Sunday, January 15, 2017

Ira dan Adu Mulut yang Tak Seru

Babak baru Pilkada (DKI) sudah digelar. Jika selama ini ajang adu mulut mereka menggunakan saluran media dan tak saling bertemu, semalam ketiga Paslon dipertemukan dalam satu panggung. Judul acaranya adalah debat, tapi jangan terlalu berharap ada ketegangan dan adu pendapat yang sporadis. Panitia menghadirkan wasit yang tak hanya semlohai tapi juga amat galak, Ira Koesno. Untung lah Ira tak membawa peluit.
Kita tinggalkan Ira yang semalam mengenakan celana panjang ketat. Mari kita tilik apa yang terjadi di panggung megah itu. Meski saya adalah pendukung salah satu Paslon, saya berusaha tak akan beropini di sini.
Perhelatan semalam dibuka dengan paparan visi dan misi masing-masing Paslon. Paslon I (AHY-Silvy) mendapat kesempatan pertama. Sempat terjadi insiden kecil ketika AHY akan berdiri. Tampaknya kabel wireless clip-on nya lepas sehingga ia tak bisa langsung memaparkan visi misinya. Selama 2 menit ia bertutur tentang Jakarta. Kalimatnya lugas, tegas, tertata. Tampaknya ia amat hafal dengan apa yang akan ia katakan. Celakanya, irama bicaranya mulai terganggu ketika alarm tanda waktu tinggal 10 detik berbunyi. Alarm itu berdentang setiap detik, seolah sebuah panggilan kematian. Oya, AHY mengawali presentasinya dengan salam umat Islam, tapi tak mengakhirinya dengan salam serupa.
Paslon kedua (Ahok-Djarot) tak memulai presentasi dengan salam apapun. Ahok tak seperti orang pidato. Ia seperti sedang menjawab pertanyaan sehari-hari. Ahok mengklaim IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Jakarta 2015 78,99, atau kurang 0,01 untuk menyamai IPM dunia. Nada bicaranya tak terganggu oleh alarm penanda waktu.
Giliran terakhir adalah Paslon III (Anies-Sandi). Seperti biasanya, Anies bicara dengan tutur kata yang amat santun. Kalimatnya disusun dengan baik. Kampanye mengantar anak ke sekolah ia dengungkan lagi. Narkoba mendapat fokus khusus darinya. Cita-citanya adalah menghadirkan – sebuah diksi yang amat nyastra – kota yang maju, bahagia, aman, damai, dan bebas dari segala macam kriminalitas.
Ira belum juga selesai membacakan pengantar untuk pertanyaan kedua, ketika AHY sudah berdiri untuk mengambil gilirannya. Ira mencegah pensiunan mayor itu. Tak seperti sebelumnya, rupanya sesi kedua dimulai dengan paparan dari Paslon II. Kali ini Djarot yang berdiri. Politisi PDIP ini bertutur dengan nada yang amat kalem.
Giliran kedua dimiliki oleh Paslon III. Sandi berdiri, mencucap basmallah sebelum menyampaikan salam. OK-OCE (One Kecamatan – One Centre for Enterpreneurship). Tangan kanannya memeragakan secara luwes simbol program itu.  
Ira khilaf. Ia nyaris meneruskan ke pertanyaan ketiga, padahal Paslon I belum mendapat giliran menjawah pertanyaan kedua. Teriakan bernada protes segera terdengan dari pendukung Paslon I. Bukan Ira jika ia tidak lebih galak. Matanya “blalak-blalak” sembari mengangkat tangan kanannya. Semula saya mengira Silvy lah yang akan maju. Rupanya AHY lah yang tampil lagi. Ia bicara dengan irama yang cepat, sampai keseleo lidah ketika menyebut besarnya bantuan untuk RW.
Respon atas pertanyaan ketiga berjalan dengan datar. Yang menarik adalah pengakuan Ahok secara tak langsung tentang sosoknya yang tak santun. Yang menggelikan adalah ketika Ira mempersilakan seluruh pendukung untuk bertepuk tangan sebebas-bebasnya. Kasihan tangan para pendukung itu, mau digunakan untuk bertepuk saja harus menunggu komando.
Sesi ke dua seolah memberi angin kepada AHY. Pertanyaan tentang rasio dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi disambar dengan pembenaran akan hal itu. Ia menyampaikan ada 360 ribu atau 128 ribu keluarga miskin di Jakarta. Dua angka tersebut tak ada penjelasannya sehingga membingungkan. Ahok menanggapi dengan klaim berupa statistik DKI yang kian baik. Anis bermetafora. Ia mengibaratkan programnya AHY-Silvy sebagai ikan, Ahok-Djarot sebagai kail, dan program miliknya sebagai sebagai kolam.
Ketika sesi berikutnya adalah tanggapan, Paslon II menggunakannya untuk bertanya ke Paslon I dan III. Paslon III melalui Sandi bilang bahwa dalam dua minggu terakhir telah lahir 1.500 pengusaha baru hasil melalui program OK-OCE. Angka ini tentu perlu diuji. AHY mempertanyakan kenapa Paslon II bertanya, bukan menanggapi. Mungkin bagi AHY, pertanyaan bukan merupakan bentuk tanggapan. Hingga saat ini Silvy belum bicara sepatah pun.
Sesi ketiga secara spesifik membahas soal penggusuran. Anies tak secara tegas menolak penggusuran. Ia menggunakan istilah pembaharuan kota. AHY secara tegas tak akan menggusur. Djarot menanggapi pertanyaan panas ini dengan santai. Ia malah bilang bahwa pertanyaan ini lah yang ia tunggu, dengan demikian ia bisa memberikan penjelasan yang komprehensif soal penggusuran.
Setelah debat hampir berjalan satu jam, Silvi akhirnya maju. Ia membawa ketrenyuhan dari warga rumah susun. Anies menanggapi program Paslon II dengan mengungkap soal program Kampung Deret yang tak ada kabarnya lagi.
Ketika sesi tanya jawab antar Paslon dimulai, AHY menggebrak dengan pertanyaan sulit, bertanya soal perasaan Ahok terhadap orang yang tergusur. Lagi-lagi Ahok menyangkal bahwa yang ia gusur adalah pemukiman di aliran sungai. Silvi menanggapi hal itu dengan pertanyaan retoris tentang kemenangan warga Bukit Duri. Ahok kembali menanggapi dengan ajakan untuk mencerdaskan rakyat Jakarta. Terselip kata “jangan dibodohi” dalam pernyataanya.  Paslon III lagi-lagi bermetafora ketika membahas soal sistem transportasi. Nol rupiah adalah ongkos untuk pelajar Jakarta.
Debat mulai menarik ketika Anis dengan lugas mengatakan bahwa jawaban Silvi menarik tetapi tak nyambung dengan pertanyaannya. Tampaknya Silvi tak tahu kepanjangan Tim PORA (Pengawasan Orang Asing). Silvi berkilah bahwa ia memang belum menjawab pertanyaan Anis. Sesi ini juga diwarnai dengan kejutan ketika mantan Kepala Dinas Kependudukan DKI ini menunjukkan sesuatu yang dia ambil dari mejanya. Sebelumnya Silvi sempat merogoh kantong celananya. Jeng….jeng….. Kartu Satu Jakarta……!!! Silvi menglaim kartunya lebih sakti daripada kartu paslon lain. Tuduhan Ahok kepada Paslon I tentang ketidaktahuan mereka soal peraturan keuangan dibalas AHY dengan tanggapan bernada keras. “Ini masalahnya kalau pemimpin selalu curiga dengan rakyatnya sendiri,” ujar Agus dengan nada tinggi.
Tak hanya Paslon I, Paslon III juga “menyerang” Paslon II dengan pernyataan, “Makanya pak Basuki, jangan hanya kerja, kerja, kerja, harus punya gagasan…” Hal itu merupakan tampikan atas pernyataan Basuki bahwa program Paslon III bersifat teoritis. Sandi tampak menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Anis menyampaikan tanggapan tersebut. Wajahnya membatu.
Anis menyebut Alexis dalam jawabannya kepada Paslon I. Menurut Anis, pasangan petahana lemah soal prostitusi tapi tegas soal penggusuran. Anis mengatakan bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang selama 10 tahun, dimana pelanggar hukum malah didiamkan. Saya tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Anis. Anis juga menegaskan bahwa pihaknya akan tegas menindak siapapun yang melanggar hukum, termasuk pihak yang memaksakan pikiran.
Ketika ditanya soal program pendidikan, Ahok menjawab dengan data statistik, amat teknis. Ia menutup jawabannya dengan mengatakan bahwa perjuangannya menjadi gubernur bukan hafalan dan retorika. Anis memrogramkan penumbuhan karakter, jam belajar bagi seluruh pelajar, dan mengajak para profesional dan mahasiswa untuk turun ke kampung, menjadi pendamping bagi adik-adiknya. Sampai detik terakhir saya tak bisa menangkap program AHY soal pendidikan.
Dan tibalah pada pertanyaan terakhir. Jika Anda nanti terpilih menjadi gubernur, siapkah Anda untuk tidak tergiur menjadi Capres atau Cawapres 2019? Apa jawaban ketiganya? Tak ada jawaban tegas. Anis bilang bahwa amanatnya datang dari Prabowo dan Sohibul Iman. AHY bilang bahwa tujuannya adalah memenangkan Pilkada DKI. Tiba pada giliran Paslon II, Ahok tertawa kecil. Ternyata bukan dia yang akhirnya menjawab, tapi Cawagubnya.
Demikian lah debat malam itu. Ira terbukti tangguh bahkan untuk pria segagah AHY, segalak Ahok, dan sebijak Anis.

