Intonasi suara khotib sholat Jum’at itu
terdengar gamang ketika membeberkan fatwanya.
“Jangan seperti agama sebelah. Mereka
menganggap nabinya sebagai Tuhan. Kitab yang mereka baca bukan kitab asli,
bukan Barnabas. Padahal di sana terkandung kebenaran tentang ke-Tuhan-an.
Sesungguhnya mengultuskan makhluk Allah itu dilarang.”
Saya bergidik mendengar kalimat barusan.
Bukan apa-apa, ceramah itu dikumandangkan dengan loudspeaker. Saya yakin sampai jarak 50 meter suara itu masih jelas
terdengar. Untunglah ini Indonesia, tempat dimana hanya berlaku dua larangan,
yakni merokok di pom bensin dan memakai alas kaki di dalam masjid.
Tidak, saya tidak sedang menjelek-jelekkan
sesama hamba Allah, pengikut nabi yang agung, Muhammad, saw. Saya hanya miris
dengan pola dakwah saudara-saudara seiman. Apa iya, masak iya kualitas dakwah
kita hanya secetek ini? Apa iya kita tetap bersikukuh membenturkan tafsir…
okelah bukan tafsir, tapi keimanan kita dengan keimanan tetangga sebelah?
Lamat-lamat saya jadi teringat peristiwa
puluhan tahun silam. Keluarga paman kami pindah keyakinan. Ketika masih seiman,
mereka memang bukan Muslim yang terbilang taat, sebutlah Islam KTP. Salah satu
anggota keluarga itu menderita penyakit gatal di sekujur kakinya yang tak
kunjung sembuh. Suatu hari datanglah pertolongan dari seseorang. Entah bagaimana
cerita detilnya, mereka lantas pindah keyakinan. Marah, malu, kecewa, mengutuk,
adalah sikap yang kami tunjukkan saat itu. Lama-kelamaan kami berpikir, kenapa
juga harus bersikap buruk ke mereka. Selama ini toh kami tidak pernah memagari
mereka dengan benteng yang hakiki kok. Kami hidup sendiri-sendiri, tak pernah
saling membantu ketika ada kesulitan.
Bicara soal agama memang tak lepas dari
soal tafsir. Bicara soal tafsir memang tak lepas dari soal perbedaan. Lha
gimana, wong soal Supersemar yang baru berusia puluhan tahun saja sampai
sekarang beredar beragam versi, kok.
Bukan, saya bukan bermaksud membuka
kemungkinan kepalsuan kitab suci agama manapun. Saya hanya mencoba membuka
kemungkinan bahwa biarlah kita berjalan dengan tafsir masing-masing. Soal keimanan
tak usah dibentur-benturkan. Nggak usahlah koar-koar soal keimanan orang lain
di pengeras suara.
Anda tahu Walang Sangit? Belalang ini hidup di sawah. Aroma badannya amat sangit bin wengur binti tajam. Meski demikian, jenis kewan ini amat lezat
dijadikan sambal. Menjijikkan? Bagi Anda iya, bagi kami tidak. Begitulah mungkin
analogi keimanan dalam versi seorang penggemar sambal Walang Sangit.
Bandung, 25 Maret 2016