Tuesday, March 7, 2017

Dengus Nafas Anak Seberang Sungai



Saya hampir menutup pintu gerbang ketika seorang murid muncul dari balik kelokan. Nafasnya mendengus, terengah-engah, pertanda ia habis berlari. Dua detik terlambat tiba,6 niscaya ia tak akan bisa mengikuti pelajaran hari ini.
“Maaf Pak Karno, saya hampir terlambat…”
“Kenapa, Le?”
“Sungai Nglulur banjir Pak. Saya terpaksa menunggu ada orang lewat agar bisa minta diseberangin.”
Batin saya berdesau. Anak sekecil ini harus berjuang sendirian melawan alam.
“Ya sudah sana, segera masuk. Kelasmu sudah dimulai.”
Saya bergegas menutup gerbang sekolah. Mendapat giliran sebagai guru piket mengharuskan saya punya peran ganda, memastikan kehadiran seluruh siswa sekolah dan menutup gerbang sekolah. Selain itu, hari ini saya tetap mengajar seperti biasa di kelas V.
*****
Sekolah ini bukan SD Inpres. Keberadaannya dimulai dari jaman penjajahan Belanda. Dahulu ini adalah Sekolah Rakyat, satu-satunya sekolah di bagian timur kecamatan Tirtomoyo. Dindingnya berupa anyaman bambu. Lantainya tanah berdebu. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, siswa yang piket harus menyirami lantai kelasnya masing-masing. Meja kursi belajarnya berupa bangku yang menyatu dengan meja, terbuat dari kayu Sonokeling yang amat berat. Penampakannya amat dekil akibat paparan debu dari lantai. Plafonnya juga terbuat dari anyaman bambu, dianyam dengan pola mirip “kepang”. Tak ada penerangan listrik sama sekali. Deretan gambar Pahlawan Nasional di dinding kelas tampak kusam dimakan usia.
Meski penampilan gedungnya amat memprihatinkan, sekolah ini menjadi favorit bagi penduduk sekitar sini. Pamornya amat moncer sebagai sekolah pencetak siswa berprestasi di jenjang lanjutan. Seorang wali murid, yang notabene juga alumni sekolah ini, bilang bahwa sekolah ini “asep”-nya tinggi. Ada aura gaib yang menyelimuti gedung sekolah ini, katanya. Saya tergelak saja.
Tak mengherankan jika siswa sekolah ini datang dari berbagai penjuru desa, bahkan banyak di antaranya datang dari desa seberang sungai. Bukan berarti di desa mereka tak ada sekolah serupa. Pemerintahan Orde Baru mempunyai program Wajib Belajar 6 tahun. Program tersebut mengharuskan anak usia 7 sampai dengan 12 tahun masuk sekolah dasar. Pemerintah memfasilitasinya dengan membangun ribuan sekolah. Sekolah inilah yang kelak biasa disebut dengan SD Inpres.
*****
Hari ini saya membawakan dua mata pelajaran, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Karena keterbatasan jumlah pengajar, maka setiap guru harus mampu mengajar berbagai mata pelajaran. PMP dan PSPB merupakan dua mata pelajaran yang serumpun, sehingga bisa dibawakan oleh satu guru.
Pintu kelas agak berderit ketika saya menguaknya.
“Selamat pagi, Paaaaaak…..!!!” seluruh kelas menyambut saya dengan salam sembari berdiri.
“Selamat pagi, Nak. Mari kita berdoa dulu sebelum mulai belajar.”
Seluruh kelas mendadak hening. Saya selalu menikmati momen seperti ini. Mengheningkan cipta adalah waktu tersyahdu saya untuk menyapa para pendahulu saya. Bayangan wajah mbah Tiyem, lek Kardi, om Marno, Mas Karyo mengerumuni saya. Orang-orang itulah yang membuat saya bisa bangkit dari keterpurukan masa lalu. Mereka tidak memodali saya dengan “emas picis raja brana” tapi hanya sepenggal nasehat.
“Thole Karno, bapak ibumu sudah nggak ada. Kamu anak paling besar, harus jadi “lanjaran” buat adik-adikmu…”
Nasehat yang didengungkan di telinga saya saat mengantar bapak ibu ke pemakaman hari itu.
