Saturday, July 25, 2015

Presiden Kodok dan Wapres Pikun


Apa yang ada di benak Anda, ketika foto ini saya beri keterangan begini, “Kathmandu, ibukota Nepal, hancur lebur diguncang gempa”.  Hampir pasti Anda akan membayangkan suasana kekacauan, derita dan semacamnya. Ya, foto itu memang saya ambil di kota Kathmandu pada tanggal 10 Mei 2015, 15 hari setelah kejadian gempa berskala besar di sana. Foto semacam ini pernah menghiasi halaman utama surat kabar nasional, bahkan media internasional beberapa waktu yang lalu. Saya tidak akan menyalahkan Anda, karena persepsi Anda sedang “diracuni” oleh sebuah sajian visual, bingkai ketat sebuah foto dan caption-nya.



Sekarang saya sajikan foto ke dua. Foto di atas adalah suasana di Boudhanath, sebuah kuil Budha di tengah kota Kathmandu. Ke dua foto tersebut saya ambil pada lokasi yang berjarak tidak lebih dari 5 kilometer, dan selisih waktu 2 hari. Apakah Anda masih bersikukuh dengan persepsi pertama? Baiklah, saya tampilkan lagi sudut lain dari kota Kathmandu pada hari yang sama.
Suasana sudut kota Kathmandu pada tanggal 10 Mei 2015. Aktifitas perekonomian berjalan seperti biasa

Kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah dasar, 200 km dari kota Kathmandu. Hari Minggu bukan hari libur sekolah dan kantor di negara ini. 

Setelah melihat tiga foto di atas, saya yakin persepsi Anda akan berubah. Saya tidak perlu berpanjang kata, membeberkan fakta bahwa kehidupan di Kathmandu berjalan normal. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa saat saya berkunjung ke sana, masih ada ribuan orang mengungsi di tanah lapang. Tapi kehidupan tetap berdenyut. Kegiatan perekonomian, peribadatan dan pariwisata tetap berjalan normal. Dahsyat, kan?

Itulah kekuatan sebuah berita. Kekuatan yang mampu membentuk dan menggiring opini dan pikiran sehat manusia yang notabene dikarunia akal oleh Sang Maha Pencipta. Lalu kenapa berita seperti itu ada, artinya lolos dari seleksi Rapat Redaksi? Tak susah menjawabnya.

Menurut teori jurnalistik, ada 10 nilai berita. 10 hal tersebut merupakan kunci agar sebuah berita bernilai tinggi sehingga menarik minat pembaca. Apa saja kesepuluh nilai berita tersebut? Kesepuluhnya adalah magnitude, significance, actuality, proximity, prominence, impact, conflict, human interest, unusualness, dan seks. Sebagai contoh, hobi Jokowi memelihara kodok pasti lebih menarik perhatian Anda daripada hobi tetangga saya menyantuni anak yatim, karena Jokowi adalah sosok prominen di mata kita. Atau berita skandal Clinton dengan mbak Monica L pasti lebih menarik dibandingkan dengan berita pencapaian target penerimaan pajak tahun 2011, karena yang berbau seks memang selalu menarik perhatian.

Lalu bagaimana cara kita menyikapi sebuah sajian berita? Tidak mudah. Apa pasal? Di era serba instan ini, kebenaran sering dikaburkan dengan distorsi. Sebuah kejadian bernilai berita tinggi dalam sekejap akan hadir di tengah-tengah kita dalam bentuk media online. Sangat cepat, singkat, dan tak menyajikan klarifikasi dari beragam narasumber. Lalu jari kita segera dilanda wabah gatal untuk membaginya ke khalayak umum lewat media sosial. Tak cukup dengan membagi, kita juga menambahinya dengan beragam opini pribadi. Opini, oh tidak, kadang disertai dengan hujatan dan makian kasar. Masih segar dalam ingatan, betapa mbah JK dilaknat habis-habisan oleh netizens gara-gara pernyataannya soal pengeras suara masjid. Tiba-tiba kita menjadi hakim atas orang lain, mengambil alih kuasa Tuhan.

Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Yang diperlukan hanyalah kedewasaan sikap, kesadaran batin, bahwa sikap kita atas suatu hal harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik nantinya. Terkesan agamis? Baiklah, saya sarankan dengan hal yang agak sekuler, bahwa sikap terbuka kita bisa berdampak besar terhadap orang lain yang ada di berita tersebut, bahkan mungkin bagi keluarga dan lingkungannya. Hanya itu. Mau tabayun? Saran tersebut terlalu ideal bagi saya. Bayangkan saja bagaimana caranya klarifikasi ke mbah JK soal pernyataanya tentang speaker masjid itu, susah kan? Jauh lebih mudah mendoakannya agar dia diberi kekuatan iman sehingga mampu memimpin negeri ini, daripada menjadi hakim atasnya.

Selebihnya ya monggo saja, pilihan ada di diri kita masing-masing.

Bandung, 25 Juli 2015