Hajat memotret di Pulau Lengkuas
sudah hampir usai. Kami tiba di sini pukul 05.00 WIB tadi pagi. Perjalanan
selama setengah jam kami tempuh dengan menggunakan perahu motor kecil. Begitu
mendarat kami dimanjakan dengan pesona alam yang luar biasa. Langit biru
membentang tersaput awan putih tipis di ujung cakrawala, air laut tenang tanpa
gelombang, adalah sebuah perpaduan yang amat diharap oleh setiap fotografer
lansekap. Kami merasa puas berhasil mengabadikan berbagai sudut pulau ini. Tiba
semenjak fajar membuat kami berhasil mengabadikan sun rise di ufuk timur sana.
Selepas momentum sun rise, kami
lantas berpencar mencari sudut lain di pulau ini. Sudah lama saya tidak berburu
foto lansekap. Energi saya serasa tercurah tanpa lelah.
Hari telah menunjukkan pukul 12.00
WIB. Kami semua sepakat untuk istirahat. Makan siang telah tersaji di depan
kami. Lauknya berupa ikan laut dan udang yang baru saja matang dimasak. Makanan
yang terhampar di atas pasir beralaskan terpal plastik itu lantas ludes
tersantap.
Ada satu obyek lagi yang belum kami
jamah, yaitu pemandangan alam dari puncak mercu suar. Lengkuas memang sebuah
pulau yang terletak di barat laut Pulau Belitung yang di tengahnya terdapat
mercu suar. Berdasarkan data yang ditulis di dinding bangunan, mercu suar itu
dibangun tahun 1882. Pemerintah Hindia Belanda membangunnya sebagai rambu bagi
kapal yang berlayar di daerah itu. Perairan sekitar pulau Lengkuas memang tidak terlalu dalam dan
terdapat banyak batu berukuran besar mencuat ke permukaan laut. Jika tidak
dilengkapi dengan mercu suar, kondisi ini tentu saja membahayakan pelayaran.
Meski sudah berusia lebih dari seabad, bangunan setinggi 50 meter ini masih
berdiri dengan kokoh dan berfungsi dengan baik.
Semilir angin laut di tengah terik
siang itu memancing datangnya kantuk kami. Tiba-tiba terbersit ide di benak
saya.
"Mas Eko, mau ngopi
nggak?"
"Boleh, Mas. Aku kopi item
yaa..."
"Sip. Yang lain mau
nggak?"
"Udah pesenin semua aja,
Bey..." kali ini Eka yang menyergah.
Teman yang satu ini baru bergabung
bersama kami pagi tadi. Sebuah urusan bisnis memaksanya tidak bisa berangkat
bersama kami kemarin siang.
"Aku nggak usah dipesenin, Met.
Wis gak bisa ngopi lagi, " ujar mas Harris.
Pria pemenang lomba Salon Foto
Indonesia kategori olah digital tahun lalu ini rupanya punya masalah yang sama
dengan saya, maag. Yang membedakannya adalah saya masih nekad ngopi sementara
dia tidak.
"Okay... Lima kopi hitam sama
dua kopi putih ya...," ujar saya sembari berlalu.
Tujuan saya adalah komplek bangunan
mercu suar itu. Mercu suar itu dikelilingi oleh bangunan berbentu huruf U.
Komplek bangunan seluas 1.500an meter persegi itu ditunggui oleh tiga pria
dewasa. Mereka adalah pegawai Kementerian Perhubungan. Di dalam komplek
bangunan juga tersedia toilet umum bagi para pengunjung. Airnya bersih.
Jumlahnya pun relatif cukup, sehingga fasilitas itu dirasa cukup nyaman bagi
pengunjung. Selain itu, bagi pengunjung yang mempunyai nyali dan fisik yang
kuat, bisa naik ke puncak mercu suar. Syaratnya cukup membayar retribusi 5.000
rupiah dan membersihkan kaki terlebih dahulu. Segala alas kaki harua
ditanggalkan sebelum memasuki mercu suar. Ini semata demi kebersihan bangunan
itu.
"Bang, kopinyo maseh ado?"
