Pagi masih belum sempurna
membuka matanya ketika langkah Anto terhenti di mulut desanya. Perjalanan
selanjutnya ke rumah harus dia tempuh dengan berjalan kaki. Maklum, desanya
belum terjamah jalan aspal. Mobil angkot tua yang membawanya hanya bisa sampai
di sini. Kokok ayam jantan sayup terdengar. Pandangan Anto tertumbuk pada
siluet manusia yang berjalan tertatih mendekat. Tanah merah basah, sisa embun
fajar. Anto tertegun... Sepertinya dia mengenali sosok itu.... Anto bergidik,
langkahnya surut...
Debu beterbangan ke udara
ketika Anto dan beberapa temen lainnya berlari-lari mengejar layang-layang kang
Saidi yang putus talinya. Sebagai sesama penikmat layang-layang non aduan,
mereka merasa harus membantu teman lain yang tali layang-layangnya putus. Tidak
mudah membuat layang-layang bagus, membelinya juga bukan hal perkara gampang.
Jangankan buat membeli layang-layang, iuran kas SD saja kami sering menunggaknya.
Harusnya layang-layang itu
tidak terbang jauh. Angin sore ini tidak terlalu kencang. Benar saja, tidak
sampai sepuluh menit kami berlari-lari di jalanan berdebu, layang-layang itu
sudah turun. Kang Saidi menunggu di bawah pohon asam jawa. Lama mereka
menunggu, dan.... rupanya pohon asem jawa itu telah menjerat tali layang-layang
itu. Layang-layang itu tersangkut di atas sana. Mereka semua kecewa. Bayangan
indah akan lanjutan permainan layang-layang sore itu sirna sudah. Anto, Kang
Saidi, Yoto, Alim sudah beberapa langkah beranjak dari tempat itu ketika di
belakang mereka terdengar suara,
"Kenapa, Le?
Layang-layangmu nyangkut ya?".
Anto yang paling sigap
bereaksi. Dia menengok ke sumber suara itu. Dilihatnya sosok tinggi besar,
berpakain usang tapi rapi, bercambang tipis, bercaping lebar hampir menutupi
wajahnya. Pria itu berdiri mematung, menyandang cangkul dan sabit. Ah....
Rupanya lek Karso pemilik suara itu.
"Iya
Lek... Layangan kang Saidi nyangkut di pohon asem itu. Kami ndak bisa
manjat", kata Anto.
"Yo
wis, kalian tunggu di sini yo.. Tak panjatin dulu," ujar lek Karso sambil
tersenyum simpul.
“Iya
lek, matur nuwun", jawab kami kompak.
Tanpa berkata lagi lek Karso
segera menurunkan bawaannya. Dengan sigap dia memanjat pokok asem itu. Kliko (kulit kayu) kering yang harusnya
tajam menjadi benda tumpul baginya. Hanya dalam hitungan menit lek Karso sudah
sampai di dahan tempat senar (tali
plastik) layangan itu tersangkut. Langkah lek Karso sempat terhenti sejenak.
Rupanya dia gamang, dahan itu tidak terlalu besar. Kondisinya pun mengering
karena musim kemarau yang panjang.
"Hati-hati lek...nanti
jatuh!" teriak Anto mengingatkan.
"Nggak apa-apa,
dahannya kuat kok," sahut lek Karso dari atas sana.
Perlu sekitar sepuluh
langkah untuk sampai ke tali layang-layang itu. Pelan namun pasti lek Karso
mendekat. Mereka yang menunggu di bawah merasa was-was. Dahan itu
bergoyang-goyang diterpa angin. Rasa was-was mereka belum purna ketika
terdengar suara "KREK!!!.. BUUUG!!!. Anto dan teman-temannya menjerit. Lek
Karso yang sesaat tadi masih di atas, meniti dahan, tiba-tiba sudah ada di
depan mereka dengan posisi telungkup, tidak bergerak, tanpa suara. Mereka pucat
pasi, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Jeritan mereka tadi rupanya
mengundang perhatian Lek Tardi yang kebetulan lewat di pematang sawahnya. Tidak
sampai setengah jam tempat itu sudah dipenuhi kerumunan warga. Lek Karso telah
tiada. Jenazahnya dikuburkan keesokan harinya.
(Busway Koridor 9, PGC-Gatsu
Lipi, baru saja)
No comments:
Post a Comment