Ekspedisi Jakarta - Sintang - Putussibau - Badau
Tadinya
saya merasa dikadalin ketika mas Yos memberikan secarik kertas berisi rincian jadwal perjalanan kami ke Putussibau.
Di lembaran tersebut tertera bahwa perjalanan saya dari Pontianak ke Putussibau
akan melewati jalur darat, sementara mas Yos dan Angga akan naik pesawat udara.
Bayangan akan kesengsaraan naik mobil Innova sejauh 700an kilometer melintas di
depan mata. Tapi saya akhirnya membajakan niat, perjalanan ini harus saya
lakukan...
Senin
pagi, 20 Mei 2013.
Penerbangan
Garuda Indonesia GA-0502 dengan pesawat
Boeing 737-400 mendarat dengan keras di bandara Supadio, Pontianak pada pukul
09.00 WIB. Ini adalah penerbangan ke dua saya ke sini, sehingga saya sudah
tidak terlalu kaget lagi dengan pendaratan ini. Landasan ini memang hanya
sepanjang 2.500 meter, sehingga setelah "touch down", pilot langsung melakukan pengereman. Pesawat
bahkan harus sampai ke ujung landasan untuk melakukan taksi ke apron. Saya, mas
Yos dan Angga segera mengurus bagasi dan merapat ke kantin bandara untuk
menunggu tim dari Kapanlagi.com yang akan bergabung dengan kami. Mereka naik
pesawat yang jadwalnya satu jam setelah penerbangan kami. Tugas kami bertiga memang hanya mensupervisi
pembuatan video "viral story”
Ditjen Pajak, sementara produksi kami serahkan kepada Kapanlagi.com selaku
pemenang lelang.
Sejam
kami menunggu akhirnya tim Kapanlagi.com datang juga. Kami berdiskusi mengenai
"story board" dan membahas
detil perjalanan. Tak lama datanglah mas Indra, sopir mobil Innova charteran
yang akan membawa saya dan tim Kapanlagi.com ke Putussibau. Mas Yos dan Angga
harus menginap semalam di Pontianak sebelum meneruskan perjalanan ke Putussibau
karena pesawat Kalstar Air yang seyogyanya hari ini menerbangkan mereka batal
terbang dengan alasan yang tidak jelas. Saya lihat wajah mereka kuyu menahan
kecewa.
Saya
dan tim Kapanlagi.com segera memboyong bawaan kami ke parkiran mobil. Sebuah
Innova hitam terpakir di sana. Sopir dengan sigap membuka pintu bagasi. Aroma
bensin meruah dari kabin Innova. Di bagasi mobil tergeletak dua jerigen bensin
berukuran 50 liter. Kami terkejut dengan keberadaan dua benda itu.
"Kok
bawa-bawa jerigen, mas?" Tanyaku pada mas Indra.
"Iya,
pak. Untuk nampung bensin. Di Putussibau beli bensin dibatasi 10 liter per
mobil."
Kami
makfum adanya. Perjalanan etape pertama pun segera kami mulai pada pukul 12.00
WIB. Saya duduk di depan, sementara tiga orang tim Kapanlagi.com duduk di
bangku tengah. Bangku belakang dilipat untuk menaruh bawaan kami, tas baju dan
peralatan syuting dan foto. Kami
mengambil rute luar kota Pontianak agar tidak terjebak dalam kepadatan lalu
lintas.
"Kalau
ketemu masjid kita berhenti dulu ya mas, sholat dulu."
"Baik,
pak Slamet."
Tidak
terlalu mudah menemukan masjid di Pontianak. Yap, propinsi Kalbar memang
didominasi tiga suku besar, Melayu, Tionghoa dan Dayak, dengan komposisi yang
nyaris seimbang. Barulah setelah berkendara kira-kira 10 kilometer dari
bandara, kami menemukan masjid. Masjid itu terletak di sebelah kiri jalan.
