Friday, March 25, 2016

Barnabas dan Sambel Walang Sangit

Intonasi suara khotib sholat Jum’at itu terdengar gamang ketika membeberkan fatwanya.
“Jangan seperti agama sebelah. Mereka menganggap nabinya sebagai Tuhan. Kitab yang mereka baca bukan kitab asli, bukan Barnabas. Padahal di sana terkandung kebenaran tentang ke-Tuhan-an. Sesungguhnya mengultuskan makhluk Allah itu dilarang.”
Saya bergidik mendengar kalimat barusan. Bukan apa-apa, ceramah itu dikumandangkan dengan loudspeaker. Saya yakin sampai jarak 50 meter suara itu masih jelas terdengar. Untunglah ini Indonesia, tempat dimana hanya berlaku dua larangan, yakni merokok di pom bensin dan memakai alas kaki di dalam masjid.
Tidak, saya tidak sedang menjelek-jelekkan sesama hamba Allah, pengikut nabi yang agung, Muhammad, saw. Saya hanya miris dengan pola dakwah saudara-saudara seiman. Apa iya, masak iya kualitas dakwah kita hanya secetek ini? Apa iya kita tetap bersikukuh membenturkan tafsir… okelah bukan tafsir, tapi keimanan kita dengan keimanan tetangga sebelah?
Lamat-lamat saya jadi teringat peristiwa puluhan tahun silam. Keluarga paman kami pindah keyakinan. Ketika masih seiman, mereka memang bukan Muslim yang terbilang taat, sebutlah Islam KTP. Salah satu anggota keluarga itu menderita penyakit gatal di sekujur kakinya yang tak kunjung sembuh. Suatu hari datanglah pertolongan dari seseorang. Entah bagaimana cerita detilnya, mereka lantas pindah keyakinan. Marah, malu, kecewa, mengutuk, adalah sikap yang kami tunjukkan saat itu. Lama-kelamaan kami berpikir, kenapa juga harus bersikap buruk ke mereka. Selama ini toh kami tidak pernah memagari mereka dengan benteng yang hakiki kok. Kami hidup sendiri-sendiri, tak pernah saling membantu ketika ada kesulitan.
Bicara soal agama memang tak lepas dari soal tafsir. Bicara soal tafsir memang tak lepas dari soal perbedaan. Lha gimana, wong soal Supersemar yang baru berusia puluhan tahun saja sampai sekarang beredar beragam versi, kok.
Bukan, saya bukan bermaksud membuka kemungkinan kepalsuan kitab suci agama manapun. Saya hanya mencoba membuka kemungkinan bahwa biarlah kita berjalan dengan tafsir masing-masing. Soal keimanan tak usah dibentur-benturkan. Nggak usahlah koar-koar soal keimanan orang lain di pengeras suara.
Anda tahu Walang Sangit? Belalang ini hidup di sawah. Aroma badannya amat sangit bin wengur binti tajam. Meski demikian, jenis kewan  ini amat lezat dijadikan sambal. Menjijikkan? Bagi Anda iya, bagi kami tidak. Begitulah mungkin analogi keimanan dalam versi seorang penggemar sambal Walang Sangit.
Bandung, 25 Maret 2016

Wednesday, March 2, 2016

LGBT dan Kerisauan seorang Pemuda Tampan

Kisah berikut adalah nyata, berdasar penuturan dari dua teman saya. Yang satu seorang gay, yang satunya lagi lelaki tulen.

Meski berasal dari sekolah yang sama, dulu kami tak saling kenal. Group chat-lah yang akhirnya mempertemukan kami dalam jalinan pertemanan. Sebut saja G, ia pria keturunan, posturnya berisi, gesturnya kemayu. Gaya bicaranya blak-blakan, hal yang akhirnya membuat saya berani menanyakan orientasi seksualnya.

"Aku gay, Met. Sejak kecil aku nggak pernah suka sama cewek," ujarnya di chating. "Bukan berarti aku nggak berusaha sembuh, aku pernah nembak cewek, lho." 

Ada kesenduan di balik penggalan kalimat tersebut. Dia juga mengaku kondisinya diperparah oleh penolakan cintanya kepada dua orang cewek. Tak sekedar penolakan yang dia dapat, tapi juga pelecehan, demikian menurut pengakuannya. Pelecehan pun harus ia terima akibat posturnya yang memang "lemu ginuk-ginuk". Sejak peristiwa itu dia memantapkan langkah, tak akan mencari kekasih dari jenis yang berlawanan.

"Aku menemukan kedamaian dalam pelukan pria, Met."
"Kenapa kamu nggak pengin menikah, G?"
"Wanita itu berubah setelah menikah, banyak tuntutan, belum lagi kekangan adat. Wis pokoke aku nggak bisa."

Ada nada keputusasaan di sana.

"Cuma aku nggak memungkiri kalo aku pengin punya anak dari benihku sendiri, Met."

Awh.... saya tercekat. Dia seolah bukan G,  pria yang tanpa beban. Pernyataannya merontokkan praduga saya selama ini, bahwa kaum LGBT ini tak peduli soal keturunan.

"G, apakah gay itu bisa nular?"
"Nurut aku nggak. Beda dengan kepepet lho ya, misal orang lagi di penjara terus dia em el sama temen sejenis. Setelah keluar mereka ya tetep balik ke cewek. Beda lagi kalo memang biseks. Eh, tau nggak, temen-temen kita beberapa ada yang biseks lho..."

Saya sengaja tak melayani ajakan gosipnya.
Pernyataannya soal penularan membuat saya bernafas lega. Setidaknya saya tak perlu terlalu kawatir dengan kedua anak saya. Kelegaan itu kian bertambah ketika dua malam lalu saya ngobrol intens dengan si sulung.

"Kamu nggak pacaran, Nak?"
"Lagi males, Pak. Ada sih yang lagi kudeketi, tapi nanti aja lah. Eh, Bapak tahu nggak, waktu kelas 1 kan aku pacaran sama R," tanpa saya minta dia nyerocos sembari menyebut nama teman sekelasnya. Temannya itu seorang wanita. 

Dengan si bungsu yang duduk di kelas 2 SMP saya lebih tak kawatir. Suatu hari teman-temannya ngumpul di rumah. Salah seorang dari mereka bercerita bahwa anak bungsu saya sudah nembak cewek sebanyak 4 kali, dan keempat-empatnya menolak semua...hahahaha

Beberap baris chat saya dengan G saya forward ke sohib saya. Ada alasan tersendiri kenapa saya melakukan hal itu. Dia termasuk golongan yang secara frontal menolak LGBT. Saya menghargai sikapnya meski tidak setuju dengan caranya. Jawaban yang saya terima beberapa saat kemudian membuat saya ketawa ngakak.

"Saya dulu juga nggak pengin nikah lho, Mas?"
"Kenapa?"
" Alasanya sama persis dengan temen Mas."

Oalah Le.....Le.... gantengmu setinggi langit, kepiwaian senimu seabreg-abreg, lha kok nikah aja takut....

Bandung, 2 Maret 2016