Trah Taman Santoso Lebaran 2013 |
Ada yang
berbeda dari mudik saya kali ini. Anggota keluarga kerajaan Taman Santoso, nama
bapak saya, bertambah satu. Jika selama
ini bapak dan ibu saya hanya tinggal berdua di istana yang terdiri dari empat
rumah itu, kini ada pakdhe saya, kakak ibu, yang turut tinggal bersama
mereka. Yap, sejak beberapa bulan yang
lalu, pakdhe saya, karena alasan kesehatan psikis, diantarkan oleh istrinya ke
istana bapak ibu untuk dirawat. Kebetulan ibu adalah satu-satunya saudara
perempuan yang masih tersisa sehingga mungkin dianggap paling kompeten
melakukan perawatan kakak kandungnya. Kenyataanya bapak saya yang lebih dominan
melakukannya. Kesabaran bapak saya memang saya anggap sudah mencapai level
dewa, punya stok kesabaran yang amat linuwih.
Jauh-jauh hari
saya sudah diwanti-wanti oleh adik saya, Titik, untuk bijak menyikapi kondisi
di istana Taman Santoso sekarang. Saya diminta maklum apabila menjumpai hal
yang menjijikkan di dalam istana, mulai sekedar bau pesing atau bahkan sampai
kotoran yang tercecer di dalam istana. Saya beritakan ini ke anak istri saya.
Adik saya
bercerita bahwa pakdhe ditempatkan di Senthong Kulon, kamar yang dahulu adalah
kamar tidur saya. Karena pernah kabur ketika gulita malam masih menyelimuti
desa, sekarang semua pintu dan jendela kamar itu dikunci dari luar ketika
pakdhe sudah masuk dalam kamar.
Resikonya adalah pakdhe akan melakukan apa saja di dalam kamar tidur,
termasuk buang air. Ini memang pilihan sulit. Jika pintu dan jendela tidak
dikunci dari luar, pakdhe bisa kabur kapan saja, dan itu pernah terjadi dua
kali. Apa hasilnya, pakdhe tersesat di desa yang amat jauh dari istana. Pakdhe
terperosok dalam jurang dan wajahnya carut marut penuh luka.
Hari telah
menunjukkan pukul 13.00 WIB ketika saya sekelurga tiba di istana. Bulan puasa
masih tersisa tiga hari lagi dan kami sekeluarga hari itu tetap berpuasa meski
menempuh perjalanan lumayan jauh. Kami sahur di kota Gombong. Benar saja, ketika saya menurunkan barang
bawaan untuk saya taruh di rumah bagian belakang, aroma air seni merebak dari
Senthong Kulon. Adik saya hanya tersenyum melihat reaksi saya. Saya berusaha bersikap sewajarnya. Anak
dan istri saya arahkan ke rumah dapur yang sekarang menjadi rumah utama karena
bapak sudah membangun dua kamar tidur di sana. Letaknya jauh dari Senthong
Kulon, sehingga bebas dari bau tidak sedap.
Pukul 22.00 WIB
malam itu, saya tinggal berdua dengan bapak saya, berbincang ngalor-ngidul di
pendapa, rumah paling depan. Bapak bercerita tentang keadaan mushola di
depan rumah yang perlu perbaikan dan
pengerasan halamannya. Bercerita juga tentang ternak peliharaannya, ayam
kampung, yang jumlahnya mencapai 50 ekor. Ayam itu setiap hari, selama kami di
sini, harus disembelih satu per satu untuk lauk pauk, karena memang sengaja
dipersiapkan untuk kami sekeluarga. Tengah asyik kami berbincang, tiba-tiba
terdengar pintu Senthong Kulon diketuk dari dalam. Suara ketukan itu awalnya
pelan dan berirama.
“Pakdhe Saman
itu, Pak?”
“Iyo, biasanya
jam segini dia mau pipis. Sana bantuin.”
“Inggih, Pak.
Lewat pintu mana?”
“Lewat pintu
samping saja, jangan lewat pintu dalam, nanti anak istrimu bangun semua.”
