Wednesday, September 23, 2015

TEGAKNYA SURAU KAMI

Mudik Lebaran lalu ada suntikan energi bagi saya pribadi. Di luar urusan menuntaskan rasa kangen ke keluarga besar, ada perasaan lain yang membuat kaki saya ringan menginjak pedal gas. Kabar gembira terbetik dari pelosok sana, tiba menjelang bulan Puasa. Renovasi masjid yang berdiri di lokasi bekas dhanyangan hampir rampung. Proses yang sempat terkatung-katung akibat kekurangan dana tersebut akhirnya terselesaikan berkat kemurahan hati para hamba pencari ridho Tuhan.
Siang itu saya diajak bapak nengok bangunan tersebut. Menaiki sepeda motor, saya memboncengnya melewati jalan menanjak curam di lorong desa. Jarak dari rumah bapak ke masjid itu sebetulnya hanya sekitar 600 meter, jika ditempuh dengan jalan kaki pun hanya perlu waktu sekitar 10 menit. Namun kondisi fisik bapak tak memungkinkan untuk berjalan kaki ke sana. Dengkulnya tak kuat lagi menjejak tanah sekian ratus meter. Dengan adrenalin yang bergolak, saya bonceng pria sepuh itu merambah tanjakan dan tikungan tajam di atas jalan beraspal yang mulai mengelupas, meninggalkan jejak berupa lubang menganga di beberapa bagian.
Tampak depan bangunan masjid. Bagian tebing belum dicor agar tak longsor
Tak sampai 5 menit perjalanan berat itu berakhir di sebuah halaman surau tersebut. Hari itu adalah hari terakhir puasa, sehingga suasana desa kami rada sepi. Para wanita pasti sedang sibuk di dapur, menyiapkan kendurian menyambut datangnya Idul Fitri. Dua sosok pria tengah duduk-duduk di teras yang sudah mengkilap berlapis keramik. Mereka adalah lek Solihin dan lek Larno.
Tampak depan teras masjid
Perasaan haru menyergap saya begitu memasuki bangunan seluas 150an meter persegi itu. Saya tak menyangka karut marut renovasi rumah ibadah ini selesai dengan cepat dan relatif tak menemui hambatan berarti. Proses renovasi yang memakan waktu hampir 5 bulan berjalan penuh energi. Semua tentu berkat, sekali lagi, campur tangan Tuhan melalui tangan-tangan yang amat ringan membantu kami dari sisi pendanaan. Total biaya sebesar 60an juta berhasil kami tutupi.
Padasan dan kamar kecil
Ketika akhirnya selesai memuaskan diri berkeliling di bangunan itu, saya mendapati ada  beberapa bagian bangunan dan sarana pendukung yang masih perlu dipoles lagi. Atapnya belum dilapisi plafon dan di sisi kanan bangunan masih berupa tebing setinggi 3 meter yang belum dicor sehingga rawan longsor. Selain itu saya mendapati onggokan kitab suci yang sudah tidak layak pakai karena usia. Beberapa bagian halamannya sudah rusak dimakan rayap.
Tampak samping bangunan masjid
Tampak dalam bangunan masjid


Atap belum diplafon


Saldo kas renovasi masjid
Kepada mbak Sumiyem, sepupu saya, saya berpesan agar saldo dana sebesar 5 juta yang dia pegang dianggarkan untuk hal-hal yang lebih penting terlebih dahulu. Masalah tebing yang belum dicor dan plafon sementara ditunda dulu sambil berharap kemurahan Tuhan lewat hamba-hambaNya.
Oya, kisah awal pembangunan masjid ini bisa dilirik di sini
Bandung, 23 September 2015

