Tuesday, January 5, 2016

Sepenggal Pesan Setahun Silam

Tulisan ini adalah copas dari omongan saya ke istri dan kedua anak lewat group WA yang anggotanya terdiri dari kami berempat. Omongan ini saya sampaikan awal Juli 2015, ketika anak sulung saya minta ganti HP.
·         Pertama2 bapak mau ngomong ke kalian, istri n anak tercintaku, soal sedikit keadaan negeri ini.
·         Perekonomian negeri ini sedang sulit. Negara Yunani bahkan telah ambruk karena nggak kuat bayar utang ke IMF. Kondisi tsb dampaknya bisa saja menjalar ke negara kita.
·         Itu mmg konsekuensi logis dr perekonomian dunia yg tak kenal batas negara.
·         Apa resikonya buat keluarga kita? Resikonya adalah target pajak nggak tercapai sehingga tahun depan penghasilan bapak akan dipotong sekian persen setiap bulannya.
·         Ini mmg konsekuensi karena kami tak bisa memenuhi target ke negara.
·         Abiyyu n Abyan.... Hari- hari yang kalian songsong akan jauh lebih sulit dan keras dibanding yang kami, bapak mamamu, hadapi dulu.
·         Kalian nanti akan bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri karena adanya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), dimana nanti semua sektor bisa dimasuki orang asing.
·         Oleh karenanya kalian harus punya bekal yang cukup untuk bersaing dengan mereka.
·         Apa bekalnya? Hanya 2 kepandaian dan budi pekerti. Bapak dan mama bukan orang kaya yang bs mewariskan segudang harta buat kalian.
·         Yang bisa kami berikan hanyalah dorongan semangat dan dukungan atas apapun cita2 kalian. Intinya setinggi apapun sekolah kalian pasti kami dukung.
·         Itulah kenapa bapak dan mama tak pelit ketika menyangkut urusan sekolah dan peningkatan pengetahuan serta ketrampilan kalian.
·         Itulah kenapa kita panggil guru bhs inggris ke rumah dengan bayaran 8 juta, biar kalian pintar.
·         Itulah knp kami belikan kalian alat musik biar otak kalian seimbang kiri dan kanan.
·         Itulah knp kalian bapak ajak latihan tennis biar fisik kita bugar.
·         Prinsip kami adalah kalian harus siap fisik dan mental menghadapi perubahan jaman, dengan bekal ilmu dan akhlak.
·         Bukan dengan modal penampilan atau gaya hidup.
·         Itulah kenapa bapak cuma punya sepatu kerja 2 pasang.
·         Itulah kenapa kita membeli mobil bekas, bukan maksain beli mobil baru.
·         Itulah kenapa bapak nanem sayur; biar ketika kepepet bisa dijadikan lauk
·         Itulah kenapa bapak selalu ingatkan untuk matiin lampu kamar mandi, karena listrik makin mahal dan pemborosan.
·         Itulah kenapa dari dulu bapak beli handphone yang sewajarnya; bukan yang semewahnya,
·         Karena prinsip kita adalah belilah barang sesuai kebutuhanmu, bukan sesuai keinginanmu.
·         Itulah kenapa di rumah ada selimut beli bekas, karena kita lebih mengutamakan utilitas daripada sekedar gegayaan.
·         Anak2ku...
·         Ketika bapak melarang kalian atau memerintah kalian, bukan berarti bapak n mama nggak sayang sama kalian, bukan berarti kami tega dengan kalian.
·         Karena suatu saat nanti kalian akan menghadapi semua ini tanpa bapak n mamamu lagi.
·         Yang kami lakukan adalah mendidik kalian, karena kami akan disalahkan Allah jika tidak mendidik kalian dengan kebaikan.
·         Karena kalian adalah titipanNya.
·         So, kakak...
·         Bukan berarti bapak nggak sayang sama kakak
·         Bukan berarti bapak tega sama kakak
·         Bukan berarti bapak mbeda2in perasaan ke kakak n adek.
·         Semata2 berdasar pada hal2:
1.   Belilah barang sesuai kebutuhan;  bukan keinginan
2.   Handphone yang baik adalah handphone yang optimal, bukan handphone yang mahal,
3.   Situasi ke depan tak ada yang tahu. Menabung adalah cara terbaik menyikapi kondisi saat ini.

