Tuesday, December 29, 2015

Fuad dan Nomor Hape yang Tak Pernah Ada

Papua, 24 Februari 2011
Pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Sentani, Papua. Jam tangan sudah saya sesuaikan dengan Waktu Indonesia Timur. Pukul 07.30 WIT pintu pesawat dibuka. Seusai penyambutan ala kadarnya di ruang VIP, rombongan bergerak meninggalkan bandara. Semula saya menyangka kami akan dibawa langsung ke Kanwil DJP Papua Maluku. Rupanya saya salah sangka. Mobil kami berbelok ke jalan sempit. 
Sebuah bangunan setengah jadi tampak diselimuti belukar, terbengkalai. Pak Singal, Kakanwil Papua Maluku, mengiring rombongan menuju bangunan itu. Kami diajak keliling di lantai dasar. Dia memberikan penjelasan kenapa bangunan ini mangkrak. Ah, rupanya ada masalah di proses pengerjaannya. Kelar berkeliling di bagian dalam, pria yang saya buntuti dari Jakarta ini beranjak memisahkan diri dari rombongan. Dia memotret sekeliling bangunan tersebut dengan ponsel pintarnya.
Kunjungan ke Jayapura - 2011
Rapat di Kanwil usai ketika Adzan Dhuhur berkumandang. Rombongan kami dijamu makan siang di lobi kantor, bukan di resto atau tempat makan sejenisnya. Saya mendengar selentingan bahwa pria ini memang tak terlalu suka merepotkan tuan rumah soal jamuan makan. 

Kelar makan, dia segera meninggalkan Kanwil, pulang lagi ke Jakarta. Atas ijinnya, saya meneruskan tinggal semalam di sini. Bagi saya kok agak konyol, jauh-jauh datang dari Jakarta mosok nggak nginap..
**************
Semarang, 22 Agustus 2013
Tak puas hanya mengunjungi Tempat Pelayanan Terpadu, pria itu minta ditunjukkan ruangan yang lain. Rombongan bergerak ke lantai atas. Seluruh Seksi dia sambangi dan pegawai yang berada di situ dia salami dan ajak bercakap barang sesaat. Pandangan pria itu tertumbuk pada sesosok anak ingusan yang sedari tadi tak jua berdiri dari tempat duduknya.
“Kamu siapa?” tanyanya sembari menghampiri anak berbaju biru itu.
Anak itu tampak gelagapan, namun tetap duduk. Kepala Kantor setempat segera menyuruhnya berdiri untuk menyambut uluran tangan pria itu.
Kunjungan ke Semarang - 2013
“Dia sedang PKL di sini, Pak,” papar sang Kepala Kantor.
“Baik-baik ya, bantu teman-teman di sini,” demikian pesan singkat pria itu.
**************
Suatu Tempat, 29 Desember 2015
Kedatangan saya ke tempat ini hanya untuk melepas penat setelah perjalanan jauh. Saya segera mencari bangku kosong dan memesan makan siang. Hidangan makan siang belum sempat tersaji ketika pandangan saya bersirobok dengan seorang pria berkacamata yang sedang duduk di seberang sana. Dia duduk sendirian, tampak sedang menikmati kopinya. Tak menunggu lama, saya segera menghampirinya.
“Hei, Met.. apa kabar?” dia duluan menyapa
“Baik, Pak. Bapak sehat?” saya menjawab sembari menyalaminya dengan takzim.
Lalu kami terlibat obrolan panjang, tak berjarak. Dia menuturkan kegiatannya selepas tak menjabat sebagai atasan saya. Saya menimpalinya dengan beragam cerita soal situasi kantor belakangan ini.
“Met, aku duluan ya, ada kerjaan lain.”
“Njih, Pak. Kalo diijinkan saya minta nomer telpon Bapak. Masak sudah kenal sekian lama tapi nggak punya nomer telpon Bapak”
Dia membacakan deretan angka, lalu saya simpan di phone book saya. Sebuah mobil menghampirinya. Dia masuk ke mobil itu dan berlalu dari hadapan saya. Sebuah sentuhan ringan membuat saya menoleh ke belakang.
“Pak, bangun. Sudah hampir jam 6, katanya mau main tennis.” Ah… padahal saya masih pengin berlama-lama menatap kepergiannya.


Bandung, 29 Desember 2015. Sebuah catatan kenangan tentang Fuad Rahmany.

Saturday, December 12, 2015

Piano di Masjid, Kipas Angin di Gereja

Dahulu, semasa kecil, saya akrab dengan banyolan bernada SARA semisal: kenapa di masjid tidak ada piano seperti di gereja? Jangankan piano, sandal saja ilang; atau kenapa di gereja Protestan tidak ada Patung Yesus? Karena takut kedinginan, dan sebagainya. Lelucon ini jika saya posting sekarang jangan-jangan berbuah petaka, rumah saya ditimpuki batu, atau setidaknya akun medsos saya jadi belanga penghakiman.
Tidak, saya tidak akan menulis tentang perbedaan akidah Islam dan Nasrani. Sebagai orang Islam, saya tak akan ngutak-utik keyakinan orang lain.
Oya, dahulu saya kira “sekte” dalam Islam itu hanya NU dan Muhammadiyah. Kenapa demikian? Semata-mata berangkat dari ke-cubluk-an pemahaman saya tentang ajaran agama. Di kampung saya, pelosok Wonogiri sana, memang tak ada pembawa aliran agama yang demikian mengakar selain dua itu. Pokoknya jika sholat Subuhnya memakai Qunut pasti NU, sedangkan jika tidak maka Muhammadiyah.
Begitu kuliah di STAN, saya terpana. Saya dilanda kekagetan budaya. Tiba-tiba ada teman yang sengaja men-DO-kan diri karena menurutnya gaji PNS itu haram. Tiba-tiba saya mendapati beberapa teman tidak mau salaman dengan lawan jenis, bercelana di atas mata kaki, panggilan Antum dan Ana, seruan jihad ke Bosnia-Herzegovina, hingga menurunkan ketua kelas yang beragama non Islam. Saya benar-benar terpana. Rupanya wajah Islam itu tak sesederhana NU-Muhammadiyah. Beberapa bagian diri saya menolak hal itu. Tiba-tiba agama sedemikian rumit dan susah serta ekstrim, sementara di sisi lain, sandal saya masih saya suka hilang ketika sholat jamaah di Mushola Al-Barkah milik Haji Sanian.
Hingar-bingar wajah agama ini luput dari perhatian saya ketika memasuki dunia kerja, sampai suatu hari saya mendapati kejadian unik, jika tidak mau dikatakan aneh, di KPP Menteng Dua. Teman sekantor kami setiap hari membawa air minum sendiri dari rumah. Baginya air minum yang disediakan kantor itu, meski sekedar air mineral, tidak layak dia minum karena sudah melebihi haknya. Baginya, sebagai seorang PNS, hak dia adalah sebatas gaji dan tunjangan, tidak termasuk air minum. Baginya, sesuatu yang di luar haknya adalah haram. Kian aneh ternyata teman ini bukan seseorang yang berjenggot, bercelana di atas mata kaki, berjidat hitam atau selalu sholat jamaah di awal waktu. Dia manusia yang “biasa-biasa” saja, masih bersedia salaman dengan lawan jenis atau bercakap sembari bertatap muka.
Lalu beberapa tahun belakangan, hari-hari saya kembali diwarnai dengan hiruk-pikuk pembahasan akidah. Paling sering tentu saja hukum pengucapan Selamat Natal, lalu belakangan soal Perayaan Maulid Nabi, dan entah esok tentang apalagi. Tentu saya tak bermaksud melewatkan pembahasan soal jenggot, pelayan toko berbusana Sinterklas, Jokowi-Ahok, antara jilbab dan jilbob, Sunni dan Syiah, Ahmadiyah, atau bahkan pajak versus zakat.
Manusia, dalam pemahaman saya, seakan tak pernah kehabisan energi untuk saling membenturkan pendapat dan keyakinan serta persepsinya soal ajaran kitab suci. Alih-alih mensyukuri perbedaan, manusia lebih suka mengumbar birahi pemaksaan pendapat dan penghakiman. Jika Anda tak sama dengan saya, maka Anda adalah kafir, demikian singkatnya. Duh, Gusti…. Lihatlah hambaMu ini, tak sekedar menduakanMu, mereka bahkan mengambil alih wewenangMu.
Saya tak hendak menyalahkan media yang berperan besar sebagai pengantar diskusi-diskusi keagamaan. Lha masak saya mau menghujat dik Mark Z, si pemuda Yahudi yang telah menyenangkan hidup saya dengan menyediakan Wall (tembok) untuk meratap kepada Gusti Allah. Atau, saya memilih mengabaikan posting yang meminta like dan share,  karena saya cukup tahu motif bisnis di balik posting-an bombastis dan provokatif. Sesekali  masuklah ke group diskusi di Fesbuk, di sana akan kita temui diskusi yang amat nggegirisi. Saya pernah masuk forum Indonesyiah, dan alamaak, bukan diskusi sehat yang ada di sana, tapi ajang saling menghujat dan misuh-misuh­ antar sesame manusia yang tak saling kenal. Pada akhirnya saya sendirilah yang harus menata hati, memilih mana yang bermotif bisnis dan mana yang pro bono publico.
Maka saya tak lelah untuk tetap menyuarakan perdamaian lintas budaya dan agama. Saya percaya Tuhan kita bersama punya maksud tertentu ketika memvonis Adam yang telah memakan buah Khuldi. Kehadiran Adam dan Hawa di muka bumi yang justru berangkat dari “kesalahan” adalah rahmat tersendiri bagi kita semua. Bukankah dari kisah pelacur dan anjing kehausan pun kita bisa belajar bagaimana bersikap baik kepada hewan yang nyata-nyata haram dagingnya dan najis air liurnya?
Maka bagi yang merayakan ulang tahun, rayakanlah dengan suka cita dan sewajarnya, karena di balik kesukaacitaan pasti terselip rasa syukur yang luar biasa atas anugerah umur dari Yang Maha Kuasa. Maka bagi yang merayakan Maulid Nabi, rayakanlah, tapi ingat, jangan sampai menutup akses jalan umum. Maka yang belum bisa menutup aurat dengan cadar, tetaplah berjalan dengan tegak, karena di balik jilbab ketatmu tersembul semangat untuk menata diri. Saya tidak akan bilang begini, percuma 10 kali naik haji jika masih suka narsis di depan Ka’bah, percuma tidak mau salaman bersentuhan, jika masih suka memuji-muji kecantikan istri orang lain.
Wassalam….

