Prastowo menerangkan soal skema Tax Amnesty |
Saya sama sekali tidak
menyangka bakal ketemu dengan sosok yang satu ini di kegiatan yang diadakan
oleh Ditjen Pajak. Selama ini namanya memang telah malang melintang di benak
saya. Beragam pertanyaan muncul setiap membaca namanya yang sering melintasi media
massa. Siapa sih orang ini? Siapa sih yang membiayai kegiatannya? Siapa sih
pangsa pasarnya? Kenapa sih media begitu mendewakannya ketika bicara soal
pajak? Kenapa pula (Kayaknya) Jokowi pun percaya kepadanya? Dan masih banyak
pertanyaan-pertanyaan lain.
Sosoknya yang tak
terlalu tinggi membuat saya percaya diri ketika dia menyalami saya dengan
hangat di dermaga Marina.
“Apa kabar, mas Slamet?”
“Kabar baik, mas Pras.
Njenengan apa kabar?”
Sejujurnya saya tidak
terlalu yakin dia orang mana, tapi dari namanya, saya menebak dari orang Jawa. Pembicaraan
di dermaga itu harus kami pungkasi karena kami berangkat ke pulau Ayer dengan
kapal yang berbeda. Sepanjang perjalanan mengarungi teluk Jakarta pikiran saya
tak bisa lepas dari sosok tadi. Kemisteriusan itu kian dalam.
Perjalanan dari dermaga
Marina ke pulau Ayer hanya memakan waktu 30 menit. Setelah beristirahat
sejenak, kami dipersilahkan memasuki ruang pertemuan. Saya segera menaruh
seminar kit berupa kaos dan tas slempang di meja paling depan, lalu keluar
ruangan lagi untuk ngrokok. Otak ini butuh asupan. Ketika pintu ruang pertemuan
itu ditutup, sebagai pertanda acara akan segera dimulai, saya baru beranjak
masuk.
Saya kaget ketika
seminar kit tadi sudah bergeser tempat. Meja yang saya booking tadi sudah
ditempati laptop merk Apel Krowak. Dalam hati saya muring-muring, kurang ajar
banget nih orang, berani nggeser tempat duduk pejabat prestisius. Belum usai
saya ngumpat, tiba-tiba sosok penggusur itu datang. Saya tarik sisa-sisa
umpatan yang belum sempat terkeluarkan. Ah… untunglah dia yang menggusur saya.
Panitia segera
menggebrak kami dengan ice breaking
ala P2Humas. Saya akui, mengadakan acara yang melibatkan wartawan itu nggak
gampang. Memastikan kehadiran mereka saja sudah menjadi persoalan tersendiri,
apalagi membuat mereka nyaman di acara berformat pertemuan agak resmi seperti
ini. Makhluk yang satu ini memang dikenal rada tengil, susah di atur, dan susah diajak kompromi. Stigma itu akan
kian kuat jika tidak pernah bergaul langsung dengan mereka. Menilai wartawan
dari berita yang ditulisnya menurut saya kurang adil, karena dalam sebuah
tulisan ada editor dan pemimpin redaksi yang terlibat. Belum lagi jika
memperhitungkan kepentingan pemilik media. Menilai wartawan memang harus kenal
dekat dengannya. Syukurlah teman-teman dari P2Humas punya kemampuan lunak yang
baik, sehingga acara tersebut berjalan dengan cair.
Pria di samping saya itu
sesekali ngajak ngobrol. Topiknya tak jauh dari isu yang sedang dibicarakan
oleh narasumber yang sedang berbicara di depan. Mulai dari Tahun Pembinaan
Wajib Pajak 2015, Tax Holiday, sampai Tax Amnesty. Terus terang pengetahuan
saya tentang Tax Amnesty amat cetek. Oleh karenanya saya memilih
manggut-manggut biar dikira paham. Beberapa istilah yang dia sampaikan semisal AEOI dan BEPS sama sekali tak mampu saya mengerti. Analisis
berbau penolakannya terhadap rencana Tax Amnesty dalam waktu dekat ini didukung
oleh data dan fakta yang komperehensif.
Sesi acara formal
berlangsung hingga pukul 16.00 WIB. Sebagian besar peserta menghambur ke kamar
masing-masing. Secara tak sengaja saya terlibat obrolan ringan dengan teman
sebelah meja tadi. Terkuaklah kampung halamannya, Gunung Kidul. Oalaaaaah…
ternyata ndeso to… obrolan itu
pelan-pelan juga menyingkap ingatan saya kepadanya. Kawan ini kalo tidak salah
pernah tampil di opera Natal DJP beberapa tahun lalu. Namanya memang mencirikan
dia seorang Katolik. Ah… harus hati-hati ini.. Jangan sampai saya dijadikan
domba olehnya.
Malam harinya kami
kembali duduk satu meja. Acara inti sudah usai, menyisakan beberapa gelintir
panitia yang masih sibuk meringkasi property dan kami berenam, saya, Ani,
Timbul (Kompas), Agus (CNN Indonesia), Prastowo, dan satu orang wartawan lagi
yang saya lupa namanya. Obrolan kami tak tentu topik, loncat-loncat kian
kemari. Saya membuka wacana soal bencana Mina, Hajar Aswad, Islam garis keras,
dan sejarah komunisme. Hal yang terakhir itu saya contek dari Gita Wiryawan dan
Tauiq ketika minggu lalu nginap di rumah saya. Saya memang punya rencana,
menghadapi mereka yang notabene tak beragama Islam harus dimulai dengan hal
yang ringan-ringan soal Islam. Tujuan saya agar mereka rileks sehingga tak defensif.
Ani menimpali dengan cerita soal gesekan Islam – Nasrani di kampus STAN periode
masa pendidikan kami. Cerita tentang seorang kawan yang harus turun dari
jabatan ketua kelas karena dia seorang Nasrani kami ungkit lagi. Pun kesaksian
saya soal betapa tantangan keimanan sebenarnya itu bukan saat di kampus, tapi
di dunia kerja.
Prastowo lalu
menceritakan tentang bapaknya yang amat teguh soal agama. Meski bukan pemuka
agama, kegiatan dakwahnya melebihi seorang pastor. Pras juga bercerita bahwa
bapaknya berani mendatangi masjid untuk memutar arah speaker agar tak mengarah
ke rumahnya. Keren, kata saya. Dia juga
bercerita tentang omelan istrinya ketika dia malah menantang debat dengan
pengikut sekte Saksi Jehovah di rumahnya. Pun juga kerelaannya untuk menyumbang
buku-buku agama Islam dengan maksud yang tak saya duga. “Saya hanya pengin
mereka pintar beragama, Mas Slamet. Dengan begitu mereka tak menjadi bodoh dan
merepotkan lingkungan,” ujarnya memberi penjelasan. Saya berani taruhan, bahkan
di kalangan muslim pun pemilik ide seperti itu tak banyak. Lha wong anak kecil ribut
di masjid aja malah diusir….
Ketika akhirnya kantuk
dan lelah mendera, saya berinisiatif membubarkan persekutuan itu. Jam telah
menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Misteri soal CITA dan sebagainya masih
buram. Biarlah itu jadi PR saya.
Angin teluk Jakarta begitu
sumuk. Cemilan berupa kambing guling saya tinggal begitu saja di meja. Jika pun
bukan pelayan restoran yang mengambilnya, saya rela itu jadi makanan carnivora
daripada membusuk percuma. Menakar seorang Prastowo Justinus memang ibarat
membaca ensiklopedia yang butuh waktu berhari-hari lamanya.
Bandung, 14 Oktober
2015.
No comments:
Post a Comment