Bangunannya sudah tua, tampak tidak terlalu terawat. Padasan tempat wudhu
tampak berlumut. Air hujanlah yang ditampung di bak air, karena air tanah di
sini memang jelek kualitasnya.
Kelar
bersembahyang kami segera melanjutkan perjalanan. Kami memang tidak langsung
menuju Putussibau, tapi akan menginap dahulu di Sintang. Jarak Pontianak -
Sintang sekitar 395 kilometer. Mas Indra bercerita bahwa terdapat sekitar 20
kilometer jalan yang rusak sebelum masuk kota Sanggau dan Sekadau.
Benar
saja, baru dua jam kami berkendara, kerusakan jalan mulai terasa. Aspal mulus
tiba-tiba berlubang besar dan dalam. Bahkan di beberapa tempat tedapat jalan
yang aspalnya telah benar-benar mengelupas. Jadilah jalan itu menjelma menjadi
jalan tanah yang amat berdebu serta amat becek ketika hujan. Saya membayangkan
inilah hari-hari yang dilalui teman-teman Ditjen Pajak yang bertugas di sini.
Mereka tidak hanya terpisah jauh dari keluarga, tapi juga menghadapi tantangan
alam yang luar biasa beratnya.
Di
satu tempat yang jalannya rusak parah kami menepi. Saya meminta kameramen untuk
mengambil gambar di sini. Saya ingin kerusakan infratrukstur ini direkam untuk
dijadikan "scene" dalam
video yang kami kerjakan. Ratusan truk bertonase besar setiap hari memang
melewati rute ini. Mereka mengangkut hasil bumi dan hasil perkebunan berupa
karet dan kelapa sawit.
Memasuki
kabupaten Sanggu jalanan makin parah. Mas Didik, anggota tim Kapanlagi.com
akhirnya tumbang juga. Dia mabuk darat. Untunglah kantong plastik hitam sudah
dia siapkan. Ah... Rupanya kawan itu sudah merasa akan muntah... Kerusakan
jalan ini amat mengganggu laju perjalanan kami. Waktu tempuh yang seharusnya
hanya 5 sampai dengan 6 jam molor menjadi 8 jam.
Pukul
20.00 WIB kami memasuki kota Sintang. Kami beristirahat makan dan mengisi bahan
bakar di pompa bensin ini. Inilah satu-satunya pompa bensin yang buka sampai
malam hari. Di tempat lain di sepanjang jalan yang kami lalui semua pompa
bensin telah tutup karena stok BBM sudah habis. Dua jerigen biru sudah diisi
penuh. Makan malam ini terasa nikmat setelah 8 jam perut kami dikocok-kocok. Pukul
22.30 WIB kami akhirnya tiba di penginapan.
Selasa,
21 Mei 2013.
Pukul
07.00 WIB kami sudah berkumpul di ruang sarapan penginapan kami. Mas Yusman,
pegawai seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Sintang sudah hadir di sini. Dia
memang akan menjadi salah satu pemeran dalam video ini. Kisah nyata dia
melakukan sosialisasi pajak di kecamatan Badau akan kami rekam.
Kelar
berdiskusi, kami menuju KPP Pratama Sintang. Kantor ini dulunya adalah Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Modernisasi Ditjen Pajak menghapus KPPBB dan
menyatukannya dalam Kantor Pelayanan Pajak. Kami akan mulai "take" gambar di sini. Syuting
berjalan lancar. Kepala KPP Pratama Sintang amat "welcome" dengan kegiatan ini. Dia menuturkan bahwa di tengah
segala keterbatasan sarana dan prasarana, kantornya mampu memenuhi target
penerimaan pajak tahun 2012.
Pukul
12.00 WIB kami melanjutkan perjalanan etape ke dua, Sintang - Putussibau. Mas
Yusman turut bersama kami, menaiki mobil dinas kantor, Isuzu Panther yang sudah
memprihatinkan kondisinya. Ke empat bannya sudah gundul kembangnya. Terus
terang kami kawatir dengan kondisi tersebut mengingat beratnya medan yang akan
kami tempuh sejauh 419 kilometer. Tapi apa daya, kami harus tetap bekerja.
![]() |
Bukit Kelam 20 kilometer dari kota Sintang |
Ngopi di kedai tengah hutan |
Kami
segera memulai syuting. Skenarionya adalah pak Wagimin sedang menjalani
kesendirian di perantauan, tanpa anak dan istri. Memang demikianlah
kenyataannya. Dia berteman sepi, menjalani hari di sini. Syuting baru berjalan
satu adegan ketika mendadak seisi kota gelap gulita. Mati lampu. Ah...inilah
pedalaman Indonesia... Kami terpaksa "break",
menunggu lama, nyaris putus asa. Pak Wagimin bercerita bahwa dalam satu hari
listrik bisa puluhan kali mati lampu. Itulah yang menyebabkan beberapa
peralatan kantor yang memerlukan sumber daya listrik banyak yang rusak. AC dan
komputer, contohnya. Sejam menunggu, akhirnya listrik nyala lagi. Kami bergegas
melanjutkan syuting. Dua adegan terambil, kembali listrik padam. Kami mengambil
jeda lagi. Badan sudah terasa capek, mata ngantuk bergayut, tapi pekerjaan ini
harus kami selesaikan. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Syukurlah tak
lama listrik kembali menyala. Pukul 23.30 kami kembali ke penginapan yang
jaraknya hanya 300 meter dari KP2KP Putussibau. Kami bersepakat, besok pagi
pukul 06.00 WIB kami sudah harus berangkat ke kecamatan Badau yang jaraknya
200an kilometer dari sini.
Rabu, 22 Mei 2013.
Pukul
06.00 WIB kami sudah berkumpul di lobi penginapan. Perjalanan panjang menuju
kota Badau akan segera kami lakukan. Tiga mobil sudah siap sedia, 1 Innova
sewaan, 1 Panther dari Sintang dan 1 Terios dari KP2KP Putussibau. Peserta
ekspedisi bertambah dua orang, pak Wagimin dan Rian, staff di KP2KP Putussibau.
Kami segera berangkat.
Hanya
perlu waktu 5 menit utk mencapai batas terluar kota ini. Sinyal telepon seluler
segera lenyap. Kami dihadapkan pada jalan selebar 4 meter beraspal mulus. Kami
mulai jarang menemui rumah penduduk. Sungguh sunyi perjalanan ini, sedikit
mencekam. Bayangan tragedi kerusuhan suku Dayak dan Madura beberapa tahun silam
melintas di benak saya. Nggak lucu aja jika tiba-tiba kami dicegat segerombolan
orang berpakaian kulit kayu sambil mengacung-acungkan mandau... Ah... Segera
saya tepis bayangan itu.
Kami
baru berkendara selama sejam ketika mendadak kondisi jalanan berubah total.
Jalanan yang semula beraspal mulus tiba-tiba berubah menjadi jalanan biasa
tanpa aspal. Yap, benar-benar tanpa aspal dan belum pernah di aspal.
"Ini
jalan baru, mas?" Tanyaku pada mas Dede, sopir Innova charteran kami.
"Idak,
pak. Memang mak inilah jalannyo, belum diaspal," jawabnya dengan logat
Melayu yang kental. Saya berasa sedang di Palembang...
Belum
hilang kekagetan saya, mendadak mas Dede memelankan laju mobil. Di depan kami
berjajar puluhan truk seperti sedang mengantre sesuatu.
Jembatan rusak menghadang perjalanan kami |
"Yang
bener, mas?" Sergahku.
"Ada
apa di depan mas, kok berhenti?" Tanyaku kepada sopir truk yang kami
lewati.
"Jembatannya
rusak, pak. Kami nggak bisa lewat, tapi kendaraan kecil bisa kok, pak."
Mendorong Panther sebelum akhirnya excavator turun tangan |
So far away from home |
Dua
jam berikutnya perjalanan kami lancar-lancar saja sampai kemudian kami menemui
hambatan serupa. Kali ini jembatan kayunya juga rusak meski tidak separah tadi.
Kami terpaksa turun dari mobil untuk membantu sopir mengarahkan roda mobil agar
tidak terperosok dalam lubang yang menganga. Syukurlkah hambatan tersebut bukan
masalah besar bagi kami. Pengendara sepeda motor yang kebetulan melintas di
belakang kami terpaksa turun dari motornya dan menuntun sepeda motornya melalui
jembatan itu.
Danau Sentarum |
Akhirnya
pukul 12.00 WIB kami tiba di Badau, sebuah kota kecamatan terluar di propinsi
Kalimantan Barat. Perbatasan dengan negara Malaysia hanya 5 menit dari kota
ini. Kami langsung menuju kantor Camat Badau. Bangunannya masih baru, bahkan
terkesan belum selesai dibangun. Di sana-sini masih berceceran material
bangunan. Lahan perkantoran ini amat luas, seluas lapangan sepakbola. Perut
melilit dilanda lapar. Saya pikir kami akan dijamu makan siang dahulu sebelum
melakukan sosialisasi perpajakan, tapi rupanya dugaan saya meleset. Tidak
tampak ada persiapan makan siang buat kami. Sebetulnya acara sosialisasi
perpajakan masih sejam lagi, tapi teman-teman rupanya langsung setting
peralatan presentasi. Saya hanya duduk mencakung di luar kantor. Tiba-tiba saya
mendengar canda segerombolan anak-anak SD pulang sekolah. Segera saya memburu
arah suara tersebut, benar saja, belasan siswa SD duduk bergerombol di bawah
sebuah gereja. Saya dekati mereka, saya siapkan kamera saya.
"Mau
ooooom...!"
"Ayuk-ayuk
senyum semua ya...."
Sontak
mereka memasang senyum polos. Beberapa pose saya jepret dengan segera. Saya
juga berbincang dengan mereka. Rupanya mereka sedang menunggu bus jemputan yang
akan membawa nereka pulang ke daerah perkebunan kelapa sawit. Ah, anak-anak ini
begitu ceria. Ditilik dari wajahnya, asal suku mereka beragam. Ada yang
berkulit sawo matang, saya taksir dia peranakan Jawa. Benar saja, dia ternyata
keturunan Jawa. Ada yang berkulit kuning langsat rupanya peranakan suku Melayu.
Ada pula yang bermata sipit, ternyata peranakan suku Dayak. Mereka bercanda tak
kenal sekat pembatas. Kepolosan memang meniadakan batas kesukuan. Rasanya kita
harus banyak belajar bergaul dengan mereka.
Pukul
13.00 WIB acara sosialisasi perpajakan dimulai. Pesertanya adalah PNS di
kalangan kantor camat Badau dan Wajib Pajak di kecamatan Badau. Jumlahnya saya
hitung mendekati angka 50 orang. Sebuah jumlah yang patut diapresiasi. Mas
Yusman dan Rian secara bergantian membawakan materi tentang Hak dan Kewajiban perpajakan.
Pada sesi tanya jawab ternyata penanya amat kritis. Pertanyaannya amat beragam,
mulai dari hal teknis sampai hal kebijakan dan makro ekonomi. Saya tidak
menyangka ada pertanyaan mengapa nilai hutang negara kita mencapai 2.000
triliun rupiah. Sebuah pertanyaan yang bahkan saya sendiri tidak tahu
jawabannya. Satu fakta yang menyedihkan adalah bahwa di kota ini tidak ada
satupun kantor bank, sehingga apabila Wajib Pajak mau menyetor pajak harus
pergi ke Putussibau. Sebuah kenyataan yang amat memilukan. Mereka berharap agar
Bank Indonesia mampu menyikapi hal ini.
Sosialisasi Pajak di Kecamatan Badau |
Kami
bergegas mencari warung makan untuk mengisi perut. Warung yang amat sederhana
itu akhirnya kami temukan. Terletak di tengah-tengah pasar. Pelayannya dua
orang wanita paruh baya. Menunya pun sekedarnya. Saya dengan semangat mengupas
sebutir telur. Belum selesai saya mengupas, Rian berguman.
"Baru
sekali ini saya liat ada orang makan telur asin pake dikupas"
"Heh?
Ini telur asin to? Kok warnanya putih gini?"
"Iya
pak Slamet. Itu telur asin dari Malaysia."
Saya
terdiam. Kejadian barusan semakin menyadarkan saya akan keterpencilan kota ini.
Saya baru menyadari betapa jauh perjalanan kami hanya demi sebuah ego
menegakkan kehormatan institusi.
Pukul
17.00 kami bergegas kembali ke mobil. Kami harus segera kembali ke Putussibau.
Hujan rintik menaungi perjalanan pulang kami. Hari mulai gelap. Tapi saya tidak
merasa takut lagi. Ada satu fenomena menarik yang saya temui di sepanjang
perjalanan darat Pontianak - Badau. Saya sering menemui sebuah sepeda motor
terparkir begitu saja di pinggir jalan, bahkan kadang di pinggir hutan.
Pemiliknya entah kemana. Mas Indra dan mas Dede bercerita bahwa daerah ini
sangat aman. Pemilik motor tidak perlu kawatir akan kehilangan sepeda motornya.
Saya kagum dengan kondisi ini. Di tengah keterbatasan ekonomi, masyarakat sini
amat menjauhi sikap buruk, mencuri harta milik orang lain. Jadi tidak ada
alasan lagi buat saya untuk takut menempuh 200 kilometer meski harus melalui
hutan belantara di malam hari.
Setelah
berkendara selama 5 jam akhirnya kami sampai kembali di Putussibau. Kami tidak
langsun kembali ke penginapan tetapi menuju KP2KP. Malam ini masih ada satu “scene” yang harus kami selesaikan. Badan
saya sangat penat, tapi segera sirna ketika tida kesatria pajak, mas Yusman,
pak Wagimin dan Rian masih bersemangat menjalani adegan. Pukul 22.30 WIB kami
menyelesaiakan tugas hari ini. Tersisa setengah hari esok sebelum saya kembali
ke Jakarta.
Kamis, 23 Mei 2013
KP2KP Putussibau |
Syuting
segera kami mulai. Skenarionya adalah aktifitas pelayanan sehari-hari di KP2KP
Putussibau. Orang boleh menyepelekan profesi artis, tapi percayalah, ketika
sudah berhadapan dengan kamera yang namanya adegan tersenyum saja bisa menjadi
sesuatu yang sangat sulit.
Pemeriksaan kesehatan di puskesmas Putussibau |
Kelar
mengambil gambar kami segera pamitan. Tragedi itu tak kami nyana sebelumnya. Mobil
Panther kami ternyata parkir di lahan becek di halaman puskesmas. Bannya selip,
berbagai upaya sudah kami lakukan untuk membebaskannya dari jebakan lumpur. Keringat
mengalir deras dari sekujur tubuh kami. Akhirnya setelah berjibaku selama
setengah jam, mobil berhasil kami bebaskan. Fiiiuh…. Inilah pedalaman, bahkan
halaman puskesmas pun bisa jadi jebakan.
Akhirnya
pukul 12.00 WIB seluruh tugas pengambilan gambar dan video bisa kami
selesaikan. Mas Yusman dan tim Kapanlagi.com kembali ke Sintang dengan
menumpang mobil Panther. Saya, mas Yos dan Angga akan menaiki Kalstar Air pukul
14.30 WIB nanti. Saya habiskan waktu menunggu di sini sembari
berbincang-bincang dengan penjaga kantor. Saya teringat, beberapa tahun silam
teman sekelas saya di DIII STAN berkantor di sini karena mengikuti suaminya
yang juga bertugas di KPPN Putussibau. Sedang asyik-asyiknya berbincang
tiba-tiba Angga datang membawa kabar buruk.
