|
Abiyyu dengan bukan bapaknya, tapi omnya |
Sudah
menjadi tekad kami berdua, sebisa mungkin anak-anak kami menempuh pendidikan di
sekolah plat merah. Pertimbangannya tentu ada, efisiensi biaya, kelengkapan
fasilitas dan yang paling penting adalah nrimo
dengan keadaan yang sebenarnya. Konsep nrimo
memang senantiasa kami pegang dalam kehidupan ini. Nrimo ing pandum (menerima
dengan keiklhasan) adalah pitutur
Jawa yang meletakkan kecukupan menjadi sebuah keputusan, bukan sebuah kondisi.
Seperti
jamaknya sekolah negeri, SMA tempat anak saya menempuh pendidikan menganut
sistem pengelolaan sekolah tanpa biaya. Namun apa daya, karena BOS dari
pemerintah tak cukup dan pemerintah daerah setempat tak mampu pula menyubsidi
kekurangan BOS, maka siswa masih dipungut SPP. Tak apalah, toh jumlahnya juga
masih manusiawi, “hanya” 300 ribu per bulan.
Jumlah yang menurut saya masih dalam ukuran wajar dan mampu saya
tanggung.
Tentu
bukan hanya soal bayaran yang menjadi sorotan saya kali ini. Kita semua tahu
lah, secara umum sekolah negeri memang sarat dengan aroma birokrasi yang serba
lamban, gemuk dan kurang terurus. Seperti kejadian Senen lalu, ketika kami
mendapat undangan untuk mengambil raport semester II. Dalam undangan
jelas-jelas tertera pukul 10.00 WIB. Ketika kami, saya dan nyonya, datang ke
sekolah pukul 10.30 WIB, ruangan kelas sudah kosong. Teman sekelas anak saya
yang sedang nongkrong di depan kelas mengatakan bahwa pembagian raport
dimajukan ke pukul 08.00 WIB karena sudah banyak orang tua yang datang. Bagus
sih, tapi mbok iyao kami yang datang
sesuai undangan ini tetap dinanti. Tak apalah, bukankah kami harus nrimo? Akhirnya kami diantar menuju ke
ruang guru untuk mengambil raport anak saya.
Ruang
guru itu terletak persis di samping ruang Kepala Sekolah. Saya menduga ruangan
ini dulunya adalah ruang belajar, mengingat ukuran dan rancangan arsitekturnya
tak beda dengan ruang kelas yang ada. Yang membedakannya adalah suasana di
dalamnya. Nyaris tak ada tempat kosong bagi tamu untuk duduk. Ketika wali kelas
itu mempersilahkan kami duduk, hanya saya yang bisa duduk, itupun di bangku
guru lain yang kebetulan sedang tidak berada di tempat. Nyonya saya suruh
berdiri dulu saja.
“Gimana
nilai anak saya, Pak?”
Seperti
biasa nyonya selalu penasaran dengan nilai anak-anaknya. Saya malah sibuk
menutupi baju putih yang terkena tinta pena tanpa sadar di kantor tadi. Asem tenan, nggak jadi ganteng maksimal
deh…
“Secara
umum bagus kok Bu. Abiyyu naik kelas. Hanya saja ada satu nilai yang kurang
memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)...”
“Waduh,
gimana dong, Pak? Mata pelajaran apa?”
“Bahasa
Inggris lintas minat, Bu. Saya juga heran, ini kok kecil sekali, apa Biyyu
nggak pernah masuk ya? Masak nilainya nggak sampai poin 1…”
Kalimat
terakhir itu merisaukan saya. Bukan soal nilainya, tapi soal attitude anak
saya.
“Pak,
kalo boleh tahu, bahasa Inggris lintas minat ini jadwalnya di luar jam sekolah
apa masih dalam range jam sekolah?” saya
menukasnya dengan segera.
“Oh,
masih dalam lingkup jam sekolah kok, Pak.”
Saya
tenang. Senakal-nakal Abiyyu, dia bukan tipe pembolos seperti bapaknya.
“Baik,
Pak. Apa mungkin ada kesalahan pencantuman nilai atau kesalahan teknis lain?”
“Bisa
jadi, Pak. Jangan-jangan malah tertukar dengan nilai temannya. Karena untuk
mata pelajaran yang sama yang bukan lintas minat, nilainya bagus banget kok. Ini
pasti ada yang salah..”
Glek…..
nrimo, Met… nrimo.
“Jadi
gimana dong solusinya, Pak? Misal nilai Biyyu di atas ini berarti dia kan nggak
ranking 15, kan? Bisa-bisa jadi ranking 3,” ujar nyonya dengan semangat. Saya tersenyum
simpul. Meskipun telah menjalani pernikahan selama 17 tahun ada perbedaan yang
tidak pernah bisa dan kami niatkan bisa diselaraskan.
Wali
kelas itu menyarankan kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan. Kami mengiyakannya.
Sayangya guru yang dimaksud sedang tidak berada di kantor.
“Satu
lagi, Pak. Gimana sikap dan perilaku anak saya?”
“Owh..
Abiyyu mah anaknya baik, Pak. Tidak aneh-aneh. Hanya kadang terlalu pendiam,
kayak cuek gitu dengan keadaan sekitar..”
Haha..
saya tergelak dalam hati. Bapaknya banget… Lho iya, sebelum mentertawakan
pernyataan saya tersebut, saya mau mengakui sesuatu. Sesungguhnya saya ini pria
pemalu, inferior, introver, soliter, dan enggan bergaul. Keadaan lah yang
kemudian mampu membuat saya seperti sekarang ini, percayalah.
Jawaban
wali kelas itu amat melegakan saya. Bagi saya, prestasi akademis itu non-sens
jika tanpa pondasi attitude. Pinter tapi gemar minteri, atau pinter tapi
suka keminter jelas bukan sifat yang
terpuji. Bagi saya penilaian terhadap sikap jauh lebih penting daripada
penilaian prestasi akademik hitam di atas putih. Anda hanya harus lihai
menyontek teman sebelah untuk bisa mendapat nilai A, tapi percayalah, kekuatan akting
Anda untuk bersikap baik tak akan bisa bertahan lama.
Ketika
akhirnya kami sampai di rumah, ucapan selamat langsung kami hamburkan
kepadanya. Ada waktu sejam sebelum harus kembali ke kantor, dan saya manfaatkan
untuk menyambangi tanaman sayur yang agak kelirwan
semenjak bapak saya pulang kampung. Saya sapa dan sirami bayam, pokcoy dan sawi
itu sembari mendengarkan campur sari Manthous.
Tiba-tiba
Abiyyu mendatangi saya. Dia pamit mau ke sekolah untuk menemui guru bahasa
Inggris lintas minat. Aha… pasti di dalam rumah tadi mamanya langsung menginstruksikan
hal tersebut. Saya yakin karena hafal dengan tabiat dan karakternya. Jangankan
ngurus nilai, ketika gitarnya dirusak oleh temannya saja dia tak berani
menuntut ganti rugi. Saya kembali asyik dengan petakan kosong di sebelah rumah
dinas ini.
Beberapa
jam kemudian ketika saya sudah di kantor, nyonya mengabari saya lewat pesan
pendek. “Pak, nilai kakak sudah diralat, jadi 3,5”. Saya balas pesan itu dengan
kalimat pendek, “Syukurlah, Ma.” Dalam hati saya berguman, “Mama sih nggak
percaya sama aku, urusan prestasi akademik mah nggak usah diragukan, pasti
bagus kok, kayak bapake.. Udah ganteng, pinter lagi…”
Bandung,
16 Juni 2016