BELENGGU BIROKRASI

Saya baru lunas membelokkan mobil ke arah tol bandara Soekarno-Hatta, ketika ponsel saya berdering.
“Assalamualaikum, Ma. Mama sudah mendarat?”
“Sudah, Pak. Bapak dimana?”
“Masih di tol bandara, Ma. Tunggu ya.”
Detik berikutnya saya dilanda kegugupan. Jarak ke bandara masih lumayan jauh, sekitar 25 kilometer, sementara lalu lintas lumayan padat, padahal waktu telah menunjukkan hampir pukul 11 malam.
Ketika akhirnya mencapai Terminal II D, saya segera mencari tempat parkir yang sedekat mungkin dengan pintu keluar terminal kedatangan. Perhitungan saya adalah bawaan nyonya, bunda Heni dan Ibu mertua akan banyak sekali. Maklum, perjalanan Umroh pasti membuat tas mereka beranak-pinak.
Saya bersama dua anak saya segera menuju ke pintu keluar penumpang, tempat ratusan orang sedang berkumpul di situ, untuk tujuan yang sama, menunggu sanak saudara. Panggilan ke nyonya tak dia respon, sedang sibuk nunggu bagasi, pikir saya. Kami bertiga segera duduk di lantai ruang tunggu sembari saya kabarkan ke nyonya via chat bahwa kami sudah sampai di sini.
“Pak, aku laper, beliin roti dong,” pinta Abyan.
“Ya sudah, kalian tunggu di sini ya, bapak beli roti ke mini Alfa,” jawab saya sembari menuju minimarket yang terletak tak jauh dari tempat kami duduk.
Tiga potong roti dan segelas kopi yang saya bikin dari mesin pembuat kopi instant segera saya boyong ke kedua anak saya. Pada saat yang bersamaan tampak rombongan nyonya keluar dari terminal kedatangan. Anak saya segera lari menghambur ke mereka, sementara saya sibuk memegangi bawaan dari minimarket itu.
Setelah bersalaman dengan mereka, saya merogoh saku celana, mencari-cari kunci mobil. Empat kantong celana saya rogoh, kunci itu tak ada di sana. Saya panik. Saya interogasi kedua anak saya, apakah melihat atau memegang kunci tersebut. Mereka menjawab tidak tahu. Saya segera berlari ke tempat kami duduk tadi, tak ada juga.
“Gimana, Pak, belum ketemu kuncinya,” tanya nyonya dengan wajah letih. Perjalanan selama 9 jam tentu amat berat baginya. Apalagi ini adalah baru kali kedua dia naik pesawat terbang.
“Nggak ada tu, Ma. Adoooh, jatuh dimana ya…perasaan tadi bapak kantongin.”
Saya kian panik. STNK ada di dalam dompet yang saya jadikan gantungan kunci. Ditambah lagi, saya baru ingat, saking buru-burunya, karcis parkir ada di dalam mobil, tidak saya kantongi. Hal tersebut sebetulnya bukan kebiasaan saya ketika parkir mobil. Saya amat disiplin soal tersebut. Karcis parkir pasti saya kantongi di saku belakang bagian kiri. Pertimbangan saya, saku itu paling jarang saya jamah.
“Mama tunggu sebentar deh, bapak liat di parkiran dulu, siapa tahu kuncinya ketinggalan di dalam mobil.”
Saya segera berlari ke parkiran mobil. Begitu sampai di sana, mobil masih berada di tempatnya. Pintunya pun terkunci rapat. Dengan bantuan senter ponsel, karcis parkir itu tampak tergeletak di konsol tengah, amat kentara dari luar. Benak saya penuh rasa waswas, jika kunci itu ditemukan oleh orang jahat, dan dia berhasil menemukan mobil yang cocok plat nomornya dengan yang tertera di STNK, maka dia bisa melenggang keluar parkiran membawa mobil ini karena dia memegang dua kunci utama, STNK dan karcis parkir. Saya segera kembali ke keluarga saya yang masih menunggu di sana.
“Kalian pulang naik taksi aja ya, kuncinya belum ketemu. Bapak cari dulu di sini,” ujar saya dengan nada pasrah dan bersalah. Niat menjemput mereka jadi buyar gara-gara kunci mobil ketlisut.
Setelah mereka pergi, saya segera kembali ke samping mobil. Penjagaan fisiklah satu-satunya benteng terakhir keamanan mobil ini. Untuk beberapa saat saya tak mampu berbuat, bahkan berfikir apapun. Saya bisa saya mendobrak kaca mobil ini, tapi alarm pasti akan bekerja, dan saya juga tidak punya kunci cadangan. Kondisi saya kian buruk ketika ada peringatan bahwa ponsel saya lowbat. Saya juga tidak membawa power bank.
Koneksi data segera saya matikan agar konsumsi daya irit. Saya segera menghubungi adik saya yang tinggal di Bogor untuk mengabarkan kondisi saya. Kepadanya saya berpesan jika sampai besok pagi saya tak memberi kabar tolong susul ke sini. Setelah itu saya hanya bisa duduk termangu di samping mobil. Di sebelah saya tampak dua pria sedang ngobrol. Tampaknya mereka tengah menunggu seseorang. Saya timbul ide.
“Permisi, Pak, boleh minta tolong nitip mobil saya sebentar, kuncinya jatuh, saya mau lapor ke satpam dulu.”
“Oh iya, Mas. Kami masih lama di sini, kok.”
Saya segera berlari lagi ke pintu terminal tadi. Kepada petugas keamanan yang ada di situ saya utarakan masalah saya.
“Coba Bapak hubungi kantor kami. Kalo ada barang ditemukan biasanya disimpan di sana.”
Saya segera menuju ke kantor dimaksud. Ruangan itu sepi, perlu beberapa kali uluk salam sebelum akhirnya muncul sesosok pria yang tampaknya tengah tidur.
“Nggak ada kunci diserahkan ke sini, tu Pak. Coba Bapak hubungi pos polisi di lantai dua. Kadang diserahkan ke sana juga.”
Sembari berjalan ke pos dimaksud, saya terpikir satu hal.
“Permisi, Pak. Saya kehilangan kunci dan STNK mobil, apa ada yang menemukan dan menyerahkan ke sini, Pak?”
“Kapan hilangnya, Pak?”
“Kira-kira sejam yang lalu, Pak.”
“Nggak ada tu, Pak,” jawabnya sembari tetap meluruskan pandangan ke arah layar kaca yang ada di depannya.
“Kalo gitu, apa saya bisa minta tolong hubungi ke kantor parkir bandara agar mereka ngeblok parkir mobil saya sehingga nggak bisa keluar parkiran, Pak. Soalnya karcis parkirnya ada di dalam mobil,”
“Wah, kami nggak punya nomor telponnya, Pak. Bapak datang langsung saja ke sana. Tuh kantornya di samping pintu keluar parkir.”
Gleg… saya tercekat. Jawaban itu tak saya duga sama sekali. Untuk obyek sevital ini masak mereka tak saling punya nomor kontak.
“Atau barangkali bisa Bapak kontak ke mereka dengan HT, Pak. Saya kawatir dengan mobil saya.”
“Nggak nyambung juga HT kami dengan mereka, Pak.”
Tanpa berucap apapun, saya tinggalkan petugas itu dengan perasaan kesal. Saya kembali berlari ke arah mobil. Saya bernafas lega, mobil dan dua orang pria tadi masih ada di situ. Saya segera pamitan ke mereka untuk melanjutkan urusan.
Kantor operasional parkir bandara itu terletak di dekat pintu keluar parkir. Seorang anak muda menyambut saya dengan raut sumringah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Kepadanya segera saya ceritakan permasalahan yang membelit saya.
“Oh, baik, Pak. Saya bantu blokir nomor mobilnya biar nggak bisa dibawa keluar parkir. Untuk lebih amannya sebaiknya bapak hubungi sekuriti bandara biar ban mobil Bapak digembok.”
Saya turuti saran tersebut. Saat yang bersamaan ponsel saya sudah mati. Saya segera mendatangi seorang sekuriti yang sedang berjaga di tempat parkir. Dia segera mengontak kantornya untuk memanggil mobil yang membawa gembok raksasa.
Gembok yang biasa digunakan untuk menyegel ban mobil yang parkir sembarangan itu akhirnya dipasang di mobil saya. Saya juga harus menandantangi beberapa surat terkait hal itu. Barulah saya bisa bernafas lega.
“Kalo mau bikin laporan kehilangan STNK kemana, ya Mas?” tanya saya ke mereka.
“Ke Polres Bandara, Pak. Kantornya di deket ATC. Bapak bisa naik taksi ke sana.”
Saya segera mencari taksi. Meski dilanda letih yang luar biasa, pikiran saya mulai tenang. saya bahkan belum sempat mengabarkan apakah rombongan keluarga saya tadi sudah sampai rumah atau belum. Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dinihari.
Gerbang polres itu tertutup rapat, untunglah tidak terkunci. Tak ada satu orang manusiapun di pos penjagaan. Dengan langkah celingukan saya menelusuri sudut-sudut kantor untuk menemukan petugas. Akhirnya saya menemukannya di balik pintu yang setengah terbuka.
“Ada apa, Pak?”
“Mau lapor kehilangan STNK, Mas.”
“Tunggu ya, Pak. Bagian reserse sedang ke lapangan. Ada penemuan mayat.”
Gleg. Saya kembali tercekat.
Lima belas menit kemudian tiga orang berjaket hitam masuk ke ruangan itu sambil menenteng senter. Di pinggang mereka tersembul senjata api.
“Macem-macem aja, jam segini ada mayat,” ujar mereka dengan nada menggerutu. Saya diam terpekur.
“Ada apa, Mas?”
“Mau lapor kehilangan STNK dan kunci mobil, Pak.”
“Pinjam KTP sama fotokopi STNK atau BPKB-nya.”
“KTP ada, Pak. Kalo fotokopi STNK dan BPKB nggak bawa lah. Kan hilangnya di parkiran bandara.”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus melampirkan dua dokumen itu.”
“Terus gimana dong, Pak? “
“Lapor aja di pos polisi dekat rumah Mas sambil bawa dokumen itu.”
Dengan langkah gontai saya tinggalkan kantor gelap gulita itu, menuju taksi yang menunggu di luar pagar.
“Ke Halim ya, Pak,” ujar saya memberi perintah.
Sepanjang perjalanan ke rumah saya tak habis pikir dengan alur birokrasi dan lemahnya koordinasi di republik ini. Saya tak bisa membayangkan seandainya kejadian ini menimpa orang yang tidak lincah secara fisik seperti saya. Akhirnya saya tertidur sepanjang perjalanan.
Pagi itu saya bangun dengan kepala berat.  Saya juga masih dilanda kantuk dan letih. Siang itu orang tua saya mau pulang kampung setelah seminggu yang lalu pulang umroh bersama saya. Seharusnya orang tua dan mertua serta kakak ipar saya berangkat umroh bareng. Karena permasalahan penerbitan visa akhirnya keberangkatan mereka tak bisa berbarengan. Saya bersama orang tua berangkat duluan, sementara ibu mertua dan kakak ipar berangkat belakangan. Dengan pertimbangan tertentu akhirya nyonya ikut berangkat umroh bersama rombongan ke dua ini.
Setelah mengantarkan kedua orang tua ke terminal bus Pinang Ranti, saya bersama adik saya pergi ke pos polisi Cililitan untuk mengurus laporan kehilangan. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke bandara. Untuk mengantisipasi keadaan, saya juga mengajak tukang kunci yang mangkal di Cililitan. Jasanya mungkin akan saya perlukan untuk membobol pintu mobil karena saya tak punya kunci mobil cadangan.
Sebelum berangkat tadi nyonya berpesan agar saya mencari kunci mobil itu di minimarket tempat saya membeli roti dan kopi. Siapa tahu tertinggal di situ, katanya. Pesan itu setengah saya abaikan karena saya tak merasa membawa kunci tersebut ke situ.
Begitu tiba di bandara saya kembali mendatangi petugas yang berjaga di meja kecil dekat pintu keluar. Jawabannya tetap sama, tak ada penemuan kunci mobil. Saya segera menuju ke minimarket, hitung-hitung iseng saja, walau saya amat tak yakin.
Saya segera mengelilingi minimarket yang tak berapa luas tersebut. Tempat-tempat yang semalam saya sambangi tak menampakkan kunci mobil itu. Saya mampir ke kasir.
“Mbak, apa ada kunci ketinggalan di sini?”
“Ada, Pak. Kunci mobil ya? Nih…”
Jreng……!!!!!! Mata saya hampir meloncat dari kelopaknya. Di tangan gadis berambut ekor kuda itu tergenggam barang milik saya. Saya segera menyambarnya, memeriksa isi dompet dan menemukan STNK di sana. Kasir itu bercerita bahwa temannya yang shift malam menemukan dompet itu di dekat mesin pembuat kopi. Sampai akhir masa dinasnya pagi tadi tak ada seorangpun yang menghubunginya, makanya dia menitipkan barang tersebut ke penggantinya.
“Terima kasih, Mbak. Tolong saya titip ini ke mas yang nemuin dompet ini,’ ujar saya sembari menyelipkan uang tak seberapa.
Dengan langkah ringan saya segera menuju ke kantor pengamanan bandara untuk membebaskan belenggu roda mobil saya. Seiring dengan tergelincirnya matahari ke ufuk barat, belenggu seberat puluhan kilo itu dilukar dari roda mobil. Lukar pula kepenatan saya. Tukang kunci yang saya bawa dari Cililitan itu hanya duduk termangu sembari memegangi seperangkat alat pembobol kunci mobil.


Bandung, 23 September 2015.

Sunday, September 13, 2015

MARKETING ALA TUHAN

Di negeri gemah ripah loh jinawi ini, apapun bisa jadi topik isu sekaligus pengalihan isu.  Cakupannya bisa sangat luas, mulai dari kondisi rumah tangga seseorang, kebijakan pemerintah sampai urusan dengan Tuhan. 

Rasanya belum lekang dari ingatan tentang kontraversi pencalonan Jokowi jadi presiden dengan segala bumbu sedapnya, kini kita dilanda isu bencana robohnya crane tower di rumah Allah. Bencana yang merenggut ratusan nyawa itu disikapi beragam oleh manusia (Indonesia). Sikap yang ditunjukkan mulai dari pasrah, berdoa, sampai mengkaitkannya dengan kunjungan kenegaraan Jokowi ke Saudi Arabia, bahkan mengkaitkannya dengan konsernya band kafir, Bon Jovi di Jakarta. 

Sekedar mengkaitkan? Tidak, beberapa di antaranya dengan semangat mem-posting foto bencana tersebut dalam komposisi yang amat telanjang, tanpa sensor, menampakkan rupa yang sedemikian membuat miris siapapun yang melihatnya. Genangan darah memang bukan barang yang elok dipertontonkan ke khalayak umum. Genangan darah, bahkan darah binatang pun, identik dengan kekerasan, karena terkait dengan kelangsungan hayat makhluk bernyawa. 

Tentang bencana itu, mungkin sebagian orang bertanya, bahkan protes kepada Tuhan, kenapa hal itu terjadi di sana, bukan di Yerusalem, tempat musuh Islam berada, bukan di Amerika, sarang zionis menancapkan kuasa, atau ndak usah jauh-jauh, bukan di Sarkem, lokalisasi tersohor di Yogya? 

Kenapa Tuhan begitu tega kepada umat Islam sedemikian rupa? Jangan-jangan kita menyembah Tuhan yang salah, yang kuasaNya kalah dengan Tuhan yang lain? Lha iya, lha wong jangankan Tuhan, rasulnya yang agung saja tak pernah boleh digambar. Jangan-jangan selama ini kami dibodoh-bodohi suami Siti Khatidjah itu.... 

Masih yakin dengan kebenaran Islam? Tengok tesis berikut ini. Bukankah (katanya) Tuhan Maha Pemurah, yang berjanji akan mengabulkan doa hambaNya? Lalu kenapa kehidupan warga kampung saya di Wonogiri sana, yang notabene 100% beragama Islam, dari tahun ke tahun begitu-begitu saja? Kenapa Tuhan malah memperkaya kaum kafir yang sepanjang hidupnya bahkan menyapa Tuhan pun tidak? Bukankah kemiskinan dekat dengan kekufuran? Bukankah kemiskinan lah yang membuat mereka harus menggantungkan kesabarannya akan sebuah mushola dari para donatur? 

Ah, jangan-jangan kita terbuai marketing ala Tuhan. Yang begitu membius jiwa dengan janji surga, bukan nikmat dunia. Jangan-jangan kita meyakini sesuatu yang salah. Jangan-jangan suatu saat nanti kita hanya ketemu dengan sosok manusia berpostur tambun, duduk di singgasana kekuasaan, berdayang-dayang bidarari, dan dengan enteng menjawab "wallahu 'alam bisawab" ketika kita protes kepadanya. 

Selamat merenung. 

Jakarta, 13 September 2015

Saturday, September 12, 2015

KERANDA BUAT MEREKA

Adalah sebuah pagi beberapa jam sebelum kami sekeluarga kembali ke Bandung paska Lebaran kemarin. Mbah Modin memanggil bapak dan saya ke ruang tengah rumah kami. Saya segera duduk bersila di depannya. Pria yang dahulu gemar mencabut gigi dan mencukur rambut saya itu masih tampak sehat di usia senjanya.
“Gini kang Taman, mas Rianto, ada yang mau saya omongkan,” ujarnya membuka suasana. Saya sama sekali tak bisa menebak arah pembicaraannya. Bapak juga hanya diam di sampingnya.
“Kang Taman dan mas Rianto kan tahu, bandoso (keranda mayat) yang teronggok di pinggir sungai itu sudah nggak layak pakai lagi.”
Saya mulai bisa menduga-duga arah pembicaraannya. Ini bukan kali pertama saya berurusan dengan sarana pemakaman.
“Nah, sekarang aku pasrah sama mas Rianto. Saya percaya mas Rianto bisa mengupayakan pengadaan bandoso buat warga sini.”
Saya terdiam. Setahun lalu saya memang pernah nguda rasa ke bapak, menyampaikan niat bahwa jika ada rejeki saya mau membelikan keranda mayat dan alat pemandian mayat buat warga kampung saya. Bapak menyambut baik niat saya tersebut. Niat itu tak datang tiba-tiba. Saya prihatin dengan kondisi keranda mayat yang sudah usang dan mulai dilanda karat. Kondisi tersebut membuat sosoknya kian menakutkan bagi siapapun yang lewat di dekatnya. Ditambah lagi sekarang barang itu ditempatkan di pinggir sungai menuju kuburan, di bawah pohon durian. Sosoknya kian tersingkir saja, padahal fungsinya amat vital. Siapapun yang menemui ajal di seantero kampung ini akan menaikinya.
Niat itu memang masih sebatas niat hingga saat itu. Kedatangan mbah Modin pagi itu pun tak segera saya sanggupi. Kepadanya saya hanya bisa berjanji dalam bentuk usaha.
“Nggih, Mbah. Insya Allah saya usahakan. Siapa tahu Gusti Allah ngasih jalan ke saya.”
Pokoke saya percaya sama mas Anto. Lha wong mbangun mushola Puleroto aja bisa, masak mbeliin bandoso ndak bisa.”
Saya nyaris tergelak. Tentang pembangunan mushola Puleroto sudah berkali-kali saya tegaskan ke warga sini bahwa saya hanyalah pencari dana. Uang yang saya gelontorkan sebesar lebih dari 50 juta berasal dari para pencari surge yang mempercayakan amalnya lewat tangan saya. Apa daya, nama saya kadung tenar gara-gara aksi donasi itu.
“Njih, Mbah. Saya minta doanya, semoga niat baik ini lekas terlaksana,” jawab saya dengan nada lirih. Sejujurnya saya belum punya bayangan bakal mencari dana lewat sarana apa.
Selarik komen dari status Facebook yang saya posting beberapa hari setelah saya sampai di Bandung menyegarkan otak saya. Status itu tentang apalagi jika bukan tentang keranda mayat.
Kawan yang sedang menempuh pendidikan S2 di negeri Ratu Elizabeth itu bertanya, “Ada proyek baru ya, Mas?”
Saya tergelak kepadanya. Deretan percakapan lewat WA berikutnya tak terlalu bertele-tele. Sebentuk komitmen pendanaan telah saya dapat. Jreng…begitulah ketika tangan Tuhan sedang bekerja, yang terjadi maka terjadilah, tanpa bisa dicegah.
Perlu waktu hampir 2 bulan untuk mewujudkan kendaraan yang mungkin paling dibenci oleh umat manusia ini. Saya sendiri sempat was-was dengan molornya waktu penyelesaian keranda mayat itu.
Hingga akhirnya sore ini saya berhasil mendapatkan foto-fotonya, saya bernafas lega. Ada keharuan dalam benak ketika memandangi raut riang wajah mbah Modin dan bapak di depan keranda itu.
Dari ibu saya mendapat cerita bahwa beliau sempat menggoda mbah Modin dengan ucapan,”Tu, Mbah, pesenanmu sudah jadi. Mbah Modin mau nyobain?”
Mbah Modin hanya menjawab singkat, “Nggak masalah, Yu. Lagian bojoku yo wis mati.”
Mendengar cerita itu saya tercenung. Pria yang setiap sore mengajar ngaji di mushola depan rumah tampaknya sudah amat siap dengan kematiannya.