“Mas,
Kalstar delayed sampai jam 16.50”
“Waduh,
padahal Garuda kita jam 18.00 ya?”
“Iya
mas… Gimana dong?
Saya tidak bisa berkata
apa-apa sampai kemudian saya menemukan ide.
“Cari
penerbangan lain aja, Ngga. Yang penting malam ini bisa pulang.”
“Ok,
mas’
Angga
segera telepon sana-sini dan “browsing”
di internet. Melihat ekspresi wajahnya tampaknya perburuan dia mengecewakan.
“Batavia
dan Lion malam ini habis semua, Mas. Garuda besok juga “full booked”. Gimana dong?”
“Ya
sudah, kita bertaruh dengan nasib saja, Ngga. “Web ceck in” dari sini. Kalo memang jodoh pasti kita akan terbang
dengan Garuda itu.”
Saya
lantas teringat dengan kejadian hari Jum’at seminggu yang lalu. Waktu itu saya
dan teman-teman bertugas ke Medan. Saya harus pulang dengan pesawat Garuda
pukul 20.00 WIB. Pukul 16.00 kami masih berada di daerah Parapat Danau Toba.
Jadilah kami berkendara sepanjang hampir 200 kilometer sembari menahan nafas.
Syukurlah waktu itu kami berhasil sampai di bandara Polonia Medan tepat waktu,
saat panggilan terakhir telah dikumandangkan.
Kali
inipun demikian. Taruhlah pukul 16.50 WIB nanti kami akan “take off” dari Putussibau, maka kami akan “landing” di Pontianak pukul 17.50. Proses taksi pesawat dari
landasan ke apron paling tidak 10 menit, maka kami baru bisa turun dari pesawat
pukul 18.00 WIB. Sementara pada jam tersebut pesawat Garuda yang akan kami
tumpangi mungkin sudah boarding. Ah… kembali saya menguatkan keyakinan, bahwa
kami akan naik pesawat itu.
Pukul
15.30 WIB kami berangkat ke bandara Pangsuma, Putussibau. Hujan rintik membasahi
jalanan yang kami lewati. Hanya sepuluh menit perjalanan kami ke bandara itu. Awan
gelap menggantung di langit Putussibau. Saya
menenangkan diri. Kami bertiga segera memasuki ruang tunggu keberangkatan
meskipun jadwal terbang kami masih lama. Percuma juga nongkrong di luar, tidak
ada tempat duduk untuk menunggu, hanya ada satu kantin kecil yang penuh oleh
pengunjung lain. Saya bertanya ke petugas Kalstar Air tentang kabar terakhir
penerbangan kami. Jawabnya masih sama, pukul 16.50 WIB.
Tepat
pukul 16.35 WIB pesawat yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pesawat turboproof
ATR 42-400 buatan Perancis itu mendarat dengan suara menderu. Kami segera
berebut paling duluan sampai di dalam pesawat agar bisa memilih tempat duduk di
dekat pintu masuk/keluar. Tujuannya adalah agar begitu mendarat di Pontianak
kami segera bisa turun untuk mengejar Garuda kami.
Jam
tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.55 WIB ketika pilot mengumumkan saat
tingal landas telah tiba. Kursi penumpang berkapasitas 48 penumpang terisi
semua. Ini adalah satu-satunya penerbangan dari Putussibau ke Pontianak dengan
waktu tempuh satu jam. Laju pesawat yang terbang pada ketinggian 14.000 kaki
ini terasa amat lambat. Sesekali saya menoleh ke Angga yang duduk di belakang
saya. Senyumnya sudah hilang sedari tadi. Pasti banyak yang sedang
dipikirkannya. Bayangan akan kerepotan yang harus dia jalani seandainya kami
tertinggal Garuda memenuhi kepalanya. Maklum, dia memang mengurusi hal khusus,
akomodasi perjalanan dinas kami dan mempertanggungjawabkannya ke Pejabat Pembuat
Komitmen. Resiko pekerjaannya besar, menyangkut pertanggungjawaban belanja uang
negara.
