Gedung G Kampus STAN-Jurangmangu,
sekitar tahun 1993
Hari Minggu yang seharusnya menjadi
hari istirahat sembari bersih-bersih rumah kontrakan menjadi hari yang penuh
gejolak. Pagi itu di kampus kami diadakan pemutaran film dokumenter tentang
pembantaian Muslim di Bosnia. Ya sudah, selain memang menyukai tayangan yang
berdarah-darah, sebagai sesama muslim tentu saya harus berempati. Tidak dengan
berjihad di sana, cukuplah berkumpul bersama, memanjatkan doa, lalu menguatkan
keyakinan bahwa tragedi itu layak dipungkasi dengan menonton film bersama.
Kenyataannya memang kami berdoa
dengan khusyuk. Kami larut dalam perasaan geram dan tertindas, lalu berharap
doa itu segera dikabulkan oleh Sang Penguasa Alam Raya. Alhamdulillah, tragedi
kemanusiaan itu akhirnya usai pada tahun 1995. Manusia memang punya senjata
andalan ketika semua mesiu tak mempan melemahkah musuh secara fisik, yaitu
lantunan doa.
Jauh sebelum itu, di tanah Palestina
juga bergolak konflik serupa. Ada permusuhan yang berujung adu senjata. Ada
korban di pihak kami, kita, kalian. Maka selain kepergian para pria pemberani
yang terjun ke medan laga, kami semua berdoa dari Indonesia. Siapa yang
berharap saudaranya tertindas di tanah kelahirannya sendiri? Tak ada. Khotib
Sholat Jumat sering menyelipkan Palestina, Bosnia, India, dan banyak daerah konflik
lainnya dalam munajadnya kepada Sang Maha Kuasa. Jutaan manusia berdoa untuk
hal yang sama selamat bertahun-tahun, dari dulu hingga kini, tak putus harap,
karena hanya itulah yang mungkin tersisa agar kami tetap bisa hidup.
Paris, Sabtu lalu..
Kota mode yang terkenal dengan
menaranya itu mendadak diguncang teror. Ratusan nyawa melayang di ujung pelor
dan petasan mematikan. Dunia, setidaknya media, lalu bereforia, termasuk saya. Saya
sendiri bahkan tidak merasa punya tautan persaudaraan dengan para korban,
kecuali bahwa kami adalah sama-sama makhluk Tuhan, berjalan di bawah matahari
dan bulan yang sama, menghirup oksigen dari pabrik yang sama dan akan mati pada
alam yang sama. Tidak, tidak lebih dari itu. Tidak lebih dari rasa kasihan saya
pada lek Par*** yang minggu lalu mati di pohon Sengon Laut milik bapak di
kampung sana.
Lalu apakah saya, kami, sedang
berpihak pada kekafiran? Apakah rasa kemanusiaan harus kami pangkas? Apakah rasa
kearifan harus dihitung dari sederet angka statistik tentang jumlah korban, lokasi
kejadian, atau apapun itu? Saya memilih tidak. Bagi saya berdoa tanpa liputan
media seperti masa tragedi Bosnia itu sama dengan tak menamai domba yang saya
korbankan pada hari Idul Adha. Saya percaya, Tuhan tak pernah salah alamat.
Semarang,
16 Nopember 2015.