Bandung, 12 Oktober 2015

Wednesday, December 2, 2015

Topeng Koppig, Jubah MKD, dan Menyoal Muasal Nabi Adam

Panggung itu seolah tak terbendung, menampilkan drama yang amat sarat konflik. Sudirman Said, Menteri ESDM duduk di sisi yang saya taksir dekat dengan pintu masuk, menghadap jajaran Ketua Sidang; sendirian, lebih mirip pesakitan dibanding saksi kunci pembuka kotak Pandora.
Maka begitulah drama ini adanya, telanjang tanpa benang penutup. Anggota  Majelis Kehormatan Dewan DPR hari ini, sampai saat tulisan ini saya bikin, masih bersidang. Mereka mencoba menanggalkan jati dirinya sebagai politikus dengan cara mengenakan jubah ala hakim, jaksa atau pembela. Berhasilkah? Tak adil menilai hasil kerja mereka dari hanya yang tersaji hari ini lewat siaran langsung Metro TV dan Kompas TV. Hasil akhirnya mungkin masih panjang, berliku dan nyaris bisa ditebak. Hari ini kita hanya diberi sajian betapa mereka tetaplah politikus dengan agenda partai masing-masing. Hari ini mereka kian meneguhkan jati diri sebagai wakil partai bukan wakil rakyat, sebagaimana kodrat jabatan yang mereka emban.
Tengoklah kualitas pertanyaan mereka. Menyebut media yang harusnya Kompasiana saja politisi Golkar itu keliru menjadi Kompasmania. Lalu banyak pertanyaan yang didasarkan pada berita di media, bukan hasil pendalaman materi yang saya yakin sudah mereka terima sebelum sidang digelar.
Kelucuan dan kekonyolan itu bergulir begitu saja, sementara di satu sisi Sudirman tetap anteng dengan eksistensinya. Akuntan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ini tak menampakkan kegentaran dan keraguan sedikitpun ketika dicecar dengan pertanyaan yang provokatif. Memang nadanya sempat meninggi ketika dia merasa dituduh melanggar hukum atas dugaan upaya perpanjangan kontrak Freeport, namun beberapa saat kemudian senyumnya kembali mengembang. Dalam hati pria kelahiran pesisir Pantura ini mungkin menahan geli ketika integritasnya diragukan hanya dengan mempertanyakan statusnya sebagai anggota Partai Keadilan Sejahtera beberapa tahun silam.
Sebagai sosok menteri, Sudirman sadar bahwa ia hanyalah bawahan presiden. Maka segalanya tampaknya sudah dia siapkan dengan matang, sebelum membawa rekaman ini ke MKD. Dia pasti paham bahwa atasannya meski tampak plonga-plongo  punya kepribadian yang amat koppig dalam urusan martabat bangsa. Sudirman pasti sadar bahwa kunci yang ia genggam punya pengaruh yang amat akbar, tak hanya soal nama SN, tapi soal tabiat para pengejar rente di negeri ini.
Maka di balik euforia saya sebagai teman sealumni, sesungguhnya saya sedang kawatir. Di jaman kemerdekaan ini kebenaran rasanya malah susah ditegakkan. Nama-nama pengungkit tabiat durjana malah raib, diraibkan, atau setidaknya dikerdilkan dengan beragam cara.
Saya hanya kawatir, para pemakai jubah warna Merah Putih itu sampai harus mempersoalkan muasal nabi Adam yang diturunkan ke bumi oleh Tuhan justru akibat kesalahannya makan buah Khuldi, agar eksistensi Sudirman di depan sidang mereka tak bertahan lama.