Bandung, 5 Januari 2016

Pahlawan Senyap

Selasa, 29 Desember 2015, sepekan pasca operasi
Nyonya menggandeng anak bungsu kami, Abyan, ke dokter bedah anak. Hampir sejam mereka menunggu, namun sosok itu tak segera muncul. Abyan hampir saja menyerah, pulang untuk kembali keesokan harinya, ketika perawat mewartakan bahwa sang dokter telah datang.
“Maaf ya, Bu. Saya ada operasi dadakan, jadi terlambat ke sininya.”
“Nggak apa-apa, Dok. Semoga itu jadi amal Dokter”, ujar nyonya dengan tulus.
“Oh.. tidak, Bu. Itu bukan amal, wong saya dibayar. Saya baru bisa mengklaim apa yang saya lakukan adalah amal jika saya kerjakan dengan sukarela” , tegas pria berbaju pendek itu tanpa ragu. Nyonya hanya bisa diam dan menyimpan ketakjubannya.
Senen, 4 Januari 2016, teras samping Rumah Dinas
Sebuah info grafis tampil dan menjadi diskusi panjang dan menyengat di sebuah group diskusi Facebook. Hampir semua partisipan diskusi itu dilanda emosi. Ya, saya maklum, info grafis itu sekilas memang amat provokatif. Isinya tak lebih dari klaim sebuah hasil perjuangan. Perjuangan apakah? Perjuangan menjaga harmoni keberlangsungan republik ini dalam cawan APBN. Ringkasnya begini, penerimaan negara dari sektor pajak tak mencapai target, sementara belanja negara sudah kebacut dan kudu keluar, maka harus dicarikan sumber penerimaan lain di luar pajak agar tetap bisa menggaji pegawainya sebesar Rp.7 triliun lebih pada tanggal 4 Januari lalu. Dalam info grafis tersebut, kegagalan pencapaian target penerimaan dicetak tebal, sehingga terkesan pengin ditonjolkan. Pun juga di bagian akhir info grafis tersebut, desainer seolah “curhat” betapa peran institusi mereka amat vital dalam menjaga harmoni tersebut. Sekali lagi, sekilas ini memang provokatif.
Lalu sahut-menyahut dalam bahasa yang tak kalah panas terjadi di dua kubu. Masing-masing pihak lantas mengklaim dirinya adalah pahlawan APBN, pihak yang musti dihargai, entah dalam bentuk apa. Saya sendiri senyum-senyum saja melihat perang opini ini. Dalam hati saya berpikir, apa iya, dengan segala yang telah saya lakukan selama ini, saya pantas dibayar sebesar ini? Lha wong kerjaan saya tak lebih dari berselancar di dunia maya, mengais-ngais berita positif tentang perpajakan, lalu membaginya lewat akun media sosial. Atau paling-paling jadi tamen kalau ada LSM menyambangi kantor, atau berpanas-panas ria ngontrol baliho depan kantor,  atau ketika masih musim pulang pukul 19.00, selepas pukul 17.00 saya lebih banyak menghabiskan waktu di meja pingpong dan main paraf berkas anak buah. Pekerjaan yang notabene bisa dilakukan oleh siapa saja, dan (mungkin) sama sekali tak berhubungan dengan angka Rp. 21,6 triliun rupiah yang berhasil dikumpulkan Kanwil kami tahun ini.
Menyebut kata pahlawan bagi saya adalah hal yang amat berat bahkan sakral. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Definisi yang bikin hati saya kian ciut untuk menjadikannya sebagai klaim sepihak. Maka, tanpa bermaksud mengecilkan semangat korps teman-teman sejawat, saya tetap memilih diam.
Bagi saya, pahlawan adalah pejuang senyap, tulus, tak tergantung imbalan, apalagi teriak-teriak hanya karena provokasi pahlawan kesiangan lainnya. Mari tetap berjuang dengan senyap, sesenyap kematian Nabi Akhir Zaman yang hanya ditemani Fatimah seorang.

Bandung, 5 Januari 2015.