Wednesday, May 29, 2013

Gendam



Gendam
Satu dari beberapa kisah meniti awal karir di KPP. Baturaja

Sortiran SSP lembar ke-2 dari Seksi Penerimaan dan Keberatan masih segunung, ketika mas Bahrul, salah satu OB KPP. Baturaja tergopoh-gopoh mendatangiku.
"Mas Slamet, ada telepon dari saudaranya di Solo," ujarnya singkat sambil bergegas pergi.
Segera kutinggalkan tumpukan di meja kerjaku, menuju Ruang Sub Bagian TU untuk nerima telepon itu. Di kantor ini ada tiga nomor telepon, satu berada di ruang Kepala Kantor, satu di ruang Subbag TU, dan satu lagi di voyer ruang PPh Badan dan PPh Perseorangan. Yang di ruangan Kepala Kantor tentu saja hanya untuk tuan besar. Yang di voyer hanya bisa nerima panggilan, karena pesawat teleponnya  dibungkus dengan pengaman dari kayu sehingga papan tutsnya tidak bisa ditekan. Telepon yang ada di ruang Subbag TU bisa dipakai untuk panggilan lokal dan interlokal dengan syarat harus ada kaitan dengan keperluan kedinasan. Nomor telepon inilah akhirnya yang paling populer di antara ketiganya.
Segera kuangkat gagang telepon yang sudah tergeletak di papan kayu yang memang sengaja disediakan untuk meletakkan pesawat telepon itu.
"Halo, selamat siang...", sapaku ragu.
Mas Bahrul tadi tidak bilang secara jelas siapa penelepon ini, hanya bilang ada saudaraku telepon dari Solo. Sejujurnya aku sangsi karena rasa-rasanya aku tidak pernah memberikan nomor telepon ke saudaraku bahkan ke orang tuaku. Percuma juga, tahun 1996, perlu menempuh jarak 30 kilometer bagi saudara dekatku untuk bisa menelponku, lewat Wartel satu-satunya di ibu kota kabupaten Wonogiri. Makanya komunikasi yang paling efektif adalah surat-menyurat.
"Halo pak... Apa benar ini pak Slamet yang dari Solo?" terdengar jawaban dari seseorang pria di ujung sana dengan logat Jawanya.
"Inggih pak, saya dari Solo. Maaf ini dengan siapa ya, pak?", tanyaku sambil mengira-ira siapa penelepon ini.
"Gini mas, maaf sebelumnya, saya dapet nomor telepon ini dari temen mas yang di kantor pajak Bengkulu, mas Taryono. Nama saya Triman mas. Saya dari mBoyolali. Gini mas, saya habis nengok Saudara di Tanjung Enim yang sakit karena kecelakaan. Saya kehabisan ongkos mau pulang ke mBoyolali. Keponakan saya jadi camat di Banyudono mas.... Namanya pak Bambang Hekso," Cerocos pria di ujung sana seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas.
"Jadi gini mas, saya minta bantuan mas Slamet, barangkali berkenan, untuk minjemin ongkos pulang ke Boyolali. Sampai rumah nanti saya ganti, saya kirim dengan wesel mas. Tolongin saya ya mas..." Katanya dengan nada menghiba.
Aku seperti disihir, rasa belas kasihanku mengalahkan logikaku. "Bapak sekarang dimana? Trus perlu ongkos berapa untuk pulang?" Tanyaku tanpa syak wasangka.
"Waduh, matur nuwun mas Slamet. Saya bener-bener nemu saudara. Saya tidak akan melupakan jasa baik mas Slamet. Saya sekarang sedang menunggu bus di Pasar Baru. Saya sama anak dan istri saya mas. Gini mas, kalo boleh saya mau pinjem 150.000. Gimana, mas?" Sahutnya penuh busa pujian.
"Baik pak, bapak tunggu di dekat loket terminal ya, sebentar lagi saya ke sana", jawabku tanpa pikir panjang.
Tahun itu, gajiku sebulan masih Rp 300.000. Saldo di buku tabunganku tidak lebih dari Rp 500.000. Di dompetku juga hanya berisi dua lembar puluhan ribu.
Segera aku bermotor ke arah ATM BCA untuk melakukan penarikan tunai. Lepas dari ATM aku langsung mengarahkan motor dinasku ke Pasar Baru. Terminal itu sejatinya adalah terminal angkutan dalam kota yang di sini lebih dikenal dengan sebutan taksi. Meski demikian beberapa bus antar kota juga mangkal dan berangkat dari sini, terutama bus yang berukuran sedang. Siang itu suasana terminal sepi-sepi saja. Hanya ada beberap bus yang menunggu penumpang. Tidak susah untuk menemukan sosok yang tadi menelponku. Seorang pria berusia 40an tahun, berperawakan kurus, setinggi 160 cm. Wajahnya tampak letih seakan habis melakukan perjalanan jauh. Di sebelahnya duduk seorang wanita berusia sebaya. Rambutnya panjang digelung, khas orang jawa, memakai gaun warna merah maron motif bunga. Wanita itu sedang memangku seorang anak perempuan berusia 5 tahun, juga berambut panjang. Wajahnya lugu, khas wajah-wajah penduduk desaku sana.