Bandung, 2 Desember 2015.

Tuesday, December 1, 2015

4/39, Kegigihan sebuah Usaha dan Kemakrifatan seorang Dirjen Pajak

Kantor Pusat Ditjen Pajak, 16.00 WIB
Dua perusahaan travel Jakarta-Bandung menyatakan hal yang sama kepada saya, waiting list sampai pukul 19.00. Ya sudah, saya belok haluan, mencegat taksi, lalu menetapkan hati, naik bus Primajasa dari pool Cililitan.
Pukul 18.00 WIB bus bergerak, mengangkut kami berempat, saya dan 3 penumpang lainnya, tak mundur sedetik pun, tak menunggu hingga bangku terisi lebih banyak lagi. Sisa bangku sebanyak 35 buah dibiarkan tetap kosong melompong.
Bus Primajasa Jakarta -  Bandung hanya terisi 4 penumpang dari 39 kapasitas kursinya

Sembari menikmati camilan yang saya beli di kantin pool tersebut, saya mendengarkan celoteh kondektur soal hal ini. Kondektur bus bercerita bahwa memang beginilah kondisi okupansi penumpang di hari Senen - Kamis, amat senen kamis. Hingga rit ke-3, bus ini total hanya mengangkut 22 penumpang, masih shortfall 2 penumpang lagi untuk menutup biaya operasional BBM dan tol sebesar 1,7 juta per hari. Yang lebih membuat hati saya teriris adalah bahwa dengan kondisi tersebut, tak ada sepeser uang pun yang yang akan dia terima hari ini, karena rumus penghasilannya adalah total pendapatan tiket dikurangi biaya operasional dikalikan dengan 7,5%. Untunglah perusahaan masih menanggung makan dan minumnya setiap hari; tapi bukankah di rumahnya juga menunggu mulut-mulut lain yang butuh asupan makan dan minum?
Terminal Leuwipanjang, 20.45 WIB
Link berita di group chat online mengagetkan kantuk saya. Pak Sigit, dirjen kami mengundurkan diri. Wow.. dalam sejarah republik yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, mengundurkan diri dari jabatan bukanlah budaya yang populer. Meski mbah Harto pernah melakukan dan (mungkin) mencontohkan, tak ada aksi pengunduran diri setelahnya yang membuat saya tercekat selain pengunduran diri pak Sigit.
Tak beda dengan mbah Harto yang mundur lebih karena dipaksa keadaan, pak Sigit pun demikian. Media mengutip bahwa pak Sigit mundur karena merasa sisa waktu sebulan tak cukup membuatnya mampu menunaikan janji mengisi pundi-pundi APBN dari sektor pajak. Ya sudah, kita aminkan saja kutipan media tersebut sembari tetap berprasangka baik bahwa kutipan itu memang benar.
Saya hanya merasa sedikit "cuwo" dengan mundurnya beliau, kok ya ndilalah hari ini saya mendapat tugas ke kantor pusat. Seolah-olah kok mundurnya beliau itu karena faktor kedatangan saya. Perasaan itu membuat sendawa saya yang masih beraroma rawon dan jeruk anget traktiran adi lanang saya, Farchan, di kantin samping kantor tetiba hambar. Maafkan kakakmu yang tadi kamu sebut "Mas Eselon" ini ya Le.. aja kapok, rejeki bagiku, berkah bagimu.. aamiin.
Pak Sigit...
Saya masih ingat, seminggu lalu kita bersua di Bandung. Maaf njih, Pak.. di sela menunggu kehadiran Menkeu saya sempat memergoki Bapak tertidur di bangku ruang rapat, sebelum beberapa menit kemudian Bapak sigap bangun ketika adzan Magrib berkumandang. Tingkat kemakrifatan njenengan ternyata jauh di atas saya yang masih ecek-ecek ini. Lha gimana tidak, begitu terdengar adzan Magrib, alih-alih segera mengambil air wudhu, saya tetap melanjutkan obrolan dengan para kolega di lorong gedung pertemuan itu.
Hari ini kemakrifatan itu Engkau tunjukkan lagi kepada kami. Engkau memilih mundur dengan kepala tegak ketika dirasa himpitan sudah tak terelakkan. Engkau tanggalkan kursi yang memberimu penghasilan besar. Engkau pilih jalan makrifat, semakrifat kondektur bus Primajasa yang tetap konsisten menjalani pekerjaan, meski hari ini dia tak bisa memberi makan pada keluarganya.


Bandung, 1 Desember 2015