45 Menit
Jalan
tembus itu sepanjang 300 meter, selebar 3 meter. Menghubungkan kampung
belakang dengan Pasar Kramat Jati. Seharusnya menjadi jalan searah, tapi
kenyataannya menjadi banyak arah, beragam yg lewat. Pejalan kaki, mobil
pribadi, truk, motor, gerobak dorong, dan sebagainya. Beragam pula profesinya.
Pagi
ini jalan itu teramat berisik. Sepeda motorku yg seharusnya bisa lewat dengan
sempurna kali ini menyerah begitu saja. Aku memilih minggir, menghindari
pertarungan sengit antar kami pengguna jalan. Kutemukan sebuah oase, warung
kopi. Penjualnya seorang ibu berumur 50 tahunan. Mukanya berekspresi amat
datar, bahkan ketika aku datang sebagai pembeli. Sebenarnya sudah lama aku
nggak ngopi. Deraan maag memaksaku meninggalkan sejumput kesenangan akan
minuman berwarna hitam bertekstur kasar ini. Pagi ini kulawan ketakutanku.
Perlu
waktu agak lama buat si pemilik muka datar itu untuk menyajikan pesananku yang
teramat sederhana. Di sebelahku duduk seorang bapak berusia 55 tahunan sedang
asyik membuat ketupat. Ah, kebisaan yg tidak kupunyai. Dia teramat asyik
melakukannya, ditemani anaknya yang masih balita. Kutaksir dia juga seperti
aku, menunggu istri berbelanja.
Di seberang mejaku duduk segerombolan pria paruh baya. Ada lima pria,
berpenampilan sederhana. Obrolannya seputar harga ayam yang sedang diturunkan
dari atas truk. Tak lama datang seorang pria lain bergabung dengan mereka.
Penampilannya lebih bersih, berjaket kulit sintetis, naik motor klimis.
Pembawannya penuh percaya diri. Obrolan mereka makin seru. Ditingkahi kepulan
asap rokok dan denting gelas beradu dengan lepekan.
Di
belakang truk yangg sedang nurunin ayam bercokok pria berumur 60an. Bergaya
jawara, berkupluk hitam, penampilannya penuh pesona. Dia tampak berkuasa,
mengatur pergerakan ayam, kemana saja akan dikirimkan. Ah.... Sebentar lagi
ratusan nyawa mereka akan melayang, menjelma menjadi bongkahan daging lezat,
terhidang di atas meja makan kita. Pria itu seakan tidak peduli, bahwa truknya
membuat kemacetan merajalela. Aroma tidak sedap ayamnya membuat puluhan orang
tersiksa, menutup hidung dan memicingkan mata..
Penjual
tahu terduduk lesu. Menunggu pembeli yang sedang entah dimana. Yang lewat
berikutnya pasti bukan tamu yg dia harapkan kedatangannya. Seorang pengamen
buta, berusia tua. Berjalan tersaruk-saruk tak tau arah, tak tau berapa rupiah
dia dapatkan, tak tak warna kecuali gelap gulita. Ah, aku jadi sadar, aku hanya
buta warna, tidak buta segalanya...
Agak
terhenyak aku dengan kehadiran tiba-tiba sesosok manusia. Muncul dari arah kiriku,
berkepala plontos, berpakaian jubah kuning kusam, berkalung tasbih. Mata sipit,
agak tambun. Berjalan mantap dari satu orang ke orang lain, menyodorkan cawan
tembaga, meminta sumbangan. Seorang bhiksu tengah mencari berkah. Teringat
dengan kata bijak, dalam rejeki kita ada hak orang lain.... Semoga berkah ya
Su.... (Aku gak tau harus nyebut apa ke bhiksu)...
Tak terasa 45 menit sudah aku menunggu istri berbelanja, katanya cuma mau beli
bumbu giling. Entah kenapa sedemikian lama. Ah, tiada mengapa, toh dia sedang
berbelanja untuk kami semua...
No comments:
Post a Comment