"Maseh.. Nak berapo?"
"Limo kopi item samo duo kopi
putih ye..."
Pria paruh baya itu lantas menyeduh
kopi pesanan saya. Dia adalah salah satu penunggu mercu suar ini. Berjualan
kopi dan mie instant rebus adalah pekerjaan sampingannya. Saya bercakap
dengannya menggunakan bahasa Melayu. Belitung memang didominasi oleh dua etnis
besar, yakni Melayu dan Tionghoa.
Pandangan mata saya tertuju pada
mercu suar itu. Saya berdiri sejauh 5 meter dari pintu masuknya. Di depan pintu
masuk berjajar empat pasang alas kaki. Jumlah itu sekaligus menandakan berapa
jumlah pengunjung yang saat ini berada di dalam mercu suar. Hati saya bergolak,
sekaligus bimbang. Peperangan sedang terjadi di sana. Perang antara saya
melawan ketakutan saya sendiri. Peperangan itu segera saya pungkasi dan saya
menangkan. Saya bergegas kembali ke tempat dimana teman-teman berkumpul.
"Aku mau naik ke mercu suar,
siapa yang mau join?" ujar saya setibanya di tempat mereka lagi
Tak satupun dari mereka bertujuh
menyambut ajakan saya. Keletihan, sudah pernah melakukan sebelumnya, dan
kondisi fisik yang tidak memungkinkan menjadi alasan mereka.
"Aku nitip body kamera aja ya Bey. Nanti fotoin," sahut Eka dengan nada
mengejek. Dia termasuk orang yang pernah naik ke puncak mercu suar itu.
"Pret... Kalo mau nitip memory card aja," jawab saya
sembari bersungut-sungut.
Saya bergegas megganti lensa 16-35
mm dengan lensa fisheye milik Eka.
Dalam hati saya berguman, barang apa yang tidak dimiliki kawan ini...
"Yo wis, aku naik dulu ya.
Pesanan kopi nanti dianter."
Dengan langkah berderap saya menuju
pintu mercu suar. Sebelum masuk, alas kaki saya tanggalkan persis di depan
pintu masuk. Selembar uang 5.000an saya masukkan ke kotak kayu yang terletak di
sebelah kanan pintu masuk. Bawaan saya hanya sebuah kamera dan tas pinggang.
Saya memang sengaja meminimalkan beban. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya
menaiki menara. Pada tahun 2010 saya bersama mas Yusan, mas Rindhang, mas
Ikhsan, Arief, Ari dan Hendra pernah menaiki mercu suar di Bangkalan Madura.
Ketinggiannya relatif sama. Yang membedakannya adalah kesendirian saya. Itulah
yang membuat pecah peperangan tadi.
Lantai Dasar Mercu Suar |
Pelan tapi pasti saya melangkah ke
dalam mercu suar. Penerangannya hanya mengandalkan sinar matahari dari dua buah
jendela. Begitu menginjakkan kaki di lantainya saya terhenyak. Lantai bangunan
yang terbuat dari semen ini basah. Saya edarkan pandangan ke sekeliling ruangan
untuk mencari sumber air itu. Tidak saya temukan apa-apa. Yang terpampang di
depan saya hanyalah sebentuk ruang berbentuk tabung yang kosong melompong dan
senyap. Dinding bangunan dan anak tangga yang terbuat dari besi tampak sudah
berkarat di sana sini. Saya sempat surut langkah mengkhawatirkan kekuatan
bangunan ini. Namun pikiran buruk itu segera saya tepis. Saya berkeyakinan
bahwa waktu kematian saya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Jika pun
kematian itu akan tiba sekarang tidak akan terhalangi oleh apapun. Dia juga
tidak akan datang lebih cepat gara-gara saya menaiki mercu suar ini.
Anak tangga itu dimulai dari sisi
sebelah kiri pintu masuk. Sebelah kirinya mepet dengan dinding bangunan
sedangkan sebelah kananya dipagari besi dan pegangan. Lebarnya kurang dari satu
meter, sehingga ketika berpapasan dengan pengunjung lain salah satu harus
mengalah.
Tiga lantai pertama saya lalui
dengan mudah. Saya tidak menjumpai seorang manusiapun sejauh ini. Saya
istirahat sebentar sembari mengatur nafas. Lutut kanan saya baru saja mengalami
cedera. Sebetulnya kondisinya belum benar-benar sembuh. Sinshe yang mengobati
saya wanti-wanti melarang saya untuk tidak berolah raga apapun, termasuk jalan
kaki menanjak. Selama ini saya patuh. Kebiasaan menaiki tangga dari lantai
basement 2 ke lantai dasar kantor saya berubah menjadi naik lift.
Larangan itu kali ini saya abaikan.
Tujuh lantai berikutnya saya lalap
sekaligus tanpa jeda istirahat. Nafas saya tersengal-sengal tanda jantung saya
mulai bekerja ekstra keras memompa aliran darah. Saya memutuskan untuk
istirahat lagi. Lagi-lagi saya terjebak dalam medan laga. Saya mengkhawatirkan
kondisi fisik saya. Terbayang jika tiba-tiba saya mengalamiserangan jantung di
sini; siapa yang akan menolong? Semua teman berada di bawah sana. Pulau ini
juga tidak dilengkapi fasilitas medis apapun. Di dalam tas pinggang saya hanya
ada Betadine, minyak kayu putih dan obat maag. Nyawa saya pasti tidak akan
tertolong. Kebimbangan melanda benak saya. Terus naik sampai ke puncak atau
kembali ke bawah? Degup jantung kian kencang. Nafas terasa sesak. Keringat
dingin mencucur deras. Lengan kiri terasa pegal. Tubuh saya memberikan sinyal
bahwa dia tidak kuat menanjak lagi. Saya berdiri mematung dengan wajah pucat
pasi.
Volume ruangan bangunan ini kian ke
atas kian mengecil. Di pinggir jendela sebelah kiri yang sudah hilang daunnya,
seorang pria bertelanjang dada sedang berdiri memandang keluar menara. Dia
mempersilahkan saya untuk mengambil tempatnya. Rupanya dia sedang dalam
perjalanan turun sehabis dari puncak menara.
"Delapan lantai lagi,
Pak," sapanya.
"Iya Mas. Capek euy.."
"Ayoo semangat Pak. Bapak pasti
bisa."
Ah... Seandainya pria itu tahu apa
yang sedang terjadi..
Sembari beristirahat saya sempatkan
mengambil foto dari lubang jendela. Pucuk pohon kelapa sudah berada di bawah
saya. Pemandangan ke arah tenggara sangat memesona. Gugusan batu besar
menyembul dari dasar samudera, membentuk konfigurasi yang ritmis.
Gerah melanda, keringat bercucuran.
Kaos lengan panjang segera saya tanggalkan dan saya ikatkan ke pinggang.
Tinggallah rompi Nikon yang tersandang. Saya segera meneruskan langkah dengan
perlahan. Saya hanya berpegang pada satu keyakinan, jika saya terkena serangan
jantung pun, saya rela demi mendapat sudut pemotretan dari atas sana.
Delapan sisa lantai itu saya tempuh
dengan dua jeda istirahat. Di lantai 15 saya berpapasan dengan seorang bapak
dan anak laki-lakinya yang baru berusia 11 tahun.
"Dari puncak, Pak?'
"Iya Mas. Nih si kecil merengek
minta ke atas."
"Wah hebat kamu, Dik,"
ujar saya sembari meneruskan langkah.
Akhirnya puncak mercu suar ini
tertapak jua. Di sebelah kiri anak tangga terakhir terdapat sebuah pintu besi.
Di bali pintu itu ada sebuah teras selebar satu meter, melingkar mengelilingi
sisi luar mercu suar. Teras itu dipagari besi setinggi perut saya. Dengan
langkah perlahan saya keluar dari pintu itu.
