Buta Warna
Pemeriksaan kesehatan hari itu harusnya hal biasa saja.
Pengukuran tekanan darah, jumlah denyut nadi per menit, cek rabun mata, dan tes
buta warna. Semuanya sudah pernah kulakukan, kecuali yang terakhir. Semua juga
normal, sampai ketika aku dihadapkan pada sebuah buku kecil berisi
lembaran-lembaran gambar yang dibentuk dari ratusan titik-titik bulat
warna-warni. Pertanyaannya sebenarnya sederhana saja, titik-titik itu membentuk
angka berapa? Tiga lembar pertama sukses aku jawab, dan benar. Menginjak lembar
ke empat aku tidak melihat angka apapun di lembaran itu, demikian juga dengan
lembaran-lembaran beikutnya. Dokter yang memeriksaku tidak bereaksi apa-apa. Di
dua lembar terakhir aku disuruh menunjukkan pola garis yang terbentuk dari
kumpulan titik-titik itu. Lagi-lagi aku sama sekali tidak melihat pola apapun.
Dokter itu lantas mengakhiri tesku.
"Pak Slamet, anda buta warna parsial,
red-green."
"Waduh, terus gimana, dok?"
"Ya nggak apa-apa pak. Penyakit ini tidak bisa
disembuhkan."
Aku melangkah gontai keluar dari klinik Dinas Kesehatan Pemda Surakarta itu. Sepucuk surat keterangan kesehatanku yang baru saja diteken dokter tersebut kugenggam kuat, nyaris membuatnya kumal. Hasil tes barusan membuatku amat risau. Betapa tidak, hasil itu menentukan hidup mati perjalanan studiku di STAN. Aku bisa dikeluarkan dari sekolah itu apabila jasmaniku dinyatakan tidak sehat meski nilai akademikku baik-baik saja.
Aku melangkah gontai keluar dari klinik Dinas Kesehatan Pemda Surakarta itu. Sepucuk surat keterangan kesehatanku yang baru saja diteken dokter tersebut kugenggam kuat, nyaris membuatnya kumal. Hasil tes barusan membuatku amat risau. Betapa tidak, hasil itu menentukan hidup mati perjalanan studiku di STAN. Aku bisa dikeluarkan dari sekolah itu apabila jasmaniku dinyatakan tidak sehat meski nilai akademikku baik-baik saja.
Ah, ide cemerlang mendadak muncul. Di surat edaran
direktur STAN hanya menyebutkan persyaratan surat keterangan kesehatan dari
dokter pemerintah, artinya bisa mulai level Puskesmas sampai Rumah Sakit.
Kenapa aku tidak minta surat keterangan dari puskesma tempat bapakku bekerja
saja? Akhirnya surat sakti itu kudapat dengan mudah, bahkan cuma-cuma. Berkas lamaran
menjadi CPNS Departemen Keuangan pun lengkap sudah.
Kepanikan itu kembali datang melanda. Menjelang akhir
semester empat kami seluruh mahasiswa STAN diharuskan melakukan uji kesehatan
dan uji ketergantungan narkoba. Hebat sekali memang sekolahku ini. Kami tidak
hanya dituntut pintar tapi juga harus sehat dan bebas narkoba. Yang membuatku
panik bukan uji ketergantungan narkoba, tapi uji kesehatannya. Uji kesehatan
kali ini ditentukan tempatnya, yaitu di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur.
Ingatan akan kegagalan tes buta warna setahun yang lalu amat menghantuiku. Aku
tidak bisa membayangkan jika aku harus tereliminasi dari sekolah elit ini
gara-gara tidak lulus tes buta warna. Mau ditaruh dimana mukaku dan muka
bapakku di depan tetangga kampung Wonogiri sana? Aku mau kerja apa kalau drop
out dari sini? Aku jadi menyesal mengabaikan panggilan daftar ulang dari
Fakultas Ekonomi Akuntasi UGM yang kuterima seminggu setelah pengumuman
kelulusan tes masuk STAN. Coba aku dulu kuliah di UGM, pasti tidak terperosok
dalam kenistaan cacat bawaan ini. Berhari-hari aku tidak bisa tidur nyenyak.
Aku tidak berani cerita ke siapapun tentang kerisauanku, aku bekap sendiri.
Pelan-pelan aku mulai bisa jernih berfikir.
Kusimulasikan kemungkinan terburuk, aku drop out dari STAN. Lantas apa? Ah..
Aku masih muda, bisa bekerja apa saja. Okay, terus bagaimana menghadapi uji
kesehatan yang tinggal seminggu lagi? Aku mulai bertanya-tanya kepada
teman-teman kelas awal yang sudah terlebih dahulu menjalani tes. Mereka cerita
bahwa mereka disuruh puasa mulai jam 22.00. Tes meliputi uji sampel darah,
sampel urin, tekanan darah, jumlah denyut nadi dan.....uji buta warna. Yang
agak melegakan adalah uji buta warna hanya terdiri dari tiga lembar sobekan
buku, bukan satu buku sebagaimana di Dinkes Pemda Surakarta setahun yang lalu.
Bahkan oleh teman-teman yang sudah diuji duluan mereka sempat memberi kode
masing-masing lembaran itu sehingga bagi yang buta warnapun bisa membaca angka
yang tersembunyi di balik kumpulan titik-titik itu.
Rupanya ada beberapa teman yang juga buta warna. Mereka
datang pagi-pagi sebelum dokter penguji tiba. Ruangan dokter itu tidak terkunci
dan lembaran ujian itu ada di laci yang juga tidak dikunci. Jadilah mereka bisa
menuliskan kode di lembaran ujian itu. Ah... Dasar mahasiswa STAN...
Aku juga memperoleh info bahwa ujian itu bisa dijokiin,
alias diwakili orang lain karena tidak ada pencocokan identitas. Demi
jaga-jaga, pada hari H aku mengajak temanku, Endhy Apriyanto, untuk menjadi
jokiku apabila kode itu sudah dihapus atau lembaran ujian itu sudah diganti
dengan yang baru.
Tibalah saatnya ujian yang paling mendebarkan itu. Kami
datang pagi-pagi ke Sudin Jakarta Timur. Benar saja, kami dengan mudah bisa
membuka laci dan melihat tiga lembar kertas ujian buta warna. Di pojok kiri
atas sudah tertera huruf kecil ditulis memakai pensil, A untuk angka 12, B
untuk angka 15 dan C untuk angka 24. Dengan langkah mantap, tanpa joki, aku
menjalani ujian itu.
Tanpa kode itu aku memang tidak bisa membacanya.
Terminal 2F bandara Soetta, 20 Mei 2013, 07:44:21
Terminal 2F bandara Soetta, 20 Mei 2013, 07:44:21
No comments:
Post a Comment