Friday, June 30, 2017

Selamat Jalan, Wo Muk

Api membakar ludes sebuah pondok seisinya. Tak ada perabotan berharga di pondok berdinding bambu itu. Satu-satunya yang berharga adalah penghuninya. Ia ikut terpanggang bersama papannya.
Ketika api berhasil dipadamkan dan jenazah berhasil dievakuasi, puluhan orang yang berada di sana sibuk berbagi cerita. Kami sekeluarga yang datang belakangan, tentu saja, penasaran dengan isi cerita seputar tragedi itu. Kami mendengar kabar itu dari adik kedua saya. Titik. Saat itu kami sekeluarga dan adik ketiga, Bowo, sedang makan mie ayam di desa sebelah. Aparat desa sudah hadir. Mereka menunggu aparat Kepolisian dan medis.
Di beberapa bagian, api tu sih menyala. Saya bertanya kepada beberapa orang, kenapa api itu tak dipadamkan hingga tuntas. Jawabannya klise, lokasi sumber air jauh.
Lokasi rumah ini memang agak terpencil dan berada di pinggiran kampung. Untuk mencapainya, kami harus berjalan kaki beberapa puluh meter, menaiki jalan setapak di bawah rumpun bambu. Tak ada penerangan apapun. Rumah yang terbakar itu mengandalkan penerangan lampu minyak. Genset sedang diambil untuk sumber penerangan darurat.
Saya turun ke jalan setapak itu. Di balik keremangan malam, saya mencopot sambungan saluran air minum yang melintas di situ. Saya memanggil kedua anak saya dan beberapa anggota Karang Taruna untuk bergabung bersama. Kami mengumpulkan air sedikit demi sedikit. Secara berantai, air itu kami bawa ke dekat rumah dan ditampung di sebuah tempayan. Air itulah yang menuntaskan pemadaman api.
Tak lama kemudian aparat kepolisian dan medis tiba. Mereka segera melaksanakan tugasnya, memastikan tak ada unsur kekerasan dalam tragedi ini. Saya membantu mereka menyingkap kain penutup jenazah dan memberi penerangan agar proses dokumentasi berjalan dengan baik. Aroma daging terbakar begitu kuat. Baru sekali ini saya mendapati kejadian seperti ini.
Sekonyong-konyong Singgih, ketua Karang Taruna mendatangi saya. "Mas, mengingat sikon seperti ini, apa tidak sebaiknya jenazah dikebumikan malam ini juga?" Di desa kami, menguburkan jenazah biasanya dilakukan siang hari. "Aku nggak bisa memutuskan, Nggih. Begini saja, kamu siapkan tim penggali makam, biar aku yang bicara dengan pihak keluarga."
Satu per satu keluarga dekat saya datangi dan ajak bicara. Mereka sepakat dengan usulan itu. Singgih segera saya suruh bergerak. Artinya, kami harus mencari genset untuk sumber penerangan di makam, kain kafan, dan proses pemulasaraan jenazah. Di desa kami tak mudah mencari genset di tengah malam seperti ini.
Titik baru selesai membantu pihak kepolisian dan medis. Ia tengah menyiapkan air untuk memandikan jenazah. Saat itu pemuka agama yang kami tunggu belum tiba. Di desa kami, perempuan ini memang dikenal sebagai anggota tim pemandi jenazah. Langkahnya segera saya cegah.
"Ndhuk, menurutku jenazah dengan luka bakar 100% seperti ini tak harus dimandikan. Lha apa ndak rontok semua nanti dagingnya?"
"Tapi tetap harus disucikan to, Mas?"
"Aku ngaji di gugel dulu ya."
Benar saja, menurut referensi gugel, jenazah bisa disucikan dengan tayamum. Saya berjanji akan mengkonfirmasikan hal ini ke pemuka agama nanti.
Saat yang sama, saya juga memonitor pencatian genset. Jika genset tak bisa didapat, maka kami harus mengandalkan obor bambu sebagai sumber penerangan. Semenjak listrik masuk, lampu petromak sudah tak ada lagi. Syukurlah genset didapat dari bapaknya mbah Teguh Sumedi.
Saya segera menyuruh Singgih untuk lapor ke Kades dan Kadus agar menurunkan tim penggali kubur. Istri saya yang berada di sudut kegelapan tampak membaca surat Yassin di ponselnya.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 ketika pemuka agama yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kepadanya saya utarakan hasil ngaji saya di gugel. Ia sepaham. Tanpa sarung tangan, ia segera menayamumi jenazah itu. Sungguh sebuah tindakan yang butuh nyali besar.
Selanjutnya jenazah itu diangkat oleh adik saya dan kang Waridi, Kadus Jarum, ke atas meja yang sudah dilapisi kain kafan 5 lapis. Lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan mental dua orang ini. Mengafani mayat dalam kondisi seperti ini tentu butuh modal yang tak sedikit. Saya hanya mampu merekam peristiwa langka ini dengan ponsel adik saya. Keranda jenazah yang sudah sejak setengah jam yang lalu diambil dari mushola di depan rumah bapak, segera digeser ke dekat jenazah yang telah terkafani. Tak lama kemudian jenazah itu dishalatkan.
Pukul 01.00 WIB jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Perjalanan menembus pekatnya malam itu hanya diterangi oleh puluhan obor bambu. Abyan, anak bungsu saya, berkomentar, “Baru sekali ini Pak dapet pengalaman seperti ini.” “Sama, Nak,” jawab saya sembari mempercepat langkah. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pemakaman yang berjarak sekitar 700 meter tersebut. Kami sekeluarga tidak ikut ke pemakaman. Kepada Singgih saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasinya atas kerja kerasnya bersama anggota Karang Taruna Chandra Muda.
Ketika hari sudah terang, saya ajak Bowo untuk mencuci keranda yang sudah digeletakkan di dekat padasan mushola. Sekali lagi, hal ini adalah pengalaman pertama kami. Kepadanya saya ceritakan keseruan kisah semalam. Saya yakin dia iri karena tak bisa ikut nimbrung, sekaligus bersyukur karena ia amat penakut.
Selamat jalan, Wo Mukiyem, semoga njenengan husnul khotimah, aamiin.

Wonogiri, 30 Juni 2017