Tuesday, February 11, 2014

Anggang-anggang

Abiyyu - 2008

Saya baru saja merapikan layang-layang yang baru selesai saya bikin dengan Kang Saidi, ketika Simbah sudah berdiri dengan muka masam di depan saya.
"Mainan kok gonta-ganti to, Le....!"
"Lha sekarang kan musim angin, Mbah.. Makanya bikin layang-layang."
"Trus mainan mobil-mobilanmu itu mau mbok apain?"
"Ya simpen dulu, Mbah.. Nanti kalo sudah musim dipake lagi."
Simbah segera berlalu, menuju ke pojokan dapur dan segera mengambil sekapur sirih, nginang. Kebiasaan itu dia lakoni setiap hari, sepanjang ingatan saya.
"Ayo, Ri.. Kita ke Salam.. Mukalim sama Yoto sudah nunggu tu.." ujar kang Saidi.
"Iyo, Kang. Tapi laper, je. Gimana kalo menthong dulu.."
Kami segera menuju dapur. Di atas babragan ada secuil sayur sisa makan siang, terung dan tempe. Di cething masih ada nasi thiwul. Menu yang komplit untuk sekedar menthong. Kelar menthong, kami bergegas menyambar layang-layang itu.
"E...e..e..... Kalian mau kemana?"
"Main layang-layang, Mbah."
"Nggak boleh, wong habis makan kok main. Mbok duduk dulu biar jadi daging."
Kami segera surut langkah. Titah Simbah pantang dilawan, atau sarapan enak terancam tak tersedia. Kami segera duduk-duduk di kandang samping rumah dapur. Seekor lembu betina yang tengah hamil terikat di sana. Bapak sedang mengelus-elus lembu milik bibi tirinya itu.
"Berapa lama lagi sapinya lahiran, Pak?"
"Yo masih sebulanan lagi, To."
"Wah.. Bapak nanti dapet bagian separo dong.."
"Iyo.. Makanya yang rajin mbantuin bapak nyari rumput. Biar anak sapi ini lahirnya gede. Kalo anaknya gede kan bagian kita juga gede."
"Inggih, Pak."
"Jangan kebanyakan main, Le. Sinau yang rajin. Kamu kan anak pertama, harus bisa jadi lanjaran buat adik-adikmu, Titik, Bowo dan Indar."
Selarik nasihat itu nyatanya tak mampu menyurutkan hasrat bermain saya. Sejenak setelah perut saya terasa tidak sebah lagi, saya segera memberi kode ke Kang Saidi untuk melanjutkan rencana semula, main layang-layang. Kebetulan bapak sedang ke sungai depan rumah, mencuci cangkul yang habis dipakai untuk mengeruk kotoran lembu. Salam adalah sebuah ceruk desa yang hanya terdiri dari dua rumah, rumah Wo Sakijo dan Wo Sakino. Meskipun namanya mirip, mereka tidak bersaudara. Di atas ceruk itu ada sebuah lereng yang di atasnya membentang jalan desa menuju Jawa Timur. Di jalan itulah kami menyongsong angin. Seperti yang dikatakan Kang Saidi, Yoto dan Mukalim sudah berada di sana. Layang-layang mereka sudah membumbung tinggi. Ekornya meliuk-liuk tertiup sang bayu. Saya segera membentangkan tali plastik pengikat layang-layang. Di ujung sana Kang Saidi memegangi layang-layang saya. Dengan berlari kecil saya menarik layang-layang itu melawan arah angin. Hanya perlu beberapa menit, layang- layang saya sudah menyusul layang-layang mereka. Jika saya memerlukan bantuan untuk menaikkan layang-layang, tidak demikian dengan Kang Saidi. Dia hanya perlu menarik layang-layangnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya membumbung tinggi. Saudara sepupu saya ini memang lebih lihai dalam banyak hal dibanding saya. Wo Sukimo datang melintas. Pria setengah tua itu tengah memanggul jerami, menanjaki jalanan sembari mengepulkan asap dari rokok di mulutnya. Jari telunjuknya cacat, terpotong pisau, sehingga kami suka menyebutnya Wo Sukimo Bujel.
"Hayoo.. Kalo main jangan deket-deket jurang, Le... Nanti jatuh lho.." ujarnya sembari berlalu.
Langit di Puthuk Tenggar telah meremang. Warna jingga menyemburat di sana. Orang desa kami menyebutnya "candik ala". Indah, namun menipu, katanya. Simbah bahkan pernah berujar dengan nada bercanda, jangan milih istri pada saat ada candik ala, kecantikan wanita ketika itu hanya kamuflase. Kami segera menarik tali layang-layang, bergegas kembali ke rumah masing-masing. Bapak sedang menyalakan lampu petromak ketika saya sampai di rumah. Ibu sedang menggendong adik bungsu saya, Indarto. Bowo dan Titik baru selesai mandi. Simbah sudah pulang ke rumah Yu Sarmi, cucu dari anak perempuan pertamanya, Wo Janti. Memang demikianlah ritual yang dilakoni simbah semenjak kematian suaminya serta anak bungsunya, ibu saya, menikah dan pisah rumah. Setiap pagi dia pergi ke rumah saya sampai menjelang senja baru kembali ke rumah asalnya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya 500an meter. Dia tak pernah bersedia menginap di rumah saya. Katanya itu adalah pesan  dari suaminya. Kelar mandi saya segera menuju dapur untuk makan malam. Dalam penerangan lampu sentir saya melahap makan malam berlauk sepotong tempe goreng dan sayur buncis itu. Sayup-sayup terdengar suara adzan Magrib dari masjid di seberang desa. Kami sekeluarga tidak ada yang mendirikan sholat.

※※※※※

Sekolah Dasar Sidorejo III adalah satu-satunya sekolahan di kampung saya. Pagi itu halamannya telah riuh oleh anak-anak yang tengah asyik bermain menunggu bel tanda masuk. Di sudut halaman, lima orang murid wanita sedang bermain lompat tali. Tali yang digunakan untuk bermain terbuat dari karet gelang yang dijalin menjadi seutas tali sepanjang 2 meter. Di tengah lapangan, serombongan murid pria sedang bermain kasti. Merek tak peduli lemparan bola kasti itu sering hampir mengenai murid lain. Yap.. Mereka memang gerombolan murid bengal. Saya memilih menyingkir dari gerombolan itu. Bukan apa-apa, saya tak punya nyali untuk beradu otot dengan mereka. Saya bukan tipe anak laki-laki yang suka berkonfrontasi. Hal itu mungkin hasil dogma orang tua  saya yang senantiasa membasuh otak ini. Jadi orang itu jangan suka bikin keributan, ada apa saja jangan terbawa nafsu, jadilah orang pengalah, demikian piwulang dari kedua orang tua saya. Maka saya memilih permainan yang aman dari kontak fisik, kelereng. Bel tanda masuk berdentang dengan lantang. Lek Nurdi, penjaga sekolah yang membunyikannya. Sepupu bapak ini orangnya lucu namun galak. Saya memilih tak banyak bersentuhan dengannya. Saya segera memimpin barisan murid kelas 3 di depan kelas.
"Siap, grak! Lencang depan, grak!"
Bruk! Bunyi kaki 15 murid menghentak lantai teras kelas. Dengan tertib kami memasuki kelas dan menempati bangku masing-masing. Bu Satini sudah duduk di bangkunya dengan pandangan lurus. Bibi bapak dari nenek ini memang rada galak. Kami semua takut menghadapi guru yang nota bene masih nenek saya ini.
"Rianto... Maju ke depan!"
Saya tergagap. Tas sekolah yang belum sempurna terbuka itu segera saya tinggalkan.
"Coba liat kuku tanganmu!"
Saya segera menyodorkan tangan saya kepadanya. Matilah saya, kuku saya belum dipotong. Ujungnya bahkan berwarna hitam karena menyimpan kotoran tanah.
"Nah ini. Kenapa kukumu panjang?"
"Inggih, Bu... Belum saya potong."
"Jorok! Kamu kan anake pegawai Puskesmas, masak motong kuku aja nunggu dimarahi. Kasih contoh dong sama teman-temanmu. Lagian kamu ini kan ketua kelas."
"Inggih, Bu. Nanti saya potong."
"Ya sudah. Balik ke tempat duduk. Percuma pinter kalo kukumu jorok."
Nafas saya tersengal mendengar hardikan itu. Dari seluruh murid kelas ini, hanya bapak saya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri. Hal itu sering menjadikan posisi saya tidak enak. Sedikit-sedikit sosok saya selalu dikaitkan dengan profesi bapak saya. Ketika nilai ulangan saya turun, saya pasti dimarahi bu Satini. Ketika rambut saya panjang, saya pasti disuruh ke depan kelas untuk dimarahi. Baginya saya harus tampil sempurna, sebagai anak seorang PNS.

