Gendam
Satu dari beberapa kisah meniti awal karir di KPP. Baturaja
Sortiran SSP lembar ke-2
dari Seksi Penerimaan dan Keberatan masih segunung, ketika mas Bahrul, salah
satu OB KPP. Baturaja tergopoh-gopoh mendatangiku.
"Mas Slamet, ada
telepon dari saudaranya di Solo," ujarnya singkat sambil bergegas pergi.
Segera kutinggalkan
tumpukan di meja kerjaku, menuju Ruang Sub Bagian TU untuk nerima telepon itu.
Di kantor ini ada tiga nomor telepon, satu berada di ruang Kepala Kantor, satu
di ruang Subbag TU, dan satu lagi di voyer
ruang PPh Badan dan PPh Perseorangan. Yang di ruangan Kepala Kantor tentu saja
hanya untuk tuan besar. Yang di voyer
hanya bisa nerima panggilan, karena pesawat teleponnya dibungkus dengan
pengaman dari kayu sehingga papan tutsnya tidak bisa ditekan. Telepon yang ada
di ruang Subbag TU bisa dipakai untuk panggilan lokal dan interlokal dengan
syarat harus ada kaitan dengan keperluan kedinasan. Nomor telepon inilah
akhirnya yang paling populer di antara ketiganya.
Segera kuangkat gagang
telepon yang sudah tergeletak di papan kayu yang memang sengaja disediakan
untuk meletakkan pesawat telepon itu.
"Halo, selamat
siang...", sapaku ragu.
Mas Bahrul tadi tidak
bilang secara jelas siapa penelepon ini, hanya bilang ada saudaraku telepon
dari Solo. Sejujurnya aku sangsi karena rasa-rasanya aku tidak pernah
memberikan nomor telepon ke saudaraku bahkan ke orang tuaku. Percuma juga,
tahun 1996, perlu menempuh jarak 30 kilometer bagi saudara dekatku untuk bisa
menelponku, lewat Wartel satu-satunya di ibu kota kabupaten Wonogiri. Makanya
komunikasi yang paling efektif adalah surat-menyurat.
"Halo pak... Apa
benar ini pak Slamet yang dari Solo?" terdengar jawaban dari seseorang
pria di ujung sana dengan logat Jawanya.
"Inggih pak, saya
dari Solo. Maaf ini dengan siapa ya, pak?", tanyaku sambil mengira-ira
siapa penelepon ini.
"Gini mas, maaf
sebelumnya, saya dapet nomor telepon ini dari temen mas yang di kantor pajak
Bengkulu, mas Taryono. Nama saya Triman mas. Saya dari mBoyolali. Gini mas,
saya habis nengok Saudara di Tanjung Enim yang sakit karena kecelakaan. Saya
kehabisan ongkos mau pulang ke mBoyolali. Keponakan saya jadi camat di
Banyudono mas.... Namanya pak Bambang Hekso," Cerocos pria di ujung sana
seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas.
"Jadi gini mas, saya
minta bantuan mas Slamet, barangkali berkenan, untuk minjemin ongkos pulang ke
Boyolali. Sampai rumah nanti saya ganti, saya kirim dengan wesel mas. Tolongin
saya ya mas..." Katanya dengan nada menghiba.
Aku seperti disihir, rasa
belas kasihanku mengalahkan logikaku. "Bapak sekarang dimana? Trus perlu
ongkos berapa untuk pulang?" Tanyaku tanpa syak wasangka.
"Waduh, matur nuwun
mas Slamet. Saya bener-bener nemu saudara. Saya tidak akan melupakan jasa baik
mas Slamet. Saya sekarang sedang menunggu bus di Pasar Baru. Saya sama anak dan
istri saya mas. Gini mas, kalo boleh saya mau pinjem 150.000. Gimana,
mas?" Sahutnya penuh busa pujian.
"Baik pak, bapak
tunggu di dekat loket terminal ya, sebentar lagi saya ke sana", jawabku
tanpa pikir panjang.
Tahun itu, gajiku sebulan
masih Rp 300.000. Saldo di buku tabunganku tidak lebih dari Rp 500.000. Di
dompetku juga hanya berisi dua lembar puluhan ribu.
Segera aku bermotor ke
arah ATM BCA untuk melakukan penarikan tunai. Lepas dari ATM aku langsung
mengarahkan motor dinasku ke Pasar Baru. Terminal itu sejatinya adalah terminal
angkutan dalam kota yang di sini lebih dikenal dengan sebutan taksi. Meski
demikian beberapa bus antar kota juga mangkal dan berangkat dari sini, terutama
bus yang berukuran sedang. Siang itu suasana terminal sepi-sepi saja. Hanya ada
beberap bus yang menunggu penumpang. Tidak susah untuk menemukan sosok yang
tadi menelponku. Seorang pria berusia 40an tahun, berperawakan kurus, setinggi
160 cm. Wajahnya tampak letih seakan habis melakukan perjalanan jauh. Di
sebelahnya duduk seorang wanita berusia sebaya. Rambutnya panjang digelung,
khas orang jawa, memakai gaun warna merah maron motif bunga. Wanita itu sedang
memangku seorang anak perempuan berusia 5 tahun, juga berambut panjang.
Wajahnya lugu, khas wajah-wajah penduduk desaku sana.
"Pak Triman, nggih?"
Sapaku sambil menyalami ketiganya.
"Inggih mas... Ini
istri saya, Triyem, anak saya Ratmi," jawabnya sambil menyuruh anak
istrinya bersalaman denganku.
"Ayo, nak...salim
sama o-om...", ujarnya ke anaknya ketika Ratmi yang dia kenalkan sebagai
anaknya itu agak takut-takut menyambut uluran tanganku.
"Wah, matur nuwun
banget mas Slamet. Saya benar-benar nemu mukjizat lewat mas..." Kata pak
Triman sambil mengguncang-ngguncang tanganku.
Aku rikuh menghadapi
situasi seperti ini. Dalam hati aku hanya berpikir sederhana, ada orang butuh
bantuan, aku bisa bantu, ya sudah.
Segera ku sudahi
kekikukan ini sembari menarik dompetku, "Ini pak, saya cuma bisa mbantu
segini," ujarku sambil menyodorkan 15 lembar uang sepuluh ribuan
kepadanya.
Tak lupa kutuliskan
alamat lengkap kantorku untuk alamat pengiriman wesel nantinya. Rombongan kecil
itu lantas bergegas pamitan. Langkahnya menuju taksi jurusan Trans Batumarta.
Aku pun segera menghidupkan sepeda motorku, mengarahkannya ke Pom Bensin Sarang
Elang, bensinku hampir habis. Sejurus perjalananku ke arah pom bensin, aku
masih sempat melihat 3 orang itu berada di taksi yang kudahului.
Sore menjelang. Aku duduk
termangu sendirian di ruangan Seksi PPN & PTLL. Benakku disapa kegalauan.
Logika ku mulai bekerja. Segera ku datangi ruang Sub Bag TU, pinjam telepon
interlokal. Kupencet 108, kutanyakan nomor telepon kantor kecamatan Banyudono
Boyolali. Lama panggilan ku ke nomor kantor kecamatan itu diangkat. Maklumlah,
sudah sore, pasti kantor sudah tutup. Pada panggilan ke dua baru terangkat.
"Halo selamat sore,
mau bicara dengan siapa, pak," sapa pria di ujung telepon membalas sapaku.
"Emmm.. Enggak mas,
saya mau nanya aja, apa benar pak camat Banyudono namanya Bambang Hekso,
nggih?"
"Oh, bukan pak..
Namanya pak Hadi Suwignyo. Saya penjaga kantor kecamatan, rasanya belum pernah
ada camat sini yang namanya Bambang, pak" tegasnya.
Segera ku arahkan
langkahku ke ruangan seksi PPh Badan, tempat teman seangkatanku, Ragil, sedang
asyik ngobrol dengan koleganya.
"Gil, siapa nama
kawan seangkatan kita yang di KPP Bengkulu ya? Taryono bukan?," aku
memberondongnya dengan pertanyaan.
"Ah, mana ku tahu...
Liat aja di SK Penempatan kita. Kan kau pegang daftarnya", jawabnya datar
seolah tak peduli kecemasanku.
Aku baru ingat di laci
kantorku tersimpan SK Penempatan alumni Prodip 95. Semua nama alumni dan
penempatan kantor ada di situ. Segera kupatuhi saran Ragil.
Tidak perlu waktu lama
untuk menyimpulkan bahwa aku telah terkena gendam, di KPP Bengkulu tidak
tertera nama Taryono, teman seangkatanku.
Aku tidak pernah menunggu
kiriman wesel itu.
No comments:
Post a Comment