Mas Mul
Satu dari Beberapa Kisah Meniti Awal Karir di KPP. Baturaja (1995 –
1999)
"Mau makan apa pak
Slamet? Katakan terus terang", tanya mas Mul tanpa ekspresi tapi sambil
menengadahkan kedua telapak tangannya tanda meminta uang. Sepotong kalimat yang
terus terngiang sampai sekarang. Kalimat-kalimat sederhana bernada lucu sering
meluncur dari mulutnya.
Perawakannya rada tinggi,
ceking. Rambut lurus kaku, kulit hitam, cenderung dekil. Cara berpakainnya pun
nyaris rapi. Awal aku berkantor di KPP Baturaja dialah pesuruh kantor pertama
yang berani menyapaku. Aku jadi cepat akrab dengannya karena sama-sama dari
Jawa. Yap, kadang kesamaan suku merekatkan keakraban ketika di perantauan.
Logat bicaranya ke-jawatimur-an. Aku tidak tahu persis dari daerah mana
asalnya. Dari berbagai cerita terkuaklah fakta bahwa dia adalah keponakan dari
seorang Kepala Kantor yang pernah memimpin di sini. Saat pejabat itu purna
tugas Mas Mul memilih menetap di sini, tidak ikut pulang ke kampung halamannya.
Dia tidur di kantor, sebuah ruang kecil entah bekas ruang apa yang kemudian
disulap jadi kamar tidur. Isinya pun
nyaris ada, hanya sepotong dipan tua dan bantal kusam. Lemari berkas
dijadikannya lemari pakaian. Di ruangan sempit itu juga ada seperangkat alat
masak berupa kompor minyak, wajan, panci, beberapa sendok dan piring.
Kebetulan salah satu area
kerja dia adalah ruangan seksiku. Setiap pagi sebelum kami semua bekerja,
lantai dan meja telah beres dia bersihkan. Kelar kerjaan bersih-bersih kantor
biasanya dia keliling ke meja-meja pegawai ngajak ngobrol tak tentu topik,
sembari menunggu obyekan membelikan
makan siang pegawai yang malas keluar kantor.
Dari berbagai kesempatan
ngobrol tersebut aku menilai dia punya pengetahuan umum yang lumayan bagus.
Banyak kosa kata bahasa Inggris yang dia kuasai. Pernah suatu malam, aku dan
Ragil sedang lembur merekap Faktur Pajak PPN. Ada satu istilah di item barang
di Faktur Pajak yang tidak kami mengerti, sewa excavator. Kami sedang mengira-ira apa yang maksud dengan excavator tadi ketika mas Mul menyergah
kami, "Bego!". Kami terhenyak tak mengerti apa maksud mas Mul
mengumpat seperti itu. "Iya, itu bego, pak. Alat untuk ngeruk tanah itu
lho....", ujarnya polos tapi dengan ekspresi penuh kemenangan. Kami
terpaksa mengakui kebodohan kami...
Suatu malam minggu, aku dan
Ragil bersepakat untuk menginap di kantor. Memang begitulah kebiasaan kami,
kalau sdang mati ide dan tidak ada kegiatan Irul, kami suka berlama-lama di
kantor. Kebiasaan kami adalah main game
di komputer. Kalau bukan Prince of Persia
ya Wolfstein. Sebenarnya Ragil yang
lebih suka main games. Aku memilih jadi suppoerter saja. Rasanya asyik melihat
dia begitu piawai melewati level demi level games
tersebut. Tengah malam kami masih terjaga ketika ketenangan kami terusik oleh
rasa lapar yang hinggap. Kami bingung mau makan apa. Di kota kecil ini memang
masih banyak warung makan yang buka. Tapi kami malas untuk mencari makan
keluar, apalagi permainan sedang berlangsung seru-serunya. Mas Mul yang sedari
tadi ikut duduk bersama kami tiba-tiba melontarkan ide, "Mau tak bikinin
nasi goreng?", tanyanya sambil beranjak ke dapur tanpa menunggu
persetujuan kami.
Di malam minggu yang lain
kami juga menginap di kantor lagi. Kami biasanya tidur di mushola. Sejatinya
mushola tersebut adalah sebuah ruangan kantor kami. Ukurannya tidak terlalu
besar, hanya sekitar 4 x 4 meter. Lantainya dilapisi karpet warna hijau yang
baunya apek banget. Arah kiblatnya pun tidak selaras dengan bentuk ruangannya,
serong ke kiri tiga puluh derajad. Di dindingnya tidak ada tempelan hiasan
apapun, polos. Temboknya dicat krem,
sebagian malah sudah mengelupas di sana sini. Minggu pagi itu kami bangun
kesiangan. Tidur di mushola tapi melewatkan sholat Subuh. Kebetulan arah
datangnya sinar matahari berasal dari balik mushola ini sehingga sampai pukul 8
pagi masih terasa redup. Bau harum oseng-oseng kacang panjang dan tempe
membangunkan kami pagi itu. Rupanya masakan mas Mul lah biang bau harum itu. Di
samping kami sudah terhidang dua piring nasi dan semangkok oseng-oseng tempe
dan kacang panjang. "Ayo pak Met, Gil....sarapan dulu", katanya
dengan dengan ekspresi datar.
Juli 1999 aku melanjutkan
studi kedinasan di Jakarta. Setiap bulan aku pulang ke Baturaja menengok anak
istri. Sesempatnya aku suka mampir ke kantor, bertemu dan kangen-kangenan
dengan teman-teman lama. Sabtu pagi ketika aku main ke kantor tak ku jumpai mas
Mul. Aku tanya ke Ragil, kemana gerangan sosok legendaris itu. Ragil menarikku
ke sudut ruangan. Dia berbisik, "Mas Mul sedang jadi incaran reserse.
Bisnis togelnya tercium aparat. Dia sekarang sedang menyamar, kumisnya dicukur,
kemana-mana pake wig panjang".
Aku tak kuasa menahan
geli....
No comments:
Post a Comment