※※※※※

Siang itu begitu terik. Selepas makan siang, saya segera menuju ke rumah depan. Di tengah rumah teronggok segunduk pasir kering dari Kali Pucang. Pasir itu rencananya akan digunakan untuk menembok rumah ini. Namun semuanya masih rencana, karena baru pasirlah yang tersedia. Material lain, semen dan batu bata belum ada. Ketika hal itu saya tanyakan kepada Bapak, dia hanya berujar singkat, "Nanti, nunggu kredit dari BRI cair." Jadilah gundukan pasir itu sebagai arena bermain saya. Saya segera menyambar baskom plastik bekas. Baskom itu saya isi dengan pasir, lalu saya tuangkan ke torong. Kucurani pasir itu menerbangkan khayalan saya ke mesin penggiling padi milik mbah Broto, paman bapak. Dalam imajinasi saya, saya menjelma menjadi wo Saman, sosok penggiling padi yang telah renta itu. Tak lama kemudian kang Saidi muncul. Tangannya menenteng layang-layang. Belum sempat dia berkata apa-apa, simbah sudah bersuara.
"Saidi, nggak usah main layang-layang!"
Kakak sepupu saya ini kontan ciut.
"Dolanan di rumah aja. Main pasir sama adikmu itu."
Saya ikut surut nyali. Percuma saja melawan simbah. Akhirnya kami berdua menghabiskan separo hari bermain di sini. Mobil-mobilan yang kemarin sudah saya simpan,  segera saya keluarkan lagi. Punggung gundukan pasir itu menjelma menjadi bukit Tunggangan. Truk kayu itu saya kendarai menanjaki bukit, mengangkut pasir menuju desa sebelah.
"Ngeeeeeeng... Tiiiin... Tiiiin.. Minggir Kang.. Mobilku mau lewat."
Kang Saidi segera menepikan mobilnya, hampir masuk jurang.
"Pelan-pelan dong Ri.." keluhnya.
Meski secara awu dia lebih tua daripada saya, kenyataannya dia segan dengan saya. Status saya sebagai anak PNS memang mengalahkan awu saya yang lebih rendah darinya. Dia selalu mengalah kepada saya, dalam hal apapun.

※※※※※

Bulan puasa telah memasuki minggu ke empat. Tahun ini adalah giliran keluarga kami mudik ke Wonogiri. Kami tiba di rumah orang tua pada tengah hari, setelah menempuh perjalanan 700 kilometer selama 27 jam. Rasa kantuk dan lelah mendera. Namun tak demikian dengan kedua anak saya. Mereka langsung mengajak adik sepupunya, Erwin, main ke sungai depan rumah.
"Biyyu, main di rumah aja. Nggak usah ke sungai, kotor."
"Yaelah, Ma... Nggak kotor kok. Lagian kami cuma mau nangkep anggang-anggang."
Tanpa menunggu persetujuan mamanya, tiga anak-anak itu bergegas menuruni lereng pekarangan rumah. Mereka tak peduli kakinya menginjak-injak kunyit yang ditanam bapak.
"Tolong liatin anak-anak deh, Pak. Mama mau mbongkarin tas."
Dengan langkah hati-hati, saya menyusuri parit yang menjadi pembatas antar petak tanah lahan kunyit itu. Saya menuju batu besar di bawah pohon kelapa. Sembari berbaring, saya ngunandiko, anggang-anggang itu bagi saya dulu bukan binatang aneh. Dia hanyalah makluk air yang aromanya menyengat. Kini penghuni sungai itu menjadi buruan menarik bagi kedua anak saya. Bagi mereka, makluk itu amat menggemaskan karena amat susah ditangkap. Meski tak paham, saya berusaha maklum. Seperti saya memaklumi selera musik mereka yang jedhar-jedher nyaris tanpa kedalaman nada, sementara saya lebih suka menikmati alunan campur sarinya Sunyahni ketika dia melantunkan lagi "Setyo Tuhu".

※※※※※


Ruang Melati RS Pusdikkes Kramat Jati, 11 Februari 2014. Giliran jaga malam. Cepat sembuh ya Abiyyu.. Aamiin..

No comments: