Tak
ada yang sederhana ketika menyangkut bodro (pindah rumah). Bongkar perabotan,
paking, angkut, bongkar lagi, tata, dan banyak yang tercecer bahkan hilang.
Belum lagi urusan mindahin anak sekolah, lapor RT, nyari warung sayur baru,
tukang gas, tukang jahit keliling, dan sebagainya. Itulah yang saya alami
setahun yang lalu. Capek? Pasti.
Dua
minggu pertama kami lewati dengan kulu-kilir (Bahasa Palembang: mondar-mandir)
mencari rekanan dapur baru. Mulailah satu per satu kami temukan. Gas dan beras
bisa diorder via telepon, tukang jahit keliling tak dikenal di sini, urusan RT
beres, tinggal urusan sayur. Kebetulan nyonya saya tidak bisa bermotor, pasar
jauh, ojek atau becak tak ada, sehingga harapan satu-satunya tinggal tukang sayur
keliling. Kami memang tak biasa belanja sayur di toserba. Meski mampu, rasanya
tak rela membayar seikat bayam seharga lima ribu.
Ajaib.
Hidup kami memang tak dilebihkan, tapi seolah senantiasa dimudahkan. Suatu pagi
pandangan mata nyonya menangkap sesosok pria sedang terbungkuk-bungkuk mengayuh
gerobak sayur. Aha... Wanita yang saya nikahi sebulan setelah kerusuhan Mei 98
itu segera memburu gerobak tadi.
"Mang,
jual sayur, ya?" nyonya saya seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Leres, Neng," sahut pria itu sambil
menghentikan kayuhannya.
Pria
bertopi itu lantas turun dari gerobaknya. Dari gurat wajahnya terlihat usianya
di atas 60 tahun. Senyumnya lebar, menampakkan giginya yang menguning. Mang
Sueb namanya.
"Priyogi sayur naon, Neng?"
Nyonya
gelagapan. Dua minggu di Bandung belum cukup bagi kami untuk belajar bahasa
Sunda. Lha wong melafalkan nama-nama daerah seperti Sekelimus, Kiara Condong,
Ciroyom aja masih suka keseleo lidah, apalagi ditodong dengan bahasa halus
seperti itu.
Demikianlah
selanjutnya, setiap pagi, kecuali hari Minggu, Mang Sueb menyambangi kami.
Kepadanya kami berpesan bahwa tak usah menunggu dibukakan pagar halaman, buka
saja sendiri, karena pagar itu tak pernah kami kunci. Derit pintu pagar pada
pukul 06.05 menjadi penanda kedatangan pria asal Pangandaran itu. Dalam
beberapa kesempatan saya ikut nimbrung nyonya di gerobak warna biru yang jadi
lapak dagangan tersebut. Saya kagum, gerobak besi ini ternyata memuat banyak
komoditi, mulai dari sayur mayur, daging, ikan, bumbu-bumbuan, serta
buah-buahan.
"Kalau
saya borong semua, berapa segerobak ini, Mang?"
"Ah,
Bapak aya-aya wae. Dua juta,
Pak."
Haaa..
saya terperangah. Semula saya pikir nilai dagangan Mang Sueb ini tak lebih dari
500 ribu.
"Bu,
punten. Ini jeruknya masem, nggak
usah dibeli. Besok aja saya carikan lagi yang manis," ujar Mang Sueb
kepada nyonya. Mang Sueb memang melayani pesanan apapun dari pelanggannya.
Kami, lagi-lagi, amat beruntung. Rumah kami adalah pelanggan pertama setiap
pagi sehingga nyonya bisa dengan radikal memilih sayuran.
"Pak,
punten. Tadi saya nanem labu siem di kebun Bapak. Udah ada tunasnya,"
ujarnya suatu hari. Dan memang benar. Di petakan samping rumah dinas ini telah
tertanam sebuah labu Siam. Saya terharu dengan inisiatif pak tua ini. Tanaman
itu sekarang sudah menjalar ke segala penjuru, dan Mang Sueb lah yang
memberinya lanjaran.
Dua
bulan lalu Mang Sueb pamit untuk tak berjualan selama seminggu. Mau pulang kampung,
katanya. Di antara kami memang timbul ikatan batin yang tak sekedar pembeli dan
penjual.
“Jangan
lama-lama ya Mang, susah saya kalo nggak ada Mang Sueb,” pesan nyonya.
“Sumuhun,
Ibu.” Pria tua itu segera mendorong gerobaknya keluar halaman.
Suatu
pagi terdengar bunyi ganjil setelah bunyi derit pagar rumah kami. Bunyi itu
mirip dengan alarm truk ketika dikemudikan mundur, "Nit...nit...niiiiiit."
Ah... saya terpana. Jika sebelumnya kendaraan tempur Mang Sueb adalah gerobak
tua, pagi ini berbeda. Bunyi nit nit tadi rupanya berasal dari gerobak
bermotor. Posisi duduk Mang Sueb pun sudah tidak di belakang gerobak lagi, tapi
berpindah ke depan. Maka pantat gerobaklah yang masuk terlebih dulu ke halaman
rumah kami.
Saya
bergegas mendekat.
“Waaaah…
keren nih, Mang. Kenapa ganti?” saya berkeliling mengitari sepeda motor merk
China yang telah dimodifikasi menjadi gerobak canggih itu. Electric starter,
gigi mundur, dan tentu tak harus mengeluarkan tenaga untuk mengayuh. Rak
sayurnya pun lebih apik. Rak itu didesain secara bersusun seperti laci,
sehingga bisa ditarik keluar. Saya geleng-geleng.
“Iya,
Pak. Saya sudah tua, sudah gampang capeeek.”
Saya
mahfum. Di usianya sekarang, seharusnya pria ini tinggal mengasuh cucu sembari
menjalani kegemaran. Sayang, kehidupan kadang berjalan di luar kehendak
manusia. Sebetulnya saya pengin bertanya kemana anak-anaknya, kenapa dia
biarkan pria selanjut ini masih berjuang mencari nafkah? Ah, niat itu saya
urungkan. Rasanya Mang Sueb bukan satu-satunya pria yang menjalani masa tua
dengan beban seberat ini. Saya lalu teringat pakde Yadi, dan pakde-pakde lain
yang kehidupannya mirip dengan Mang Sueb.
Seminggu
lalu saya pulang ke rumah dalam keadaan lapar berat. Tudung nasi segera saya
kuak. Sepotong lele tampak “ngglinding” di sana. Tak ada sayur, tak ada oseng,
menu kegemaran saya. Dan ini sudah berlangsung beberapa hari.
“Iya,
Pak. Mang Sueb nggak jualan,” kata nyonya menanggapi keluhan saya. “Apa dia
sakit ya, Pak?”
“Waktu
ketemu terakhir emang bilang apa, Ma?”
“Iya,
dia bilang badannya ngilu-ngilu semua, kayaknya encok. Mama liat memang mukanya
pucet gitu sih.”
Saya
terdiam. Rasa lapar itu menafikkan kekawatiran tentang kondisi kesehatan
rekanan dapur kami.
Tiga
hari lalu saya coba telepon Mang Sueb. Telepon selulernya tak bisa dihubungi.
Kami mulai was-was. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai perihal ini.
Semalam saya kembali mencoba meneleponnya.
“Assalamualaikum,
Mang. Mang Sueb sakit?”
“Wa
alaikum salam. Oh, Bapak ya….? Iya, Pak. Saya masih sakit.”
“Lho,
sakit apa, Mang? Sudah berobat belum?”
“Sumuhun,
Pak. Darah tinggi. Sudah berobat. Tapi masih disuruh istirahat dulu. Barang
seminggu lagi saya mungkin sudah bisa jualan.”
Nada
suaranya memang terdengar lemah. Seolah dia sedang menahan rasa yang berat. Kondisi
tersebut segera saya kabarkan ke orang rumah.
“Belanjalah
ke Griya, Ma. Masak suamimu yang pejabat ini dikasih lauk lele melulu.
Boseeeennn. Lama-lama bikin darah tinggi juga, tauk…”
Halaman
rumah kami masih dirundung sepi. Rumput teki yang tempo hari dicabuti adik saya
kini mulai bersemi kembali. Tunas teki itu seolah mengejek kami. Mengejek seisi
rumah yang tengah dirundung rindu pada Mang Sueb.
Bandung,
31 Maret 2015.