Panggung itu seolah tak terbendung,
menampilkan drama yang amat sarat konflik. Sudirman Said, Menteri ESDM duduk di
sisi yang saya taksir dekat dengan pintu masuk, menghadap jajaran Ketua Sidang;
sendirian, lebih mirip pesakitan dibanding saksi kunci pembuka kotak Pandora.
Maka begitulah drama ini adanya, telanjang
tanpa benang penutup. Anggota Majelis
Kehormatan Dewan DPR hari ini, sampai saat tulisan ini saya bikin, masih
bersidang. Mereka mencoba menanggalkan jati dirinya sebagai politikus dengan
cara mengenakan jubah ala hakim, jaksa atau pembela. Berhasilkah? Tak adil
menilai hasil kerja mereka dari hanya yang tersaji hari ini lewat siaran
langsung Metro TV dan Kompas TV. Hasil akhirnya mungkin masih panjang, berliku
dan nyaris bisa ditebak. Hari ini kita hanya diberi sajian betapa mereka
tetaplah politikus dengan agenda partai masing-masing. Hari ini mereka kian
meneguhkan jati diri sebagai wakil partai bukan wakil rakyat, sebagaimana
kodrat jabatan yang mereka emban.
Tengoklah kualitas pertanyaan mereka. Menyebut
media yang harusnya Kompasiana saja politisi Golkar itu keliru menjadi
Kompasmania. Lalu banyak pertanyaan yang didasarkan pada berita di media, bukan
hasil pendalaman materi yang saya yakin sudah mereka terima sebelum sidang
digelar.
Kelucuan dan kekonyolan itu bergulir begitu
saja, sementara di satu sisi Sudirman tetap anteng dengan eksistensinya. Akuntan
lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ini tak menampakkan kegentaran dan
keraguan sedikitpun ketika dicecar dengan pertanyaan yang provokatif. Memang
nadanya sempat meninggi ketika dia merasa dituduh melanggar hukum atas dugaan
upaya perpanjangan kontrak Freeport, namun beberapa saat kemudian senyumnya
kembali mengembang. Dalam hati pria kelahiran pesisir Pantura ini mungkin
menahan geli ketika integritasnya diragukan hanya dengan mempertanyakan
statusnya sebagai anggota Partai Keadilan Sejahtera beberapa tahun silam.
Sebagai sosok menteri, Sudirman sadar bahwa
ia hanyalah bawahan presiden. Maka segalanya tampaknya sudah dia siapkan dengan
matang, sebelum membawa rekaman ini ke MKD. Dia pasti paham bahwa atasannya
meski tampak plonga-plongo punya kepribadian yang amat koppig dalam urusan martabat bangsa. Sudirman
pasti sadar bahwa kunci yang ia genggam punya pengaruh yang amat akbar, tak
hanya soal nama SN, tapi soal tabiat para pengejar rente di negeri ini.
Maka di balik euforia saya sebagai teman
sealumni, sesungguhnya saya sedang kawatir. Di jaman kemerdekaan ini kebenaran
rasanya malah susah ditegakkan. Nama-nama pengungkit tabiat durjana malah raib,
diraibkan, atau setidaknya dikerdilkan dengan beragam cara.
Saya hanya kawatir, para pemakai jubah
warna Merah Putih itu sampai harus mempersoalkan muasal nabi Adam yang
diturunkan ke bumi oleh Tuhan justru akibat kesalahannya makan buah Khuldi, agar
eksistensi Sudirman di depan sidang mereka tak bertahan lama.
Bandung, 2 Desember 2015.
No comments:
Post a Comment