Tanaman singkong dan pisang yang mulai tumbuh subur |
Ditempatkan di sebuah kota tujuan wisata mendatangkan
konsekuensi tersendiri bagi saya. Selama saya berdinas di Jakarta selama 13
tahun, hampir tidak ada teman yang berkunjung ke rumah atau minta diantar ke
suatu tempat di kota itu. Bukan berarti tak ada teman yang berkunjung ke kota
ini, namun saya menduga bahwa Jakarta bukan kota yang terlalu menarik untuk
dijadikan tujuan wisata. Hal berbeda terjadi ketika saya mulai menjalani
hari-hari di sini, Bandung.
Jauh hari sebelum berangkat ke sini teman-teman sudah
wanti-wanti berpesan bahwa suatu hari mereka akan berkunjung ke Bandung. Dan
saya harus menjadi tour guide mereka. Tentu saja
saya iyakan pesan tersebut. Bagi saya, menerima kedatangan tamu adalah sebuah
kehormatan tersendiri.
Minggu dan bulan segera terlampaui di kota ini. Terhitung
empat bulan lamanya saya menjalani kehidupan sebagai anak kost sebelum akhirnya
pindah ke rumah dinas. Apa yang terjadi? Empat bulan pertama tak mampu membuat
saya hafal kota ini. Bagi saya, navigasi kota Bandung amat membingungkan.
Ditambah lagi hari-hari saya terisi dengan rutinitas seputar kost dan kantor,
tanpa pernah jalan-jalan-jalan sekeliling Bandung. Daerah yang pernah saya
rambah hanyalah sekitar komplek Kantor Walikota, lain tidak.
Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh bagi saya. Sedari
dulu saya memang tidak terlalu suka menghabiskan waktu ke pusat perbelanjaan
atau pusat keramaian. Kesunyian adalah teman abadi saya. Maka ketika makan
malam sudah terlaksana, saya lantas tenggelam dalam kesendirian di kamar kost.
Jangan bayangkan kamar kost saya full entertainment. Kamar kost itu hanyalah
berupa petakan sempit tanpa sarana hiburan sama sekali.
Bulan ke lima saya mulai menempati rumah dinas di daerah
Buah Batu. Hati saya bersorak kegirangan melihat rumah ini. Sebuah bangunan
berdiri di atas lahan seluas hampir 300 meter persegi dan terletak di
sudut komplek. Lokasinya berada di paling depan, dekat dengan gerbang komplek,
sehingga memudahkan akses ke jalan raya Soekarno Hatta. Bangunannya sendiri
sudah tampak berumur, bahkan terkesan menyeramkan karena sudah setahun tak
berpenghuni.
Lalu apa yang membuat saya sedemikian girang? Tak lain
adalah petakan tanah yang ditumbuhi ilalang dan beragam rumput liar setinggi
manusia. Ini dia, pikir saya. Kelak petakan itu akan saya jadikan lahan
bercocok tanam aneka sayuran dan buah-buahan.
Saya segera mengabarkan hal ini kepada bapak saya.
Kepadanya saya minta petunjuk tentang bagaimana mengolah tanah mulai dari nol.
Saya juga memesan sepasang cangkul, sabit, linggis dan sabit, untuk suatu saat
nanti saya bawa ke Bandung.
Demikianlah akhirnya…. Sepetak lahan itu kini telah selesai
saya cangkuli. Sebagian sudah saya tanami singkong dan pisang. Sebagian lagi
saya tanami kangkung, kunyit, lengkuas, dan pepaya. Akhir pekan menjadi hari
yang menyenangkan karena saat itulah saya bisa seharian mengurusi lahan
tersebut.
Seperti itulah yang terjadi akhir pekan lalu. Hari Sabtu
saya isi dengan menyiangi tanaman singkong yang mulai dikerubuti perdu liar,
sementara hari minggunya saya mengusungi tanah bekas galian bak air. Proses
pemindahan tanah itu harus melalui petakan-petakan yang telah saya cangkuli
sebelumnya. Dari sela-sela tanah bekas galian tersebut bermunculan
binatang-binatang khas kebun, mulai dari kadal, kelabang dan kalajengking. Saya
memilih menyingkir dari mereka tanpa perlu membunuhnya.
Bagi saya menjalani semua ini bukanlah sebuah
pembelaan egoisme. Saya hanya berusaha menikmati yang ada daripada menghayal
yang tidak ada.
Bandung, 11 September 2014, 20.09 WIB
No comments:
Post a Comment