Sunday, August 18, 2013

Ketukan dari Senthong Kulon





Trah Taman Santoso Lebaran 2013
Ada yang berbeda dari mudik saya kali ini. Anggota keluarga kerajaan Taman Santoso, nama bapak  saya, bertambah satu. Jika selama ini bapak dan ibu saya hanya tinggal berdua di istana yang terdiri dari empat rumah itu, kini ada pakdhe saya, kakak ibu, yang turut tinggal bersama mereka.  Yap, sejak beberapa bulan yang lalu, pakdhe saya, karena alasan kesehatan psikis, diantarkan oleh istrinya ke istana bapak ibu untuk dirawat. Kebetulan ibu adalah satu-satunya saudara perempuan yang masih tersisa sehingga mungkin dianggap paling kompeten melakukan perawatan kakak kandungnya. Kenyataanya bapak saya yang lebih dominan melakukannya. Kesabaran bapak saya memang saya anggap sudah mencapai level dewa, punya stok kesabaran yang amat linuwih.

Jauh-jauh hari saya sudah diwanti-wanti oleh adik saya, Titik, untuk bijak menyikapi kondisi di istana Taman Santoso sekarang. Saya diminta maklum apabila menjumpai hal yang menjijikkan di dalam istana, mulai sekedar bau pesing atau bahkan sampai kotoran yang tercecer di dalam istana. Saya beritakan ini ke anak istri saya.

Adik saya bercerita bahwa pakdhe ditempatkan di Senthong Kulon, kamar yang dahulu adalah kamar tidur saya. Karena pernah kabur ketika gulita malam masih menyelimuti desa, sekarang semua pintu dan jendela kamar itu dikunci dari luar ketika pakdhe sudah masuk dalam kamar.  Resikonya adalah pakdhe akan melakukan apa saja di dalam kamar tidur, termasuk buang air. Ini memang pilihan sulit. Jika pintu dan jendela tidak dikunci dari luar, pakdhe bisa kabur kapan saja, dan itu pernah terjadi dua kali. Apa hasilnya, pakdhe tersesat di desa yang amat jauh dari istana. Pakdhe terperosok dalam jurang dan wajahnya carut marut penuh luka.

Hari telah menunjukkan pukul 13.00 WIB ketika saya sekelurga tiba di istana. Bulan puasa masih tersisa tiga hari lagi dan kami sekeluarga hari itu tetap berpuasa meski menempuh perjalanan lumayan jauh. Kami sahur di kota Gombong.  Benar saja, ketika saya menurunkan barang bawaan untuk saya taruh di rumah bagian belakang, aroma air seni merebak dari Senthong Kulon. Adik saya hanya tersenyum melihat reaksi  saya. Saya berusaha bersikap sewajarnya. Anak dan istri saya arahkan ke rumah dapur yang sekarang menjadi rumah utama karena bapak sudah membangun dua kamar tidur di sana. Letaknya jauh dari Senthong Kulon, sehingga bebas dari bau tidak sedap.

Pukul 22.00 WIB malam itu, saya tinggal berdua dengan bapak saya, berbincang ngalor-ngidul di pendapa, rumah paling depan. Bapak bercerita tentang keadaan mushola di depan  rumah yang perlu perbaikan dan pengerasan halamannya. Bercerita juga tentang ternak peliharaannya, ayam kampung, yang  jumlahnya mencapai  50 ekor. Ayam itu setiap hari, selama kami di sini, harus disembelih satu per satu untuk lauk pauk, karena memang sengaja dipersiapkan untuk kami sekeluarga. Tengah asyik kami berbincang, tiba-tiba terdengar pintu Senthong Kulon diketuk dari dalam. Suara ketukan itu awalnya pelan dan berirama.

“Pakdhe Saman itu, Pak?”

“Iyo, biasanya jam segini dia mau pipis. Sana bantuin.”

“Inggih, Pak. Lewat pintu mana?”

“Lewat pintu samping saja, jangan lewat pintu dalam, nanti anak istrimu bangun semua.”

Saya agak terhenyak menerima perintah dari bapak tersebut. Terus terang ini  kali pertama saya membantu orang lain menunaikan hajat kecil. Dahulu ketika bapak terserang stroke ringan saya tak sempat membantunya karena ketika saya sampai di rumah sakit beliau sudah bisa ke kamar mandi sendiri. Ketika istri saya tujuh kali dikuret kandungannya juga tak sempat membantunya di kamar mandi karena semua dibantu oleh perawat.

Berbekal lampu senter saya datangi Senthong Kulon  dari pintu samping. Untuk mencapai pintu samping tersebut, saya harus memutar lewat pintu depan kemudian belok ke kiri melewati gang samping rumah yang gelap gulita. Suasananya lumayan menyeramkan. Di pojokan rumah depan ini adalah makam kuda tunggangan bapak saya dulu. Konon kadang  masih terdengar suara  ringkikan kuda pada malam-malam tertentu. Saya lawan ketakutan itu.

Sejurus kemudian saya sampai di pintu samping Senthong Kulon.  Suara ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Saya segera membuka kunci  grendel pintu tersebut.
“Mau apa, Dhe?”
“Mau mandi.”
“Hah, ini sudah malam lho. Mandi apa pipis?”
“Mandi, sudah pipis.”
Waduh cilaka.... rupanya pakdhe sudah pipis di dalam kamar tidur. Ujian ini terasa berat buat saya, tapi rasanya malu jika saya minta bantuan bapak.
“Yo wis, ayuk ke kamar mandi,” ujar saya sembari menggandeng tangan pakdhe saya. Aroma tak sedap yang tadi membuncah lama kelamaan hilang dari hidung saya. Benar apa kata bapak tentang aroma tak sedap, segera hiruplah, maka tak sampai lima menit dia akan menghilang darimu.

Kamar mandi khusus pakdhe terletak di balik tembok kamar mandi utama. Untuk mencapainya saya harus memutar melewati halaman rumah depan, halaman rumah dapur dan kandang ayam. Jalan menuju kamar mandi itu tak kalah menyeramkan dibandingkan jalan menuju Senthong Kulon tadi. Di pojokan kandang ayam ini konon suka ada bayangan hitam tinggi besar melintas kemudian menghilang di pohon petai kebun sebelah. Bapak sengaja membikinkan kamar mandi terpisah karena pakdhe saya tidak bisa dikendalikan ketika berada di kamar mandi. Untuk urusan mandi saja bisa menghabiskan waktu dua jam.

Begitu tiba di kamar mandi, saya segera melucuti pakaian pakdhe yang kuyup oleh air seni. Saya berlinang air mata menatap tubuh telanjang ini. Beberapa puluh tahun silam, ketika saya masih kecil, kedatangan pakdhe setiap menjelang lebaran adalah hal yang paling saya tunggu. Dia merantau di Solo, ikut dengan seorang Camat, bercita-cita besar menjadi seorang PNS, tapi kandas. Setiap pulang selalu memakai kacamata Rayban hitam, gagah sekali. Tapi yang  paling penting adalah bawaannya. Beliau selalu membawa  buah tangan biskuit Khong Guan kesukaan saya. Kini sosok gagah itu berubah wujud menjadi sosok renta. Jalannya bongkok persis almarhum ibunya, nenek saya.

“Wis Dhe, sudah bersih. Sekarang ganti baju dan celana.”

Saya terpaksa agak memaksa pakdhe untuk mengakhiri ritual mandinya karena jika dibiarkankan bisa-bisa berjam-jam waktu yang akan dihabiskan di sini. Saya kembali menuntun langkahnya ke kamar tidurnya. Sesampai di kamar tidur segera saya arahkan ke tempat tidur yang oleh bapak saya sudah diberi alas plastik agar air seninya tidak membasahi kasurnya.

“Sudah Dhe, tak tinggal yo. Sudah malem, cepetan tidur.”
“Nanti dulu, aku mau sholat dulu.”


Pakdhe Saman, berbaju putih kami ajak bertandang ke rumah kakaknya
Saya hampir terduduk mendengar ucapannya. Saya  baru ingat, malam ini saya belum sholat Isya’ dan Tarawih karena kesibukan saya membereskan barang bawaan dari Jakarta.

Kampung Makasar, 18 Agustus 2013, 12.17 WIB

No comments: