Thursday, September 11, 2014

Berjalan bersama Kadal

Tanaman singkong dan pisang yang mulai tumbuh subur
Ditempatkan di sebuah kota tujuan wisata mendatangkan konsekuensi tersendiri bagi saya. Selama saya berdinas di Jakarta selama 13 tahun, hampir tidak ada teman yang berkunjung ke rumah atau minta diantar ke suatu tempat di kota itu. Bukan berarti tak ada teman yang berkunjung ke kota ini, namun saya menduga bahwa Jakarta bukan kota yang terlalu menarik untuk dijadikan tujuan wisata. Hal berbeda terjadi ketika saya mulai menjalani hari-hari di sini, Bandung.

Jauh hari sebelum berangkat ke sini teman-teman sudah wanti-wanti berpesan bahwa suatu hari mereka akan berkunjung ke Bandung. Dan saya harus menjadi tour guide mereka. Tentu saja saya iyakan pesan tersebut. Bagi saya, menerima kedatangan tamu adalah sebuah kehormatan tersendiri.

Minggu dan bulan segera terlampaui di kota ini. Terhitung empat bulan lamanya saya menjalani kehidupan sebagai anak kost sebelum akhirnya pindah ke rumah dinas. Apa yang terjadi? Empat bulan pertama tak mampu membuat saya hafal kota ini. Bagi saya, navigasi kota Bandung amat membingungkan. Ditambah lagi hari-hari saya terisi dengan rutinitas seputar kost dan kantor, tanpa pernah jalan-jalan-jalan sekeliling Bandung. Daerah yang pernah saya rambah hanyalah sekitar komplek Kantor Walikota, lain tidak.

Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh bagi saya. Sedari dulu saya memang tidak terlalu suka menghabiskan waktu ke pusat perbelanjaan atau pusat keramaian. Kesunyian adalah teman abadi saya. Maka ketika makan malam sudah terlaksana, saya lantas tenggelam dalam kesendirian di kamar kost. Jangan bayangkan kamar kost saya full entertainment. Kamar kost itu hanyalah berupa petakan sempit tanpa sarana hiburan sama sekali.
Bulan ke lima saya mulai menempati rumah dinas di daerah Buah Batu. Hati saya bersorak kegirangan melihat rumah ini. Sebuah bangunan berdiri di atas lahan seluas hampir  300 meter persegi dan terletak di sudut komplek. Lokasinya berada di paling depan, dekat dengan gerbang komplek, sehingga memudahkan akses ke jalan raya Soekarno Hatta. Bangunannya sendiri sudah tampak berumur, bahkan terkesan menyeramkan karena sudah setahun tak berpenghuni.

Lalu apa yang membuat saya sedemikian girang? Tak lain adalah petakan tanah yang ditumbuhi ilalang dan beragam rumput liar setinggi manusia. Ini dia, pikir saya. Kelak petakan itu akan saya jadikan lahan bercocok tanam aneka sayuran dan buah-buahan.

Saya segera mengabarkan hal ini kepada bapak saya. Kepadanya saya minta petunjuk tentang bagaimana mengolah tanah mulai dari nol. Saya juga memesan sepasang cangkul, sabit, linggis dan sabit, untuk suatu saat nanti saya bawa ke Bandung.

Demikianlah akhirnya…. Sepetak lahan itu kini telah selesai saya cangkuli. Sebagian sudah saya tanami singkong dan pisang. Sebagian lagi saya tanami kangkung, kunyit, lengkuas, dan pepaya. Akhir pekan menjadi hari yang menyenangkan karena saat itulah saya bisa seharian mengurusi lahan tersebut.

Seperti itulah yang terjadi akhir pekan lalu. Hari Sabtu saya isi dengan menyiangi tanaman singkong yang mulai dikerubuti perdu liar, sementara hari minggunya saya mengusungi tanah bekas galian bak air. Proses pemindahan tanah itu harus melalui petakan-petakan yang telah saya cangkuli sebelumnya. Dari sela-sela tanah bekas galian tersebut bermunculan binatang-binatang khas kebun, mulai dari kadal, kelabang dan kalajengking. Saya memilih menyingkir dari mereka tanpa perlu membunuhnya.

Bagi saya  menjalani semua ini bukanlah sebuah pembelaan egoisme. Saya hanya berusaha menikmati yang ada daripada menghayal yang tidak ada.

Bandung, 11 September 2014, 20.09 WIB 



No comments: