Wednesday, September 26, 2018

Ceki

Purnama sedang sempurna. Tinggal dua kelokan lagi, maka Domo akan sampai ke rumahnya. Pedati yang ia kusiri menjerit. Tikungan di tepi kali Pucang itu menyiksa kendaraan tua ini. Lembu yang menjadi sumber tenaganya juga melenguh. Domo memecut mereka. Lolos. Pedati  itu kini bergerak pelan. Menyusuri keheningan tepi desa.
Kelar mengandangkan sapi-sapinya, Domo beringsut ke dalam rumah. Gelap. Tangannya menggapai geretan dari saku celana komprangnya. Lampu teplok di dinding dapur segera ia nyalakan. Dapur yang menyatu dengan kamar tidur itu kini berangsur temaram. Domo mengangsurkan tubuhnya ke atas balai-balai. Matanya lurus tertuju pada pogo di atas tungku itu. Tak banyak hasil panen tersimpan di atas pogo itu. Hanya beberapa ikat jagung kering dan sekampil gabah. Benak Domo masih dijejali sepotong fragmen yang baru saja ia lakoni.
“Apa yang Kau cari, Mo?” Laras bertanya dengan nada lurus. Nyaris ketus.
“Aku masih menyukaimu, Ras.”
“Di usia sekarang?”
Domo terdiam. Pucuk Trembesi mendesiskan bisikan pelan. Kemarau telah demikian panjang mengungkung desa ini. Sawah yang terhampar di depan mereka berubah menjadi hamparan tanah kering. Retak di sana-sini.
“Mana suamimu, Ras?”
“Dia sedang ke Manggal. Batu akik meracuni hidupnya. Konon di seberang sana, batu itu amat laku.”
Kali ini Laras yang terpekur. Tatapannya mengarah ke ujung jari kakinya. Selembar kain jarik yang membungkus tubuh bagian bawahnya tersibak. Angin menyingkap betis perempuan beranak dua itu.
“Kalian akan berapa lama di sini?”
“Tak lama. Kami harus segera kembali. Warung kami tak ada yang menjaga. Anak-anak juga harus sekolah.”
“Suamimu hebat, ya. Berilmu dan pinter cari duit. Kalian terlihat begitu bahagia.”
“Ah, itu kan katamu.”
Lima belas tahun silam adalah saat terakhir mereka bertemu. Domo menutup maafnya saat Laras memutuskan menerima pinangan Karso. Meski pernikahan itu dilantari perjodohan, Domo menumpahkan amarahnya pada Laras. Untunglah Karso tahu diri. Ia mengajak istrinya merantau. Mereka menetap di pulau seberang. Tak ada kabar berita hingga suatu hari mereka harus pulang. Sebidang tanah warisan orang tua Laras harus dibagi. Melalui surat, sebetulnya Laras sudah menyerahkan keputusan kepada adik-adiknya. Baginya, pulang adalah menggali masa lalu. Dan masa lalu itu kini ada di sampingnya.
“Kenapa Kau masih menemuiku, Mo? Ke mana istrimu?”
Domo menunduk. Kakinya menyepak batu kerikil berwarna coklat. Batu itu melenting ke seberang parit. Ia enggan menjawab pertanyaan itu.
“Kau masih main judi?”
Domo tak segera menjawab. Ia tahu bahwa ia tak bisa mengelak dari pertanyaan ini. Judi memang sudah menjadi wabah di desa ini. Setiap malam di sudut-sudut kampung, arena judi menjadi ajang bagi pelampiasan hasrat lelaki. Jenisnya beragam, mulai dari kartu remi, sabung ayam, ceki, hingga dadu. Lelaki yang tidak pergi ke sana hanya ada 2 jenis.  Mereka pasti kyai atau pria yang takut dengan istri. Domo tidak masuk ke dua kelompok minoritas itu. Judi juga tak kenal musim. Saat paceklik ia tetap menjadi pelarian para pemujanya. Untuk hiburan, kata mereka. Apakah polisi tak berusaha membubarkan tindak durjana ini? Tak terhitung sudah berapa kali polisi menggeropyok sarang perjudian itu. Tak ada hasilnya. Perjudian seperti rumput teki. Ditebas sekali ia tumbuh puluhan kali.
“Kau tahu, Mo? Lebih baik main perempuan dari pada main judi. Orang yang doyan main perempuan hidupnya lebih terurus. Tak seperti kalian yang rela tidak mandi dua hari demi ceki. Ketika Kau kalah judi, lawanmu menjadi musuhmu. Saat Kau main perempuan, duit yang Kau kasih kepadanya menjadi penopang kehidupannya. Kau impoten?”
“Kamu tahu soal itu, Ras...”
Wajah Laras merah padam. Domo menyesal telah menjawab pertanyaan itu.
“Pulanglah, Mo. Aku juga mau pulang. Besok kami akan kembali ke seberang.”
Laras mengulurkan tangannya. Domo menyambutnya. Tak sampai sedetik, tangan itu ia lepaskan lagi. Percuma ia berharap lebih. Laras bahkan memalingkan muka saat mengulurkan tangan itu. Domo berjalan dengan gontai ke arah pedatinya. Dengan pelan ia bersiul kepada sapi-sapinya. Binatang itu seolah tahu isi hati tuannya. Mereka menderap, menembus hari yang mulai gelap.
Domo menggeliat. Bayangan rupa Laras tak juga beranjak. Nyala teplok nyaris binasa. Minyak tanahnya sudah tiris. Sumbunya hampir kering. Embusan nafas istrinya menerpa tengkuknya. Domo menarik sarung. Menudungi  seluruh kepalanya.