Tuesday, December 1, 2015

4/39, Kegigihan sebuah Usaha dan Kemakrifatan seorang Dirjen Pajak

Kantor Pusat Ditjen Pajak, 16.00 WIB
Dua perusahaan travel Jakarta-Bandung menyatakan hal yang sama kepada saya, waiting list sampai pukul 19.00. Ya sudah, saya belok haluan, mencegat taksi, lalu menetapkan hati, naik bus Primajasa dari pool Cililitan.
Pukul 18.00 WIB bus bergerak, mengangkut kami berempat, saya dan 3 penumpang lainnya, tak mundur sedetik pun, tak menunggu hingga bangku terisi lebih banyak lagi. Sisa bangku sebanyak 35 buah dibiarkan tetap kosong melompong.
Bus Primajasa Jakarta -  Bandung hanya terisi 4 penumpang dari 39 kapasitas kursinya

Sembari menikmati camilan yang saya beli di kantin pool tersebut, saya mendengarkan celoteh kondektur soal hal ini. Kondektur bus bercerita bahwa memang beginilah kondisi okupansi penumpang di hari Senen - Kamis, amat senen kamis. Hingga rit ke-3, bus ini total hanya mengangkut 22 penumpang, masih shortfall 2 penumpang lagi untuk menutup biaya operasional BBM dan tol sebesar 1,7 juta per hari. Yang lebih membuat hati saya teriris adalah bahwa dengan kondisi tersebut, tak ada sepeser uang pun yang yang akan dia terima hari ini, karena rumus penghasilannya adalah total pendapatan tiket dikurangi biaya operasional dikalikan dengan 7,5%. Untunglah perusahaan masih menanggung makan dan minumnya setiap hari; tapi bukankah di rumahnya juga menunggu mulut-mulut lain yang butuh asupan makan dan minum?
Terminal Leuwipanjang, 20.45 WIB
Link berita di group chat online mengagetkan kantuk saya. Pak Sigit, dirjen kami mengundurkan diri. Wow.. dalam sejarah republik yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, mengundurkan diri dari jabatan bukanlah budaya yang populer. Meski mbah Harto pernah melakukan dan (mungkin) mencontohkan, tak ada aksi pengunduran diri setelahnya yang membuat saya tercekat selain pengunduran diri pak Sigit.
Tak beda dengan mbah Harto yang mundur lebih karena dipaksa keadaan, pak Sigit pun demikian. Media mengutip bahwa pak Sigit mundur karena merasa sisa waktu sebulan tak cukup membuatnya mampu menunaikan janji mengisi pundi-pundi APBN dari sektor pajak. Ya sudah, kita aminkan saja kutipan media tersebut sembari tetap berprasangka baik bahwa kutipan itu memang benar.
Saya hanya merasa sedikit "cuwo" dengan mundurnya beliau, kok ya ndilalah hari ini saya mendapat tugas ke kantor pusat. Seolah-olah kok mundurnya beliau itu karena faktor kedatangan saya. Perasaan itu membuat sendawa saya yang masih beraroma rawon dan jeruk anget traktiran adi lanang saya, Farchan, di kantin samping kantor tetiba hambar. Maafkan kakakmu yang tadi kamu sebut "Mas Eselon" ini ya Le.. aja kapok, rejeki bagiku, berkah bagimu.. aamiin.
Pak Sigit...
Saya masih ingat, seminggu lalu kita bersua di Bandung. Maaf njih, Pak.. di sela menunggu kehadiran Menkeu saya sempat memergoki Bapak tertidur di bangku ruang rapat, sebelum beberapa menit kemudian Bapak sigap bangun ketika adzan Magrib berkumandang. Tingkat kemakrifatan njenengan ternyata jauh di atas saya yang masih ecek-ecek ini. Lha gimana tidak, begitu terdengar adzan Magrib, alih-alih segera mengambil air wudhu, saya tetap melanjutkan obrolan dengan para kolega di lorong gedung pertemuan itu.
Hari ini kemakrifatan itu Engkau tunjukkan lagi kepada kami. Engkau memilih mundur dengan kepala tegak ketika dirasa himpitan sudah tak terelakkan. Engkau tanggalkan kursi yang memberimu penghasilan besar. Engkau pilih jalan makrifat, semakrifat kondektur bus Primajasa yang tetap konsisten menjalani pekerjaan, meski hari ini dia tak bisa memberi makan pada keluarganya.


Bandung, 1 Desember 2015

No comments: