Kantor
Pusat Ditjen Pajak, 16.00 WIB
Dua perusahaan travel Jakarta-Bandung
menyatakan hal yang sama kepada saya, waiting list sampai pukul 19.00. Ya
sudah, saya belok haluan, mencegat taksi, lalu menetapkan hati, naik bus
Primajasa dari pool Cililitan.
Pukul 18.00 WIB bus bergerak, mengangkut
kami berempat, saya dan 3 penumpang lainnya, tak mundur sedetik pun, tak
menunggu hingga bangku terisi lebih banyak lagi. Sisa bangku sebanyak 35 buah
dibiarkan tetap kosong melompong.
Bus Primajasa Jakarta - Bandung hanya terisi 4 penumpang dari 39 kapasitas kursinya |
Sembari menikmati camilan yang saya beli di
kantin pool tersebut, saya mendengarkan celoteh kondektur soal hal ini.
Kondektur bus bercerita bahwa memang beginilah kondisi okupansi penumpang di
hari Senen - Kamis, amat senen kamis. Hingga rit ke-3, bus ini total hanya
mengangkut 22 penumpang, masih shortfall 2 penumpang lagi untuk menutup biaya
operasional BBM dan tol sebesar 1,7 juta per hari. Yang lebih membuat hati saya
teriris adalah bahwa dengan kondisi tersebut, tak ada sepeser uang pun yang
yang akan dia terima hari ini, karena rumus penghasilannya adalah total pendapatan
tiket dikurangi biaya operasional dikalikan dengan 7,5%. Untunglah perusahaan
masih menanggung makan dan minumnya setiap hari; tapi bukankah di rumahnya juga
menunggu mulut-mulut lain yang butuh asupan makan dan minum?
Terminal Leuwipanjang, 20.45 WIB
Link berita di group chat online
mengagetkan kantuk saya. Pak Sigit, dirjen kami mengundurkan diri. Wow.. dalam
sejarah republik yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, mengundurkan diri
dari jabatan bukanlah budaya yang populer. Meski mbah Harto pernah melakukan
dan (mungkin) mencontohkan, tak ada aksi pengunduran diri setelahnya yang
membuat saya tercekat selain pengunduran diri pak Sigit.
Tak beda dengan mbah Harto yang mundur
lebih karena dipaksa keadaan, pak Sigit pun demikian. Media mengutip bahwa pak
Sigit mundur karena merasa sisa waktu sebulan tak cukup membuatnya mampu
menunaikan janji mengisi pundi-pundi APBN dari sektor pajak. Ya sudah, kita
aminkan saja kutipan media tersebut sembari tetap berprasangka baik bahwa
kutipan itu memang benar.
Saya hanya merasa sedikit "cuwo"
dengan mundurnya beliau, kok ya ndilalah hari ini saya mendapat tugas ke kantor
pusat. Seolah-olah kok mundurnya beliau itu karena faktor kedatangan saya.
Perasaan itu membuat sendawa saya yang masih beraroma rawon dan jeruk anget
traktiran adi lanang saya, Farchan,
di kantin samping kantor tetiba hambar. Maafkan kakakmu yang tadi kamu sebut
"Mas Eselon" ini ya Le.. aja kapok, rejeki bagiku, berkah bagimu..
aamiin.
Pak Sigit...
Saya masih ingat, seminggu lalu kita bersua
di Bandung. Maaf njih, Pak.. di sela menunggu kehadiran Menkeu saya sempat
memergoki Bapak tertidur di bangku ruang rapat, sebelum beberapa menit kemudian
Bapak sigap bangun ketika adzan Magrib berkumandang. Tingkat kemakrifatan
njenengan ternyata jauh di atas saya yang masih ecek-ecek ini. Lha gimana tidak, begitu terdengar adzan Magrib,
alih-alih segera mengambil air wudhu, saya tetap melanjutkan obrolan dengan
para kolega di lorong gedung pertemuan itu.
Hari ini kemakrifatan itu Engkau tunjukkan
lagi kepada kami. Engkau memilih mundur dengan kepala tegak ketika dirasa
himpitan sudah tak terelakkan. Engkau tanggalkan kursi yang memberimu
penghasilan besar. Engkau pilih jalan makrifat, semakrifat kondektur bus
Primajasa yang tetap konsisten menjalani pekerjaan, meski hari ini dia tak bisa
memberi makan pada keluarganya.
Bandung, 1 Desember 2015
No comments:
Post a Comment