Hati saya langsung berdesir. Bumi
serasa menyedot saya. Tubuh saya limbung. Saya undur ke belakang, kembali ke
dalam mercu suar. Lamat-lamat saya mendengar percakapan dua orang wanita di
luar situ. Dengan langkah pelan saya kembali melangkah keluar. Benar saja, dua
orang cewek muda berkerudung berjalan santai ke arah saya. Saya sontak merasa
malu. Cewek berjilbab yang identik dengan perilaku dan sifat baik saja berani
berjalan di luar situ, masak saya minder. Sekali lagi peperangan itu saya
menangkan.
Sejujurnya ketakutan saya belum
hilang sama sekali. Saya hanya mengakalinya dengan mengintip pemandangan luar
melalui view finder kamera. Sudut pandang kamera fish eye ini amat ekstrim, 180 derajad, sehingga memanipulasi
pandangan saya terhadap jurang di depan saya. Sembari menjepretkan shutter
kamera, saya memajukan langkah ke arah kanan. Saya berhasil maju seperempat
lingkar pagar, ketika dari belakang saya terdengar percakapan dua orang pria.
Saya terpaksa melepaskan kamera dari mata saya. Hasilnya seperti yang saya
duga, bumi kembali menyedot saya. Saya buru-buru memundurkan langkah, kembali
ke arah pintu.
Pemandangan dari puncak mercu suar. |
Dua pria itu seumuran, berusia
sekitar 30an. Pria yang satu menenteng kamera semerk dengan kamera saya.
Keduanya tampak ragu melangkah keluar mercu suar.
“Udah... Lu duluan deh. Guwa males
keluar,” ujar pria tanpa kamera kepada temannya yang menenteng kamera.
“Alaaah... masak Lu takut sih. Kagak
apa-apa lagi,” sahut pria berkamera itu.
“Iya Mas, nggak apa-apa kok. Saya
barusan dari luar,” sergah saya sembari masuk ke dalam mercu suar.
“Beneran nggak apa-apa, Pak? Lantai
terasnya masih kuat?”
“Masih.. tu barusan ada dua cewek
berjilbab dari luar juga. Mereka bahkan mengelilingi teras. Masak kalian kalah
sama mereka?”.
Saya berkata sembari menata hati.
Kenyataannya saya juga tidak seberani dua cewek tadi. Saya mempunyai ide
dadakan.
“Mas, mau saya pinjemi lensa saya?
Ini lensa fisheye lho, efeknya luar
biasa.”
“Oh boleh, Pak. Sekalian pasangin ya
Pak, soalnya saya cuma pinjem kamera ini dari saudara. Nggak terlalu ngerti
cara makainya.”
Saya segera menukar lensa yang
terpasang di kamera saya dengan lensa miliknya.
“Udah ni Mas, silahkan dicoba.”
“Hehe.. Bapak aja deh yang motretin.
Saya nggak terlalu bisa motret, Pak.”
Sialan... siasat saya tidak mengena.
Saya tadi berencana mencari teman ke luar sana, eh rupanya mereka malah
menyuruh saya seperti itu. Kelaki-lakian saya sontak tertantang. Dengan langkah
saya gagah-gagahkan, saya keluar mercu suar. Tiga jepretan berhasil saya
lakukan. Tanpa sadar saya telah mencapai separuh keliling teras mercu suar ini.
Saya segera kembali ke mereka yang masih dilanda ketakutan di balik pintu sana.
Saya perlihatkan hasil jepretan tadi.
“Waaah, bagus banget, Pak. Thanks
ya..”
“Sama-sama, Mas. Kalian nggak pengin
saya foto di luar situ?”
“Hehe... mau sih Pak. Tapi takut.”
“Halaah... cowok kok takut
ketinggian. Malu lagi sama ceweknya.”
“Bukan ceweknya, Pak... Istrinya.
Saya sudah beristri, Pak.”
“Nah... kalo saya tambah malu tu...”
“Iya deh, Pak. Tapi di deket pintu
aja ya. Nggak usah jauh-jauh.
Akhirnya dua pria itu bersedia saya
potret dengan latar belakang bentang bumi di bawah kami. Saya juga memanfaatkan
keberadaan mereka untuk memotret saya dengan komposisi yang sama. Pria tanpa
kamera tampaknya benar-benar takut dengan ketinggian. Lututnya gemetaran,
wajahnya pucat pasi.
