Api membakar ludes
sebuah pondok seisinya. Tak ada perabotan berharga di pondok berdinding bambu
itu. Satu-satunya yang berharga adalah penghuninya. Ia ikut terpanggang bersama
papannya.
Ketika api berhasil
dipadamkan dan jenazah berhasil dievakuasi, puluhan orang yang berada di sana
sibuk berbagi cerita. Kami sekeluarga yang datang belakangan, tentu saja,
penasaran dengan isi cerita seputar tragedi itu. Kami mendengar kabar itu dari adik kedua saya. Titik. Saat itu kami sekeluarga dan adik ketiga, Bowo, sedang makan mie ayam di desa sebelah. Aparat desa sudah hadir.
Mereka menunggu aparat Kepolisian dan medis.
Di beberapa bagian,
api tu sih menyala. Saya bertanya kepada beberapa orang, kenapa api itu tak
dipadamkan hingga tuntas. Jawabannya klise, lokasi sumber air jauh.
Lokasi rumah ini
memang agak terpencil dan berada di pinggiran kampung. Untuk mencapainya, kami
harus berjalan kaki beberapa puluh meter, menaiki jalan setapak di bawah rumpun
bambu. Tak ada penerangan apapun. Rumah yang terbakar itu mengandalkan
penerangan lampu minyak. Genset sedang diambil untuk sumber penerangan darurat.
Saya turun ke jalan
setapak itu. Di balik keremangan malam, saya mencopot sambungan saluran air
minum yang melintas di situ. Saya memanggil kedua anak saya dan beberapa
anggota Karang Taruna untuk bergabung bersama. Kami mengumpulkan air sedikit demi
sedikit. Secara berantai, air itu kami bawa ke dekat rumah dan ditampung di
sebuah tempayan. Air itulah yang menuntaskan pemadaman api.
Tak lama kemudian
aparat kepolisian dan medis tiba. Mereka segera melaksanakan tugasnya,
memastikan tak ada unsur kekerasan dalam tragedi ini. Saya membantu mereka
menyingkap kain penutup jenazah dan memberi penerangan agar proses dokumentasi
berjalan dengan baik. Aroma daging terbakar begitu kuat. Baru sekali ini saya
mendapati kejadian seperti ini.
Sekonyong-konyong
Singgih, ketua Karang Taruna mendatangi saya. "Mas, mengingat sikon
seperti ini, apa tidak sebaiknya jenazah dikebumikan malam ini juga?" Di
desa kami, menguburkan jenazah biasanya dilakukan siang hari. "Aku nggak
bisa memutuskan, Nggih. Begini saja, kamu siapkan tim penggali makam, biar aku
yang bicara dengan pihak keluarga."
Satu per satu
keluarga dekat saya datangi dan ajak bicara. Mereka sepakat dengan usulan itu.
Singgih segera saya suruh bergerak. Artinya, kami harus mencari genset untuk
sumber penerangan di makam, kain kafan, dan proses pemulasaraan jenazah. Di
desa kami tak mudah mencari genset di tengah malam seperti ini.
Titik baru selesai membantu pihak kepolisian dan medis. Ia tengah
menyiapkan air untuk memandikan jenazah. Saat itu pemuka agama yang kami tunggu
belum tiba. Di desa kami, perempuan ini memang dikenal sebagai anggota tim
pemandi jenazah. Langkahnya segera saya cegah.
"Ndhuk,
menurutku jenazah dengan luka bakar 100% seperti ini tak harus dimandikan. Lha
apa ndak rontok semua nanti dagingnya?"
"Tapi tetap
harus disucikan to, Mas?"
"Aku ngaji di
gugel dulu ya."
Benar saja, menurut
referensi gugel, jenazah bisa disucikan dengan tayamum. Saya berjanji akan
mengkonfirmasikan hal ini ke pemuka agama nanti.
Saat yang sama,
saya juga memonitor pencatian genset. Jika genset tak bisa didapat, maka kami
harus mengandalkan obor bambu sebagai sumber penerangan. Semenjak listrik
masuk, lampu petromak sudah tak ada lagi. Syukurlah genset didapat dari
bapaknya mbah Teguh Sumedi.
Saya segera
menyuruh Singgih untuk lapor ke Kades dan Kadus agar menurunkan tim penggali
kubur. Istri saya yang berada di sudut kegelapan tampak membaca surat Yassin di
ponselnya.
Jarum jam telah
menunjukkan pukul 23.00 ketika pemuka agama yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
Kepadanya saya utarakan hasil ngaji saya di gugel. Ia sepaham. Tanpa sarung
tangan, ia segera menayamumi jenazah itu. Sungguh sebuah tindakan yang butuh
nyali besar.
Selanjutnya jenazah
itu diangkat oleh adik saya dan kang Waridi, Kadus Jarum, ke atas meja yang
sudah dilapisi kain kafan 5 lapis. Lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan
mental dua orang ini. Mengafani mayat dalam kondisi seperti ini tentu butuh
modal yang tak sedikit. Saya hanya mampu merekam peristiwa langka ini dengan
ponsel adik saya. Keranda jenazah yang sudah sejak setengah jam yang lalu
diambil dari mushola di depan rumah bapak, segera digeser ke dekat jenazah yang
telah terkafani. Tak lama kemudian jenazah itu dishalatkan.
Pukul 01.00 WIB
jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Perjalanan menembus pekatnya malam itu
hanya diterangi oleh puluhan obor bambu. Abyan, anak bungsu saya, berkomentar,
“Baru sekali ini Pak dapet pengalaman seperti ini.” “Sama, Nak,” jawab saya
sembari mempercepat langkah. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai
pemakaman yang berjarak sekitar 700 meter tersebut. Kami sekeluarga tidak ikut
ke pemakaman. Kepada Singgih saya menyampaikan ucapan terima kasih dan
apresiasinya atas kerja kerasnya bersama anggota Karang Taruna Chandra Muda.
Ketika hari sudah
terang, saya ajak Bowo untuk mencuci keranda yang sudah
digeletakkan di dekat padasan mushola. Sekali lagi, hal ini adalah pengalaman
pertama kami. Kepadanya saya ceritakan keseruan kisah semalam. Saya yakin dia
iri karena tak bisa ikut nimbrung, sekaligus bersyukur karena ia amat penakut.
Selamat jalan, Wo Mukiyem, semoga njenengan husnul khotimah, aamiin.
Wonogiri, 30 Juni 2017