Mimpi Semalam II
Aku duduk tercenung di depan
pasangan suami istri itu. Sore itu angin sepoi berhembus di teras rumah mereka
yang rimbun oleh pepohonan. Kami saling bertukar kabar masing-masing. Pertemuan
pertama dengan suaminya sesungguhnya amat kuhindari. Bukan apa-apa, namaku
pernah tersebut dan terbaca olehnya di rangkaian chatting-ku dengan istrinya setahun yang lalu. Syukurlah, sejauh
ini aku tidak melihat ada keganjilan di sorot matanya.
Dia pria biasa, berkaca mata
minus, rambut rapi, tampang lumayan untuk seseorang yangg berasal dari pelosok
Klaten sana. Sebuah pasangan ideal menurutku. Setahuku mereka seumuran.
"Saya memang sekantor
sama istri sampeyan, mas..." jawabku ketika dia bertanya tentang asal
muasal keakraban kami.
Entah siapa yang memulai,
tiba-tiba di bertanya,
"Jadi bener mas Slamet
pernah mimpi diajak nikah sama istri saya?"
Aku gelagapan dibuatnya.
Kulirik istrinya yang duduk di antara kami juga sedang terjepit pada posisi
yang tidak nyaman.
"Emmmm...
Iya mas. Aku memang mimpi itu, mas.." jawabku tanpa bisa mengelak lagi.
"Terus, apa kelanjutan
hubungan kalian?" tanyanya seakan mencecarku.
Aku tertunduk diam. Gulatan
rasa begitu mengaduk-aduk batinku. Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu arah
hubungan kami. Di satu sisi aku terobsesi dengannya. Ada bongkahan rasa yang
aku yakin itu adalah cinta. Sayangnya dia begitu misterius buatku. Sampai detik
ini aku tidak berani menyatakan bahwa dia juga tertarik kepadaku. Sinyalnya
terlalu lemah.
"Ah... Nggak ada
hubungan apa-apa, Mas. Hanya sebatas teman sekantor, kok."
Itulah sepenggal kalimat
yang sanggup kukatakan. Ada sebuah kebohongan yang sedang kututupi...
"Pak....," kali
ini istrinya yang memanggilku...
"Ya, jeng..."
"Bapak berangkat siang,
ya? Sudah jam 8 lho....".
Aku tergagap, ngucek-ucek
mata. Ah, syukurlah aku belum sempat mengatakan apa yangg sudah ada di benakku.
Sentuhan jari istriku di telapak kakiku sontak membangunkanku pagi ini.....
March 20, 2012
No comments:
Post a Comment