Setelah saling berucap terima kasih,
saya pamit turun. Delapan belas lantai mercu suar itu saya turuni tanpa jeda.
Sepanjang perjalanan saya tidak menemui siapapun. Hanya suara langkah saya di
anak tangga lah yang terdengar. Bunyinya terpantul pelan dari dinding bangunan
tua ini. Saya sempat merasakan hawa dingin di lantai 10, tempat saya bertemu
dengan pria tak berbaju tadi. Saya mempercepat langkah tanpa menoleh.
Di lantai 5 saya kembali berpapasan
dengan pria muda tanpa baju yang tadi saya temui di lantai 10. Dia sedang
menaiki tangga.
“Wah... naik lagi, Mas?”
“Iya, Pak. Nih bawa turis.”
Saya baru menyadari bahwa langkah
pria itu diikuti oleh dua wanita berparas jelita. Tiba-tiba saya menyesal
terlalu terburu-buru turun. Saya membayangkan dua wanita itu pasti amat suka
dipotret di atas sana.
Akhirnya saya mendaratkan langkah di
lantai dasar. Hawa dingin lantai ini kembali menyergap. Saya segera mengambil
alas kaki yang terletak di depan pintu. Di tempat menaruh alas kaki tergeletak
7 pasang alas kaki, termasuk milik saya. Darah saya tersirap. Saya menghitung
kembali jumlah pengunjung mercu suar yang masih berada di dalam sana. Dua orang
pria di puncak dan tiga orang yang berpapasan dengan saya di lantai 5 tadi.
Saya bergidik.
Tiba kembali di tempat teman-teman
berkumpul saya membawa wajah sumringah penuh kemengan. Mereka sudah selesai
berkemas, siap kembali ke Belitung. Kamera saya langsung disambar oleh mas
Harris.
“Luar biasa Begawaaaaan....” ucapnya
berbuih.
Kawan yang satu ini memang tak
mengenal kalimat celaan ketika melihat hasil pemotretan orang lain. Kalimatnya
penuh pujian dan membesarkan hati.
“Mas Harris, sebelum memuji foto itu
mbok kameranya dihidupkan dulu. Belum liat fotonya kok udah muji,” ujar saya
sembari buru-buru berkemas. Sang pemilik lensa, Eka, hanya tersenyum kecil
ketika ikut melihat hasil jepretan saya.
“Ah... kalo Cuma foto kayak gini mah
aku juga udah punya, Bey...,” ujarnya datar. Saya memang tidak pernah berharap
mendapat pujian darinya.
Usai berkemas saya celingukan
mencari kopi jatah saya. Sekeliling tempat kami mangkal sudah bersih dari
sampah.
“Kopi saya mana, mas Eko?”
“Lha embuuuuh....,” jawabnya sembari
ngeloyor pergi ke arah perahu kami.
Saya menggerutu tak tentu. Usaha
keras saya memenangkan peperangan melawan ketakukan tidak berbuah manis. Foto
saya dicela oleh Eka, dipuji sih oleh mas Harris, tapi memujinya sebelum
melihat fotonya. Dan yang paling menjengkelkan, kopi saya disabotase entah oleh
siapa. Bayangan tentang kenikmatan menyeruput kopi putih di bawah pohon kepala
sembari mereview hasil foto dari atas menara sirna dengan segera.
Meskipun demikian saya tetap merasa
bangga. Setidaknya hari ini saya kembali memenangkan peperangan. Selama ini
saya lebih sering dipecundangi lawan. Saya sering kalah melawan ketakutan saya
sendiri akan kondisi fisik saya. Satu kalimat mujarab yang belakangan saya
gunakan sebagai senjata hanyalah kalimat sederhana. Saya yakin Adjie Massaid
dan Basuki akan tetap meninggal dunia meskipun mereka tidak main futsal malam
itu. Sesungguhnya waktu kematian itu sudah pasti adanya.
Kampung Makasar, 24 Nopember 2013,
19.45 WIB.
No comments:
Post a Comment