Bandung, 12 September 2015
Kini anak-anak kecil pun tak lagi takut dengan keranda itu


Penampakan keranda baru

Aktifitas pengajian anak-anak tiap sore di mushola kami

Friday, September 11, 2015

NGALAMIN NGATINA, LANTUN DOA YANG TAK BERUBAH

Kerumunan manusia itu duduk bersila di atas tikar daun mendhong. Posisi mereka itu kian merapat ketika aroma srundeng dan ayam panggang mulai merebak. Lek Jogotirto, sejatinya bernama Semin, adalah tetua dusun kami. Dia selalu diberi mandat untuk ngujudne (pembaca doa) setiap ada kendurian di kampung saya, pelosok Wonogiri sana. Tunggu dulu, bukan doa bernbunyi  “Robbana attinin fi dunya hasanah... “ dan seterusnya yang bakal dia lantunkan, tapi doa berbahasa Jawa, atau kami biasa menyebutnya dengan Ujud-Ujud. Saya menduga Ujud-ujud  mengandung makna sebagai  permohonan agar permintaan di-wujud-kan. Biasa lah, bukan orang Jawa jika tak pintar men-semiotika-kan keadaan.
Hebohnya lagi, sahutan jamaah kendurian bukan “Aamiin” (cara penulisan kata ini sempat menimbulkan perbedaan), tapi “Inggih/Nggih” yang artinya “ya, saya setuju.” Kata Nggih akan terucap dalam intonasi yang amat takzim, setakzim ucapan seorang hamba yang menerima titah dari sang raja. Atheis, komunis, tak beragama, kafir, atau apalah yang mungkin terbersit di benak Anda setelah membaca sepenggal tullisan saya di atas. Ndak apa-apa.
Selesai? Belum. Sesudah lek Jogo selesai mengimami Ujud-ujud, ritual kenduri akan dilanjutkan dengan pembacaan doa ala Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini seluruh warga desa Sidorejo beragama Islam, lho. Nakhoda doa pun beralih ke mbah Modin, yang nama aslinya Nasirun. Tentu mbah Modin bukan sosok sembarangan. Pengetahuan agamanya sangat linuwih. Dia adalah satu dari sedikit orang di kampung kami yang sudah menjalankan ibadah lima waktu. Maka dengan suara yang sedikit bergetar dan logat yang nJawani, dia mulai mengimami doa yang “benar” sesuai syariat Islam. Robbana ngatina fi dunya kasanah, wa fil akhirati kasanah wakina ngadabannar... dan seterusnya.
Syahdan lebaran tahun 2000, untuk pertama kalinya saya mengajak pasangan hidup saya mudik ke Wonogiri. Itu adalah tahun ke dua pernikahan kami. Seperti yang berlangsung hingga kini, menjelang Lebaran tiba, setiap rumah mengadakan kenduri. Nyonya saya terkekeh-kekeh ketika mendengar logat Jawa dalam doa berbahasa Arab tadi. Tak Cuma logat, cara pengucapannya pun sangat nJawani. Huruf ‘a pada kata ‘atina diucapkan “nga”, sehingga berbunyi “ngatina”. Pun ketika mengucapkan “robbil ‘alamin” menjadi “robbil ngalamin”.
“Mbah Modin habis ngalamin kejadian apa tu, Pa?” candanya kepada saya. Saya hanya menyunggingkan senyum tipis demi mendengar reaksi orang yang dari kecil dibesarkan di lingkungan yang lumayan agamis itu.
Bagaimana kondisi saat ini? Desa kami tetap terpencil, untuk menjangkaunya butuh persiapan fisik dan mental yang membaja. Jarak sejauh 80 kilometer dari pusat kota Solo harus ditempuh dalam waktu lebih dari 3 jam berkendara mobil. Anda harus melewati jalan beraspal namun sudah rusak berat sejauh 10 kilometer sebelum mencapai desa saya.
Lek Jogo telah tiada sejak dua tahun yang lalu. Tak ada pula yang meneruskan karirnya sebagai imam Ujud-ujud. Namun bukan karena kematiannya yang memunahkan doa ala Jawa itu. Islam telah merangsek dengan lembut di hati warga kami. Sosok kaum jorok, padasan yang berbau pesing dan ladang yang dibiarkan bero (tak terawat) pelan-pelan mulai sirna. Goirah beribadah dengan benar mewabah di desa kami. Bapak, Ibu dan kerabat dekat sudah mau sholat lima waktu. Tak ada lagi semerbak kemenyan di senthong tengah sebagai pertanda dibacakannya mantra kepada arwah leluhur, di bawah meja sesaji berisi makanan dan minuman kesukaan mereka.
Kendurian itu masih lestari hingga kini. Bahkan setiap mudik, tak peduli mudik dalam rangka Lebaran atau bukan, saya suka ditodong untuk mengadakan kenduri di rumah bapak. Ndak apa-apa, itung-itung nraktir tetangga kiri kanan makan enak, hehe. Setiap 35 hari sekali, malam menjelang hari kelahiran saya, ibu selalu mengadakan kenduri. Kali ini tidak dilangsungkan di rumah, tapi nampan nasi dengan lauk ala kadarnya itu diboyong ke mushola depan rumah.
Ujud-ujud yang penggalannya berbunyi “dulur papat limo pancer sing njogo ngrekso awakku iki, rewangono njaga keslametanku, kang lagi golek sandang pangan rino kalawan wingi kanggo ngibadah marang Gusti Kang Moho Kuwoso....” telah sirna, menyisakan doa ngatina dan seterusnya. Tak pernah ada protes atau diskusi mengenai logat dan cara pengucapan itu, apalagi menjadi kusir di ajang debat pernyataan Teuku Wisnu tentang bacaan Al-Fatihah. 

Tak sempat, tak peduli, bukan karena fakir ilmu, tapi lebih kepada menyalurkan energi untuk hal-hal yang tak bersifat khilafiyah atau kurang esensial. Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Welas Asih, itu mungkin pikir mereka.


Kantin Bandara Juanda Surabaya, 11 September 2015

Thursday, September 10, 2015

KIKI, SUMI, DAN KULKAS YANG TERBENGKALAI

Sekubit cerita tentang Kiki rupanya hanyalah pembuka dari deretan lakon di rumah kami. Kiki, usai kepergiaannya, meninggalkan seberkas cerita. Anak itu tak pernah kembali ke rumahnya. Hari-harinya berlanjut di jalanan Bandung. Entah dan celana itu gimana nasibnya. Kami hanya berharap, pemberian itu tak mencelakakannya.
Jumat pagi minggu lalu. Nyonya kalang kabut, daging ayam yang disimpan di lemari pendingin beraroma tak sedap. Walhasil pagi itu kami sarapan dengan menu ala kadarnya. Rupanya kulkas kami tak berfungsi. Lemari ajaib yang kami beli 15 tahun lalu itu memang sudah beberapa kali bermasalah. Permasahannya pun beragam, mulai dari yang sepele, matinya lampu indikator, hingga yang berat, seperti sekarang ini, tak mampu mendinginkan hawa.
Meski di pintu kulkas itu tertera stiker yang menjanjikan service gratis selamanya, saya tak pernah menggunakan fasilitas itu. Bagi saya fasilitas itu terlalu ribet dan costly.
Saya segera bertanya teman-teman sejawat tentang tukang service elektronik panggilan. Di Jakarta kami punya langganan, kang Min, yang rumahnya hanya sejengkal dari tempat tinggal saya. Tak lekas mendapat informasi yang dibutuhkan, saya mengakses padepokan Google. Clap, tak perlu 5 detik untuk menemukan orang yang saya cari.
“Ya, halo, selamat pagi,” sapa pria di ujung sana.
“Pagi, Mas. Bener ini tukang service elektronik?”
“Betul, Pak. Apa yang mau diperbaiki?”
“Kulkas, Mas. Jam berapa bisa datang?”
“Jam 10-an ya, Pak. Kebetulan teknisi lain sudah berangkat. Ini nunggu teknisi lainnya.”
Keren, pikir saya. Jawaban pria tadi menunjukkan kredibilitas entitas yang dia promosikan di internet, bukan sekedar tukang service rumahan ala kang Min.
Dua jam kemudian seorang pria datang menunggangi motor. Dia menyandang tas yang saya taksir berisi peralatan service elektronik. Pria itu segera kami arahkan ke kulkas yang telah mangkrak selama 2 hari. Kami lantas membiarkannya membedah lemari pendingin itu; saya sendiri memilih menyambangi kebun samping rumah.
Tak sampai sejam, pria itu meringkasi peralatannya.
“Ini, Pak. Sudah beres kulkasnya. Otomatisnya rusak, sudah saya ganti dengan yang asli. Harganya 400 ribu, Pak.”
“Ya sudah, yang penting beres, Mas.”
“Besok pagi kalo nggak dingin telpon saya, Pak. Garansi sebulan,” ujarnya sembari pamitan.
Dia juga berpesan agar segelas air putih yang ditaruh di freezer tidak dipindahkan ke tempat lain. Gelas tersebut difungsikan sebagai alat penguji kinerja lemari pendingin ini.
Keesokan harinya, ketika sedang didera pekerjaan, nyonya mengirim kabar bahwa air di gelas itu tak membeku. Dia juga sudah berinisiatif untuk menghubungi teknisi tersebut. Kepada nyonya teknisi itu berjanji akan datang secepatnya.
Sejam kemudian, nyonya memberi kabar yang kurang mengenakkan. Yang bermasalah ternyata kompressornya. Ah, dalam hati saya mengumpat. Ora beres orang ini, pikir saya. Kepada nyonya dia menjanjikan bahwa biaya perbaikan kompressor 500 ribu. Ya sudah lah, kepalang tanggung. 400 ribu untuk alat pemantik otomatis dan 500 ribu untuk perbaikan kompressor.
Kulkas itu terpaksa dinonaktifkan dulu karena perbaikan kompressor dilakukan di workshop mereka. Imbasnya jelas, nyonya tidak bisa lagi menyimpan logistik di lemari pendingn. Hal ini tentu mengubah pola belanja bahan lauk pauk. Mekanik itu menjanjikan waktu 2 hari perbaikan.
“Pak, di rumah ada warga baru, tp ceritanya lewat telp aja ya..” selarik pesan muncul di ponsel saya.
Dilanda penasaran, saya segera meneleponnya.
“Gini, Pak. Tadi kang Maman dateng ke rumah, nawarin pembantu..”
Saya mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
“Dia orang Purwakarta. Namanya Sumi, umurnya baru 20-an. Kabur dari rumahnya karena ribut sama suaminya. Dia tadi naik angkot dari Leuwipanjang, trus turun di seberang komplek. Dia nanya-nanya ke kang Maman, siapa yang butuh pembantu. Akhirnya dia dibawa ke rumah kita. Tuh orangnya barusan bantu kami masak.”