Tiba-tiba
pesawat berguncang-guncang. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Saya
lihat jam tangan saya baru menunjukkan pukul 17.35 WIB. Artinya ini belum saat
mendarat. Pesawat juga belum mengurangi ketinggiannya. Sesaat kemudian
terdengar pengumuman dari pramugari, cuaca buruk menghadang kami. Saya melihat
keluar jendela. Awan hitam menggantung di atas pesawat kami. Pesawat kami terus
bergoncang-goncang. Keadaan makin diperparah karena sudah saatnya mengurangi
ketinggiannya. Dua baris bangku di depan saya di tempati satu keluarga, ayah,
ibu dan dua anaknya yang masih balita. Anaknya muntah-muntah tak kuasa menahan
efek guncangan. Seisi pesawat terdiam, cuaca di luar teramat gelap. Pesawat mulai
tenang ketika sudah “descending” ke
posisi mendarat. Hujan deras di luar sana. Tetesan airnya merambat di kaca
jendela. Saat mendarat telah tiba.
Tepat
pukul 18.05 pesawat menyentuh landasan dengan lembut. Pandangan saya nanar
menyapu apron bandara. Saya sedang mencari-cari sosok Boeing 737-400. Tidak ada
di sana, yang ada hanyalah Boeing 737-900 ER dengan warna oranye, Lion Air. Saya
lemas, pasrah… juga Angga dan Mas Yos.
Begitu
pesawat berhenti sempurna saya langsung berdiri dan bersiap di depan pintu yang
belum terbuka. Seorang pramugari cantik berjaga di sana.
“Garuda
jam 6 sudah terbang ya, mbak?” tanyaku kepadanya.
“Kurang
tahu ya, pak. Tapi kayaknya tadi saya dengar dari radio malah batal terbang dari Jakarta.”
Jawaban
yang tidak kuharapkan sama sekali.
Pintu
itu lantas terbuka. Sebuah anak tangga dijulurkan dari atas truk pengangkut.
Saya bergegas menuruninya. Kepada petugas penjaga tangga saya kembali bertanya
hal yang sama. Jawabannya tidak lebih memuaskan dari sebelumnya.
“Wah
saya malah tidak merhatiin, pak. Coba Bapak tanya ke “driver shuttle bus” itu, pak,” jawabnya sambil menunjuk ke arah bus
yang akan membawa kami ke terminal kedatangan.
Tanpa
menghiraukan hujan yang deras membasah, saya berlari ke bus itu. Sebetulnya petugas
menyediakan payung, tapi saya tidak menggubrisnya. Saya orang pertama yang
mencapai bus itu. Dengan nafas tersengal saya mendekati sopir.
“Pak,
Garuda ke Jakarta sudah berangkat, ya?”
“Yang
jam 6 ya pak?”
“Iya,
pak. Yang jam 6.”
“Oh,
belum pak. Masih “holding” di atas,” ujarnya sembar menunjuk langit.
Saya
hampir terduduk lega. Angga dan mas Yos yang tiba belakangan di bus segera ku
sambut dengan satu kalimat.
“Kita
hanya perlu satu keyakinan, maka semesta akan mengamininya.”
Jakarta,
28 Mei 2013.
4 comments:
mantap.. lanjutkan
Wuaah.. seru tim Putusibau :)
Salam kenal, Pak, saya dari tim Natuna.. Natuna alhamdulillah lancar jaya :)
ayooook nulis, Pan...
Mas Rangga, mana reportasenya?
Post a Comment