Selasa,
29 Desember 2015, sepekan pasca operasi
Nyonya
menggandeng anak bungsu kami, Abyan, ke dokter bedah anak. Hampir sejam mereka
menunggu, namun sosok itu tak segera muncul. Abyan hampir saja menyerah, pulang
untuk kembali keesokan harinya, ketika perawat mewartakan bahwa sang dokter
telah datang.
“Maaf
ya, Bu. Saya ada operasi dadakan, jadi terlambat ke sininya.”
“Nggak
apa-apa, Dok. Semoga itu jadi amal Dokter”, ujar nyonya dengan tulus.
“Oh..
tidak, Bu. Itu bukan amal, wong saya dibayar. Saya baru bisa mengklaim apa yang
saya lakukan adalah amal jika saya kerjakan dengan sukarela” , tegas pria berbaju
pendek itu tanpa ragu. Nyonya hanya bisa diam dan menyimpan ketakjubannya.
Senen,
4 Januari 2016, teras samping Rumah Dinas
Sebuah
info grafis tampil dan menjadi diskusi panjang dan menyengat di sebuah group
diskusi Facebook. Hampir semua partisipan diskusi itu dilanda emosi. Ya, saya
maklum, info grafis itu sekilas memang amat provokatif. Isinya tak lebih dari
klaim sebuah hasil perjuangan. Perjuangan apakah? Perjuangan menjaga harmoni
keberlangsungan republik ini dalam cawan APBN. Ringkasnya begini, penerimaan
negara dari sektor pajak tak mencapai target, sementara belanja negara sudah
kebacut dan kudu keluar, maka harus dicarikan sumber penerimaan lain di luar
pajak agar tetap bisa menggaji pegawainya sebesar Rp.7 triliun lebih pada
tanggal 4 Januari lalu. Dalam info grafis tersebut, kegagalan pencapaian target
penerimaan dicetak tebal, sehingga terkesan pengin ditonjolkan. Pun juga di
bagian akhir info grafis tersebut, desainer seolah “curhat” betapa peran
institusi mereka amat vital dalam menjaga harmoni tersebut. Sekali lagi,
sekilas ini memang provokatif.
Lalu
sahut-menyahut dalam bahasa yang tak kalah panas terjadi di dua kubu. Masing-masing
pihak lantas mengklaim dirinya adalah pahlawan APBN, pihak yang musti dihargai,
entah dalam bentuk apa. Saya sendiri senyum-senyum saja melihat perang opini
ini. Dalam hati saya berpikir, apa iya, dengan segala yang telah saya lakukan
selama ini, saya pantas dibayar sebesar ini? Lha wong kerjaan saya tak lebih
dari berselancar di dunia maya, mengais-ngais berita positif tentang
perpajakan, lalu membaginya lewat akun media sosial. Atau paling-paling jadi
tamen kalau ada LSM menyambangi kantor, atau berpanas-panas ria ngontrol baliho
depan kantor, atau ketika masih musim pulang
pukul 19.00, selepas pukul 17.00 saya lebih banyak menghabiskan waktu di meja
pingpong dan main paraf berkas anak buah. Pekerjaan yang notabene bisa
dilakukan oleh siapa saja, dan (mungkin) sama sekali tak berhubungan dengan
angka Rp. 21,6 triliun rupiah yang berhasil dikumpulkan Kanwil kami tahun ini.
Menyebut
kata pahlawan bagi saya adalah hal yang amat berat bahkan sakral. Kamus Besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Definisi yang bikin hati
saya kian ciut untuk menjadikannya sebagai klaim sepihak. Maka, tanpa bermaksud
mengecilkan semangat korps teman-teman sejawat, saya tetap memilih diam.
Bagi saya, pahlawan adalah pejuang senyap, tulus,
tak tergantung imbalan, apalagi teriak-teriak hanya karena provokasi pahlawan
kesiangan lainnya. Mari tetap berjuang dengan senyap, sesenyap kematian Nabi
Akhir Zaman yang hanya ditemani Fatimah seorang.
Bandung, 5 Januari 2015.
No comments:
Post a Comment