutukan Tuhan. Parahnya lagi hal ini terjadi di lingkaran Tawaf, tanah tersuci bagi kaum muslim, kiblat bagi segala rupa sholat.
Ini adalah hari ke dua di Mekkah. Kami diberikan kelonggaran waktu untuk mengistirahatkan badan setelah semalam melaksanakan Umroh. Umroh yang seharusnya selesai sebelum Subuh harus mulur waktunya akibat ibu hilang di bukit Marwah.
Seusai sholat Ashar di Masjidil Haram, saya, bapak dan ibu tak pulang ke hotel yang hanya sejengkal dari tempat ini. Jarak yang demikian dekat memang menjadi godaan tersendiri bagi saya. Terbayang empuknya kasur hotel berbintang empat plus kemewahan bisa merokok di dalam kamar. Tapi tidak. Sore itu saya membulatkan tekad untuk satu dua hal.
Setelah mendudukkan kedua orang tua saya di tempat yang saya anggap aman, saya pamit ke bapak. Saya wanti-wanti ke ibu agar tak beranjak se-inci pun dari tempat itu. Kain sarung saya gulung ke atas agar langkah saya ringkas. Tas berisi 3 pasang sandal jepit, handphone dan kamera  tanpa cermin (pinjaman dari Mas Yusan) saya sandang dengan ketat. Saya tahu, medan yang saya hadapi tak akan mudah, bahkan bagi pria setrengginas saya.
Satu putaran melawan arah jarum jam saya gunakan untuk mensurvei keadaan. Cuaca panas, ribuan manusia tak henti memutari bangunan kotak ini. Baiklah, saya segera pasang strategi.
Mendekati Rukun Yamani untuk kedua kali, saya mulai mepet ke kiri. Pertarungan segera dimulai. Puluhan orang berjejal, memperebutkan hal yang sama, mencium Hajar Aswad. Bismillah…. Mantra ajaib segera saya rapal. Mantra itu ternyata tak cukup manjur. Tubuh saya terpental oleh tubuh-tubuh yang lain. Ya sudah, saya meneruskan langkah, bergeser ke kanan agar terhindar dari jebakan mematikan ini. Lolongan perempuan yang terjepit tubuh pria bukan muhrim tak saya hiraukan. Salah sendiri, pikir saya, siapa suruh nekad kayak gitu.
Ah.. saya melupakan satu hal. Multazam. Saya lihat tempat itu malah agak longgar, jauh berbeda dengan hajar Aswad. Mantra segera saya rapal lagi, bismillah… Ah, yang terjadi tak semudah yang tampak. Seorang perempuan bertubuh tambun menutupi langkah saya. Dia tampak kewalahan melawan muntahan arus manusia. Ketika dia menoleh ke belakang, saya langsung tahu bahwa dia berasal dari Indonesia.
“Mau saya bantu, Bu?”
“Boleh, Mas.”
“Maaf ya, Bu…”
Saya segera mendorong, maaf, pantat perempuan itu ke arah dinding Ka’bah. Sekitar dua menit saya tahan posisi tangan saya di pantatnya agar tubuhnya tak terhempas oleh lautan manusia.
“Sudah, Mas.. terima kasih,” ucapnya sembari terisak lalu bergeser ke kanan.
Ruang kosong yang ditinggalkan perempuan itu segera saya isi. Mendadak Ka’bah ini terasa kosong, tak ada seorang manusia pun  kecuali saya. Saya tak mampu mengingat berapa lama saya bertahan dan berdiam di Multazam. Hanya keputusan hati yang menyuruh saya pergi, ada ribuan manusia di belakang saya yang masih mengantri.
Target saya selanjutnya adalah sholat di Hijr Ismail. Bidang yang dipagari setengah lingkarang ini bak kamp pengungsian suku Rohingya. Tak ada sejengkal sudutpun tersisa, bahkan kursi roda pun masuk ke tempat ini. Seorang wanita Hindustan tampak meraung-raung sembari menciumi bibir Hijr Ismail. Dalam hari saya tertawa geli, apa iya dia harus sampai meraung-raung gitu? Okelah, terhanyut perasaan.. tapi masak sampai mencium tembok sedemikian membabi-buta gitu. Saya yang biasanya mudah terhanyut dengan tangis orang, kini berubah sinis.
Kesinisan saya kian berlanjut ketika saya berhasil mendapat tempat di dalam Hijr Ismail. Saya harus menunda sholat karena oleh sepasang muda-mudi  asyik bergantian foto di tempat ini, tepat di depan saya.  Masya Allah… gejala apa lagi ini? Yowes lah, Tuhan mungkin menciptakan beragam cobaan buat saya yang penuh dosa ini. Bahkan untuk sholat pun saya mengalami hal yang tak mudah.
Cukup dua rekaat dan sebaris doa pendek. Doa titipan dari teman-teman yang sudah saya catat di selembar kertas. Saya lalu meneruskan langkah, melangkahi jamaah yang memenuhi tempat ini. Saya masih punya obsesi, mencium batu Aswad.
Sudut Yamani telah lewat, saya kembali merangsek ke kiri. Kali ini saya tak sekedar melafadz niat bismillah. Saya dorong badan sekuat tenaga, menyibak sela-sela tubuh manusia. Sekali gagal, dua kali tubuh saya kian tertolak. Dalam hati saya berpikir, jangan-jangan batu itu tak menerima kehadiran saya. Ah, saya tak mau terlalu lama tenggelam dalam prasangka. Bismillah, celah sempit itu seolah terkuak dengan mudah. Maha Suci Tuhan, Penguasa hidup dan mati seluruh alam. Tangah kanan saya akhirnya bisa menyentuh batu dingin itu. Kesempatan itu hanya sekejap, sebelum akhirnya tubuh saya terhimpit dan tertolak ke luar lingkaran. Saya pasrah, tak melawan , tak pula bersikukuh pada ego. Saya biarkan tubuh langsing ini terbawa keluar dengan sendirinya. Saya tak pedulikan beberapa siku tangan manusia yang menyerempet wajah saya. Saya juga tak kuasa menolong, lagi-lagi, perempuan yang terhimpit badan-badan kekar. Salah sendiri, pikir saya.
Setelah menuntaskan niat, saya beristirahat sejenak di Maqam Ibrahim. Tempat ini menyisakan banyak ruang kelegaan. Saya berdiri menghadap Ka’bah. Bangunan berselimut kain hitam itu saya amati dengan seksama. Tiba-tiba seluruh tempat ini seolah terhenti, semua terhenti pada posisinya masing-masing. Tak ada suara apapun, senyap. Kain kiswah itu jatuh ke lantai marmer, meninggalkan Ka’bah dalam sebentuk bangunan telanjang, kotak, tersusun dari batu hitam. Seluruh mata memandang ke arahnya, tak berkedip. Saya dibawa terbang ke atasnya, mengitari pusaka Ibrahim dalam sekali tarikan nafas.
 Saya memandang ke bawah dengan rasa heran; apa yang dilakukan ribuan manusia itu? Berjalan mengitari bongkahan batu dengan beragam ekspresi penuh taklid, ratap, dan emosi. Bersikutan hanya untuk sekedar memuaskan ego sendiri sehingga tak hirau dengan keselamatan jiwa orang lain, bahkan ketika pemilik jiwa itu adalah sesosok perempuan.   Hati saya ditawar setan. “Met, lihatlah ke bawah sana. Apa bedanya mereka dengan kaum yang suka meratap di Tembok Ratapan? Apa bedanya dengan penyembah Latta dan Udza? Apa bedanya dengan mbahmu yang suka pasang sajen? Apa bedanya dengan penggila selfie di depan Eiffel? Sudah, jangan lama-lama berada di tempat ini, kembalilah segera ke bapak ibumu, mereka sedang membutuhkanmu!!!”
Saya tergagap. Ketika saya membuka mata saya sudah berada di depan orang tua saya. Ibu menyambut saya denga wajah kawatir.
“Kemana saya to, Le?”
Ngapunten, Bu. Tadi ke depan sebentar. Lho ini kok ada air zamzam sama kurma, dapet dari mana, Bu?”
“Itu lho, dikasih sama orang bertopi itu,” ujar bapak sembari menunjuk pria bertubuh gemuk berkaos oblong lusuh. Pria itu sedang berkeliling sembari membagikan segelas air Zamzam yang dia ambil dari kran terdekat.
Saya terkesima. Niat awal untuk minta difoto bareng bapak ibu dengan latar belakang Ka’bah saya urungkan. Dalam hati saya berpikir, jikapun saya tak mampu berbuat seperti pria bertopi itu, saya masih mampu tak selfie di depan Ka’bah.

Bandung, 15 Juni 2015.