![]() |
Bapak sedang menguras genangan air di pekarang belakang rumah. Lokasi inilah yang dahulu tertimbun longsoran dari lereng bukit di belakang rumah. Foto diambil Desember 2013. |
Di luar sana hujan masih ngrecih dari sore tadi. Nyala lampu uplik sekarat di ujung ruangan. Dian itu
digoyang hembusan angin yang menerobos celah dinding rumah yang terbuat dari
anyaman bambu. Percikan air hujan
sesekali juga membasahi tubuh saya.
Krrrosssssoooooookkkk…….!!!
Braaaaak……..!!!! Suara keras berderak, terdengar
dari belakang rumah. Saya segera berlari ke sentong
tempat orang tua dan ketiga adik saya tidur. Belum sempat pintu saya ketuk,
bapak sudah membukanya. Meski mudah tidur, bapak mudah pula terbangun.
“Ana apa, Le?
“Kayaknya longsor, Pak”
Kami segera menuju sumber
suara dengan penerangan lampu uplik.
Sampai di sentong tengah suasananya
amat mengerikan. Ruang keramat tempat penyimpanan benda pusaka ini berantakan.
Dindingnya ambrol dihantam longsoran dari tebing di belakang rumah kami. Lemari
tua, grobogan tempat menyimpan beras, peralatan masak dan bertani saling tindih
menjadi satu. Lemari kayu tempat menyimpan perabot dapur ikut terjungkal
menimpa tumpukan buku saya.
“Bangunin Ibu sama
adik-adikmu, To. Suruh mereka pindah ke omah
ngarep.”
Rumah kami memang berjajar
dua, depan dan belakang. Rumah belakang ini pemberian nenek ketika orang tua
memutuskan untuk mandiri. Hanya berselang dua meter dari dinding belakang,
menjulang tebing curam setinggi pohon kelapa. Struktur tanahnya berupa tanah
padas yang mudah longsor. Kami tak berdaya menghadapi keadaan ini, karena
tebing tersebut bukan tanah kami. Yang bisa kami lakukan hanyalah pasrah
sembari menyingkirkan tanah longsoran.
Sedangkan rumah depan
dibeli bapak dari Wo Sukimin. Rumah itu masih berupa pendopo luas tanpa dinding
sama sekali. Bukannya mau bergaya ningrat dengan pendopo terbuka luas,
ketiadaan dinding tersebut semata karena bapak belum punya uang menembok
rumahnya.
Dengan menahan kantuk,
ketiga adik saya segera ngungsi ke rumah depan. Mereka tidur sekenanya di kursi
rotan yang terletak di tengah rumah.
Kelar membangunkan
adik-adik, saya menyusul bapak yang sudah berada di belakang rumah. Kami tak
harus jalan memutar lewat dapur karena dinding yang jebol ini bisa kami jadikan
jalan pintas. Kondisi belakang rumah ini lebih mengerikan. Tumpukan longsoran
seolah akan menelan rumah kami.
“Pripun, Pak?”
Malam masih panjang. Hujan belum juga berhenti. Saya takut
membayangkan apa yang akan terjadi.
“Ambilin pacul di kandang, To. Bapak bikinin
parit secukupnya dulu, biar air nggak ngalir ke dalam rumah.”
Saya segera menuju kandang
kambing di samping dapur. Cangkul keprek merk “Ayam Jago” itu saya bawa ke
bapak. Dalam siraman hujan, bapak segera mencangkuli tanah berair itu. Tubuhnya
basah kuyup, tapi dia sama sekali tak menggigil.
Tak berapa lama, ibu
muncul di belakang saya.
“Mbok besok aja to, Pak. Hujan-hujan gini kok nekad macul.”
“Kalo nunggu besok, rumah
tambah banjir, Bu. Ujung-ujungnya Bapak juga yang harus ngerjain.”
Tanpa berkata apapun ibu
menghilang di kegelapan rumah. Saya duduk di atas lemari yang rubuh tadi. Pekerjaan
yang semula akan selesai dalam waktu singkat, ternyata memakan waktu yang lama.
Tanah padas itu telah berubah menjadi adonan lumpur. Cangkulan bapak sekejap
kemudian tertutup lagi oleh longsoran bubur tanah itu.
“Orang hidup itu ya begini
ini, To. Harus siap dengan segala resiko yang nggak kita tahu kapan datengnya.”
“Kenapa Bapak beli tanah
ini? Kenapa nggak beli di tempat rata?”
“Bapakmu punyanya cuma tekad,
Le. Lha mbahmu itu nggak mewariskan apa-apa. Duitnya habis buat nyekolahin
anak-anaknya.”
“Berarti mending nggak usah
nyekolahin anak dong, Pak. Nanti Bapak dapet warisan sawah dan tanah. Nggak seperti
sekarang ini, Bapak jadi pegawai negri tapi ya tetap aja kalah sama kang Yatno
yang sapine guede-guede warisan dari Wo Sariyem.”
Rumah kandang tadi memang megah, namun isinya sungguh kontras. Penghuni kandang itu hanya dua ekor kambing dan beberapa ekor ayam.
Kandang sebesar itu harusnya muat tiga ekor sapi.
“Kamu mau hidupmu kleleran nanti? Kamu mau tiap sore Bapak
suruh nyari pakan sapi? Jaman sudah berubah, Le. Sekolah memang ndak njamin kamu jadi orang kaya. Tapi
sekolah akan membuka pikiranmu. Eling yo,
Le… Pinter sama ngerti itu beda. Wong pinter itu kerjane minteri orang lain,
kalo orang ngerti itu nularkan pengertiannya ke orang lain. Sekolah mendidik
kamu jadi orang ngerti, bukan orang pinter.
“Wis…wis… malem-malem
Bapakmu iki kok malah mejang, to Le.
Tu tak bikinin teh sama ada singkong rebus sisa tadi sore. Terusin besok wae, Pak. Wis wengi. Nanti kalo Bapak
sakit, aku juga yang repot ngeroki…”
Bak kerbau dicocok
hidungnya, kami berdua manut dengan sabda ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di
belakang saya.
Bandung, 15 Desember 2014.
2 comments:
pak mu jos gandos bos...
mbok kapan2 wedangan bareng...
Suwun Mas... Ayuuuk... Lebaran nanti main ke Wonogiri...
Post a Comment