Saya agak
terhenyak menerima perintah dari bapak tersebut. Terus terang ini kali pertama saya membantu orang lain
menunaikan hajat kecil. Dahulu ketika bapak terserang stroke ringan saya tak
sempat membantunya karena ketika saya sampai di rumah sakit beliau sudah bisa
ke kamar mandi sendiri. Ketika istri saya tujuh kali dikuret kandungannya juga
tak sempat membantunya di kamar mandi karena semua dibantu oleh perawat.
Berbekal lampu
senter saya datangi Senthong Kulon dari
pintu samping. Untuk mencapai pintu samping tersebut, saya harus memutar lewat
pintu depan kemudian belok ke kiri melewati gang samping rumah yang gelap
gulita. Suasananya lumayan menyeramkan. Di pojokan rumah depan ini adalah makam kuda tunggangan bapak saya dulu. Konon kadang
masih terdengar suara ringkikan
kuda pada malam-malam tertentu. Saya lawan ketakutan itu.
Sejurus
kemudian saya sampai di pintu samping Senthong Kulon. Suara ketukan itu sudah tak terdengar lagi.
Saya segera membuka kunci grendel pintu
tersebut.
“Mau apa, Dhe?”
“Mau mandi.”
“Hah, ini sudah
malam lho. Mandi apa pipis?”
“Mandi, sudah
pipis.”
Waduh
cilaka.... rupanya pakdhe sudah pipis di dalam kamar tidur. Ujian ini terasa
berat buat saya, tapi rasanya malu jika saya minta bantuan bapak.
“Yo wis, ayuk
ke kamar mandi,” ujar saya sembari menggandeng tangan pakdhe saya. Aroma tak
sedap yang tadi membuncah lama kelamaan hilang dari hidung saya. Benar apa kata
bapak tentang aroma tak sedap, segera hiruplah, maka tak sampai lima menit dia
akan menghilang darimu.
Kamar mandi
khusus pakdhe terletak di balik tembok kamar mandi utama. Untuk mencapainya
saya harus memutar melewati halaman rumah depan, halaman rumah dapur dan
kandang ayam. Jalan menuju kamar mandi itu tak kalah menyeramkan dibandingkan
jalan menuju Senthong Kulon tadi. Di pojokan kandang ayam ini konon suka ada
bayangan hitam tinggi besar melintas kemudian menghilang di pohon petai kebun
sebelah. Bapak sengaja membikinkan kamar mandi terpisah karena pakdhe saya
tidak bisa dikendalikan ketika berada di kamar mandi. Untuk urusan mandi saja
bisa menghabiskan waktu dua jam.
Begitu tiba di
kamar mandi, saya segera melucuti pakaian pakdhe yang kuyup oleh air seni. Saya
berlinang air mata menatap tubuh telanjang ini. Beberapa puluh tahun silam,
ketika saya masih kecil, kedatangan pakdhe setiap menjelang lebaran adalah hal
yang paling saya tunggu. Dia merantau di Solo, ikut dengan seorang Camat,
bercita-cita besar menjadi seorang PNS, tapi kandas. Setiap pulang selalu
memakai kacamata Rayban hitam, gagah sekali. Tapi yang paling penting adalah bawaannya. Beliau
selalu membawa buah tangan biskuit Khong
Guan kesukaan saya. Kini sosok gagah itu berubah wujud menjadi sosok renta.
Jalannya bongkok persis almarhum ibunya, nenek saya.
“Wis Dhe, sudah
bersih. Sekarang ganti baju dan celana.”
Saya terpaksa
agak memaksa pakdhe untuk mengakhiri ritual mandinya karena jika dibiarkankan
bisa-bisa berjam-jam waktu yang akan dihabiskan di sini. Saya kembali menuntun
langkahnya ke kamar tidurnya. Sesampai di kamar tidur segera saya arahkan ke
tempat tidur yang oleh bapak saya sudah diberi alas plastik agar air seninya
tidak membasahi kasurnya.
“Sudah Dhe, tak
tinggal yo. Sudah malem, cepetan tidur.”
“Nanti dulu,
aku mau sholat dulu.”
Pakdhe Saman, berbaju putih kami ajak bertandang ke rumah kakaknya |
Saya hampir
terduduk mendengar ucapannya. Saya baru
ingat, malam ini saya belum sholat Isya’ dan Tarawih karena kesibukan saya
membereskan barang bawaan dari Jakarta.
Kampung Makasar, 18 Agustus 2013, 12.17 WIB
No comments:
Post a Comment