Kiri ke kanan : Pak Anas, Bapak, Ibu seusai Umroh ke dua |
Cerita bagian I ada di sini
Tepat pukul 14.00 waktu Mekkah bus kami berangkat ke Madinah. Seperti biasa cuaca amat panas. Pendamping kami, pak Ansori, dengan semangat mulai berkisah tentang tempat-tempat yang kami lalui. Pria asal Semarang ini mengajak kami untuk senantiasa melantunkan shalawat nabi.
Tepat pukul 14.00 waktu Mekkah bus kami berangkat ke Madinah. Seperti biasa cuaca amat panas. Pendamping kami, pak Ansori, dengan semangat mulai berkisah tentang tempat-tempat yang kami lalui. Pria asal Semarang ini mengajak kami untuk senantiasa melantunkan shalawat nabi.
Saya
duduk di bangku paling belakang, di belakang bapak dan ibu. Sembari
bershalawat, saya memotret suasana kota Mekkah. Sejenak kemudian saya menemukan
hal ganjil. Bus ini seperti berputar-putar di jalan yang sama. Pak Ansori
bahkan berkata dengan intonasi meninggi kepada pengemudi bus bahwa kita salah
jalan. Perkiraan saya ternyata tidak meleset, bus ini tersesat di kota Mekkah.
“Kenapa,
To”, bapak rupanya menangkap kegelisahan saya.
“Itu
sopirnya nggak tahu jalan, Pak”
“Lha
terus gimana?”
“Coba
sebentar saya ke depan, Pak.”
Saya
beranjak ke samping pengemudi. Pak Ansori disibukkan oleh dua urusan sekaligus,
membimbing jamaah dan mengarahkan rute bus. Saya menawarkan bantuan.
“Pak,
gimana kalo sopirnya saya aja yang ngarahin, Bapak konsen saja sama jamaah.”
“Lho,
pak Slamet hafal kota Mekkah?”
“Nggak
sih, Pak. Kan ada GPS,” ujar saya sembari menunjukkan ponsel pintar yang udah
saya pasang aplikasi Waze.
Telepon
seluler itu segera saya pasang di dashboard. Dengan bahasa Tarzan saya suruh
sang pengemudi mengikuti petunjuk yang tertera di sana. Kemampuan bahasa
Inggris saya yang tak seberapa ini sama sekali tak berguna karena pengemudi
asal Afrika ini tak bisa bahasa Inggris sama sekali. Dia hanya bisa bahasa Afrika
dan bahasa Arab.
Akhirnya
bus berhasil menemukan rutenya. Jalan bebas hambatan terbentang di depan kami. Speedometer
menunjukkan angka 120 kilometer per jam, stabil, nyaris tak berubah, tak
seperti jalanan di Indonesia. Sembari menikmati kegersangan suasana perjalanan,
saya lantas teringat pada kejadian dua hari lalu.
Kami
mendarat di bandara Jeddah pukul 16.30 waktu setempat. Setelah membereskan
semua urusan administrasi, bus berangkat ke kota Mekkah lepas Magrib.
Perjalanan ke kota Mekkah memakan waktu hampir dua jam. Kami sudah berpakaian
Ihram sejak di pesawat terbang, karena begitu tiba di Mekkah kami akan segera
menunaikan ibadah Umroh.
Pukul 20.00 waktu setempat, bus tiba di Mekkah.
Maha Suci Allah... kota ini begitu berbinar cahaya. Kami langsung diarahkan ke
lobby hotel Pullman, tempat rombongan kami menginap. Pak Ansori memberi
pengumuman bahwa jamaah diharap berkumpul di lobby ini pukul 23.00 waktu
setempat untuk bersiap menunaikan Umroh. Pemilihan waktu tengah malam ini
didasari pada pertimbangan kondisi cuaca semata, meskipun di sisi lain disadari
pula bahwa pada kisaram jam segini Masjidil Haram akan penuh sesak oleh jamaah
lain.
Setelah
menerima kunci kamar, kami bergegas menuju kamar masing-masing. Saya sekamar
dengan bapak dan dua jamaah pria lain. Pria pertama bernama Cucu berusia 60an,
berasal dari Garut, sedangkan pria ke dua seorang kakek-kakek bernama Anas, berusia
78 tahun, berasal dari Cirebon. Manajemen biro perjalanan memang menempuh
kebijakan bahwa jamaah yang telah berumur akan dipasangkan dengan jamaah yang
berusia relatif muda agar bisa saling membantu. Ibu saya sekamar bertiga dengan
dua jamaah lain. Alhamdulillah kamar kami berdekatan sehingga memudahkan
komunikasi. Orang tua saya memang tidak saya bekali dengan telepon seluler
karena percuma saja, mereka tidak bisa menggunakannya.
Koper
kami masih diurus oleh pihak biro perjalanan, sehingga kami tak membawa apa-apa
ke dalam kamar. Bawaan saya hanyalah tas pinggang berisi kamera dan buku
petunjuk ibadah Umroh. Setiba di kamar, saya segera berpesan kepada ibu agar
sewaktu-waktu bersiap nanti untuk bersama-sama menunaikan ibadah Umroh.
“Le,
aku pengin mandi, boleh kan?” tanya bapak kepada saya setiba di kamar. Bapak
saya ini memang amat tidak tahan dengan hawa panas. Ketika menginap di Jakarta,
beliau sering tidur di lantai jemuran saking tak tahannya dengan hawa lembab
Jakarta.
“Boleh,
Pak. Monggo saja, yang penting jangan pakai sabun.”
Bapak
segera masuk kamar mandi, tapi tak lama kemudian beliau keluar lagi.
“Ini
gimana cara mandinya, Le? Kok nggak ada gayungnya..”
Saya
baru sadar, kamar mandi hotel ini berbeda dengan kamar mandi rumah kami. Yang tersedia
di dalamnya adalah bath up dan pancuran, tanpa bak air dan gayung. Saya berpikir
keras. Lantai bath up ini amat licin. Kondisi yang jelas-jelas berbahaya bagi
bapak yang sudah tidak kukuh berdirinya. Akhirnya saya putuskan agar bapak
mandi menggunakan kran toilet. Sebuah pilihan sulit, dan mengandung konsekuensi
bahwa saya harus mengeringkan lantai kamar mandi agar air tak menggenang. Untunglah
manajemen hotel sudah mengantisipasi beragam tipikal jamaah tamu mereka. Di kamar
mandi tersebut telah tersedia alat penggiring air seperti yang banyak terdapat
di Indonesia.
Seuasai
mandi, saya kembali membantu bapak memakaikan pakaian Ihram. Tubuh kukuh itu
kini mulai renta. Bapak yang dahulu kondisi fisiknya amat perkasa, pemain bulu
tangkis handal, petani tulen, kini telah memasuki usia senja. Saya hampir
menangis ketika memakaikan pakaian Ihram itu. Terbayang suatu saat nanti saya
membungkusnya dengan kain kafan.
Waktu
telah menunjukkan pukul 22.30. Saya segera mengajak mereka bertiga turun ke
lobby. Tak lupa saya ketok kamar ibu untuk berangkat umroh bersama kami. Sebetulnya
bisa saja saya titipkan beliau ke dua teman sekamarnya, tapi sudah menjadi
tekad saya bahwa mereka harus senantiasa berada di samping saya selama di sini.
Setiba
di lobby jamaah sudah ramai berkumpul. Kami dikelompokkan sesuai rombongan bus
kami. Total ada 8 kelompok yang masing-masing beranggotakan 45 jamaah. Pak
Ansori memegang bendera kecil berwarna biru sebagai patokan agar para jamaah
tidak terpisah.
Akhirnya
secara bertahap 8 kelompok itu berangkat ke Masjidil Haram. Jarak dari hotel
kami ke pintu King Abdul Aziz hanya seperlemparan tombak, karena hotel tersebut
terletak di Zamzam Tower. Begitu mendekati pintu Masjidil Haram, kami segera
melepas alas kaki. Subhanallah, ujian mulai saya hadapi. Saya tidak pernah
membayangkan bapak perlu waktu sekian lama untuk melepas alas kakinya.
Sementara itu rombongan kami sudah mulai melangkah masuk ke dalam Masjidil
Haram. Selain orang tua saya, Pak Cucu dan Pak Anas turut bersama dalam
rombongan kecil saya, sehingga total saya harus membantu 4 jamaah manula.
“Gimana
ini, Le? Kita ketinggalan rombongan tu..”
“Nggak
apa-apa, Pak. Kita berlima tetap bersama-sama. Insya Allah saya bisa mengimami
bacaannya.”
“Mas
Slamet, ayo cepetan, kita ketinggalan rombongan,” ujar pak Anas. Saya menghela
nafas dalam-dalam. Kalimat saya barusan ternyata tidak dia dengar karena memang
pak Anas sudah berkurang jauh pendengarannya.
Dengan
senyum tipis saya jelaskan ke beliau bahwa saya akan memimpin rombongan kecil
ini. Lima pasang alas kaki ini saya masukkan dalam tas kecil saya. Saya tidak
terpikir lagi untuk berfoto dan sebagainya. Pertarungan sudah di depan mata.
Gebang
Abdul Aziz segera kami masuki. Saya mengambil posisi di tengah-tengah mereka.
Ibu saya gandeng dengan tangan kanan, bapak dengan tangan kiri. Pak Anas dan
Pak Cucu memegangi pundak saya dari belakang. Berbekal buku panduan Ibadah Umroh,
saya mulai membaca lafadz-lafadz yang diajarkan. Lautan manusia ini bergerak
berlawanan dengan arah jarum jam, mengitari situs peninggalan nabi Ibrahim.
Langkah saya terseok-seok, terseret ke kiri dan ke kanan, kadang nyaris
terjeremban kena serudukan jamaah lain. Saya berbagi tugas. Pak Anas saya suruh
menghitung jumlah putaran tawaf, karena daya ingatnya meyakinkan.
Pada
putaran ke 6 saya menawarkan anggota rombongan saya untuk berjuang menyentuh
rukun Yamani. Kepada mereka saya beritahu bahwa sudut ini cukup disentuh, tidak
perlu dicium seperti Hajar Aswad. Atas ijin Allah, kami berhasil menyentuh
salah satu sudut Kabah itu. Pak Anas bersikeras ingin mencium Hajar Aswad, tapi
dengan terpaksa saya tidak perbolehkan. Hal ini semata-mata didasari pada kondisi di sana yang
menurut saya amat berat bagi orang seumuran beliau. Syukurlah beliau mengerti
dengan penjelasan saya.
Jauh-jauh
hari adik saya sudah mengantisipasi jika kondisi bapak tidak memungkinkan tawaf
dan sai dengan jalan kaki, agar dicarikan sewaan kursi roda. Alhamdulillah sejauh
ini bapak kuat menjalani tawaf hingga putaran ke enam.
“Masih
kuat, Pak”
“Masih,
Le... tinggal satu putaran lagi, kan”
“Inggih,
Pak.”
“Wis,
to.. nggak usah pikiran kondisi Bapak, mati di sini pun Bapak siap.”
Dalam
hati saya berguman, bapak mungkin ikhlas mati di sini, tapi mbok ya anaknya ini
ditanya, ikhlas nggak ditinggal mati bapaknya di Mekkah.
Alhamdulillah
akhirnya ritual Tawaf berhasil kami lalui dengan baik. Setelah menunaikan
sholat sunnat di Maqam Ibrahim dan minum air zamzam, kami beristirahat. Saya mempersilahkan
rombongan kecil saya untuk tiduran di lantai masjid, mengingat dari indonesia
kami relatif belum istirahat. Tak berapa lama teman serombongan kami mulai
berdatangan. Rupanya kami menyelesaikan Tawaf lebih cepat dari pada mereka,
ajaib.
Setelah
dirasa cukup beristirahat, saya mengajak mereka berempat untuk melaksanakan
rukun Sai. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 waktu setempat. Dengan formasi
sama persis dengan formasi Tawaf tadi, saya mengajak mereka menuju bukit Safa.
Setibanya
di sana, kami segera mulai Sai. Saya ajak mereka berempat melalui rute khusus
jamaah berkursi roda agar jarak tempuh kami efisien. Sekali lagi pertimbangan
saya adalah kondisi fisik bapak.
Pada
putaran ke tiga ibu mulai lepas dari pegangan saya. Kondisi fisik beliau memang
masih prima. Di kampung sana, ibu masih biasa jalan kaki berkilo-kilo meter
jaraknya. Bapak sebenarnya mewanti-wanti saya agar tetap menggandeng ibu,
karena meski fisiknya masih prima, ibu sudah amat pelupa. Namun akhirnya saya
tak tahan juga. Pikiran saya toh rute Sai ini hanya memutar dan kalaupun ibu
jalan duluan, kami nanti akan saling bertemu di tengah-tengah perjalanan.
Benar
saja. Kami sedang menuju bukit Safa pada putaran ke enam ketika berjumpa ibu
yang sudah dalam perjalanan menuju ke bukit Marwah untuk terakhir kalinya. Saya
hentikan langkahnya di tengah jalan. Kepadanya saya berpesan agar menunggu kami
di bukit Marwah, jangan kemana-mana.
Setiba
finish di bukit Marwah, saya segera mencari tumpangan untuk bertahalul. Kami tidak
membawa gunting sendiri karena masih berada di kopor. Selesai menuntaskan rukun
Umroh, saya segera mendudukan bapak, pak Anas dan pak Cucu di sebuh sudut
ruangan. Saya bergegas menuju puncak bukit Marwah untuk menemui ibu di sana.
Puncak
bukit itu kini lebih menyerupai gundukan batu kecil. Dasarnya sudah tenggelam
oleh lantai masjid. Ratusan orang berkumpul di sana. Ada yang tiduran, ada pula
yang duduk sembari membaca Al Qur’an. Saya kitari puncak bukit itu berulang
kali, tapi tak saya temui ibu di sana. Pencarian saya lebarkan ke sudut-sudut
kawasan Marwah, namun hasilnya tetap nihil. Ibu seakan lenyap ditelan Marwah.
Saya
kembali ke tempat rombongan kecil berada, berharap ibu sudah ada di situ. Wajah
bapak cemas menyambut kedatangan saya. Ibu tak ada di sana.
“Ibumu
belum ketemu, Le?”
“Belum
tu, Pak. Coba saya cari lagi deh..”
Pencarian
saya lanjutkan ke arah bukit Safa. Sepanjang perjalanan mata saya melotot ke
setiap sudut. Hasilnya nihil. Saya kembali ke bukit Marwah dengan putus asa.
Betis saya mulai terasa sakit. Wajah bapak kian cemas melihat kedatangan saya
yang masih sendirian.
“Ibumu
ki ngeyel sih, disuruh nggandeng anaknya kok maunya cepet-cepet,” bapak mulai
menggerutu.
“Sabar
nggih, Pak. Saya coba cari lagi ke toilet.”
Di
usia mereka, ritual buang hajat kecil memang lebih sering terjadi dibandingkan
dengan usia saya. Perkiraan saya satu, ibu berada di toilet wanita. Dengan
langkah cepat, saya menuju area toilet wanita. Semula saya sempat dilarang oleh
jamaah wanita dari TimurTengah ketika mau masuk ke toilet wanita. Namun setelah
saya jelaskan maksud kedatangan saya, dia memperbolehkan saya masuk ke toilet
wanita dengan pengawalannya.
Nama
ibu saya panggil berulang-ulang dari luar toilet. Tak ada sahutan satupun. Saya
kian lemas. Gusti, dimana Ibu saya? Gimana jika terjadi apa-apa dengannya?
Kumandang
adzan Subuh terengar dengan merdu. Masya Allah, tak terasa, pencarian saya
telah memakan waktu hampir dua jam lamanya. Astaga, saya baru menyadari satu
hal. Kenapa dari tadi saya tidak menghubungi pak Ansori pembimbing kami, ya?
Dengan
terburu-buru saya memanggil nomor ponselnya. Panggilan pertama tidak dia jawab.
Barulah pada panggilan kedua telepon itu diangkat. Suaranya berat, pertanda
baru terjaga dari tidur.
“Asalamulaikum,
Pak. Saya Slamet. Ibu saya hilang, Pak”, ucap saya terbata-bata.
“Nama
ibunya siapa, Mas?”
“Bu
Lasiyem, Pak.”
“Oh..
bu Lasiyem to. Tuh sudah saya antar ke kamarnya, tadi saya temukan di Marwah,
Mas. Saya pikir memang ketinggalan rombongan, makanya saya ajak pulang ke
hotel.”
Saya
tak menjawab apa-apa lagi. Kaki ini seolah tak mampu menopang tubuh saya. Dengan
langkah tertatih, saya kabarkan berita ini ke bapak. Muka cemasnya sirna
seketika, berganti dengan keceriaan tiada tara. Baru kali ini saya melihat
ekspresi cinta bapak ke ibu sedemikian dalam.
Bandung,
15 Juli 2014
#####Bersambung#####
No comments:
Post a Comment