Mimpi Semalam
"Mas,
bisa kita bicara sebentar?" sapanya setengah menyuruhku untuk duduk di
sampingnya.
Malam itu dia mengenakan
blus batik terusan, seperti yg dia kenakan tanggal 22 Desember tahun lalu.
Tangannya memegang selembar koran hari ini.
"Kenapa,
jeng?" sahutku sambil menghempaskan diri di bangku kosong itu.
Teras ini hanya diterangi
lampu neon yang sudah mulai redup. Taman kecil depan rumah dan beberapa lampu
pagar entah kenapa tidak menyala. Seingatku istriku sedang nonton tv di ruang
tengah saat ini. Aku tidak ingat dengan keberadaan dua anakku...
"Apa mas bener-bener
mencintaiku?" tanyanya lugas.
Aku tergagap, tidak siap
dengan pertanyaan seperti itu. Hatiku ciut. Sejujurnya aku sedang membaca
hatiku sendiri. Apakah cinta itu memangg harus ada di antara kami. Aku masih
terdiam ketika dia meneruskan bertanya. "Kita mau nikah pakai cara apa
mas? Islam atau agamaku?", tanyanya seolah dia sudah mendapat jawaban atas
pertanyaan pertama tadi.
Aku tambah megap-megap. Satu
pertanyaan saja belum mampu kujawab, kini dia menghunjamku dengan pertanyaan ke
dua yang makin membuatku jengah.
Aku pandangi wajahnya. Kaca
mata minus menaungi bola matanya yangg tampak berkaca-kaca. Aku tumpangkan
tanganku di atas kedua pahanya. Sejenak dia balas memandangku seperti biasa,
senyum tipis yang nyaris ada.
Mendadak bahuku serasa diguncang-guncang.
Suara lembut berbisik.
"Pak, bangun...sudah
hampir jam 6. Nanti macet lho...."
Aku tergagap membuka mata.
Istriku berdiri di samping ranjang dengan muka penuh cemas. Jendela kamar
tidurku masih tertutup horden, tapi aku cukup tahu bahwa aku sudah kesiangan...
No comments:
Post a Comment