Sejujurnya saya baru beberapa pekan mencermati nama ini. Sebelumnya saya nyaris tak mengenalnya. Hal yang menuntun saya pun bukan kiprah kemanusiaannya, tapi sosoknya yang dijuluki the real crazy rich. Bermula dari situ, saya menyusuri internet. Perjalanan itulah yang akhirnya membuat saya tahu sosok utuh (versi internet) seorang pria bernama Jusuf Hamka.
Lalu
Gusti Allah bermurah hati pada saya. Spectaxcular 2022 menjadi pelantar
pertemuan saya dengan beliau. Ditugasi menjadi juru komunikasi dengan para
narasumber membuat saya punya waktu lumayan lama berbincang dengan pria yang
akrab disapa Babah Alun ini. Terlahir dari multietnis membuat pria kelahiran
Samarinda tidak bisa bilang secara spesifik saat saya tanya asal keberadaannya.
“Saya
orang Indonesia, pak Slamet. Lha gimana, bapak saya asli etnis Tionghoa,
sementara ibu saya sudah campuran Tionghoa-Dayak.”
Saya
tak menyangka beliau seterbuka ini dengan saya.
“Hal
inilah yang membuat saya selalu mengedepankan toleransi dalam beragama,”
tambahnya.
Rupanya
nama Jusuf Hamka punya sejarah sendiri. Alkisah pada tahun 1981, Alun Joseph
(nama sebelum masuk Islam) memeluk Islam. Proses pengislamannya sendiri
berjalan unik. Kala itu Alun mendatangi masjid Al Azhar untuk mengucapkan
kalimat syahadat. Oleh pengurus masjid, pemuda berusia 23 tahun tersebut diajak
ke rumah Buya Hamka. Di tempat itulah kalimat syahadat diucapkan oleh Alun
Joseph. Tak hanya membimbing pembacaan kesaksian Alun terhadap Allah dan nabi Muhammad,
ulama besar itu juga menghadiahkan nama kepada mualaf tersebut. Lahirlah nama
baru Jusuf Hamka.
“Saya
tidak anti toa (pelantang suara), Pak Slamet. Tapi kita juga harus sadar bahwa
kita hidup di lingkungan yang beragam. Ada orang yang punya keyakinan berbeda
dengan kita. Ada anak kecil dan orang tua yang mungkin sedang sakit dan butuh
istirahat. Kalau mbangunin sahur jam 1 malam menurut saya sudah tidak pada
tempatnya.”
Ketika
berbicara soal ini, pria berpembawaan santun ini sedikit berubah. Nada suaranya
agak ketus dan sesekali meninggi, nyaris berapi-api.
“Kadang sikap kita cenderung egois saat jadi mayoritas. Mereka belum pernah merasakan menjadi minoritas seperti saya.”
Kalimat ini membuat saya terdiam. Isi kalimatnya
mengoyak perasaan saya. Selama ini saya jarang menyimulasikan diri dalam
kondisi seperti yang beliau sampaikan. Saya memang beberapa kali menjalani hari
sebagai minoritas. Di antaranya saat berkunjung ke Nepal beberapa tahun silam.
Saat itu, tahun 2015, saya berburu foto ke sana selama sepekan. Tantangannya
hanya soal makanan. Namun ini relatif mudah diatasi. Makan saya telur dan
ikan, beres. Tentu kadar keimanan saya masih menoleransi atau mengabaikan
proses memasaknya.
Ada
cerita menarik saat saya tiba di kota Bandipur. Dasarnya memang senang ngobrol,
saya nyanthol di sebuah toko makanan. Pemilik tokonya warga keturunan Arab.
Kepadanya saya bertanya tentang lokasi masjid terdekat.
“Di
desa sebelah, limabelas kilometer dari sini. Di balik bukit itu,” jawabnya.
“Anda
salat Jumat di mana?”
“Di
sana,” jawabnya singkat.
Jawaban
yang menampar batin saya saat itu. Betapa tidak. Selama ini bisa dibilang saya
tidak perlu menempuh jarak ratusan meter untuk salat Jumat. Saking
berdekatannya, terkadang kita bisa mendengar khutbah masjid lain dari masjid
kita. Di kampung belakang tempat tinggal saya, tiap pagi, seusai waktu Subuh
sampai jam 5.30-an, saya bisa mendengar tiga pelantang suara dari tiga masjid
yang berbeda.
“Soal
mbangun masjid, Pak. Saya juga belajar dari Bapak yang punya keinginan
membangun seribu masjid. Bagaimana ceritanya, Pak?”
“Jadi
gini, pak Slamet. Tadinya cita-cita saya cuma lima masjid. Suatu hari saya
seperti mendapat tantangan dari Allah. Jangan cuma lima, seribu. Gitulah
kira-kira bisikan batin saat itu. Maka saya jadikan program pembangunan seribu
masjid sebagai kewajiban saya.”
“Kriteria
pemilihan lokasinya gimana, Pak?”
“Macem-macem.
Ada yang di kolong tol, ada pula yang di tempat tak terduga. Itu pak Slamet
tahu Taman Suropati Menteng, kan? Bertahun-tahun tidak ada masjid di sekitar
situ. Para pekerja pada bingung kalau mau salat berjamaah, sementara mereka
tidak bisa terlalu lama ninggalin pekerjaannya. Saya sudah berusaha ngurus
perijinan tapi nggak beres-beres. Eh, lha kok pos polisi di situ roboh. Lama
terlantar, sekitar delapan bulan, bangunan itu tidak terurus. Lalu saya didatangi aparat pemerintah
setempat. Mereka bertanya, apa saya mau memperbaiki pos polisi itu? Saya jawab dengan pertanyaan, boleh nggak sekalian saya bangunkan
masjidnya juga? Barulah masjid di sana terbangun.”
“Ijin
berbagi pengalaman juga, Pak. Seperti kita tahu, Islam di Jawa ini kan sudah
ada sejak ratusan tahun yang lalu. Maka bisa dimaklumi kalau usia masjidnya
juga sudah tua. Nah, selama ini saya suka ketitipan proposal rehab masjid dari
tetangga di Wonogiri sana. Salah satunya yang sedang berlangsung adalah Rehab Masjid Tua. Dari situ biasanya saya buatkan penggalangan dana di
kitabisa.com serta saya sebarkan ke teman-teman melalui medsos. Saya jadi punya
kesimpulan bahwa seseorang yang sudah punya niat bersedekah kadang masih perlu
diketuk pintu rumahnya agar niat tersebut terealisasi. Nah, alhamdulillah saya
diberi kesempatan untuk menjadi pengetuk pintu itu, Pak.”
“Betul,
pak Slamet. Itu bagus sekali. Banyak orang yang menjadikan harta sebagai tujuan
akhir. Padahal harusnya harta itu hanya sebagai sarana. Untuk mendapat
kemuliaan di mata Allah.”
Obrolan
kami masih berjalan seru saat saya mendapat kode untuk segera beranjak. Menteri
Keuangan akan masuk ke ruangan ini. Ada perasaan yang masih menggantung karena
saya harus berpisah dengan sosok yang baru saya kenal tersebut. Beliau akan
menjadi narasumber kami dan saya tak bisa lagi ngobrol dengannya.
Usai
acara, pak Jusuf Hamka tak langsung beranjak. Beliau mampir ke warung dadakan
yang kami gelar di selasar aula. Saya mengamatinya dari kejauhan. Pengusaha
jalan tol itu tampak membeli beberapa barang tanpa banyak cakap. Dua asisten
mendampinginya. Usai bertransaksi, mereka bertiga berjalan menuju arah luar.
Saya mencegatnya.
“Pak
Jusuf, mohon berkenan makan siang dulu.”
“Wah,
nggak usah pak Slamet, ngeprotin.”
“Lho
tidak, Pak. Bapak kan tamu kami, jangan sampai kami jadi tuan rumah yang dzalim
karena tidak menjamu tamu. Tapi mohon maklum nggih, Pak. Menunya ala
pemerintah.”
“Ya
sudah kalo gitu, saya makan.”
Saya
mengiringinya sampai pintu ruang makan VIP. Demi melihat sajian nasi liwet,
wajah pria berusai 65 tahun itu tampak ceria.
“Waaah,
nasi liweeeet. Kesukaan saya ini.”
“Siaap,
monggo, Pak. Saya tinggal ya, Pak. Selamat makan, saya ijin hande pak Tung
Desem dulu.”
Kepada seorang pejabat pimpinan tinggi madya yang saya kenal baik, pak Jusuf saya arahkan. Mereka lekas berbincang akrab.
Selain pak Jusuf
Hamka, pak Tung Desem Waringin jadi salah satu narasumber acara kami tadi.
Sebelum acara dimulai, saya juga yang menemaninya di ruang tunggu utama.
Motivator handal itu banyak memberikan masukan soal cara memasarkan pajak.
“Mas,
pak Tung mana? Ayuk diajak makan.”
“Wah,
beliau langsung ke bandara, Pak. Mau nyekar ibunya di Solo.”
“Iya,
Pak. Asli Solo.”
“Walah,
tau gitu saya tadi ngobro sambil bawa-bawa nama Solo. Siapa tahu nyambung…
haha. Ya sudah, Njenengan silakan makan, ya. Saya tak balik ke ruangan VIP.”
Saya
tak benar-benar kembali ke ruangan itu, tapi hanya duduk di ruang tunggunya.
Kepada salah satu staf, saya bilang, “Rin, nanti tolong fotoin aku sama pak
Jusuf, ya. Pakai hape kamu aja.”
Tak
berapa lama pak Jusuf beranjak keluar. Atasan saya mendampinginya. Saya
menyongsong mereka. Memanfaatkan jeda waktu, saya minta ijin untuk berfoto
bersamanya.
“Saya
pamit, Bapak dan Ibu. Tidak usah diantar ke bawah,” pintanya.
Bukan
tuan rumah yang baik pula jika kami tak mengantarnya ke pintu. Dan lagi-lagi
saya yang mendapat kesempatan baik itu.
Sejam berbincang dengan pak Jusuf Hamka bak mengarungi telaga ilmu. Beberapa bagian tidak saya tulis karena alasan tertentu. Selebihnya saya belajar menjadi manusia darinya.
![]() |
Saya dan Jusuf Hamka. Ternyata beliau lebih tinggi daripada saya |
Jakarta, 25 Maret 2022
No comments:
Post a Comment