Saturday, November 27, 2010

Ada Timlo di Manado



Hati kami, aku, mbak Sri, pak Richard sontak ciut mendapat berita bahwa pesawat terbang yg akan kami naiki dari Sorong menuju Manado pagi ini adalah pesawat baling-baling. Namun persepsi itu segera sirna ketika kami boarding. Adalah ATR 72-500 produksi terbaru dari pabrikan Perancis dengan kabin yg nyaman yang dioperasikan oleh Wing Air. Kebetulan kami dapet seat nomor 1, so dengkulku gak akan tersiksa lagi kayak waktu naik Merpati. Adalah pak Richard yg mengenali sosok laki2 yg sedang berdiri di dekat seat kami. Pria dengan perawakan sedang berambut plontos. Kami sempat bertukar sapa sesaat karena pramugari jelita itu telah mengingatkan kami untuk segera mengambil tempat duduk.
Cuaca yg cerah berawan tipis membuat perjalanan kami terlalui dengan nyaman. Ketinggian jelajah 16.000 kaki membuat jendela pesawat menampakkan bentang kepulauan Maluku yg begitu elok, bak tertata berkonfigurasi membentuk pola. Perjalanan satu jam lebih pun terasa cepat usai terbuai olehnya.

Transit di Manado membuat kami harus berbagi tugas. Aku ngurusin transit, mbak Sri n pak Richard nyari oleh-oleh. Rada ribet tata kelola bandara Sam Ratulangi, aku harus naik ke lantai atas dan kembali turun di sisi seberangnya untuk menjangkau tempat pendaftaran transit. Untunglah antrian tidak terlalu panjang, hanya 5 orang di depanku. Tiketpun telah qsiapkan. Sekonyong-konyong qdengar obrolan antara dua bapak-bapak persis di sebelahku. Seorang bapak tua, berumur 60an tahun, berbaju batik ala kadarnya tampak teguh menyimak penjelasan dari penumpang lain tentang tata cara check in dan ambil bagasi. Penumpang lain itu tampak terburu-buru menjelaskannya, karena dia juga akan check in di maskapai yg berbeda dengan kami. Karena kebetulan bapak tua itu persis di sampingku, aku berinisiatif menawarkan bantuan. Ternyata dia bernama Thohir. Ku lihat tiketnya jurusan Sorong - Surabaya transit Manado. Instingku mengatakan pak Thohir pasti orang Jawa. Maka ku sapa dengan bahasa Jawa, dan benar. "Bapak mau ke Surabaya?", tanyaku. "Mboten (tidak) Mas, ke Jogja," sahutnya. Selidik punya selidik rupanya Lion Air menerbitkan dua tiket, satu Sorong - Surabaya transit Manado, ke dua Surabaya - Jogja.
Giliranku pun tiba. Segera ku daftarkan tiket pak Thohir ke petugas. Petugas bilang bahwa bagasi pak Thohir di Surabaya nanti harus diambil dahulu terus ditimbang lagi, karena ganti pesawat. Waduh, terbayang prosedur yang gak gampang yg akan dijalani pak Thohir. Ku ajak dia naik ke ruang tunggu mengingat transitnya gak lama.
Baru dapet setengah perjalanan dengan anak tangga ke lantai atas, aq berhenti. Pak Thohir aku minta tunggu sebentar, karena aku mau ke konter bawah pinjam staples buat nyatuin tiket dan boading pass biar gak berceceran. Tidak butuh waktu lama untuk melakukannya. Segera kuhampiri lagi pak Thohir. Sejurus aku tertegun. Bersamanya ada sosok pria berkepala plontos yg tadi sempet bertukar sapa di pesawat. Rupanya pria plontos itu juga menangkap kebingungan pak Thohir sehingga berniat pula membantunya. Kami bertiga lantas menuju lantai atas untuk mengantarkan pak Thohir ke ruang tunggu. Petugas yang kami temui belum bisa memastikan ruang tunggu gate berapa yang akan diperuntukkan buat penerbangan Lion Air Manado - Surabaya karena pesawatnya belum mendarat. Kusampaikan ke pria plontos itu bahwa ideku adalah menitipkan pak Thohir ke penumpang jurusan Surabaya sekaligus sesampainya di Surabaya minta tolong ngurusin transitnya. Pria plontos itu mengajak kami ke kedai makanan di area ruang tunggu. Dengan ramah dan ringan dia bertanya ke pak Thohir mau makan apa. Pun demikian dengan aku ditawarinya pula. Dua porsi soto ayam dan seporsi mie ayam tak lama terhidang. Kami sedang asyik menikmati makan siang kami ketika sekonyong-konyong seorang pria perlente menenteng kamera digital minta ijin ke pria plontos itu untuk berfoto bersama. Dengan ramah ijin diberikan. Jadilah aku juga ikut narsis berfoto bersama, termasuk mbak Sri dan pak Richard yg tiba-tiba muncul. Pria perlente itu rupanya tidak sekedar minta foto, tapi juga ngajak ngobrol. Kami sontak girang tak terkata ketika pria itu mengatakan bahwa dia mau terbang ke Surabaya. Maha Kuasa Tuhan! Doa kami begitu cepat Engkau respon. Pria itu segera mengenalkan diri, Wisnu namanya. Kamipun bertanya lebih jauh ke pak Thohir, sebenarnya dari mana dia berasal. Pak Thohir rupanya berasal dari Kebumen. Dia bercerita bahwa dia habis nengok adiknya yang sudah 30 tahun jadi transmigran di Sorong. Sebulan yang lalu dia naik kapal ke Sorong, pulangnya dibelikan tiket pesawat. Jadilah ini sebagai penerbangan pertamanya.
Dari obrolan itu baru terkuak juga bahwa ternyata aku dan pria plontos itu akan sepesawat dengan pak Wisnu dan pak Thohir. Pesawat kami, Lion Air Manado - Jakarta rupanya juga transit di Surabaya. Maha Suci Tuhan yg telah mentakdirkan pertemuan ini.
Panggilan boarding memaksa kami mengakhiri obrolan. Dengan sigap pria plontos itu bergegas ke kasir. Kususul dia. Ku keluarkan dua lembar uang 50 ribuan dan ku sodorkan ke dia. Dengan tegas dia menolak. Aku tidak mau berdebat, terima kasih traktirannya, Mas.
Pria plontos itu rupanya habis dapet job ngemci di Sorong. Bersamanya ada temen satu groupnya dan seorang penyanyi wanita bersama manajernya. Sepanjang waktu antrian boarding banyak yang menyapa pria plontos itu. Beberapa bahkan minta foto bareng dan bertukar nomor telepon. Semua dia layani dengan ringan dan tanpa kesan menonjolkan diri.
Sebuah ketenaran yang tidak meruntuhkan kepribadian.

Ucapan terima kasih :
  1. Wing Air nomor penerbangan IW 1177. Sorong - Manado
  2. Pak Thohir – Kebumen
  3. Mas Pangsit Timlo
  4. Mas Benjo Timlo
  5. Pak Wisnu
  6. Pak Richard
  7. Mbakyu Sri

    2 comments:

    Anonymous said...

    nice story friend, wis nulung dulur soko Kebumen
    salam arief stan92segarau

    Masla said...

    @Arief : Makasih Rief...
    Pa kabar? Saiki nengendi?