Saya tergagap ketika Andi, ketua kelas V menyodorkan buku absen. Ritual doa tadi ternyata sudah selesai tanpa saya sadari. Genangan di pelupuk mata segera saya usap sembari membalikkan badan.
Saya menyelisik buku absen tersebut. Dua nama ditandai titik di samping kanannya, menandakan bahwa mereka tidak masuk.
“Andi, ini Warimin kemana? Ada Surat Ijinnya?”
“Nggih, Pak. Surat ijinnya di bagian belakang.”
Saya segera membuka selembar surat bertuliskan tangan tersebut. Warimin minta ijin tidak masuk karena ikut keluarga besarnya piknik ke Waduk Gajahmungkur. Saya terdiam. Semesteran sudah dekat dan Warimin masih banyak ketinggalan mata pelajaran. Lha kok malah nggak masuk untuk sekedar piknik, batin saya. Saya mengenal dengan baik keluarga anak tersebut. Rumahnya hanya seperminuman teh dari sekolah. Kehidupannya lumayan mapan untuk ukuran desa. Bapaknya memiliki lahan cengkih dan sawah. Meski demikian, kemajuan pendidikan tampaknya tak menjadi prioritas mereka. Tak hanya Warimin, kakak-kakaknya pun tak ada yang berprestasi. Tabiatnya pun kurang baik.
“Ada yang tahu kabar Lestari?”
“Lestari sakit, Pak. Kemarin sore saya ketemu kakaknya di pinggir sawah. Hari ini mungkin dibawa ke mbah Sono, dukun di dekat rumahnya.” Andi menjawab dari tempat duduknya. Anak buruh tani dari desa seberang sungai ini memang punya kemampuan di atas rata-rata. Meski rumahnya jauh, ia tak pernah telat tiba di sekolah. Sekolah baginya adalah hal yang menyenangkan, sebab ia nyambi berjualan makanan kecil bikinan neneknya. Ibunya sudah lama meninggal dunia.
“Yo sudah, mari kita doakan semoga Lestari lekas sembuh.. Anak-anak, keluarkan buku ulangan kalian. Hari ini kita coba kerjakan soal bab V.”
Kelas menjadi riuh. Saya memang senang memberikan test dadakan. Tujuannya agar anak didik saya belajar setiap malam. Di desa yang belum berpenerangan listrik ini, ketenangan malamnya mulai terkoyak oleh kehadiran televisi di beberapa rumah penduduk. Anak sekolah yang tadinya disiplin belajar, mendadak seperti menemukan mainan baru. Tayangan televisi membuat jam belajar menjadi berantakan.
Tiga puluh menit berlalu sejak mereka mulai mengerjakan soal. Saya segera menyuruh Andi mengumpulkan lembar jawaban. Jawaban pilihan ganda tersebut segera saya koreksi. Hasilnya akan saya sampaikan di hadapan mereka.
Sebatang kapur tulis saya raih dari sudut meja. Lima nama siswa saya tuliskan di papan tulis. Andi, Ciptono, Sutino, Masdim, Nurcahyo adalah lima siswa dengan nilai tertinggi. Kelimanya saya suruh berdiri di depan. Sebatang permen Cocorico pemberian jeng Ratri saya bagikan ke mereka. Saya memang membiasakan diri memberi hadiah kecil kepada siswa berprestasi.
“Nah, anak-anak… kalian bisa lihat sendiri bahwa prestasi kalian terukur dan dihargai. Prestasi kalian tidak tergantung pada jarak rumah ke sekolah, bukan dari kekayaan orang tua kalian.”
Seluruh kelas diam. Mereka tahu, gurunya sedang “medhar sabda”.
“Kalian lihat, yang rumahnya dekat denga n sekolah malah malas belajar. Yang rumahnya harus menyeberang sungai malah rajin dan berprestasi. Jadi jangan sekali-kali menjadikan jarak sebagai sandaran hidup kalian. Dekat atau jauh itu hanya soal bagaimana kalian menyikapi masa depan kalian sendiri. Bapak tidak “nggege mangsa”, tapi jangan-jangan kalo Andi rumahnya dekat sekolah malah nggak serajin dan sepintar sekarang.”
Tak ada satu suara pun terdengar kecuali bel pertanda pelajaran ini harus berakhir. Saya bergegas membereskan meja dan kembali ke kantor guru. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan pada jeng Ratri, terkait masa depan hubungan kami.

Bandung, 7 Maret 2017.