Tuesday, June 24, 2014

Menyoal Kedaulatan SDM Pajak


Belakangan ini marak diperbincangkan soal otonomi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beragam tanggapan muncul di ranah publik, baik media cetak maupun media eletronik, bahkan media sosial. Tanggapan publik terbelah menjadi dua bagian, satu pihak setuju dengan otonomi  DJP, di pihak lain menyatakan tidak setuju. 

Pihak yang setuju dengan pemberian otonomi DJP memberika argumen bahwa institusi ini perlu diberikan otonomi karena pentingnya peran yang diemban. Peran DJP dalam APBN memang bukan perkara main-main di republik ini. Dalam APBN-P 2014, DJP dibebani tugas menyumbang penerimaan negara sebesar 70%. Selain itu masyarakat juga menuntut tax ratio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari 12% ke 17%. Dua hal itulah yang melatarbelakangi persetujuan pemberian otonomi bagi DJP.

Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan bahwa kinerja DJP selama ini belum optimal. Pemberian remunerasi dipandang mereka tidak mampu menaikkan kinerja aparat DJP ke titik yang diinginkan. Mereka juga mempersoalkan masih terungkapnya berbagai kecurangan yang melibatkan aparat pajak, seperti kasus Gayus, dan sebagainya.

Keberbasilan misi DJP amat tergantung pada tiga unsur, yakni SDM, infra sturktur, dan peraturan perundangan.  Unsur SDM merupakan unsur yang paling dominan dalam pembahasan masalah ini, karena SDM adalah pelaku utama sebuah sistem.  Sumber Daya Manusia merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan misi organisasi.

Untuk membahas masalah SDM, berikut ini disajikan analisis dari beberapa sudut pandang.

Rasio Biaya Pemungutan Pajak (Cost of Collection)
Saat ini jumlah pegawai DJP sebanyak tiga puluh dua ribu orang. Pegawai tersebut tersebar di unit organisasi DJP dari Sabang sampai Merauke pada berbagai posisi jabatan. Sebagai gambarang, jumlah anggaran belanja DJP tahun 2012 adalah 8 triliun rupiah; sedangkan realisasi penerimaan pajak tahun yang sama sebesar 880 triliun rupiah. Dari dua data tersebut dapat dihitung besarnya cost of collection-nya adalah 0,5%.

Rasio cost of collection itu terhitung amat kecil jika dibandingkan dengan rasio di negara-negara maju yang mencapai  5%. Rendahnya rasio cost of collection DJP menunjukkan bahwa kapasitas kerja aparat pajak sudah optimal. Pemberian remunerasi bahkan dirasa masih kurang jika memperhitungkan beban kerja mereka.

Tengoklah data berikut ini. Tahun 2007 jumlah pegawai pajak 31 ribu orang dengan total penerimaan pajak sebesar 470 triliun rupiah. Tahun 2013 jumlah pegawai pajak 32 ribu orang dengan total penerimaan pajak sebesar 930 triliun rupiah, atau naik hampir dua kali lipat. Secara kasat mata dapat dikatakan bahwa selama kurun waktu tersebut kinerja aparat pajak naik dua kali lipat.


Pada akhirnya semua berpulang pada pucuk pimpinan negeri ini. 

Berkaca pada Kenyataan yang Ada

Lagi-lagi kinerja aparat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipertanyakan. Kali ini yang mempertanyakannya tidak main-main, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK). Dalam pernyataannya sebagaimana dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia tanggal 14 Juni 2014, Ketua BPK mengatakan bahwa akibat buruknya kinerja aparat pajak, negara kehilangan pendapatan sebesar 338 milyar rupiah. Hal tersebut terjadi karena pemeriksa pajak bekerja tidak optimal, peraturan perundangan tidak dilaksanakan dengan benar dan kurangnya pengawasan berjenjang.

Terkait dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan tindakan yang harus dilakukan oleh DJP, antara lain memberikan pembinaan sesuai ketentuan yang berlaku kepada SDM DJP, DJP harus melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku untuk memulihkan kekurangan tersebut, dan terakhir adalah meningkatkan pengawasan berjenjang terkait dengan pemeriksaan pajak.

Menarik apa yang direkomendasikan BPK tersebut. Dalam tiga rekomendasinya, BPK sama sekali tidak menyinggung peningkatan kapasitas organisasi DJP. Tentu saja hal ini merupakan kenyataan yang sulit diterima nalar, mengingat institusi DJP saat ini sedang melakukan berbagai kajian terkait peningkatan kapasitas organisasi.

Sebagai institusi yang berperan 70% dalam menyumbang penerimaan APBN, kapasitas organisasi DJP dirasa masih amat terbatas. Sebagai unit organisasi setingkat Eselon I di bawah Kementerian Keuangan, DJP amat terbatas gerakannya. Keterbatasan gerakan tersebut menyangkut soal anggaran, SDM, dan manajemen organisasasi. Kemandirian atas 3 hal tersebut tidak dimiliki oleh DJP.

Dari sisi anggaran, jelas sekali ketergantungan DJP pada Kementerian Keuangan. Porsi DIPA yang diajukan DJP amat tergantung dengan persetujuan Kementerian Keuangan sebagai “atasan” DJP. Padahal organisasi DJP memerlukan fleksibiliaturan atas penganggaran. Hal ini tak lepas dari unsur yang menjadi penentu keberhasilan misi DJP, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, dan peraturan perundangan.

Saat ini jumlah pemeriksa pajak sebanyak 4.300 orang, sedangkan jumlah Wajib Pajak sebanyak 25 juta. Pemeriksa pajak sebagai unsur SDM yang bertugas dalam bidang penegakan hukum pajak dibebani tugas yang amat berat, karena 1 orang pemeriksa bertugas memeriksa 5.800 Wajib Pajak. Dengan rasio sekecil itu jangan harap kinerja pemeriksa akan moncer.
DJP berulang kali telah mengajukan penambahan jumlah SDM ke Kementerian Keuangan. Dalam usulannya, DJP meminta tambahan pegawai setiap tahun sebesar 5.000 orang. Tambahan pegawai tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan kinerja sektor pengawasan Wajib Pajak yang pada akhirnya dapat mengurangi hilangnya potensi pajak yang dapat dipungut.

Namun apa daya, usulan tersebut tidak dikabulkan. Jumlah penambahan pegawai yang disetujui Kementerian Keuangan hanya sebesar 1.500 orang. Dengan kondisi seperti ini, percepatan peningkatan kinerja aparat pajak tidak berbanding lurus dengan percepatan penambahan beban kerja.

Lantas bergaunglah wacana peningkatan kapasitas organisasi DJP. Wacana tersebut memunculkan beberapa opsi, di antaranya adalah memisahkan DJP dari Kemenkeu, dan menjadikannya sebagai badan yang berdiri langsung di bawah Presiden. Pihak yang menelurkan ide tersebut berpendapat bahwa peningkatan kinerja DJP hanya dapat dicapai dengan peningkatan kapasitas organisasinya. Peningkatan kapasitas organisasi hanya dapat dicapai dengan cara kemandirian DJP dalam menentukan hal-hal strategis tanpa perlu bergantung pada keputusan “atasannya”.


Demikianlah, kadang jawaban sebuah persoalan harus berkaca pada kenyataan yang ada.