Saturday, December 12, 2015

Piano di Masjid, Kipas Angin di Gereja

Dahulu, semasa kecil, saya akrab dengan banyolan bernada SARA semisal: kenapa di masjid tidak ada piano seperti di gereja? Jangankan piano, sandal saja ilang; atau kenapa di gereja Protestan tidak ada Patung Yesus? Karena takut kedinginan, dan sebagainya. Lelucon ini jika saya posting sekarang jangan-jangan berbuah petaka, rumah saya ditimpuki batu, atau setidaknya akun medsos saya jadi belanga penghakiman.
Tidak, saya tidak akan menulis tentang perbedaan akidah Islam dan Nasrani. Sebagai orang Islam, saya tak akan ngutak-utik keyakinan orang lain.
Oya, dahulu saya kira “sekte” dalam Islam itu hanya NU dan Muhammadiyah. Kenapa demikian? Semata-mata berangkat dari ke-cubluk-an pemahaman saya tentang ajaran agama. Di kampung saya, pelosok Wonogiri sana, memang tak ada pembawa aliran agama yang demikian mengakar selain dua itu. Pokoknya jika sholat Subuhnya memakai Qunut pasti NU, sedangkan jika tidak maka Muhammadiyah.
Begitu kuliah di STAN, saya terpana. Saya dilanda kekagetan budaya. Tiba-tiba ada teman yang sengaja men-DO-kan diri karena menurutnya gaji PNS itu haram. Tiba-tiba saya mendapati beberapa teman tidak mau salaman dengan lawan jenis, bercelana di atas mata kaki, panggilan Antum dan Ana, seruan jihad ke Bosnia-Herzegovina, hingga menurunkan ketua kelas yang beragama non Islam. Saya benar-benar terpana. Rupanya wajah Islam itu tak sesederhana NU-Muhammadiyah. Beberapa bagian diri saya menolak hal itu. Tiba-tiba agama sedemikian rumit dan susah serta ekstrim, sementara di sisi lain, sandal saya masih saya suka hilang ketika sholat jamaah di Mushola Al-Barkah milik Haji Sanian.
Hingar-bingar wajah agama ini luput dari perhatian saya ketika memasuki dunia kerja, sampai suatu hari saya mendapati kejadian unik, jika tidak mau dikatakan aneh, di KPP Menteng Dua. Teman sekantor kami setiap hari membawa air minum sendiri dari rumah. Baginya air minum yang disediakan kantor itu, meski sekedar air mineral, tidak layak dia minum karena sudah melebihi haknya. Baginya, sebagai seorang PNS, hak dia adalah sebatas gaji dan tunjangan, tidak termasuk air minum. Baginya, sesuatu yang di luar haknya adalah haram. Kian aneh ternyata teman ini bukan seseorang yang berjenggot, bercelana di atas mata kaki, berjidat hitam atau selalu sholat jamaah di awal waktu. Dia manusia yang “biasa-biasa” saja, masih bersedia salaman dengan lawan jenis atau bercakap sembari bertatap muka.
Lalu beberapa tahun belakangan, hari-hari saya kembali diwarnai dengan hiruk-pikuk pembahasan akidah. Paling sering tentu saja hukum pengucapan Selamat Natal, lalu belakangan soal Perayaan Maulid Nabi, dan entah esok tentang apalagi. Tentu saya tak bermaksud melewatkan pembahasan soal jenggot, pelayan toko berbusana Sinterklas, Jokowi-Ahok, antara jilbab dan jilbob, Sunni dan Syiah, Ahmadiyah, atau bahkan pajak versus zakat.
Manusia, dalam pemahaman saya, seakan tak pernah kehabisan energi untuk saling membenturkan pendapat dan keyakinan serta persepsinya soal ajaran kitab suci. Alih-alih mensyukuri perbedaan, manusia lebih suka mengumbar birahi pemaksaan pendapat dan penghakiman. Jika Anda tak sama dengan saya, maka Anda adalah kafir, demikian singkatnya. Duh, Gusti…. Lihatlah hambaMu ini, tak sekedar menduakanMu, mereka bahkan mengambil alih wewenangMu.
Saya tak hendak menyalahkan media yang berperan besar sebagai pengantar diskusi-diskusi keagamaan. Lha masak saya mau menghujat dik Mark Z, si pemuda Yahudi yang telah menyenangkan hidup saya dengan menyediakan Wall (tembok) untuk meratap kepada Gusti Allah. Atau, saya memilih mengabaikan posting yang meminta like dan share,  karena saya cukup tahu motif bisnis di balik posting-an bombastis dan provokatif. Sesekali  masuklah ke group diskusi di Fesbuk, di sana akan kita temui diskusi yang amat nggegirisi. Saya pernah masuk forum Indonesyiah, dan alamaak, bukan diskusi sehat yang ada di sana, tapi ajang saling menghujat dan misuh-misuh­ antar sesame manusia yang tak saling kenal. Pada akhirnya saya sendirilah yang harus menata hati, memilih mana yang bermotif bisnis dan mana yang pro bono publico.
Maka saya tak lelah untuk tetap menyuarakan perdamaian lintas budaya dan agama. Saya percaya Tuhan kita bersama punya maksud tertentu ketika memvonis Adam yang telah memakan buah Khuldi. Kehadiran Adam dan Hawa di muka bumi yang justru berangkat dari “kesalahan” adalah rahmat tersendiri bagi kita semua. Bukankah dari kisah pelacur dan anjing kehausan pun kita bisa belajar bagaimana bersikap baik kepada hewan yang nyata-nyata haram dagingnya dan najis air liurnya?
Maka bagi yang merayakan ulang tahun, rayakanlah dengan suka cita dan sewajarnya, karena di balik kesukaacitaan pasti terselip rasa syukur yang luar biasa atas anugerah umur dari Yang Maha Kuasa. Maka bagi yang merayakan Maulid Nabi, rayakanlah, tapi ingat, jangan sampai menutup akses jalan umum. Maka yang belum bisa menutup aurat dengan cadar, tetaplah berjalan dengan tegak, karena di balik jilbab ketatmu tersembul semangat untuk menata diri. Saya tidak akan bilang begini, percuma 10 kali naik haji jika masih suka narsis di depan Ka’bah, percuma tidak mau salaman bersentuhan, jika masih suka memuji-muji kecantikan istri orang lain.
Wassalam….

Bandung, 12 Oktober 2015

No comments: