Friday, August 26, 2016

Pensiunan, Amnesti Pajak, dan Delusi seorang Provokator

Periode pertama Amnesti Pajak tinggal sebulan lagi. Tarif terendah sebesar 2% sebentar lagi akan berakhir dan naik menjadi 3% mulai Oktober nanti. Data terakhir menunjukkan bahwa peserta Amnesti Pajak sudah mencapai 17.829 orang dengan Uang Tebusan senilai Rp. 2,42 triliun.

Saat yang bersamaan muncul lah sebuah gelombang informasi yang berkembang biak di media sosial. Gelombang informasi tersebut bernada miring, bahkan menyoal keberadaan Amnesti Pajak. Jika semula isu terbesar program ini adalah gugatan ke Mahkamah Konstitusi, maka belakangan muncul modus baru, penggiringan opini publik.

Publik sedang digiring opininya bahwa Amnesti Pajak adalah dajal yang akan memiskinkan mereka dengan dalih uang tebusan. Amnesti Pajak adalah mesin keruk bagi penerima warisan. Amnesti Pajak adalah mesin pembunuh bagi para pensiunan PNS/ tentara, janda sebatang kara, karyawan (buruh) pabrik yang hidup dengan gaji pas-pasan, atau siapa pun yang pantas dan layak disebut kaum marjinal, sehingga atas dasar itu kemudian layak dibela dan ditampilkan sebagai sosok korban.

Saya amat miris dengan kondisi ini. Sebagai orang pajak, ketika bicara Amnesti Pajak, maka saya “hanya” sedang bicara soal 160 trilun, “secuil” rupiah dari target sebesar 1.300 triliun. Kami harus berjuang untuk 1.100 triliun yang lain, atau mari sama-sama kita bersiap menghadapi defisit anggaran yang kian lebar, ruang fiskal yang sempit, atau mandegnya laju pembangunan yang telah secara apik disusun oleh para dewa di atas sana.
Berulang dan berulang saya tegaskan soal tafsir Undang-undang Amnesti Pajak yang memang tak populer, bahkan di mata kami sendiri. Bahwa tujuan Amnesti Pajak ini adalah “memajaki” orang yang selama ini tidak tertib pajak, bukan memalaki para pensiunan PNS/ tentara yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan menyicil pondok boro. Nah, timbul pertanyaan dan nadanya sering provokatif, “Jadi sebagai karyawan saya bukan Subyek Amnesti Pajak dong, pak Slamet?”
“Mbahmu kiper!!!” jawab saya dengan sinis. Kesinisan saya bukan tanpa sebab. Sekilas pertanyaan tersebut amat sepele dan mudah menjawabnya. Padahal ada potensi jebakan di dalamnya.
Mari sama-sama kita analisis. Saya seorang karyawan. Atas gaji yang saya terima (tentu ini sudah dipajaki), saya bikin usaha kecil-kecilan, warung nasi contohnya. Usaha ini dijalankan oleh istri (saya). Selama ini SPT saya hanya menggunakan form 1770 SS, artinya saya hanya melaporkan penghasilan yang berasal dari gaji. Penghasilan dari warung nasi tidak pernah saya bayar dan laporkan pajaknya. Ini lah yang saya katakan sebagai potensi jebakan tadi. Istilah karyawan, pensiunan, janda, buruh, sering dijadikan bungkus bagi sebuah pengingkaran dan “gebyah uyah”. Parahnya lagi, sang provokator lantas mendompleng kendaraan ini sebagai tunggangan isu.

Jadi Sodara-sodara... Silakan ukur diri Anda masing-masing. Jika selama ini sudah merasa benar dengan pemenuhan kewajiban perpajakan yang Saudara tunaikan, jangankan Amnesti Pajak, Pembetulan SPT saja ndak perlu Saudara lakukan. Ngapain repot-repot mbetulin barang yang sudah betul. Amnesti ini pilihan, dengan “benefit” dan tanggung jawab yang mengiringinya. Ungkap, Tebus, Lega. Sesederhana itu. Ndak usah diperuncing dan terpancing, apalagi hanya oleh delusi seorang provokator.
Bandung, 29 Agustus 2016.