Hati yang Tertukar
Satu dari beberapa kisah meniti awal karir di KPP. Baturaja
Terik
di luar membuatku malas beranjak makan siang di luar kantor. Solusinya mudah,
siapkan uang 5.000 rupiah, panggil pesuruh kantor, minta tolong buat membeli nasi
bungkus, beres.
Jadilah
aku berleha-leha di ruangan seksi PPN dan PTLL sendirian. Berkantor di kota kabupaten
yang lumayan terpencil membuat budaya kerja kami kurang profesional. Jam
istirahat yang seharusnya hanya satu jam sering dilanggar. Bagi pegawai yang
asli Baturaja kebanyakan pulang ke rumah untuk makan dan bahkan tidur siang.
Pukul 15.00 baru mereka kembali ke kantor. Bagi pendatang sepertiku pilihannya
jadi beragam, pulang ke kos, makan di luar atau minta tolong pesuruh kantor
seperti sekarang ku lakukan. Gudang Seksi PPN dan PTLL yang sekaligus berfungsi
sebagai ruang ketik segera kusambangi. Letaknya persis di belakang meja
kerjaku. Posisi ini menguntungkanku, karena aku masih bisa memantau meja
kerjaku dari dalam ruangan ini. Komputer Acer 486 DX segera kusambangi.
Solitaire adalah game yang paling
kusukai, cara mainnya sederhana, mengingatkanku pada masa kecilku ketika suka duduk
di belakang orang main judi kartu ceki di rumah orang tuaku.
Belum
lama aku memainkan Solitaire ketika sesosok lelaki paruh baya masuk ke
ruanganku tanpa sapa. Mungkin dia menyangka ruangan ini kosong, karena memang
masih jam istirahat.
Segera
kuhampiri dia lantas ku sapa, "Ada yang bisa saya bantu, pak?".
"Ini
Pak, maaf mengganggu, mau lapor SPT PPN," jawabnya seketika.
Aku
tahu apa yang harus segera ku lakukan, siapkan stempel kantor, stempel
penanggalan dan alat tulis. Pekerjaan rutin yang tidak memakan waktu lama.
"Silahkan
pak, sudah saya terima SPT-nya", ujarku sambil menyodorkan tanda terima
kepadanya.
"Wah
terima kasih pak. Saya pikir saya tadi harus menunggu sampai jam istirahat
berakhir,” jawab bapak itu dengan muka sumringah. Tangannya merogoh kocek
bajunya. Selembar uang berwarna kebiruan disesakkan ke kantong bajuku.
"Pak,
mohon diterima ala kadarnya dari saya, jangan ditolak. Makasih sudah dilayani",
katanya sambil bergegas pergi.
Dua
langkah dari meja kerjaku sudah berupa halaman kantor, artinya belum sempat aku
bereaksi dia sudah berada di luar sana. Pergi dengan langkah bergegas di bawah
terik siang. Aku terduduk lunglai, tak berani melirik kantong bajuku. Terbayang
lagi kedatanganku di kantor ini untuk melapor bertugas di sini dengan janji
suci. Dan itu baru beberapa bulan lalu. Mataku berkaca-kaca, sulit
menggambarkan perasaan waktu itu.
Hatiku
telah tertukar....
No comments:
Post a Comment