Jreng.....!!! tiba-tiba saya teringat bapak di Wonogiri sana. Sepanjang hidupnya beberapa orang asing pernah tinggal di rumah kami untuk jangka waktu yang relatif lama. Terakhir tahun lalu, sesosok perempuan senja sempat tinggal di rumah bapak selama hampir sebulan, sebelum akhirnya kembali ke keluarganya.
“Gimana nurut Bapak? Mama sih belum ngasih keputusan ke dia. Sementara ini hanya memberi tumpangan nginap barang semalam karena kok kasihan banget liatnya.”
Perlu beberapa saat bagi saya untuk memberi jawaban.
“Iya, Ma. Gini aja, suruh dia lapor ke pak RT, atau suruh hubungi orang tuanya, kasih tahu bahwa dia nginap di rumah kita. Jangan sampai kita dapet masalah, padahal niatnya nolong.”
“Iya, Pa. Katanya anaknya baru umur 11 bulan, tapi sudah nggak netek lagi, sih.”
“Ya, pokoke gitu deh, Ma.”
Saya menikmati ucapan terakhir itu. “Pokoke” adalah senjata pamungkas yang tak boleh dilawan oleh siapapun. Di situ letak taji saya sebagai pria, hahaha...
Pagi kemarin saya memulai aktifitas kedinasan di Surabaya. Tak seperti dugaan saya, meski sedang musim kering, Surabaya tak memanggang tubuh saya.
Setelah saling mengabarkan keadaan masing-masing, nyonya langsung menyampaikan laporannya.
“Pak, Sumi sudah mama suruh pulang. Mama pesen selesaikan masalahnya dulu, deh. Dan nggak usah dateng dulu, kalo butuh baru kita hubungi.”
“Ya, Ma,” jawab saya singkat.
“Terus tukang kulkas sudah dateng. Katanya kulkas kita nggak bisa dibeneri lagi. Dia nyerah. Duit 400 sudah dia balikin. Dia minta dibayar freon sama tenaga dia bolak balik.”
“Ya, Ma.”
“Trus dia dikasih berapa, Pak?”
Saya dilanda kehampaan ide, kosong. Semilir angin di masjid kantor ini membuat saya rada melayang.
“100 aja kali, Ma. Lha wong kerjaannya nggak beres gitu,” saya asal sebut.
“Nggak 50 aja, Pa?”
“Yo wes, terserah Mama, deh,” saya kian malas.
“Iya, Pa. Freon kulkas kita kan nggak masalah, kok disuruh bayar. Itu kemarin waktu ngelas juga keluar asep banyak banget, jadinya belakang kulkas item banget kena jelaga.”
“Iya deh, Ma,” saya menjawab sembari ngeloyor ke padasan. Waktu sholat Dhuhur sudah tiba sejam yang lalu. Siraman air suci ini seolah menjadi setip kisah Kiki, Sumi dan kulkas yang terbengkalai.

Surabaya, 10 September 2015

Thursday, September 3, 2015

Sepatu untuk Kiki

Siang itu terik melanda Bandung. Debu beterbangan dari jalan Soekarno Hatta yang membelah kawasan Buah Batu, tempat kami berdiam setahun belakangan ini. Seusai menyiangi gulma di halaman samping rumah dinas, saya leyeh-leyeh sebelum akhirnya tertidur pulas.
Suara obrolan mertua dengan seseorang di teras samping menuntun langkah saya yang masih sempoyongan, mendekat kea rah mereka.
“Nenek ngobrol sama siapa, Ma?” tanya saya kepada nyonya yang tengah menyetrika di ruang tengah.
“Nggak tau, Pak. Caknyo sih suaro budak kecik. Barusan bae kok ngobrolnyo,” ujarnya sambil tetap melakukan pekerjaan rutinnya. Sehari-hari kami memang menggunakan bahasa Palembang ketika bercakap-cakap.
Saya tertegun ketika melihat lawan bicara mertua. Seorang anak laki-laki berpenampilan lusuh duduk di lantai teras. Keringat mengucur deras dari dahinya. Nafasnya tersengal-sengal.
“Ini nah, Met. Dio tadi dikejer uwong, laju loncat lewat pagar tembok itu,” kata mertua sembari menunjuk ke arah tembok pembatas komplek rumah dinas ini dengan jalan Soekarno Hatta.
Komplek rumah dinas Kanwil Ditjen Pajak Jawa Barat I ini memang terletak di pinggir jalan besar nan ramai. Komplek yang terdiri dari 13 rumah ini pintu keluar masuknya hanya satu, langsung menuju jalan besar tersebut. Posisi rumah yang kami huni berada di paling pangkal, sehingga hanya sejengkal dari keramaian jalan tersebut. Pintu gerbangya terbuat dari plat besi. Setiap pukul 22.00 WIB pintu tersebut ditutup dan dikunci oleh penjaga yang ngepos di balik gerbang tersebut. Pagi-pagi gerbang itu dibukanya, dan dibiarkan terbuka hingga malam. Penjaga itu terkadang tidak berada di posnya, sehingga semua orang bebas keluar masuk gerbang tanpa ada pemeriksaan apapun.
Awal-awal tinggal di sini, pintu pagar rumah selalu kami gembok. Lama kelamaan kami bosan dengan ritual keamanan itu. Kami juga berprinsip, pada dasarnya semua orang itu baik, maka kami tak pernah kawatir ada orang yang tak diundang nyelonong masuk. Alhamdulillah sampai saat ini tak ada kejadian buruk menimpa kami.


Kiki bersembunyi di balik mobil dinas kami

“Kamu kenapa?” tanya saya kepada anak itu.
“Dikeroyok temen saya, Om. Mereka mau ambil sepatu saya.”
“Berapa orang yang ngejar kamu?”
“Empat orang, Om. Mereka sempat mukuli saya, trus saya lari ke sini. Tolong ya Om, jangan kasih tau mereka kalo saya ada di sini,” ujarnya dengan nada menghiba, ditengah nafasnya yang masih tersengal-sengal.
“Kamu ini siapa, sih? Rumahmu mana? Trus tadi mau kemana kok ketemu sama mereka?”
“Saya tinggal di Cibiru, Om. Kerjaan saya ngamen di Alun-alun, ini tadi mau ke sana. Di jalan ketemu sama mereka trus mereka ngajak tukeran sepatu. Saya nggak mau, akhirnya mereka mukulin saya.”
Awh… saya terdiam. Anak jalanan rupanya.
“Ya sudah, kamu sembunyi dulu di sini. Coba tak liat ke depan, mereka masih ada di situ nggak.”
Saya ngeloyor ke pinggir jalan. Pemilik bengkel servis dynamo yang kiosnya ada di balik pagar pembatas komplek mendekati saya.
“Nyari siapa, pak Slamet?”
“Ini, Mas.. Di rumah lagi ada anak sembunyi. Katanya habis dikeroyok 4 orang.”
“Oh iya, Pak. Barusan memang ada 4 orang anak-anak tanggung berkeliaran di sini. Karena tingkahnya mencurigakan, akhirnya saya usir. Mereka jalan ke arah Kiara Condong sana.”
Saya lega. Prasangka yang semula menyelimuti pikiran segera sirna. Kiki memang layak dibantu. Saya kembali ke rumah.
Di teras telah tersaji segelas air putih. Nyonya berdiri di samping Kiki.
“Kamu sudah makan, Ki?
“Sudah, Te, makasih.’
“Beneran? Kalo belum tak tak ambilin nasi.”
“Nggak, Te. Makasih, saya sudah makan.”
“Ambilin aja, Ma. Malu dia.”
Tak lama kemudian nyonya kembali ke teras sembali membawa dua tangkup roti tawar yang sudah diolesi selai.
“Ya udah nih, makan roti aja.”
Seperti yang sudah saya duga, anak berusia belasan tahun itu segera menyambar roti tersebut dan melahapnya.
“Kamu nggak sekolah, Ki?”
“Nggak lagi, Om. Dulu di pesantren tapi saya nggak betah.”
“Hahaha…  anak model kamu mana betah di pesantren..hahaha” gelak saya terhenti ketika nyonya menyergah.
“Bapakmu masih ada, Ki?”
“Masih, Te. Sopir angkot jurusan Cadas-Elang.”
Kami terdiam. Sebentuk lingkaran setan terhampar di depan saya. Kemiskinan, melahirkan keterbelakangan, lalu memunculkan kebodohan, sebelum akhirnya mendekatkan pada kemungkaran.
Kiki mencoba sepatu pemberian si Bungsu
Tiba-tiba nyonya memanggil anak bungsunya.
“Dik, sepatu adik ada yang sudah nggak kepake, nggak?”
Byan tergopoh-gopoh mendekat ke kami.
“Ada kali, banyak tu,” jawabnya dengan nada acuh. Anak bungsu kami ini meski agak temparemental tapi tak pelit berbagi. Dia segera membongkar tumpukan sepatu di rak. Tak hanya itu, dia juga menuju lemari pakaian dan kembali dengan bawaan sebuah celana pendek di tangan.
Kiki mencoba celana pendek pemberian si Sulung

“Nih, aku nggak pakai lagi, Ma. Kalo dia mau kasih aja.”
Detik berikutnya Kiki mulai mencoba sepatu dan celana itu. Ternyata ukurannya pas, kebetulan memang mereka seumuran.

“Ya sudah, Ki.. kamu aman kalo mau pulang. Mereka nggak ada lagi di depan.”
“Ya, Pak. Makasih ya Bu, Mas.”
Kami berempat mengiringi kepergian bocah itu dengan perasaan campur aduk. Ketika sosoknya menghilang di balik gerbang, saya segera memanggil anak sulung untuk bergabung bersama kami.
Bye...bye Kiki. Take care

“Nah, kalian tahu kan, kenapa Bapak sama Mama suka nyuruh kalian belajar yang rajin? Bukan untuk kami, tapi untuk kalian sendiri. Kami nggak mau kalian jadi seperti Kiki.”
Sore itu berlalu dengan cepat. Ubi rambat yang saya tanam seusai lebaran, bibitnya saya bawa dari Wonogiri, memanggil-manggil saya untuk segera menyiraminya. Ah, bi, ubi… seandainya kamu berakal seperti kami.

Bandung, 3 September 2015.