Salam damai.

Thursday, January 5, 2017

Parada, Sully, dan Sang Maha Adil di Balik Cakrawala

Penerbangan 1549 dari bandara La Guardia New York menuju Charlotte masih dalam posisi menanjak di ketinggian 3.200 kaki ketika serombongan burung menabrak burung besi tersebut. Tabrakan dengan hewan berukuran tak lebih dari sekepalan tangan itu mengakibatkan matinya kedua mesin Airbus A320. Sang pilot, Kapten Chesley B ”Sully” Sullenberger menjadi sosok pahlawan, karena berhasil mendaratkan pesawat di sungai Hudson dan menyelamatkan jiwa 155 orang yang ada di pesawat tersebut. Menjadi penyelamat ratusan jiwa tak lantas membuat Sully melenggang bebas. Karinya sebagai penerbang selama 42 tahun nyaris dikandaskan oleh National Transportation Safety Board (NTSB), lembaga semacam KNKT di Amerika sana. Keputusan Sully mendaratkan pesawat di sungai sempat dianggap salah oleh mereka. Setelah melalui penyelidikan panjang, pria kelahiran tahun 1951 menuai pujian dari masyarakat luas. Kisah heroik yang terjadi pada 15 Januari 2009 tersebut diangkat ke layar lebar oleh Clint Eastwood dan telah tayang sejak September 2016 dengan judul “Sully”.

Selasa, 12 April 2016. Tanah Nias basah oleh darah 2 pegawai Ditjen Pajak. Jiwa Parada dan Sozanolo tercerabut oleh penunggak pajak, Agusman Lahagu. Agusman tak terima tunggakan pajaknya ditagih oleh Parada. Alih-alih menempuh jalur hukum, Agusman menghabisi nyawa kedua aparat negara tersebut. 

Sembilan bulan telah berlalu sejak peristiwa muram itu. Pengadilan Negeri Gunung Sitoli telah menyidangkan kasus ini dan pada tanggal 9 Januari 2017 nanti akan memasuki jadwal pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Mencermati perkembangan yang terjadi selama persidangan, publik amat menanti keadilan bagi semua pihak. Persidangan yang telah berlangsung selama 9 bulan tentu bukan waktu yang pendek untuk sebuah penantian. 

Kita semua sadar bahwa peradilan adalah wilayah bebas pengaruh individu dan publik. Kita semua hanya berharap bahwa dua jiwa aparat negara yang telah terenggut tangan penunggak pajak itu tak melayang sia-sia, karena keduanya sedang “menyelamatkan” nasib 220 juta penduduk Indonesia. Kita semua berharap bahwa seorang pahlawan harus lah didudukkan sebagaimana mestinya, bukan diuji kredibilitasnya secara berlarut-larut, sebagaimana Sully, sang penyelamat 155 jiwa manusia. 

Sesungguhnya ada Sang Maha Adil yang menyaksikan drama ini dari balik cakrawala sana.

Bandung, 5 Januari 2017