"Pak Triman, nggih?" Sapaku sambil menyalami ketiganya.
"Inggih mas... Ini istri saya, Triyem, anak saya Ratmi," jawabnya sambil menyuruh anak istrinya bersalaman denganku.
"Ayo, nak...salim sama o-om...", ujarnya ke anaknya ketika Ratmi yang dia kenalkan sebagai anaknya itu agak takut-takut menyambut uluran tanganku.
"Wah, matur nuwun banget mas Slamet. Saya benar-benar nemu mukjizat lewat mas..." Kata pak Triman sambil mengguncang-ngguncang tanganku.
Aku rikuh menghadapi situasi seperti ini. Dalam hati aku hanya berpikir sederhana, ada orang butuh bantuan, aku bisa bantu, ya sudah.
Segera ku sudahi kekikukan ini sembari menarik dompetku, "Ini pak, saya cuma bisa mbantu segini," ujarku sambil menyodorkan 15 lembar uang sepuluh ribuan kepadanya.
Tak lupa kutuliskan alamat lengkap kantorku untuk alamat pengiriman wesel nantinya. Rombongan kecil itu lantas bergegas pamitan. Langkahnya menuju taksi jurusan Trans Batumarta. Aku pun segera menghidupkan sepeda motorku, mengarahkannya ke Pom Bensin Sarang Elang, bensinku hampir habis. Sejurus perjalananku ke arah pom bensin, aku masih sempat melihat 3 orang itu berada di taksi yang kudahului.
Sore menjelang. Aku duduk termangu sendirian di ruangan Seksi PPN & PTLL. Benakku disapa kegalauan. Logika ku mulai bekerja. Segera ku datangi ruang Sub Bag TU, pinjam telepon interlokal. Kupencet 108, kutanyakan nomor telepon kantor kecamatan Banyudono Boyolali. Lama panggilan ku ke nomor kantor kecamatan itu diangkat. Maklumlah, sudah sore, pasti kantor sudah tutup. Pada panggilan ke dua baru terangkat.
"Halo selamat sore, mau bicara dengan siapa, pak," sapa pria di ujung telepon membalas sapaku.
"Emmm.. Enggak mas, saya mau nanya aja, apa benar pak camat Banyudono namanya Bambang Hekso, nggih?"
"Oh, bukan pak.. Namanya pak Hadi Suwignyo. Saya penjaga kantor kecamatan, rasanya belum pernah ada camat sini yang namanya Bambang, pak" tegasnya.
Segera ku arahkan langkahku ke ruangan seksi PPh Badan, tempat teman seangkatanku, Ragil, sedang asyik ngobrol dengan koleganya.
"Gil, siapa nama kawan seangkatan kita yang di KPP Bengkulu ya? Taryono bukan?," aku memberondongnya dengan pertanyaan.
"Ah, mana ku tahu... Liat aja di SK Penempatan kita. Kan kau pegang daftarnya", jawabnya datar seolah tak peduli kecemasanku.
Aku baru ingat di laci kantorku tersimpan SK Penempatan alumni Prodip 95. Semua nama alumni dan penempatan kantor ada di situ. Segera kupatuhi saran Ragil.
Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa aku telah terkena gendam, di KPP Bengkulu tidak tertera nama Taryono, teman seangkatanku.
Aku tidak pernah menunggu kiriman wesel itu.

No comments: